Air laut Samudra Pasifik menyambut tubuh Elvara seperti pelukan maut yang dingin dan buas. Gaun pengantinnya mengembang seperti kelopak mawar yang layu, terseret pusaran air yang menariknya ke dasar.
Rasa sakit dari luka bakar masih membakar wajahnya, tapi kini ditambah dengan sensasi menusuk dari air asin yang masuk ke jaringan luka terbuka. Cairan laut menyusup ke kelopak matanya yang sudah tak bisa menutup, merangsek masuk ke bibir yang sobek, membakar tenggorokan yang mencoba menelan napas.
Dia mencoba berenang, tapi dia sama sekali tidak tahu caranya. Tangannya bergerak tak tentu arah. Kakinya. mengepak pelan sia-sia. Kesadaran mulai meninggalkannya.
Namun, di detik terakhir sebelum semuanya gelap, sesuatu merengkuhnya. Tangan dingin dan kuat menariknya ke permukaan.
Ia tidak tahu itu nyata atau hanya delusi terakhir otaknya yang sekarat. Tapi saat tubuhnya keluar dari air dan udara kembali menerobos paru-parunya, ia menyadari satu hal.
Ia masih hidup. Ia ingin hidup. Ia tidak mau mati sia-sia tanpa jejak seperti ini.
Seseorang membawanya naik ke permukaan dan menggendongnya entah ke mana. Ia mencoba membuka mata, tetapi sepertinya matanya terlalu parah untuk bisa melihat lagi.
“Calmati... sei al sicuro.” Suara bariton merdu seolah berbisik di telinganya. Ya, teramat merdu. Lalu semuanya menghitam.
Elvara merasa atau bermimpi, beberapa kali ia terbangun, meraung kesakitan seolah wajahnya dicabik-cabik kemudian sesosok hangat merengkuhnya. "Calmati." Kata-kata asing itu kembali terdengar. Menenangkan, dan tak lama, dia kembali tertidur.
***
Suara detak alat medis menyambut Elvara saat ia membuka mata.
Perlahan.
Cahaya putih menembus kelopak matanya. Ia ingin mengangkat tangan, menyentuh wajahnya, tapi sesuatu menahannya. Perban. Tebal dan ketat. Melingkupi hampir seluruh wajahnya, menyisakan lubang kecil untuk satu mata yang masih bisa melihat samar.
"Dia sadar," suara seorang wanita terdengar, dalam, rendah, namun tenang.
Sebuah langkah kaki mendekat.
"Setelah sekian bulan." Suara seorang laki-laki bicara.
Elvara mencoba bicara, tapi tenggorokannya kering. Hanya desisan lemah yang keluar.
"Mau minum?" ucap pria itu, menyodorkan sedotan ke bibirnya. Elvara menyedot pelan. Air itu terasa seperti embun surga. Dingin dan menyegarkan.
Tetapi kemudian dia tersedak. Mengenali lelaki yang memberinya minum.
“Felix, hubungi dia. Dia pasti senang mendengar gadis ini akhirnya sadar setelah operasi terakhirnya.” Sang dokter wanita bicara.
Felix? Ya, benar. Dia orang yang sama. Anak buah Rachel. Siapa yang akan dihubunginya? Rhein? Atau malah Rachel?
Apa pun itu, Vara yakin akan satu hal. Dia harus pergi dari tempat ini. Dia tidak mau dicelakai lagi. Elvara lantas berpura-pura kembali tidur sampai kedua orang itu pergi.
Perlahan ia bangkit, dengan tangan gemetar, diraihnya selang infus. Jarinya menyentuh plester. Menariknya lepas.
“Ayo, Ra. Kamu bisa!”
Sakit. Seperti ditusuk duri panas. Tapi ia menahan teriakannya. Hanya desis pelan yang lolos dari sela-sela giginya. Beberapa tetes darah keluar, mengalir dari lubang kecil di punggung tangannya. Ia menekan luka itu dengan ujung lengan baju rumah sakit yang longgar.
Setelah itu, ia mencoba turun dari tempat tidur.
Seluruh tubuhnya menolak. Otot-ototnya seperti lemak dingin. Susah diajak bergerak. Punggungnya nyeri. Kaki kirinya mati rasa. Tapi ia tetap mencoba berjalan.
Pandangannya berkunang-kunang. Lantai di bawahnya terasa bergelombang ketika dia mencoba berdiri. Bayangan kejadian mengerikan di kapal membuatnya memaksakan diri untuk bergerak.
Dengan susah payah, Vara berhasil mencapai lift yang baru saja terbuka. Kelegaan menurunkan adrenalin dan membuatnya limbung.
Seseorang menangkapnya.
Lengan kuat memeluk bahunya, menopangnya. Aroma asing yang maskulin, menyapu indra penciuman Vara. Sosok jangkung itu nyaris terjengkang karena mendadak terbebani tubuh Elvara, tapi ia sigap menyesuaikan posisi.
“Hati-hati, Nona!”
Suara pria itu berat. Elvara membuka mata setengah, dan melihat wajahnya yang asing. Rahang tegas, mata tajam kecoklatan, alisnya sedikit berkerut karena kaget.
Vara buru-buru melepaskan diri. Mencoba menekan tombol ke lantai dasar. Ketika lift bergerak baru pria itu sadar dan refleks mengumpat.
“Apa yang kau lakukan?” Dia nyaris membentak.
“Turun!”
“Tidak. Kembali ke lantai sebelumnya, Nona Zombie!”
“Apa katamu? Zombie? Dasar manusia tidak punya empati!”
Pria itu mendekat ke tombol lift, hendak menekan lantai nomor lantai semula.
“Jangan! Kumohon! Ada orang jahat ... Orang yang akan mencelakaiku, aku harus pergi dari sini!” Vara memohon.
Pria itu mengernyit.
“Dua hal, Nona. Pertama, ini rumah sakit. Kejahatan yang akan kau temui di sini paling-paling hanya dokter dengan jarum suntiknya, kedua aku duluan. Tunggu giliranmu!” katanya dengan nada datar. Sama sekali tidak terlihat bersimpati.
“Kau ini benar-benar nirempati! Aku tidak bohong! Jangan kembali ke sana!” Vara memegangi lengan pria itu.
Pria itu menyingkirkannya dari tombol lift dengan sebelah tangan, kemudian menekan tombol kembali ke lantai semula.
“Jangan ke sana! Please!" Vara memohon, ketakutan membuat telapak tangannya berkeringat.
Pria itu diam saja. Santai menghisap rokoknya sembari bersandar di dinding lift. Vara terus berusaha meyakinkannya, bahkan menceritakan apa yang dialaminya panjang lebar, berharap pria itu membiarkannya turun ke lantai dasar dan pergi meninggalkan rumah sakit itu.
“Tutup mulutmu, Nona!”
Hanya begitu respon pria itu. Benar-benar laki-laki berhati batu.
Pintu lift terbuka. Lelaki itu menariknya keluar dan menyeretnya ke arah ruang rawatnya. Sial. Jangan-jangan dia teman Felix? Salah satu anak buah Rachel juga? Tapi masa iya? Wajahnya, juga gesturenya terlalu dominan untuk jadi anak buah yang disuruh-suruh oleh seorang wanita.
Tapi apa yang tidak mungkin? Rhein yang tampak seperti pangeran berhati mulia saja bisa sekejam itu, apalagi pria bertampang gangster sepertinya?
“Arrrgggh! Gadis gila!” Pria itu memekik kesakitan.
Vara menggigit tangannya dan berhasil melepaskan diri dari cengkramannya. Tanpa membuang waktu, dia berbalik dan berlari ke arah lift.
“Feliix!” Laki-laki itu berseru.
Hah? Felix? Oh, tidak. Vara berusaha mencapai lift, tapi Felix yang muncul entah dari mana, berhasil meringkusnya.
“Toloong!” Vara berteriak sia-sia. Dia mencoba melawan, tapi tenaga Felix lebih kuat.
“Berhenti!” Suara seorang wanita, dan selama sepersekian detik Vara mengira itu adalah suara Rachel. Yang datang dengan membawa cairan ... Vara bergidik. Mengusir bayangan itu.
Tapi bukan. Itu dokter yang tadi. Melangkah ke hadapannya dengan tatapan geram. Dr. Diandra Halim. Nama itu tertera di name tag jas putihnya.
“Kau apakan pasienku, Felix? Lepaskan dia!”
“Tapi Tuan Kael ....”
“Kael?” Dokter itu menoleh ke belakang. Ke arah pria yang disebut Kael yang melangkah mendekat. Pria lift itu ternyata bernama Kael. Tapi persetan siapa namanya. Tetap saja dia bagian dari komplotan Rachel.
“Pasienmu mencoba kabur. Harusnya kau ikat saja dia.” Kael berkata dingin. Menatapnya dengan ekspresi aneh. Dokter Diandra tersenyum ke arah Vara. Meminta Felix melepaskannya kemudian menuntunnya kembali ke ruang rawat.
“Tenang saja. Tidak ada yang akan menyakitimu. Kael yang sudah menyelamatkanmu di laut dan membawamu ke sini.”
Kael? Tapi bagaimana dengan Felix?
“Kau pasti bingung, ya. Kael akan menjelaskan semuanya. Tenang saja. Dia memang terlihat beringas, tapi dia baik.” Dokter cantik itu tersenyum lagi. Senyumnya menenangkan. Mirip Madam Elya. Memikirkan Ibu panti membuatnya rindu. Terakhir kali katanya Madam Elya terkena serangan jantung. Apa dia baik-baik saja?
Vara bertekad akan secepatnya kembali ke panti. Dia akan menemukan caranya. Harus. Lantas dia berusaha menenangkan diri. Membiarkan dokter muda itu menuntunnya ke kamar rawat dan membantunya berbaring.
“Sudah berapa lama saya di sini, Dok?” Vara meraba wajahnya yang terbungkus perban. Dokter Diandra memperbaiki posisi bantal agar Vara merasa lebih nyaman.
“Sekitar sepuluh bulan. Dan sudah menjalani tujuh kali operasi bedah untuk pemulihan wajah. Kami sampai harus mendatangkan bedah plastik dari Seoul. Tapi semuanya berjalan lancar. Malam ini, perbanmu bisa dibuka.”
Bedah plastik? Dalam waktu selama itu? Kenapa dia bisa sampai tidak sadarkan diri sedemikian lama? Apa dia sengaja dibuat koma.
“Serusak apa wajah saya, Dok?” Vara bertanya pelan. Menatap perubahan ekspresi wajah sang dokter yang melembut dan bersimpati.
“Sangat parah. Tapi semua sudah berlalu. Kael mengusahakan yang terbaik untukmu.”
Lagi-lagi nama itu. Siapa sebenarnya dia? Kenapa berbuat sejauh ini untuknya? Benarkah seperti kata Dokter Diandra, dia baik? Tetapi kalau baik, kenapa dia bisa bersama anak buah Rachel?
Vara punya segudang pertanyaan. Tapi dia tahu, Dokter Diandra tidak akan menjawab pertanyaan apa pun selain yang berhubungan dengan medis.
“Wajah saya akan berbeda ya, Dok?” Pikiran itu melintas begitu saja. Dan membuatnya ngeri. Seberbeda apa? Apakah dia masih bisa dikenali sebagai Elvara?
“Harus berbeda. Karena dirimu yang lama sudah mati!”
Kael berdiri di pintu. Menatapnya tajam. Menjawab pertanyaannya.
“Pewaris?” bibir El tanpa sadar berbisik lirih.Suara itu hampir saja terdengar, untunglah ia cepat menahan napas. Tangannya yang menggenggam ponsel mulai bergetar. Kata itu menggema di kepalanya, lebih menusuk daripada teriakan Kael sekalipun.Pewaris apa? Pewaris siapa? Itukah alasan dia dilenyapkan dengan begitu kejamnya?“Dia masih hidup, Rachel. Dia akan menghancurkan kita semua!”“Rhein, tolong hentikan! Jangan bawa-bawa orang mati lagi!” suara Rachel meninggi, tajam seperti kaca pecah. “Kalau kau terus begini, kau akan gila!”Eliya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Lidahnya terasa kelu. Ada getaran aneh di dada,.antara ngeri, penasaran, dan marah.Tiba-tiba suara Kael bergema di headset.“El, kau dengar itu?”Nada suaranya tenang, tapi di baliknya ada arus deras yang menekan.“Pewaris…” gumam El dalam hati.“Kau harus keluar sekarang,” perintah Kael. “Jangan bodoh, jangan berlama-lama di situ.”Tapi untuk pertama kalinya, Eliya tak langsung menuruti Kael. Ia tetap membungk
Akhirnya, Eliya berada di depan rumah itu. Rumah yang pernah menjadi istana impiannya. Ada hari-hari di mana dia mengkhayal menjadi nyonya rumah yang punya banyak pelayan di dalamnya. Menjadi Nyonya Rheiner Pranata.Eliya menggeleng. Dia tidak boleh meratapinya. Kael akan mencekiknya kalau dia terlihat lemah dan cengeng lagi.“El, kau dengar aku?”Nah kan. Suara Kael di headset memecah lamunannya.Ia menghela napas. El. Tiga bulan sudah ia mengenakan nama itu, tapi tetap terasa asing. Namun siapa yang berani membantah Kael?Bagi anak buahnya, dia raja. Bagi preman jalanan, dia dewa penyelamat. Bagi Eliya … dia adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Dia ingin tahu alasan dirinya dilenyapkan sekaligus membersihkan namanya.“Berhenti melamun, El. Sepuluh langkah ke kanan, kampus keluarga Adrasta.”Nada Kael terdengar seperti komandan militer.Ingin rasanya Eliya mengutuknya jadi batu. Berisik sekali pria yang satu ini. Tapi misi ini adalah pembuktian, apakah ia cukup kuat untuk menyu
Setelah perbannya dibuka, Elvara akhirnya melihat wajah barunya. Hal yang sempat membuatnya shock karena benar-benar tidak ada jejak wajah lamanya di sana. Wajah barunya memang lebih cantik, lebih tirus dan lebih sempurna, tapi tetap saja, dia merindukan wajah aslinya yang dihiasi jerawat dan bintik-bintik merah. Wajah yang polos dan membuatnya merasa hangat ketika membayangkan, bahwa wajah itu, memiliki jejak wajah ayah dan ibunya."Kau cantik sekali, El." Puji Dokter Diandra. Felix mengangguk setuju. Vara masih ketakutan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan pria itu. Tapi sejauh ini, Felix sama sekali tidak berusaha mencelakakannya. Jadi mungkin saja dia bisa dipercaya. Mungkin saja dia benar-benar ada di pihak Kael. Tapi susah sekali untuk meyakinkan diri setelah melihat berapa patuhnya pria berambut ikal itu pada Rachel.Kael mengirim dua orang untuk menjemputnya. Dia sama sekali tidak muncul untuk melihat wajah barunya. Siapa juga yang peduli laki-laki itu muncul atau ti
Vara hendak berbalik, tapi sebuah tusukan jarum mendarat di pundaknya. Entah apa yang disuntikkan ke tubuhnya, tapi cairan asing itu mengalir cepat, panasnya menjalar seperti ular api di bawah kulit. Napasnya terputus-putus, telinganya berdenging. Matanya berkunang-kunang.Suara Felix yang memanggilnya membuat Vara berusaha bergerak menjauh.Dia tidak boleh tertangkap lagi. Bayangan malam di kapal itu datang seperti kilatan teror, dingin air laut, dan rasa nyeri membakar, mendorongnya untuk terus bergerak.Dia menginjak kaki siapa pun yang berniat meringkusnya. Lantas berusaha lari.Berhasil. Tapi setelah beberapa langkah, dia tersandung sesuatu dan ambruk. Pandangannya gelap. Dan kesadaran meninggalkannya.***“Kau sudah bangun, tukang kabur?”Tanpa membuka mata, Vara tahu suara siapa itu. Tidak. Dia tidak mau kembali dalam cengkraman pria jahat itu lagi. Vara membuka mata, ternyata dia kembali berada di ruang rawat rumah sakit yang sama seperti sebelumnya.“Kenapa aku ada di sini? K
“Harus berbeda. Karena dirimu yang lama sudah mati!”Kael berdiri di pintu. Menatapnya tajam. Wajahnya benar-benar garang dan menakutkan. Tapi seiring langkahnya mendekat, Vara menyadari pria itu juga tampan. Luar biasa tampan malah. “Bicara yang baik, Kael. Pasienku baru saja sadar. Kau membuatnya terkejut,” cela Dokter Diandra.“Keluar, Di! Aku perlu bicara dengannya!” perintah Kael. Dokter muda itu merengut mendengarnya.Oke, situasi ini benar-benar aneh. Seorang dokter diusir pergi oleh seorang berandalan dan anehnya dokter itu menurut saja. Meninggalkannya mereka berdua.“Biarkan pintunya terbuka, Dok. Tolong!” Vara merengek. Berduaan di ruang tertutup dengan pria brutal sama sekali bukan pilihan bijak.“Aku tidak minat aneh-aneh dengan zombie tripleks sepertimu, Nona!” Kael berdecak. Menarik sebuah kursi dan duduk di hadapannya. Dia bersedekap dan menatap Vara tajam seperti menerawangnya dengan sinar-X. Membuatnya jengah.“Dengarkan dan jangan potong ceritaku!” katanya tegas.“
Air laut Samudra Pasifik menyambut tubuh Elvara seperti pelukan maut yang dingin dan buas. Gaun pengantinnya mengembang seperti kelopak mawar yang layu, terseret pusaran air yang menariknya ke dasar.Rasa sakit dari luka bakar masih membakar wajahnya, tapi kini ditambah dengan sensasi menusuk dari air asin yang masuk ke jaringan luka terbuka. Cairan laut menyusup ke kelopak matanya yang sudah tak bisa menutup, merangsek masuk ke bibir yang sobek, membakar tenggorokan yang mencoba menelan napas.Dia mencoba berenang, tapi dia sama sekali tidak tahu caranya. Tangannya bergerak tak tentu arah. Kakinya. mengepak pelan sia-sia. Kesadaran mulai meninggalkannya.Namun, di detik terakhir sebelum semuanya gelap, sesuatu merengkuhnya. Tangan dingin dan kuat menariknya ke permukaan.Ia tidak tahu itu nyata atau hanya delusi terakhir otaknya yang sekarat. Tapi saat tubuhnya keluar dari air dan udara kembali menerobos paru-parunya, ia menyadari satu hal.Ia masih hidup. Ia ingin hidup. Ia tidak ma