“Anda mengetahui terlalu banyak hal, Komandan! Atasanku menginginkanmu mati!”
Degh! Hegh!
Hitam.
***
Pagi ini hari Sabtu, di awal bulan September tahun 2020 terjadi demo besar-besaran mengelilingi area Departemen Kerakyatan Negeri Darlan. Lebih dari sepuluh ribu massa bergerak secara damai dari tugu kebangsaan hingga tepat berkumpul di tempat ini.
Barra Seno Dirgantara, seorang perwira muda berusia 30 tahun, berpangkat Kapten bertindak sebagai Komandan Pengamanan Khusus hura-hara. Dengan mengenakan baju dinas khusus lengkap dengan, sosok tersebut memantau jalannya pengamanan dari radio genggam lapangannya.
Matahari semakin merayap naik hingga mencapai puncaknya, peluh membanjiri siapapun yang saat itu berada di titik kumpul orasi penyeruaan suara rakyat digelar. Belum ada satupun perwakilan kabinet yang menindaklanjuti suara demonstran.
“TURUNKAN HARGA BBM, TOLAK TENAGA KERJA ASING DAN NAIKAN UPAH KERJA PRIBUMI!”
Demikian orasi yang menyeruakan hati rakyat. Sambutan antusias dari massa yang berkerumun di depan gerbang menggetarkan tanah pertiwi Darlan.
“Masing-masing komandan peleton, teruskan ke jajarannya, tetap kendalikan diri!” perintah Barra melalui radio genggamnya.
“Siap!”
“Siap!”
Lelaki tinggi dengan postur gagah melangkahkan kakinya berkeliling dari setiap pos satu ke pos lainnya, memastikan keadaan berjalan sesuai prosedur. Tiba-tiba, aksi berubah menjadi tidak terkendali.
Beberapa demostran menyerang pasukan blokade yang berjaga di sektor timur. Barra mendengar dari radio dan segera bergerak cepat menuju sasaran.
“TEMBAK!”
“TEMBAK!”
Trettet, tretet, tretet.
Tembakan peringatan tiga kali terdengar sebelum Barra sampai.
Keadaan semakin getting, teriakan dan jeritan wanita serta laki-laki terdengar, dan diikuti oleh teriakan melalui pengeras suara, penuh amarah.
“APARAT BAJINGAN! PEMBUNUH!”
“HENTIKAN TEMBAKAN!” perintah Barra sambil berlalri kencang. Wajahnya semakin terlihat merah dibawah panasnya sinar matahari. Peluh keringat membasahi kening yang menegang dibalik helm komando.
Sesampai di tempat tujuan.
Kericuhan terjadi, kini massa bersatu menyerang pasukan blokade. Barra menghampiri anak buahnya.
“Perintah siapa melepaskan tembakan peringatan!”
Tidak ada balasan.
“Kalian pembunuh!”
“Kami ini rakyat Darlan bukan musuh!” makian penuh amarah saling bergantian tertuju pada aparat yang saat itu bertugas.
“TENANG! TENANG!” seru Barra mengambil alin pengeras suara.
“Hai tentara kamu lihat! Kamu liat, kawan kami terluka terkena tembakan!”
Barra mengikuti tangan salah satu demontran, dan ternyata ada seorang wanita tergeletak di tanah dengan berlumuran darah.
“Medis! Medis! Pos Sembilan!”
Barra menghampiri korban, memeriksa denyut nadi. Beberapa orang bahkan memukul kepala lelaki tersebut.
Melihat sang komadan diserang, beberapa prajurit berlari melindunginya.
Barra tertegun saat memeriksa luka tembak yang mengenai dada wanita itu. Ada kejanggalan. Sebagai prajurit yang sudah beberapa kali memimpin penyerbuan terhadap gerakan separatis di perbatasan tentu saja dapat mengenali luka tembak tersebut.
Tidak peduli dengan sekitar, saat tim medis datang dan melakukan pertolongan pertama, Barra mengedarkan pandangannya menyapu setiap orang yang berteriak memprovokasi.
Matanya menatap tajam pada salah satu sosok yang terlihat paling antusias menyerukan penyerangan terhadap aparat keamanan.
“Semua jajaran lakukan pemeriksaan senjata, sekarang juga!”
Pasukan pengamanan dibawah komando Kapten Barra berjumlah lima ratus orang, bertugas membantu pihak kepolisian Darlan, yang kini mulai melepaskan tembakan gas air mata untuk menhatasi keadaan yang mulai memanas.
Tidak membutuhkan waktu lama, Barra menerima laporan tentang jumlah munisi yang ada di masing-masing prajurit yang memang dibekali oleh peluru hampa. Barra semakin yakin telah terjadi penunggangan dari pihak tertentu yang sengaja ingin memakai kekuatan rakyat untuk tujuan tertentu.
“Siap, ada apa, Dan?” seseorang berpakaian sama dengan Barra datang menghampiri.
“Siapa yang memberikan perintah tembakan?” tanya Barra lirih penuh kekuatan dalam, membuat nyali sang anak buah menurun.
“Siap, bukannya Anda yang perintahkan?”
“Apakah kamu tidak mengenali suara komandanmu sendiri?”
Sang anak buah terdiam dalam kebingungan. Barra memperhatikan ekspresinya, tidak ada kebohongan tersirat di wajah sosok komandan peleton.
“Ijin menghadap! Komandan, Anda diperintahkan menghadap Panglima Komando sekarang,” lapor salah satu caraka.
Kerumunan massa mulai membubarkan diri setelah Barra memastikan tidak akan ada penembakan dan akan menjamin keamanan mereka.
Kini dia harus mempertanggungjawabkan kejadian tersebut. Dengan auranya yang kuat, Barra melangkah menuju kendaran.
“Apa itu?” Barra mengambil sesuatu yang ada di tanah.
“Kelongsong munisi tajam? Aneh.” gumamnya sambil mengeryitkan dahi.
***
Sidang kode etik tentang pelanggaran hak manusia digelar secara tertutup khusus militer Darlan. Barra beserta sepuluh anak buahnya diamankan dalam rumah tahanan militer.
Barra Seno mengisi berita acara dan tetap bersikeras bahwa semua anak buahnya saat di tempat kejadian perkara tidak ada yang menggunakan munisi tajam. Tembakan pun di arahkan berlawanan dengan posisi massa demonstran.
Barang bukti yang ditemukan oleh lelaki itu seharusnya menguatkan kesaksiannya bersama sepuluh anak buahnya.
Namun, dalam pembacaan sanksi setelah hanya menjalani dua kali pemeriksaan, Barra dijatuhi hukuman kurungan selama empat bulan sementara anak buahnya menjalani hukuman selama enam bulan penjara.
Ironis sekali. Inikah keadilan.
“Ijin Jenderal, ada kejanggalan dalam kejadian ini,” ucap Barra pada salah satu petinggi dalam kemiliteran Darlan, sebelum dirinya dibawa pergi, masuk dalam tahanan.
“Maksudmu?”
“Saya menduga adanya konspirasi yang sengaja mengkambing hitamkan aparat negara, khususnya Militer Negeri Darlan.”
“Bukankah sudah diselidiki dan pradugamu tidak terbukti kebenarannya.”
“Siap, ini juga menimbulkan keanehan Jenderal. Kelongsong peluru itu seharusnya menjadi satu petunjuk untuk mengungkap konspirasi tersebut.”
Barra mencoba usahanya terakhirnya demi membela anak buahnya. Mereka memang lalai karena melepaskan tembakan, namun arah tembakan mereka sangat mustahil mengenai pendemo.
“Kapten, putusan sudah dijatuhkan! Silahkan ikut kami!” tegur seorang polisi militer, sarkas.
Barra terpaksa pergi. Dalam hati merasa berontak karena diperlakukan tidak adil.
Kecintaan terhadap negaranya, sosok Barra memiliki semangat juang melebihi teman satu angkatannya. Bahkan beberapa medali penghargaan sudah dia terima walau masa dinasnya baru seumur jagung.
Siapa yang tidak mengenal sosok muda bertalenta tinggi, di lingkungan dinas Barra dijuluki sebagai Jaguar, sebab ketajaman perasaan dan juga intuisinya.
Satu jam perjalanan berlalu, mobil tahanan khusus masuk pelataran lobi utama gedung bertuliskan ‘Rumah Tahanan Militer’.
Barra digiring masuk dengan pengawalan ketat, mengingat kemampuan bertempurnya yang hebat.
“Hei lihat. Jaguar Darlan ternyata juga jadi sampah!” seru salah seorang tahanan.
Barra menghiraukan semuanya, tanpa melihat. Wajahnya tetap terangkat keatas, langkahnya tetap tenang penuh karisma dan sorot matanya datar menatap ke depan.
“Ini bangsal sel Anda, Kapt.”
Barra mengangguk, masuk dalam kamar ukuran 3 x 3 meter. Pintu tertutup dan bunyi kunci terdengar.
Malam menjelang, sosok berbaju hitam masuk dalam sel Barra. Sebuah senjata telah terarah pada tubuh yang sedang tertidur, sebuah anak peluru pun bersarang dalam dadanya.
***
Setahun kemudian,
“Dimana aku?” Barra terbangun dan mendapati dirinya dalam sebuah kamar asing, dengan tangan masih dalam keadaan diinfus.
***
Selamat datang di karya pedanaku, semoga suka.. Please tinggalkan jejak komentar kalian agar author lebih baik lagi. Happy Reading.
Perlahan tubuhnya yang masih terasa kaku bangkit dari posisi tidurnya. Barra memerlukan beberapa waktu hingga sedikit demi sedikit ingatannya membentuk suatu puzzle tertaut sati demi satu hingga akhirnya dia dapat menmegingat kejadian terakhir. “Bukannya seharusnya aku mati,” gumamnya ketika bayangan sosok penembaknya muncul. Ya malam itu, Barra terbangun saat menyadari seseorang masuk dalam kamar tahanannya. Kemudian mata lelaki itu tertuju pada tumpukkan surat kabar yang tertata rapi di atas nakas, samping tempat tidurnya. Tangannya terulur spontan meraih salah satunya yang berada paling atas. “Hah, 13 September 2021?” Barra terkejut saat membaca tanggal surat kabar tersebut. Barra tertegun selama itukah dia tidak sadarkan diri. Lantas siapakah yang sudah merawat dan menyiapkan semua ini. Jelas dirinya bukan berada dalam kamar perawatan rumah sakit, berarti ada yang membawa dan menyembunyikannya di tempat ini. Dia pun melangkah setelah melepas selang infus. “Apa ada orang
Jack menatap tajam sosok gagah yang duduk di ujung, tersembunyi ketika awal dia masuk kabin tersebut. “Siapa yang Anda maksud?” tanya Jack. Sosok itu pun tersenyum, auranya sangat kuat terpancar dari wajah yang sudah berumur. Sorot mata Jack secara tidak langsung bertatapan dengan netra hitam milik lelaki itu. “Tentu saja kamu, Kapten Barra Seno Dirgantara. Apa Anda sudah melupakannya?” Kedua tangan yang tergantung mengepal secara refleks, menahan sakit yang kembali mendera. “Maaf, aku tidak mengenalnya. Mungkin Anda salah orang,” ucap Jack seraya memablikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar kabin itu. “Tunggu! Aku datang menawarkan sesuatu, setidaknya sebagai warga negara yang baik sudah seyogyanya turut andil dalam menyelamatkan negeri ini, dari peng-khia-natan.” Degh. Langkah Jack terhenti. Masih tetap memebelakangi sosok yang berbicara dengannya, Jack menunggu kata-kata selanjutnya. Baginya kata terakhir yang sengaja dieja perlahan dimaksudkan untuk menarik perhatai
“Apa maksud Anda, Kapt?” Danu kebingungan saat melihat rahang Barra mengeras dengan sorot mata diliputi amarah. “Di mana kamu berdinas sekarang?” “Siap, saya sekarang dialihkan ke detasemen kemarkasan daerah , Kapt.” Jack berdiam sejenak kemudian dia pun memberi intstruksi. “Tolong carikan aku nomor kontak Jenderal Ramses, atau prajurit wanita yang bernama Marissa. Setelah itu hubungi aku.” Jack mengeluarkan sebuah ponsel edisi lama hingga Danu terkejut ketika melihat alat komunikasi seorang atasan adalah tipe yang sekarang saja sudah tidak diproduksi lagi. Ingin tertawa tapi Danu menyadari penampilan Barra diluar prediksinya, dan dia tidak berani menanyakannya. Danu mengambil ponsel Barra dan memasukkan nomonya sendiri kemudian melakukan panggilan ke ponsel pribadinya. “Anda mengenal Jenderal Ramses, Kapt?” tanyanya seraya mengembalikan ponsel Barra. “Lekaslah kembali setelah memastikan istrimu dalam keadaan aman. Aku akan menghubungi setelah bertemu dengan Jenderal Ramse
“Sayang, ada apa?” Ramses menghentikan sang istri ikut cam pur dalam pembicaraan penting mereka. “Opss maaf. Mama cuma mau ijin bawa Icha saja kok,” jawab Mella seraya melempar senyum manja pada suaminya. Namun jelas terlihat bahwa itu hanya sandiwara saja, bukankah mereka baru saja datang. Ramses sangat tahu isi pikiran sang istri. Barra menanggukkan kepalanya sopan pada istri sang jenderal, sementara Marissa hanya diam saja menunggu perintah lebih lanjut. “Ya sudah, Mama ke kamar saja deh, Icha besok sore saja temani Ibu ke salon ya, besok malam ada pertemuan dengan ibu ketua.” Mella pun berbalik keluar dari ruangan sambil melemparkan senyum penuh arti pada Barra. Sekali lagi, Barra memberi hormat. “Maaf ada sedikit iklan lewat. Kita lanjutkan lagi. Icha tutup pintunya,” ucap Ramses sekaligus memberi perintah pada Marissa. Suasana kembali menjadi serius saat Ramses menyalakan laptop dang menampilkan suatu data pada layar barco yang begerak otomatis turun saat hendak digu
Acara kemeriahan panggung prajurit masih berlangsung namun Barra meninggalkan tempat tersebut. Bahkan beberapa prajurit yang ingin berkenalan dengannya terpaksa diabaikan karena Ramses memanggilnya.Saat Barra tiba bersamaan dengan Marissa yang baru keluar dari ruangan Jenderal Bintang Tiga tersebut.“Selamat siang, Kapt. Anda ingin menghadap Bapak, Kapt?” tanya Marissa seraya tersenyum.Melihat senyuman prajurit wanita tersebut membuat Barra tidak suka.“Apakah selalu demikian kamu menggunakan kecantikanmu untuk menggoda laki-laki?” ujar Barra sarkas.Spontan senyum Marissa hilang dan berganti dengan raut wajah terkejut,“Hah? Apa maksud Anda, Kapt?”Alih-alih menjawab, Barra justru melewati tubuh Marissa dan mengetuk pintu ruangan Ramses. Lelaki gagah yang sialnya memiliki wajah sempurna itu mengabaikan tatapan Marissa. Wanita itu pun hanya menarik napas dan menggelengkan kepala.Selalu salah, batin wanita berusia 25 tahun itu.Tiba-tiba ponsel Marissa berbunyi. Tanda indica
Proses pengisian bahan bakar si pengendara berjaket hitam selesai. Dia segera menghidupkan motornya dan melaju pergi keluar dari area pom bensin.Demikian juga mobil dinas Barra mulai beranjak keluar dari area pengisian bahan bakar, dan kini melaju ke jalan utama. Namun tidak terlihat satu pun pengendara yang berjaket hitam itu.“Bang, mereka sudah tidak ada.”“Hmm.”Kembali Barra mengecek GPS, setelah melalui pertigaan tidak ada lagi fasilitas umum. Barra berpikir sejenak, perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu, sebelumnya dia pernah merasakan hal itu.“Kita ke mana, Bang?” tanya Danu.“Belok kanan.”“Yakin Bang?” Danu menoleh pada Barra.Jalan yang akan dilalui merupakan jalan sepi yang akan menuju ke pegunungan sehingga dalam jarak tertentu tidak akan ditemui perkampungan. Kiri kanan di penuhi dengan kebun kelapa yang sawit.“Ya, aku tahu.”Tekanan suara Barra penuh misteri. Danu hanya bergidik sendiri mendengarnya. Selama ini seniornya terlalu sulit ditebak ketika men
Mobil yang membawa istri dari Jenderal Ramses memasuki lobi utama Griya Anggrek, suatu gedung pertemuan bagi istri petinggi militer di Negara Darlan. Hanya orang yang memiliki kartu pengenal tertentu dapat masuk ke area gedung dengan pengamanan ketat.Marissa membuka jendela depan dan menunjukkan kartu pengenalnya sekaligus menyebutkan siapa yang berada bersamanya.“Nyonya Mella Ramses tiba di Griya,” lapor salah seorang penjaga gerbang.Setelah proses pemeriksaan mobil mewah berwarna hitam itu pun diijinkan masuk, hingga tiba di depan lobi utama dan Marissa dengan gerakan cepat turun dari kendaraan, membuka pintu penumpang.“Selamat datang Nyonya Ramses,” sapa seorang wanita dengan penampilan yang glamour. Mella tersenyum dan menerima uluran tangan wanita tersebut.“Ibu, ruangan ganti ada di sebelah kiri,” ujar Marissa pada Mella, mengingatkan.Rupanya ucapan Marissa tidak disukai oleh wanita yang menyambut Mella, dengan tatapan sinis wanita tersebut menatap tajam pada Marissa.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Makan malam telah usai dan kini mereka semua berkumpul di ruang keluarga.Mella menangis mendengar cerita dari beberapa pelayan yang menghubunginya lewat telepon. Ramses tidak habis piker mengapa Barra begitu membenci Marissa hingga tega menodongkan senjata.“Barra ada apa ini?”Sebelumnya Ramses meminta beberepa pelayan bercerita, dan kemudian menyuruh para pelayan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yang tersisa adalah Ramses, Mella, Barra, Marissa, Danu dan Rangga.Suara televisi sudah dimatikan, keheningan menyelimuti saat mata Ramses memandang satu per satu anak muda yang sudah dianggap sebagai anaknya semua.“Jelaskan padaku alasanmu menodongkan senjata pada Marissa,” ujar Ramses berwibawa.Barra menarik napasnya sejenak, lalu melirik ke arah Marissa yang tertunduk.“Seminggu yang lalu, saya diserang oleh pengendara motor. Dan kemudian saya menyelidiki hal tersebut, dengan meminta rekaman CCTV jalan raya. Saya menemukan kenyataan jika