Share

Wajah yang Tak Lagi Sama

last update Last Updated: 2025-08-24 17:40:02

Air laut Samudra Pasifik menyambut tubuh Elvara seperti pelukan maut yang dingin dan buas. Gaun pengantinnya mengembang seperti kelopak mawar yang layu, terseret pusaran air yang menariknya ke dasar.

Rasa sakit dari luka bakar masih membakar wajahnya, tapi kini ditambah dengan sensasi menusuk dari air asin yang masuk ke jaringan luka terbuka. Cairan laut menyusup ke kelopak matanya yang sudah tak bisa menutup, merangsek masuk ke bibir yang sobek, membakar tenggorokan yang mencoba menelan napas.

Dia mencoba berenang, tapi dia sama sekali tidak tahu caranya. Tangannya bergerak tak tentu arah. Kakinya. mengepak pelan sia-sia. Kesadaran mulai meninggalkannya.

Namun, di detik terakhir sebelum semuanya gelap, sesuatu merengkuhnya. Tangan dingin dan kuat menariknya ke permukaan.

Ia tidak tahu itu nyata atau hanya delusi terakhir otaknya yang sekarat. Tapi saat tubuhnya keluar dari air dan udara kembali menerobos paru-parunya, ia menyadari satu hal.

Ia masih hidup. Ia ingin hidup. Ia tidak mau mati sia-sia tanpa jejak seperti ini.

Seseorang membawanya naik ke permukaan dan menggendongnya entah ke mana. Ia mencoba membuka mata, tetapi sepertinya matanya terlalu parah untuk bisa melihat lagi.

“Calmati... sei al sicuro.” Suara bariton merdu seolah berbisik di telinganya. Ya, teramat merdu. Lalu semuanya menghitam. 

Elvara merasa atau bermimpi, beberapa kali ia terbangun, meraung kesakitan seolah wajahnya dicabik-cabik kemudian sesosok hangat merengkuhnya. "Calmati." Kata-kata asing itu kembali terdengar. Menenangkan, dan tak lama, dia kembali tertidur.

***

Suara detak alat medis menyambut Elvara saat ia membuka mata.

Perlahan.

Cahaya putih menembus kelopak matanya. Ia ingin mengangkat tangan, menyentuh wajahnya, tapi sesuatu menahannya. Perban. Tebal dan ketat. Melingkupi hampir seluruh wajahnya, menyisakan lubang kecil untuk satu mata yang masih bisa melihat samar.

"Dia sadar," suara seorang wanita terdengar, dalam, rendah, namun tenang.

Sebuah langkah kaki mendekat.

"Setelah sekian bulan." Suara seorang laki-laki bicara.

Elvara mencoba bicara, tapi tenggorokannya kering. Hanya desisan lemah yang keluar.

"Mau minum?" ucap pria itu, menyodorkan sedotan ke bibirnya. Elvara menyedot pelan. Air itu terasa seperti embun surga. Dingin dan menyegarkan.

Tetapi kemudian dia tersedak. Mengenali lelaki yang memberinya minum.

“Felix, hubungi dia. Dia pasti senang mendengar gadis ini akhirnya sadar setelah operasi terakhirnya.” Sang dokter wanita bicara.

Felix? Ya, benar. Dia orang yang sama. Anak buah Rachel. Siapa yang akan dihubunginya? Rhein? Atau malah Rachel?

Apa pun itu, Vara yakin akan satu hal. Dia harus pergi dari tempat ini. Dia tidak mau dicelakai lagi. Elvara lantas berpura-pura kembali tidur sampai kedua orang itu pergi. 

Perlahan ia bangkit, dengan tangan gemetar, diraihnya selang infus. Jarinya menyentuh plester. Menariknya lepas.

“Ayo, Ra. Kamu bisa!” 

Sakit. Seperti ditusuk duri panas. Tapi ia menahan teriakannya. Hanya desis pelan yang lolos dari sela-sela giginya. Beberapa tetes darah keluar, mengalir dari lubang kecil di punggung tangannya. Ia menekan luka itu dengan ujung lengan baju rumah sakit yang longgar.

Setelah itu, ia mencoba turun dari tempat tidur.

Seluruh tubuhnya menolak. Otot-ototnya seperti lemak dingin. Susah diajak bergerak. Punggungnya nyeri. Kaki kirinya mati rasa. Tapi ia tetap mencoba berjalan.

Pandangannya berkunang-kunang. Lantai di bawahnya terasa bergelombang ketika dia mencoba berdiri. Bayangan kejadian mengerikan di kapal membuatnya memaksakan diri untuk bergerak.

Dengan susah payah, Vara berhasil mencapai lift yang baru saja terbuka. Kelegaan menurunkan adrenalin dan membuatnya limbung.

Seseorang menangkapnya.

Lengan kuat memeluk bahunya, menopangnya. Aroma asing yang maskulin, menyapu indra penciuman Vara. Sosok jangkung itu nyaris terjengkang karena mendadak terbebani tubuh Elvara, tapi ia sigap menyesuaikan posisi.

“Hati-hati, Nona!”

Suara pria itu berat. Elvara membuka mata setengah, dan melihat wajahnya yang asing. Rahang tegas, mata tajam kecoklatan, alisnya sedikit berkerut karena kaget.

Vara buru-buru melepaskan diri. Mencoba menekan tombol ke lantai dasar. Ketika lift bergerak baru pria itu sadar dan refleks mengumpat.

“Apa yang kau lakukan?” Dia nyaris membentak.

“Turun!”

“Tidak. Kembali ke lantai sebelumnya, Nona Zombie!”

“Apa katamu? Zombie? Dasar manusia tidak punya empati!”

Pria itu mendekat ke tombol lift, hendak menekan lantai nomor lantai semula.

“Jangan! Kumohon! Ada orang jahat ... Orang yang akan mencelakaiku, aku harus pergi dari sini!” Vara memohon. 

Pria itu mengernyit. 

“Dua hal, Nona. Pertama, ini rumah sakit. Kejahatan yang akan kau temui di sini paling-paling hanya dokter dengan jarum suntiknya, kedua aku duluan. Tunggu giliranmu!” katanya dengan nada datar. Sama sekali tidak terlihat bersimpati. 

“Kau ini benar-benar nirempati! Aku tidak bohong! Jangan kembali ke sana!” Vara memegangi lengan pria itu.

Pria itu menyingkirkannya dari tombol lift dengan sebelah tangan, kemudian menekan tombol kembali ke lantai semula.

“Jangan ke sana! Please!" Vara memohon, ketakutan membuat telapak tangannya berkeringat. 

Pria itu diam saja. Santai menghisap rokoknya sembari bersandar di dinding lift. Vara terus berusaha meyakinkannya, bahkan menceritakan apa yang dialaminya panjang lebar, berharap pria itu membiarkannya turun ke lantai dasar dan pergi meninggalkan rumah sakit itu.

“Tutup mulutmu, Nona!” 

Hanya begitu respon pria itu. Benar-benar laki-laki berhati batu.

Pintu lift terbuka. Lelaki itu menariknya keluar dan menyeretnya ke arah ruang rawatnya. Sial. Jangan-jangan dia teman Felix? Salah satu anak buah Rachel juga? Tapi masa iya? Wajahnya, juga gesturenya terlalu dominan untuk jadi anak buah yang disuruh-suruh oleh seorang wanita.

Tapi apa yang tidak mungkin? Rhein yang tampak seperti pangeran berhati mulia saja bisa sekejam itu, apalagi pria bertampang gangster sepertinya?

“Arrrgggh! Gadis gila!” Pria itu memekik kesakitan.

Vara menggigit tangannya dan berhasil melepaskan diri dari cengkramannya. Tanpa membuang waktu, dia berbalik dan berlari ke arah lift.

“Feliix!” Laki-laki itu berseru.

Hah? Felix? Oh, tidak. Vara berusaha mencapai lift, tapi Felix yang muncul entah dari mana, berhasil meringkusnya.

“Toloong!” Vara berteriak sia-sia. Dia mencoba melawan, tapi tenaga Felix lebih kuat.

“Berhenti!” Suara seorang wanita, dan selama sepersekian detik Vara mengira itu adalah suara Rachel. Yang datang dengan membawa cairan ... Vara bergidik. Mengusir bayangan itu.

Tapi bukan. Itu dokter yang tadi. Melangkah ke hadapannya dengan tatapan geram. Dr. Diandra Halim. Nama itu tertera di name tag jas putihnya.

“Kau apakan pasienku, Felix? Lepaskan dia!”

“Tapi Tuan Kael ....”

“Kael?” Dokter itu menoleh ke belakang. Ke arah pria yang disebut Kael yang melangkah mendekat. Pria lift itu ternyata bernama Kael. Tapi persetan siapa namanya. Tetap saja dia bagian dari komplotan Rachel. 

“Pasienmu mencoba kabur. Harusnya kau ikat saja dia.” Kael berkata dingin. Menatapnya dengan ekspresi aneh. Dokter Diandra tersenyum ke arah Vara. Meminta Felix melepaskannya kemudian menuntunnya kembali ke ruang rawat.

“Tenang saja. Tidak ada yang akan menyakitimu. Kael yang sudah menyelamatkanmu di laut dan membawamu ke sini.”

Kael? Tapi bagaimana dengan Felix?

“Kau pasti bingung, ya. Kael akan menjelaskan semuanya. Tenang saja. Dia memang terlihat beringas, tapi dia baik.” Dokter cantik itu tersenyum lagi. Senyumnya menenangkan. Mirip Madam Elya. Memikirkan Ibu panti membuatnya rindu. Terakhir kali katanya Madam Elya terkena serangan jantung. Apa dia baik-baik saja? 

Vara bertekad akan secepatnya kembali ke panti. Dia akan menemukan caranya. Harus. Lantas dia berusaha menenangkan diri. Membiarkan dokter muda itu menuntunnya ke kamar rawat dan membantunya berbaring.

“Sudah berapa lama saya di sini, Dok?” Vara meraba wajahnya yang terbungkus perban. Dokter Diandra memperbaiki posisi bantal agar Vara merasa lebih nyaman.

“Sekitar sepuluh bulan. Dan sudah menjalani tujuh kali operasi bedah untuk pemulihan wajah. Kami sampai harus mendatangkan bedah plastik dari Seoul. Tapi semuanya berjalan lancar. Malam ini, perbanmu bisa dibuka.”

Bedah plastik? Dalam waktu selama itu? Kenapa dia bisa sampai tidak sadarkan diri sedemikian lama? Apa dia sengaja dibuat koma.

“Serusak apa wajah saya, Dok?” Vara bertanya pelan. Menatap perubahan ekspresi wajah sang dokter yang melembut dan bersimpati.

“Sangat parah. Tapi semua sudah berlalu. Kael mengusahakan yang terbaik untukmu.”

Lagi-lagi nama itu. Siapa sebenarnya dia? Kenapa berbuat sejauh ini untuknya? Benarkah seperti kata Dokter Diandra, dia baik? Tetapi kalau baik, kenapa dia bisa bersama anak buah Rachel?

Vara punya segudang pertanyaan. Tapi dia tahu, Dokter Diandra tidak akan menjawab pertanyaan apa pun selain yang berhubungan dengan medis.

“Wajah saya akan berbeda ya, Dok?” Pikiran itu melintas begitu saja. Dan membuatnya ngeri. Seberbeda apa? Apakah dia masih bisa dikenali sebagai Elvara?

“Harus berbeda. Karena dirimu yang lama sudah mati!”

Kael berdiri di pintu. Menatapnya tajam. Menjawab pertanyaannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Rahasia Terdalam Kael

    “El, bangun, El! Suara Tara terdengar berisik di telinganya. Yang benar saja. Sepagi ini. Padahal semalam dia harus begadang hingga jam tiga pagi untuk merevisi lirik lagunya.“Bangun! Buruan!”“Apa sih, Ta?”“Nggak ada waktu buat mengejelasin. Pokoknya kamu bangun, cuci muka. Nggak usah mandi, buruan kumpul ke meja makan! Siaga satu dalam waktu sepuluh menit!”“Apaan sih. Kalau nggak?”“Kamu siap-siap angkat kaki dari sini!” Tara menarik selimutnya, membuka jendela, lantas menghidupkan lampu.“Tapi ...!”“Sepuluh menit, El! Atau kamu dalam masalah yang tidak ada seorang pun bisa membantu, bahkan Kael!”Tara meninggalkan kamar. El mengernyit keheranan. Tidak ada yang bisa membantunya bahkan Kael? Memangnya ada yang lebih berkuasa dari Kael di tempat ini? El bangkit dari kasur. Segera ke kamar mandi dan mencuci muka.Ketika turun ke lantai dasar, meja makan sudah penuh dengan seluruh anggota rumah singgah. Berpakaian rapi, duduk tertib dengan piring, sendok, garpu serta segala hal tert

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Isi Hati Kael

    Pria berwajah tampan dengan rambut berwarna keemasan itu mendekat dan merangkulkan sebelah tangannya pada El. El menahan diri untuk tidak menepis dan memiting pria itu. Tidak bisa, yang benar saja. Semua mata kini menatap mereka dengan sorot antara kaget dan penasaran. El sekilas melirik pada Rheiner yang lebih terkejut dari sangkaan El. Wajahnya merah padam dan tangannya mengepal. Apa itu barusan? Cemburu? Tidak mmungkin kan? Rheiner mencintai Rachel. Bukan dia. Mustahil dia cemburu.“Kekasih? Bah. Aktor mana lagi yang kau sewa, gadis panti? Figuran dari sebuah film atau gelandangan yang kau dandani itu?” Rachel bersikap makin defensif. Mulutnya bisa berkata begitu, tapi El sempat menangkap raut terkejut di wajah perempuan itu.“Edgar Warren? Ini benar Anda?” Seorang wartawan bersuara. “Hah? Jadi Tuan Muda Warren itu Anda?” Miselia menoleh dan buru-buru menyalami pria yang mengaku sebagai kekasih El itu. Jepret-jepret lampu blitz kembali terlihat. Lebih ramai.“Berita besar. Akhirnya

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Kejutan dari Pria Tak Dikenal

    “Aku tidak tahu bagaimana kau tiba-tiba bisa berenang!” Suara Rachel terdengar tajam menusuk, “Tapi itu tidak membuktikan apa pun!” Tatapan matanya serupa pisau, menghunjam manik mata El.“Kalau kau bukan Vara ...,” Model itu mencondongkan tubuh ke arahnya, masih dengan tatapan mengintimidasi yang seolah menguliti El untuk membongkar kedoknya.“Kalau kau bukan Elvara, kau pasti punya keluarga. Ayah, ibu, kakak, adik, atau apa pun itu. Panggil mereka sekarang untuk memvalidasi siapa sebenarnya dirimu!”El terdiam. Tenggorokannya tercekat sementara semua mata juga lensa kamera terarah padanya.Rachel seolah dapat menangkap sekilas keterkejutan di wajahnya dan dia menyeringai seolah selangkah lagi kemenangan berpihak padanya. El memutar otak cepat, berusaha mengingat seseorang yang bisa dia hubungi. Tidak mungkin Kael, bisa geger seibukota kalau sampai dia yang muncul. Fakta bahwa saat ini, Kael adalah satu-satunya yang dia punya sungguh tidak membuatnya merasa lebih baik, tapi begitul

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Kecurigaan Rachel

    Setelah kompetisi itu, pintu besar akhirnya terbuka untuknya. Vermilion Record resmi menawarkan kontrak. El hampir tidak percaya pada keberuntungannya ketika menandatangani dokumen itu dengan tangan bergetar.Dia hanya gadis biasa yang beberapa bulan lalu terbuang tanpa nama, kini duduk di bawah bendera perusahaan rekaman besar, salah satu yang terbesar di negeri ini.Di hari-hari pertamanya, ia menuangkan semua luka dan keberanian dalam sebuah lirik. Lagu itu ia beri judul Elegi Mawar. Tentang seorang gadis yang meski berkali-kali dijatuhkan dunia, namun tetap berdiri dan melawan dengan durinya. Kael bilang, liriknya lumayan. Meski dia hanya memberi nilai enam.Hari ini dia berkunjung ke Vermillion Studio. Membawa demo lagunya dengan ditemani Barat. Pria itu berpakaian kasual hari itu. Mengenakan kaos putih dan jaket jeans, bukan jaket kulit ala gangster seperti biasanya.Saat demo sederhana lagunya diperdengarkan, Kirani Lingga mendengarkan dalam diam. Penyanyi papan atas itu menutu

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Jalan Masuk

    El memperhatikan dari kejauhan ketika Miselia meninggalkan pasangan suami istri manipulatif itu. Rachel dan Rheiner. Wajah gadis itu muram. Dia menunduk seperti sedang tertekan. El berusaha menepis rasa iba. Dia tidak boleh mengasihani gadis yang kemungkinan besar adalah kaki tangan Rheiner.“Apa yang kau lakukan di sini?” Suara Rheiner di ujung lorong mengagetkannya. El merasa lututnya lemas, karena suasana lorong itu lengang.“Eh, tidak, Pak. Saya salah tempat sepertinya.” El berusaha mengatur suaranya agar terdengar biasa. Rheiner mendekat beberapa langkah.“Yakin?” Dia tersenyum miring. Kentara sekali juga berusaha bersikap biasa saja. Melihat Rheiner selalu membuatnya bertanya-tanya, apakah di luar sandiwaranya, dia pernah sekali saja mencintai dirinya sebagai Vara. Tapi, dia sudah menjalin hubungan lama dengan Rachel bahkan mungkin sebelum mendekatinya. Jadi rasanya tidak mungkin.Tugas El ada tiga sekarang. Mencari tahu asal usulnya, balas dendam pada Rheiner, dan melupakan pria

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Boneka Bernama Miselia

    “Selamat pagi, Putri tidur!” Suara Kael menyeruak ke indra pendengarannya. El refleks bangun dari tempat tidur dan duduk tegak.Kael duduk bertopang kaki di sofa seberang ruangan. Menatap balik ke arah El yang tampak terkejut akan kehadirannya.“Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa masuk?” Suara El lebih tajam dari yang dimaksudkannya. Tidak El. Jangan terbawa emosi. Kau harus ikuti permainan Kael. Jangan mau jadi mainannya.“Pertama, kau terlambat untuk makan malam. Tara tidak berhasil membangunkanmu. Kedua, ini tempatku, dan aku bisa masuk ke ruang mana pun yang kumau!” Tidak ada rasa sungkan apalagi penyesalan dalam suaranya.El mendengus. “Jadi, aku sama sekali tidak punya privasi di sini?” sindir El tajam. Seperti biasanya, Kael sama sekali tidak terpengaruh dengan sindiran El.“Ini makananmu. Mi laut pedas dengan topping udang. Sarapanlah, kemudian kita akan melanjutkan misi hari ini.” Kael berdiri. Jika tadi, sepertinya dia hendak mengatakan sesuatu, sepertinya pemu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status