LOGIN"Ikutlah denganku! Kau tidak akan kalah dalam permainan ini!" Mata elang Kael, menatapnya tajam. Menawarkan sebuah petualangan maut yang tak pernah mau dialami Elvara. *** Elvara tidak pernah menyangka bahwa pernikahan impiannya berubah menjadi ancaman mau mengerikan di tengah lautan. Rheiner dan selingkuhannya mencoba membunuhnya. Kael, seorang pria misterius dengan tato naga di leher menyelamatkan Elvara. Meyakinkannya untuk bersekutu dan melancarkan aksi balas dendam. Fakta demi fakta didapatkan Elvara yang telah berubah wajah dan nama selama menjalankan misi balas dendamnya. Apakah dia akan tetap di jalan semula atau mengkhianati kepercayaan Kael setelah dia mengetahui fakta tentang siapa sebenarnya pria itu?
View MoreLangkah Elvara tertatih menyusuri lorong kapal yang sempit dan berkarat, gaun pengantinnya robek, ujungnya penuh noda karat dan oli. Nafasnya tersengal. Di belakangnya, suara langkah kaki para pria berjas hitam semakin mendekat.
Orang-orang itu, kaki tangan Rheiner dan Rachel, entah salah satu dari mereka atau keduanya. Mereka pasti sudah menyadari bahwa dia berhasil melarikan diri dari ruang mesin, ruangan panas, bising dan pengap tempat mereka mengurungnya sejak beberapa jam yang lalu.
“Cepat! Dia ke arah dek belakang!”
Suara itu menggema menembus gemuruh ombak dan gemeretak kapal. Elvara berbelok, bersembunyi di balik tumpukan pelampung, tangannya gemetar, ponsel dengan baterai sekarat tergenggam di tangannya yang basah oleh keringat.
“Cari dia, atau Tuan Rheiner akan buat perhitungan ke kita semua!”
Rheiner. Siapa sangka? Calon suaminya, lelaki sempurna yang sangat dia cintai dan akan menikahinya hari ini, dengan pernikahan indah di atas kapal pesiar mewah miliknya, justru menjebak dan mengurungnya di kapal ini. Entah apa tujuannya.
Karena lagu-lagunya? Perusahaan milik Rheiner hendak mengambil alih hak ciptanya? Rasanya itu alasan yang terlalu receh untuk tindakan ekstrim yang mereka lakukan. Dia tidak sehebat itu. Dia hanyalah anak panti yang kebetulan dikenal di media sosial karena salah satu lirik lagu yang ditulisnya viral.
Suara langkah kaki makin dekat. Vara mengendap-endap menjauh. Berusaha melarikan diri dari kapal itu, tapi tidak tahu bagaimana. Mereka ada di tengah lautan. Lompat sama sama saja dengan cari mati.
Seseorang harus tahu.
Ayuna. Teman satu pantinya.
Satu dering. Dua dering. Tersambung.
“Yun ... tolong … Rhei menipuku! Tidak ada pernikahan! Tolong aku, Yun!” bisiknya dengan napas tercekat. Ketakutan membuatnya tidak bisa merangkai kata dengan lebih baik.
Ingin rasanya Vara merutuki kebodohan dan kenaifannya sehingga bisa masuk dalam perangkap Rheiner.
Andai dia mendengarkan peringatan Ayuna dan nasihat Madam Elya. Pasti dia tidak akan berakhir di sini. Madam Elya pernah bilang, menikah dengan pria kaya tidak selalu membawa kebahagiaan, malah kadang hanya mengundang penderitaan. Sementara Ayuna yang frontal selalu bilang bahwa Rheiner hanya memanfaatkannya. Tidak tulus.
Saat itu, Vara menganggap Ayuna hanya iri pada keberuntungannya dan berusaha menghalangi kebahagiaannya. Bodohnya dia.
“Vara? Kamu di mana? Menipu gimana?” seru Ayuna.
“Bilang ke orang-orang, Rheiner Pranata dan Rachel Selina penipu, mereka ....”
“Ra? Kamu ngomong apa? Kamu ke mana? Kamu lagi viral! Lihat media sosial! Kabar kamu kabur dari pelaminan, bersama selingkuhanmu, meninggalkan Rheiner sudah viral ke mana-mana ....!”
Apa? Selain menyekapnya, mereka juga memfitnahnya. Jahat sekali.
“Nggak, Na. Itu bohong! Mereka ....”
“Kamu tahu, kamu bikin Madam Elya shock dan kena serangan jantung!” Suara Ayuna terdengar marah. Sebagai sesama anak panti, bagi mereka Madam Elya adalah ibu sekaligus bapak. Satu-satunya figur orang tua yang mereka punya.
“Na, please dengerin aku!” Terdengar tidak tahu diri dan tidak peduli pada wanita yang selama ini merawatnya, tapi nyawa Vara sendiri di ujung tanduk.
Langkah kaki kembali terdengar. Lebih dekat. Lebih berat.
“Naa! Yunaa! Lapor polisi, Na! Rheiner Pranata menculikku, menawanku di kapal ....” Hanya kebisuan di ujung sambungan. Entah Yuna masih mendengarkan atau tidak.
Sinar senter menyorot wajahnya.
“Dia di sini!” seru salah seorang di antara mereka.
Elvara berusaha kabur lagi, tapi lengannya dicengkeram dan ditarik kasar.
Rachel muncul, sepatu hak tingginya mengetuk keras dek kapal.
Wanita yang selama ini mengaku sebagai sepupu Rheiner itu menatapnya tajam.
“Mau kabur ke mana?” Dia tersenyum miring penuh penghinaan. Matanya menatap ponsel di tangan Vara.
“Siapa yang kau hubungi?” Tangannya bergerak menjambak rambut Vara, membuat gadis sembilan belas tahun itu mengaduh kesakitan.
“Tidak mau mengaku?” Dirampasnya ponsel itu. Tapi untunglah ponsel itu sudah mati karena kehabisan baterai. Rachel mengumpat kesal dan melemparkannya ke lautan.
“Sayang, ada apa?” Rheiner muncul. Masih dengan jas pengantinnya.
Sayang? Vara ingin muntah mendengar Rheiner memanggil gadis yang selama ini diakuinya sebagai sepupu dengan panggilan sayang yang menjijikkan itu.
Sepupu. Nyatanya mereka sepasang kekasih.
Vara ingin sekali memaksa Rheiner mengaku, kenapa dia mendekati dirinya, membuatnya jatuh cinta, dan meyakinkannya untuk menikah lantas membuatnya berakhir di kapal ini sebagai tawanan, tapi dia tahu itu sia-sia. Rheiner tidak akan buka mulut. Mereka punya rencana entah apa.
“Apa saja yang sudah kau bilang ke orang yang kau telpon? Jawab aku, yatim!” bentak Rachel.
Vara bungkam. Mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya yang berceceran.
Rachel menamparnya.
“Harusnya aku yang butuh jawaban! Kenapa kalian menipuku? Kalian bahkan menyebarkan hoax bahwa aku kabur dari pernikahan!” Vara berteriak marah. Membuat Rachel kembali menamparnya.
“Hentikan, Rachel!” Rheiner akhirnya bersuara.
“Kenapa? Kau simpati padanya? Atau mulai suka?” Rachel menatap pemuda bermata coklat itu tajam.
“Bukan begitu, tapi ....” Rheiner melirik Vara sekilas, wajah yang selalu lembut bak pangeran itu kehilangan ronanya.
“Apa salahku, Rhei?” Vara berusaha agar Rhei menatapnya, tapi pemuda itu langsung membuang muka.
“Jangan mencoba menggoda pacarku, sialan!” Rachel meradang. Kembali menampar kedua pipinya dengan membabi-buta.
“Kau yang sialan! Aku akan selamat dari sini dan membersihkan nama baikku. Kedok kalian akan terbongkar! Aku bersumpah!” Vara bersuara lantang.
Rachel mencibir, lalu menoleh ke seorang pria di belakangnya. “Felix, bawakan asam sulfat!” Perintah Rachel pada salah satu anak buahnya.
“Apa? Kau gila?” sergah Rheiner. Wajahnya terbelakak. Dia tidak terlihat tampan lagi, melainkan menakutkan.
“Kita semua akan mendekam di penjara kalau dia bicara!” Rachel meraung. “Cepat!”
Beberapa detik kemudian, botol kecil berisi cairan bening itu diserahkan ke tangan Rachel. Ia mendekat.
“Siapa teman yang kau hubungi tadi? Beritahu nomornya, dia akan membatalkan usaha apa pun untuk menyelamatkanmu, atau wajahmu akan berubah jadi monster paling menyeramkan! Di dunia!”
Vara menggeleng. Sememaksa apa pun, Rachel tak akan berhasil membuatnya buka mulut. Tetapi mau tak mau, ia menatap ngeri cairan bening dalam botol itu.
“Kamu bikin semuanya jadi runyam, yatim! Rasakan ini!”
Vara menjerit, mencoba melawan, tapi dua pria menahannya. Cairan itu menyambar wajahnya.
Jeritan Vara mengguncang udara malam. Tubuhnya menggeliat liar, terjatuh, menggelapar seperti ikan yang dilemparkan ke bara api.
Rasa panasnya bukan sekadar panas. Rasanya wajahnya dijilat neraka. Dagingnya melepuh, matanya seperti terbakar dari dalam. Uap putih tipis mengepul dari pipi dan dahi.
Tangisnya berubah jadi erangan rendah, seperti hewan sekarat.
Ia berguling, mencengkeram wajahnya. Sebelah matanya sudah tak bisa dibuka. Suaranya pun mulai tak terdengar jelas.
“Rachel, kau gila!” raung Rheiner. Berusaha menjangkau Vara tapi Rachel menyambar tangannya. Menjauhkannya dari Vara.
“Gila? Aku baru saja menyelamatkan nama keluargamu, Rhein. Ibumu terlalu lembek. Mengurungnya tidak akan menyelesaikan apa pun. Apalagi masalah kalian. Melenyapkannya adalah keputusan terbaik!”
“Ini berlebihan, Rachel!” Suara Rhei terdengar putus asa, "Kau kejam!"
Rachel menatap tubuh yang mengerang itu dengan dingin. Matanya menyipit, lalu menoleh ke salah satu pria di belakangnya.
“Ergan,” katanya datar. “Ambil jarum suntik.”
Rheiner menoleh cepat. “Untuk apa lagi?! Rachel, dia, dia sudah sekarat!”
Rachel tidak menghiraukan. “Ambil darahnya sekarang. Sedikit saja cukup. Kita harus berjaga-jaga, kalau laki-laki itu itu kembali dengan keraguannya!”
Anak buah Rachel yang dipanggil Ergan membuka tas hitam kecil, mengeluarkan satu tabung suntik steril, lalu jongkok di samping Elvara. Ia menyingsingkan lengan gaun yang sudah koyak, mencari urat nadi yang masih berdetak.
“Dia... dia bahkan hampir tidak sadar,” gumam Rheiner, wajahnya diliputi kebingungan dan ketakutan.
Rachel mendekat, memandangi proses itu tanpa berkedip. “Justru itu bagus. Dia tidak akan melawan.”
Jarum menembus kulit Vara. Darah mengalir perlahan ke dalam tabung bening.
Senyum kecil muncul di sudut bibir Rachel.
“Bawa kapal ini ke tengah laut, perintahnya begitu Ergan menyelesaikan tugasnya. Dalam sekejap, kapal itu bergerak cepat. Vara masih meringkuk di lantai, bergelut dengan rasa sakit di wajahnya.
“Lemparkan dia!” Rachel menoleh ke Vara yang masih menggeliat kesakitan di lantai kapal.
“Dia tidak bisa berenang. Anak-anak pernah panti bilang. Dia tidak akan selamat.”
Seorang pria mengangkat tubuh lemas Vara yang masih mengerang lirih. Membawanya ke tepi geladak.
Vara merasakan tubuhnya melayang sesaat sebelum menghantam permukaan air. Rasa sakit di wajahnya menjadi berkali-kali lipat. Wajahnya seperti dikoyak-koyak.
Cairan asam yang belum meresap sepenuhnya kini bercampur dengan garam laut. Rasanya seperti terbakar dan dibekukan pada saat yang sama.
Nafasnya tercekat. Matanya, atau apa yang tersisa darinya, perih luar biasa. Air masuk ke tenggorokannya. Ia tersedak. Tubuhnya menolak bertahan.
Kesadaran mulai memudar.
Samar-samar, suara Rachel masih terngiang. “Dia tidak bisa berenang.”
Benar. Ia tidak bisa berenang. Air adalah musuhnya sejak kecil. Ia takut tenggelam. Dulu, semasa kecil, dia pernah hampir mati tenggelam saat menolong teman pantinya yang mengalami keram di kolam renang.
Dan apakah sekarang dia akan mati?
Mati, tanpa sempat mengenal siapa orang tuanya. Tanpa sempat meraih mimpinya sebagai seorang penulis lagu yang melihat lagunya dinyanyikan jutaan orang. Mimpi yang sudah ia miliki sejak usia dua belas tahun. Ketika menemukan piano tua di gudang panti.
Tapi dia tidak mau mati. Apalagi mati sebagai korban yang membiarkan pelakunya melenggang bebas.
Tapi ia sudah tidak punya tenaga untuk menyelamatkan diri. Seluruh tenaga seperti menguap darinya dan bertukar dengan rasa sakit tiada tara. Apakah ini saatnya menyerah?
Namun saat napas terakhirnya nyaris lenyap, sesuatu merengkuhnya. Hangat. Bertolak belakang dengan dingin laut. Lembut seperti lengan ibu yang tak pernah ia kenal.
Ada sesuatu … atau seseorang yang merengkuhnya.
Ia tak tahu bentuknya. Apakah itu tangan manusia? Atau ilusi kematian?
Vara ingin membuka mata, tapi tidak bisa. Dan perlahan, seiring ayunan ombak lautan, kesadarannya pun menghilang.
Setelah kompetisi itu, pintu besar akhirnya terbuka untuknya. Vermilion Record resmi menawarkan kontrak. El hampir tidak percaya pada keberuntungannya ketika menandatangani dokumen itu dengan tangan bergetar.Dia hanya gadis biasa yang beberapa bulan lalu terbuang tanpa nama, kini duduk di bawah bendera perusahaan rekaman besar, salah satu yang terbesar di negeri ini.Di hari-hari pertamanya, ia menuangkan semua luka dan keberanian dalam sebuah lirik. Lagu itu ia beri judul Elegi Mawar. Tentang seorang gadis yang meski berkali-kali dijatuhkan dunia, namun tetap berdiri dan melawan dengan durinya. Kael bilang, liriknya lumayan. Meski dia hanya memberi nilai enam.Hari ini dia berkunjung ke Vermillion Studio. Membawa demo lagunya dengan ditemani Barat. Pria itu berpakaian kasual hari itu. Mengenakan kaos putih dan jaket jeans, bukan jaket kulit ala gangster seperti biasanya.Saat demo sederhana lagunya diperdengarkan, Kirani Lingga mendengarkan dalam diam. Penyanyi papan atas itu menutu
El memperhatikan dari kejauhan ketika Miselia meninggalkan pasangan suami istri manipulatif itu. Rachel dan Rheiner. Wajah gadis itu muram. Dia menunduk seperti sedang tertekan. El berusaha menepis rasa iba. Dia tidak boleh mengasihani gadis yang kemungkinan besar adalah kaki tangan Rheiner.“Apa yang kau lakukan di sini?” Suara Rheiner di ujung lorong mengagetkannya. El merasa lututnya lemas, karena suasana lorong itu lengang.“Eh, tidak, Pak. Saya salah tempat sepertinya.” El berusaha mengatur suaranya agar terdengar biasa. Rheiner mendekat beberapa langkah.“Yakin?” Dia tersenyum miring. Kentara sekali juga berusaha bersikap biasa saja. Melihat Rheiner selalu membuatnya bertanya-tanya, apakah di luar sandiwaranya, dia pernah sekali saja mencintai dirinya sebagai Vara. Tapi, dia sudah menjalin hubungan lama dengan Rachel bahkan mungkin sebelum mendekatinya. Jadi rasanya tidak mungkin.Tugas El ada tiga sekarang. Mencari tahu asal usulnya, balas dendam pada Rheiner, dan melupakan pria
“Selamat pagi, Putri tidur!” Suara Kael menyeruak ke indra pendengarannya. El refleks bangun dari tempat tidur dan duduk tegak.Kael duduk bertopang kaki di sofa seberang ruangan. Menatap balik ke arah El yang tampak terkejut akan kehadirannya.“Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa masuk?” Suara El lebih tajam dari yang dimaksudkannya. Tidak El. Jangan terbawa emosi. Kau harus ikuti permainan Kael. Jangan mau jadi mainannya.“Pertama, kau terlambat untuk makan malam. Tara tidak berhasil membangunkanmu. Kedua, ini tempatku, dan aku bisa masuk ke ruang mana pun yang kumau!” Tidak ada rasa sungkan apalagi penyesalan dalam suaranya.El mendengus. “Jadi, aku sama sekali tidak punya privasi di sini?” sindir El tajam. Seperti biasanya, Kael sama sekali tidak terpengaruh dengan sindiran El.“Ini makananmu. Mi laut pedas dengan topping udang. Sarapanlah, kemudian kita akan melanjutkan misi hari ini.” Kael berdiri. Jika tadi, sepertinya dia hendak mengatakan sesuatu, sepertinya pemu
Kael kembali membawanya ke rumah elang. Selama perjalanan, terhitung dua kali El mencoba kabur dengan lompat dari mobil yang bergerak cepat. Kael terpaksa mengikatnya sepanjang perjalanan.El merutuk, menyumpah-nyumpah, tapi Kael sama sekali tidak menggubrisnya sampai El kelelahan sendiri dan bungkam selama sisa perjalanan."Turun!" Kael membuka pintu mobil dan menyuruhnya turun. El tetap berdiam di dalam mobil. Tidak sudi disuruh-suruh."Kau menantangku, El?" Suara Kael terdengar kesal. Mencondongkan tubuh ke arah El."Kau ingin aku menggendongmu turun, atau sekalian menggendongmu sampai kamar, membuat orang-orang di sini berasumsi liar tentangmu?" Dia mengancam. El mendengus. Kael selalu tahu titik lemahnya."Kau penjahat, Kael!""I am! Turun, sekarang!" Tak ada bantahan sama sekali atas tuduhan itu.El tidak punya pilihan lain selain menurut. Dia turun. Berjalan meninggalkan Kael. Beberapa anak jalanan yang berpapasan dengannya mengapa dengan riang. El memaksakan diri tersenyum, ke
“Pewaris?” bibir El tanpa sadar berbisik lirih.Suara itu hampir saja terdengar, untunglah ia cepat menahan napas. Tangannya yang menggenggam ponsel mulai bergetar. Kata itu menggema di kepalanya, lebih menusuk daripada teriakan Kael sekalipun.Pewaris apa? Pewaris siapa? Itukah alasan dia dilenyapkan dengan begitu kejamnya?“Dia masih hidup, Rachel. Dia akan menghancurkan kita semua!”“Rhein, tolong hentikan! Jangan bawa-bawa orang mati lagi!” suara Rachel meninggi, tajam seperti kaca pecah. “Kalau kau terus begini, kau akan gila!”Eliya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Lidahnya terasa kelu. Ada getaran aneh di dada,.antara ngeri, penasaran, dan marah.Tiba-tiba suara Kael bergema di headset.“El, kau dengar itu?”Nada suaranya tenang, tapi di baliknya ada arus deras yang menekan.“Pewaris…” gumam El dalam hati.“Kau harus keluar sekarang,” perintah Kael. “Jangan bodoh, jangan berlama-lama di situ.”Tapi untuk pertama kalinya, Eliya tak langsung menuruti Kael. Ia tetap membungk
Akhirnya, Eliya berada di depan rumah itu. Rumah yang pernah menjadi istana impiannya. Ada hari-hari di mana dia mengkhayal menjadi nyonya rumah yang punya banyak pelayan di dalamnya. Menjadi Nyonya Rheiner Pranata.Eliya menggeleng. Dia tidak boleh meratapinya. Kael akan mencekiknya kalau dia terlihat lemah dan cengeng lagi.“El, kau dengar aku?”Nah kan. Suara Kael di headset memecah lamunannya.Ia menghela napas. El. Tiga bulan sudah ia mengenakan nama itu, tapi tetap terasa asing. Namun siapa yang berani membantah Kael?Bagi anak buahnya, dia raja. Bagi preman jalanan, dia dewa penyelamat. Bagi Eliya … dia adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Dia ingin tahu alasan dirinya dilenyapkan sekaligus membersihkan namanya.“Berhenti melamun, El. Sepuluh langkah ke kanan, kampus keluarga Adrasta.”Nada Kael terdengar seperti komandan militer.Ingin rasanya Eliya mengutuknya jadi batu. Berisik sekali pria yang satu ini. Tapi misi ini adalah pembuktian, apakah ia cukup kuat untuk menyu












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments