“Harus berbeda. Karena dirimu yang lama sudah mati!”
Kael berdiri di pintu. Menatapnya tajam. Wajahnya benar-benar garang dan menakutkan. Tapi seiring langkahnya mendekat, Vara menyadari pria itu juga tampan. Luar biasa tampan malah.
“Bicara yang baik, Kael. Pasienku baru saja sadar. Kau membuatnya terkejut,” cela Dokter Diandra.
“Keluar, Di! Aku perlu bicara dengannya!” perintah Kael. Dokter muda itu merengut mendengarnya.
Oke, situasi ini benar-benar aneh. Seorang dokter diusir pergi oleh seorang berandalan dan anehnya dokter itu menurut saja. Meninggalkannya mereka berdua.
“Biarkan pintunya terbuka, Dok. Tolong!” Vara merengek. Berduaan di ruang tertutup dengan pria brutal sama sekali bukan pilihan bijak.
“Aku tidak minat aneh-aneh dengan zombie tripleks sepertimu, Nona!” Kael berdecak. Menarik sebuah kursi dan duduk di hadapannya. Dia bersedekap dan menatap Vara tajam seperti menerawangnya dengan sinar-X. Membuatnya jengah.
“Dengarkan dan jangan potong ceritaku!” katanya tegas.
“Tapi jawab dulu pertanyaanku!” Vara berusaha melawan tatapan mengintimidasi Kael. Lelaki itu tampak keberatan, tapi akhirnya dia mengiyakan dengan enggan.
“Apa?” tanyanya dengan nada membentak. Sorot matanya menajam. Vara hampir saja gentar. Tapi dia meneguhkan diri.
“Felix. Dia siapamu? Karena dia bagian dari orang-orang yang mencelakaiku di kapal itu. Aku tidak tahu apa kau tahu atau tidak. Tapi dia ... Jahat!”
“Dia tidak jahat, Nona! Dia mata-mataku!”
Vara ternganga. Matanya menatap ke arah pintu yang ditinggalkan Dokter Diandra dalam keadaan terbuka. Mencari kemungkinan untuk melarikan diri. Kael jelas bukan orang baik. Tapi lari darinya tidak hanya butuh kaki cepat. Tapi strategi matang. Kael bisa meringkusnya lagi dalam hitungan detik.
“Jangan salah sangka! Aku tidak terlibat dalam penculikanmu." Kael menambahkan penjelasan mungkin karena menangkap keterkejutan sekaligus ketakutan di mata Vara.
"Aku memasang mata-mata untuk mengawasi pacarmu karena dia dan keluarganya sama sekali bukan orang baik. Tapi Felix kecolongan, dan maaf atas wajahmu karena saat itu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi dia berhasil menghubungiku!”
Vara berusaha mencerna penjelasan yang sama sekali jauh dari kata jelas itu. Dia semakin bingung dibuatnya.
“Siapa kau, Kael?” Vara menatap lelaki berwajah Asia yang sedang memasang wajah dingin dan ekspresi sebal itu. Berusaha menentang sorot tajam matanya yang mirip tatapan elang pemburu.
“Nanti kau akan tahu.” Jawaban klise. Sialan. Vara mendengus.
"Kau lumayan juga," gumamnya sambil lalu. Membuat Vara melotot.
"Apanya yang lumayan?" Vara tidak bermaksud membentak, tetapi suaranya terdengar serupa bentakan.
"Lumayan kurang ajar dan pemberani. Aku suka itu!" Andai pria itu tidak terlalu jangkung dan berbadan kekar, juga bertampang seram, Vara pasti sudah memukulnya, tapi memukul Kael sama saja dengan cari mati tentunya.
“Kenapa menyelamatkanku?” Vara kembali mengajukan pertanyaan.
“Akhirnya pertanyaan yang masuk akal!” Kael tersenyum. Senyum itu tampak kejam tapi membuat wajahnya makin rupawan.
“Singkat saja. Karena kau berguna!”
Kesan baik Kael di mata Vara kembali runtuh. Jawaban itu entah kenapa membuatnya sedikit sakit hati. Benar-benar manusia nirempati. Dia diselamatkan hanya karena berguna. Luar biasa sekali lelaki ini.
“Maksudnya?” Suara Vara menajam.
“Aku punya masalah dengan keluarga pacarmu, masalah yang cukup besar. Aku ingin membalas mereka semua, dan kau senjata yang tepat.”
“Apa? Aku tidak mau. Aku bukan penjahat. Aku tidak akan membantumu merusak keluarga Pranata. Apalagi mengganggu Rheiner!” Vara melotot. Sejenak melupakan bagaimana kejamnya tunangannya itu. Insting pertamanya adalah melindungi Rheiner.
Kael menatapnya seolah dia baru saja bertingkah gila. Kemudian tawanya meledak. Terbahak-bahak, menepuk pinggiran ranjang pasien tempat Vara duduk.
“Apa? Kenapa kau tertawa?” tuntut Vara sakit hati karena ditertawakan.
“Lihat dirimu, Nona! Ingat apa yang putra Pranata itu lakukan padamu dan kau masih membelanya? Cinta memang bisa membuat orang benar-benar tolol! Tapi kau? Ckck, kau jauh di atas kata tolol, Nona!”
“Pasti ada penjelasannya! Rachel pasti menghasut Rheiner. Dia ... Dia berusaha menyelamatkanku waktu itu ....” Vara membela diri.
“Siapa yang menyelamatkanmu? Kunyuk Pranata itu? Gadis bodoh! Aku yang menyelamatkanmu, kalau-kalau kau lupa! Aku yang menyuruh Diandra mengusahakan perbaikan wajahmu. Dan itu tidak murah, Nona!” Ekspresi sebal kembali menghias wajah Kael.
“Aku akan kembalikan uangmu. Akan kucicil sampai lunas!” kata Vara, agar tidak direndahkan oleh Kael.
“Aku tidak butuh receh darimu, gadis panti!” Kael menggeram. Berdiri dan mencengkeram bahu Vara.
“Tapi aku tidak mau berbuat jahat pada Rheiner dan keluarganya, Kael!” Suara Vara melunak.
Kael menghela dan menghembuskan kasar. Dia mundur menendang kursi, menciptakan bunyi berdebam ketika kursi meluncur menabrak dinding.
Laki-laki itu tampak kesal sekali. Dia menatap Vara tajam, meski gentar Vara membalas pandangannya, berusaha keras tidak berkedip.
Kael mendengkus lantas keluar dari ruang rawat.
Vara menghela napas lega karena pria itu pergi. Dia benar-benar menakutkan dengan temperamennya yang meledak-ledak dan emosi yang jauh dari kata stabil.
***
“Suara gedebuk apa itu, Kael?” Diandra bertanya kesal. “Kau membuat pasienku kena gangguan mental!”
“Tutup mulutmu, Di. Pergi sana, urus pasienmu!”
Diandra tersenyum mengejek. Melangkah menghampiri Kael.
“Sepertinya setelah sekian lama, kau mendapatkan lawan seimbang, Kael. Dia seperti versi perempuan darimu. Keras. Jarang-jarang ada yang bisa membuatmu berapi-api begini!"
“Jangan mengada-ada, Dian. Dia pionku. Alatku balas dendam pada keluarga sialan itu. Tidak lebih!”
Kael melangkah pergi. Emosinya yang meledak-ledak membuatnya pening. Dia tidak mau kumat dan dilihat Diandra.
“Kael!” Diandra kembali memanggil. Membuat langkah Kael terhenti
"Hmm! Kael menoleh malas.
“Awas, jatuh cinta!” ejek sang dokter.
Kael mengepalkan tangan. Dia berbalik dan melotot pada Dokter Diandra.
“Satu kata lagi, Di. Aku tidak bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu pada rumah sakit kesayanganmu ini!”
" Oops, takuut!" Diandra melempar tatapan penuh ejekan dan beranjak meninggalkan Kael.
***
Sepanjang malam, Vara tidak dapat memejamkan mata. Berkali-kali dia melirik ke pintu. Hampir yakin Kael atau Felix akan muncul tiba-tiba di sana.
Pukul tiga dini hari. Vara memutuskan keluar dari tempat itu. Dia bukan orang yang tak tahu terima kasih, tapi dia tidak sanggup jadi pembalas dendam dan membuat kekacauan di keluarga Rheiner.
Vara sempat heran karena Kael ternyata tidak memasang penjaga untuk mencegahnya melarikan diri. Apa Kael menganggapnya sebodoh itu sehingga tidak terpikir bahwa dirinya akan kabur?
Ah, persetan. Dia harus pergi dari sini. Menghubungi Ayuna, memviralkan kejahatan Rachel. Dia tidak akan membiarkan Rachel mendekati kekasihnya dan mencuci otaknya.
Rumah sakit lengang. Setelah meminjam ‘tanpa izin' pakaian di loker ruang ganti perawat, dia tidak kesulitan mengelabui satpam.
Vara berhenti di sebuah warung makan. Wangi nasi goreng menyeruak indra penciuman dan membuat cacing-cacing di perutnya menari. Dia lapar. Tapi tentu tak punya uang sepeser pun.
“Maaf, Bu. Boleh pinjam hape? Saya baru keluar dari rumah sakit, hape dan dompet saya hilang. Mau telepon kakak saya.”
Vara berbohong pada ibu pemilik warung. Wanita berdaster itu menatapnya curiga sesaat tetapi kemudian tatapannya berubah iba melihat wajahnya yang terbungkus perban.
Vara menekan nomor Ayuna. Tidak aktif. Dicobanya lagi beberapa kali, tetap tidak aktif. Dengan putus asa, Vara meminta izin untuk membuka akun instagramnya melalui hape ibu itu.
“Hapus lagi aplikasinya kalo sudah. Penuh nanti memori saya!”
Vara mengangguk. Membuka i*******m. Bermaksud mengirim direct messege ke Ayuna. Tapi gerakannya terhenti melihat seliweran berita viral.
Pernikahan Rheiner dan Rachel Selina.
Vara hampir tidak percaya. Secepat ini? Baru tujuh bulan berlalu dan Rheiner benar-benar menikahi gadis jahat itu.
Vara mengklik berita itu. Membaca komentar-komentar yang sebagian besar menghujatnya. Memuji Rachel sebagai penyelamat hidup Rheiner. Memuja Rheiner yang tetap melanjutkan hidup dan menemukan cinta baru setelah dicampakkan oleh Elvara Rish di hari pernikahannya.
Hoax macam apa yang disebarkan Rachel? Sehingga sukses membuatnya jadi bulan-bulanan netizen?
Vara mengembalikan hape itu. Terduduk putus asa tak percaya. Dia tidak lagi punya power apa pun untuk menyerang balik Rachel dan memviralkan kejahatannya. Dia juga tidak punya bukti untuk melaporkannya ke polisi.
Panti. Ya. Dia bisa pulang ke panti.
Vara naik angkot menuju panti Sinar Fajar. Membayarnya dengan cincin emas yang masih menempel di jarinya. Meski bingung, supir angkot itu menerimanya ketika Vara turun.
Tapi tidak ada panti.
Hanya sisa bangunan yang hangus dilalap kebakaran.
“Mbak? Ngapain tengah malem di sini?” Vara mengenali laki-laki itu sebagai satpam rumah mewah yang berada tepat di seberang panti.
“Panti Sinar Fajar di mana ya Pak? Bukannya di sini?” Konyol benar memang mengharapkan dia salah alamat.
“Panti itu sudah ludes terbakar, Mbak. Enam bulan lalu. Anak-anak selamat, kecuali pengasuhnya yang namanya Madam Elya. Tidak sempat diselamatkan.”
Nggak. Nggak mungkin sampai sebrutal ini. Vara gemetaran, lututnya lemas dan tatapannya berkunang-kunang.
“Elvara?” Suara itu terdengar di belakangnya. Vara Mengenalinya. Dia hafal benar suara itu. Dia harus ambil langkah seribu. Dia tidak mau mati konyol.
Sebuah tangan mencengkram bahunya. Membuat langkahnya surut.
“Pewaris?” bibir El tanpa sadar berbisik lirih.Suara itu hampir saja terdengar, untunglah ia cepat menahan napas. Tangannya yang menggenggam ponsel mulai bergetar. Kata itu menggema di kepalanya, lebih menusuk daripada teriakan Kael sekalipun.Pewaris apa? Pewaris siapa? Itukah alasan dia dilenyapkan dengan begitu kejamnya?“Dia masih hidup, Rachel. Dia akan menghancurkan kita semua!”“Rhein, tolong hentikan! Jangan bawa-bawa orang mati lagi!” suara Rachel meninggi, tajam seperti kaca pecah. “Kalau kau terus begini, kau akan gila!”Eliya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Lidahnya terasa kelu. Ada getaran aneh di dada,.antara ngeri, penasaran, dan marah.Tiba-tiba suara Kael bergema di headset.“El, kau dengar itu?”Nada suaranya tenang, tapi di baliknya ada arus deras yang menekan.“Pewaris…” gumam El dalam hati.“Kau harus keluar sekarang,” perintah Kael. “Jangan bodoh, jangan berlama-lama di situ.”Tapi untuk pertama kalinya, Eliya tak langsung menuruti Kael. Ia tetap membungk
Akhirnya, Eliya berada di depan rumah itu. Rumah yang pernah menjadi istana impiannya. Ada hari-hari di mana dia mengkhayal menjadi nyonya rumah yang punya banyak pelayan di dalamnya. Menjadi Nyonya Rheiner Pranata.Eliya menggeleng. Dia tidak boleh meratapinya. Kael akan mencekiknya kalau dia terlihat lemah dan cengeng lagi.“El, kau dengar aku?”Nah kan. Suara Kael di headset memecah lamunannya.Ia menghela napas. El. Tiga bulan sudah ia mengenakan nama itu, tapi tetap terasa asing. Namun siapa yang berani membantah Kael?Bagi anak buahnya, dia raja. Bagi preman jalanan, dia dewa penyelamat. Bagi Eliya … dia adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Dia ingin tahu alasan dirinya dilenyapkan sekaligus membersihkan namanya.“Berhenti melamun, El. Sepuluh langkah ke kanan, kampus keluarga Adrasta.”Nada Kael terdengar seperti komandan militer.Ingin rasanya Eliya mengutuknya jadi batu. Berisik sekali pria yang satu ini. Tapi misi ini adalah pembuktian, apakah ia cukup kuat untuk menyu
Setelah perbannya dibuka, Elvara akhirnya melihat wajah barunya. Hal yang sempat membuatnya shock karena benar-benar tidak ada jejak wajah lamanya di sana. Wajah barunya memang lebih cantik, lebih tirus dan lebih sempurna, tapi tetap saja, dia merindukan wajah aslinya yang dihiasi jerawat dan bintik-bintik merah. Wajah yang polos dan membuatnya merasa hangat ketika membayangkan, bahwa wajah itu, memiliki jejak wajah ayah dan ibunya."Kau cantik sekali, El." Puji Dokter Diandra. Felix mengangguk setuju. Vara masih ketakutan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan pria itu. Tapi sejauh ini, Felix sama sekali tidak berusaha mencelakakannya. Jadi mungkin saja dia bisa dipercaya. Mungkin saja dia benar-benar ada di pihak Kael. Tapi susah sekali untuk meyakinkan diri setelah melihat berapa patuhnya pria berambut ikal itu pada Rachel.Kael mengirim dua orang untuk menjemputnya. Dia sama sekali tidak muncul untuk melihat wajah barunya. Siapa juga yang peduli laki-laki itu muncul atau ti
Vara hendak berbalik, tapi sebuah tusukan jarum mendarat di pundaknya. Entah apa yang disuntikkan ke tubuhnya, tapi cairan asing itu mengalir cepat, panasnya menjalar seperti ular api di bawah kulit. Napasnya terputus-putus, telinganya berdenging. Matanya berkunang-kunang.Suara Felix yang memanggilnya membuat Vara berusaha bergerak menjauh.Dia tidak boleh tertangkap lagi. Bayangan malam di kapal itu datang seperti kilatan teror, dingin air laut, dan rasa nyeri membakar, mendorongnya untuk terus bergerak.Dia menginjak kaki siapa pun yang berniat meringkusnya. Lantas berusaha lari.Berhasil. Tapi setelah beberapa langkah, dia tersandung sesuatu dan ambruk. Pandangannya gelap. Dan kesadaran meninggalkannya.***“Kau sudah bangun, tukang kabur?”Tanpa membuka mata, Vara tahu suara siapa itu. Tidak. Dia tidak mau kembali dalam cengkraman pria jahat itu lagi. Vara membuka mata, ternyata dia kembali berada di ruang rawat rumah sakit yang sama seperti sebelumnya.“Kenapa aku ada di sini? K
“Harus berbeda. Karena dirimu yang lama sudah mati!”Kael berdiri di pintu. Menatapnya tajam. Wajahnya benar-benar garang dan menakutkan. Tapi seiring langkahnya mendekat, Vara menyadari pria itu juga tampan. Luar biasa tampan malah. “Bicara yang baik, Kael. Pasienku baru saja sadar. Kau membuatnya terkejut,” cela Dokter Diandra.“Keluar, Di! Aku perlu bicara dengannya!” perintah Kael. Dokter muda itu merengut mendengarnya.Oke, situasi ini benar-benar aneh. Seorang dokter diusir pergi oleh seorang berandalan dan anehnya dokter itu menurut saja. Meninggalkannya mereka berdua.“Biarkan pintunya terbuka, Dok. Tolong!” Vara merengek. Berduaan di ruang tertutup dengan pria brutal sama sekali bukan pilihan bijak.“Aku tidak minat aneh-aneh dengan zombie tripleks sepertimu, Nona!” Kael berdecak. Menarik sebuah kursi dan duduk di hadapannya. Dia bersedekap dan menatap Vara tajam seperti menerawangnya dengan sinar-X. Membuatnya jengah.“Dengarkan dan jangan potong ceritaku!” katanya tegas.“
Air laut Samudra Pasifik menyambut tubuh Elvara seperti pelukan maut yang dingin dan buas. Gaun pengantinnya mengembang seperti kelopak mawar yang layu, terseret pusaran air yang menariknya ke dasar.Rasa sakit dari luka bakar masih membakar wajahnya, tapi kini ditambah dengan sensasi menusuk dari air asin yang masuk ke jaringan luka terbuka. Cairan laut menyusup ke kelopak matanya yang sudah tak bisa menutup, merangsek masuk ke bibir yang sobek, membakar tenggorokan yang mencoba menelan napas.Dia mencoba berenang, tapi dia sama sekali tidak tahu caranya. Tangannya bergerak tak tentu arah. Kakinya. mengepak pelan sia-sia. Kesadaran mulai meninggalkannya.Namun, di detik terakhir sebelum semuanya gelap, sesuatu merengkuhnya. Tangan dingin dan kuat menariknya ke permukaan.Ia tidak tahu itu nyata atau hanya delusi terakhir otaknya yang sekarat. Tapi saat tubuhnya keluar dari air dan udara kembali menerobos paru-parunya, ia menyadari satu hal.Ia masih hidup. Ia ingin hidup. Ia tidak ma