"Vidia? Kau mau membawa anakku ke mana?"
Chloe Valencia yang baru saja terbangun dari tidurnya, menatap bingung pada sahabatnya yang tengah memindahkan bayinya ke dalam boks dorong dengan tergesa. Dua hari yang lalu, setelah melalui persalinan yang panjang, Chloe melahirkan lima anak kembar sekaligus. Kebingungannya berubah menjadi panik saat Chloe menyadari bahwa tiga dari lima ranjang bayinya kini sudah kosong, hanya menyisakan dua bayi di ranjang masing-masing. Sementara tiga bayi lainnya sudah dipindahkan ke dalam boks dorong yang dibawa oleh Vidia. "Tunggu, Vidia!" seru Chloe saat melihat Vidia bergegas ke arah pintu sambil mendorong boks bayi tersebut. Chloe berpegangan pada tepian ranjang dan terbungkuk memegangi perutnya yang perih bekas jahitan operasi. "Kau mau membawa mereka ke mana?!" serunya panik. "Aku akan membawa mereka pergi bersamaku,” kata Vidia ringan. Seolah itu adalah hal yang sangat lumrah untuk dikatakan. “Apa maksudmu?” tanya Chloe cemas. “Ini sudah tengah malam!” Vidia mendengkus. “Selama delapan bulan kau tinggal denganku, kau pikir itu gratis?" katanya dengan wajah sinis. Chloe benar-benar bingung sekaligus tak percaya. Wanita yang ada di hadapannya kini seolah bukan Vidia, bukan sahabat yang selalu menemaninya dalam suka maupun duka. Wanita itu seperti orang lain, yang menyimpan benci yang terlihat jelas lewat tatapan matanya. “Anggap saja bayi-bayimu ini adalah bayaran atas kebaikanku padamu!” kata Vidia, kemudian mendorong boks bayi itu keluar dari kamar inap yang ditempati Chloe. "Tidak, tidak, Vidia. Tunggu—akh!" Chloe meringis memegangi perutnya. Namun, ia berusaha berjalan dengan menyeret kakinya, mengabaikan nyeri hebat di bagian perut. Sakit ini sama sekali tidak sebanding dengan rasa kecewa dan takut yang menyelimuti hati Chloe. Ia tidak menyangka Vidia akan melakukan hal ini. Setahun yang lalu, tepat di malam kelulusannya, Chloe dijebak hingga akhirnya ia menghabiskan satu malam panas dengan pria asing. Chloe tidak tahu siapa yang telah menjebaknya. Ia juga tidak tahu siapa laki-laki yang telah menidurinya. Orang tua angkatnya mengusirnya dari rumah saat mereka tahu Chloe hamil tanpa suami. Vidialah yang menolong Chloe dan mengajaknya tinggal bersama di Nantes. Vidia membantunya bangkit dari keterpurukan, hingga akhirnya Chloe berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai asisten dokter di rumah sakit yang sama dengan tempatnya melahirkan ini. Tapi mengapa Vidia melakukan ini? Bagaimana mungkin, orang yang selama ini ia anggap teman baik, justru tega membawa lari ketiga bayinya?! "Jangan bawa anak-anakku, Vidia!" seru Chloe berjalan dengan kaki gemetar. Air mata jatuh membasahi pipinya. Dadanya terasa nyeri. Baru dua hari yang lalu ia melahirkan kelima bayinya dengan taruhan nyawa, bahkan rasa sakitnya belum sirna, tetapi kini anak-anaknya diambil begitu saja oleh orang yang ia kira tulus kepadanya. "Vidia, apapun yang kau inginkan akan aku berikan, tapi jangan bawa anak-anakku!" Namun, seruan putus asa itu hanya bergema di ruangan yang sepi. Sosok Vidia yang membawa ketiga anaknya sudah tidak terlihat lagi. Chloe terduduk di lantai yang dingin, meraung meminta tolong pada kesunyian malam. "Kembalikan anakku!" Chloe menangis histeris di ambang pintu kamar rawat inapnya. Suara tangisannya diikuti oleh tangisan dua bayi kembar laki-lakinya yang masih berada di dalam ranjang bayi. "Tolong! Dokter ... Suster!" teriak Chloe, ia bersimpuh di lantai menahan sakit di perut dan juga hatinya melihat anaknya dibawa pergi. Dari ujung lorong, pintu kaca buram terbuka. Tampak beberapa dokter dan perawat segera berlari cepat ke arahnya. Mereka semua tampak panik mendengar jeritan tangis di tengah malam. "Chloe, apa yang terjadi?" Dokter Amelia—atasan Chloe—bergegas mendekatinya dan merangkulnya. "Vidia membawa ketiga bayiku, Kak Amelia! Anakku dibawa pergi!" tangis Chloe pecah, ia lunglai dalam pelukan Amelia. Para dokter dan suster yang berada di sana pun terkejut mendengarnya. Kamar inap Chloe berada di ujung lorong, cukup jauh dari tempat perawat berjaga sehingga mereka tidak mendengar keributan sebelumnya. "Cepat kejar! Laporkan pada pihak berwajib!" seru seorang dokter laki-laki di sana. Suasana seketika menjadi heboh. Tapi Chloe sudah tidak memiliki tenaga bahkan untuk menegakkan tubuhnya. Hatinya hancur melihat tiga dari lima anaknya dibawa kabur. Padahal, mereka adalah alasan mengapa Chloe ingin tetap hidup. "Anak-anakku…!" Chloe mengepalkan kedua tangannya dan memukul-mukul lantai. "Chloe, tenangkan dirimu. Vidia pasti tertangkap," ujar Amelia kembali memeluk dan menenangkannya. Chloe menatap nanar tiga ranjang bayi yang sudah kosong. Sedih saja tidak cukup untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Ia hancur. Namun, tangisan dua bayi laki-lakinya yang tersisa menyadarkan Chloe. Ia menatap mereka dengan perasaan tidak karuan. Tidak … ia tidak boleh hanya diam dan membiarkan kesedihan ini menelannya terlalu lama. Ada dua anaknya yang lain yang saat ini sangat membutuhkannya. Chloe masih punya mereka. Dan dua bayi tidak berdosa itu kini hanya bisa menggantungkan hidupnya pada Chloe saja. Wanita itu terdiam dengan tangan mengepal erat. "Aku akan mengambil anakku kembali, Vidia," geramnya lirih. Suaranya dipenuhi oleh sebuah tekad. "Aku akan membalas perbuatanmu!""Mommy sakitnya jangan lama-lama ya, Princess tidak punya teman kalau Mommy sakit. Princess sedih..." Adele cemberut dan mencebikkan bibirnya sedih saat melihat Chloe berbaring di atas ranjang kamarnya bersama Adele yang kini menemaninya. Ada rasa bersalah di dalam hati Chloe, seharusnya semalam ia dan Caesar memang tidak melakukannya. Melihat anak-anaknya khawatir seperti ini membuat Chloe tidak enak hati, sekalipun mereka anak-anaknya sendiri. "Maafkan Mommy ya, Sayang. Mommy tidak apa-apa, Mommy hanya kurang tidur saja," jawab Chloe mengusap pipi Adele. "Kurang tidur? Memangnya semalam Mommy tidak tidur, ya?" tanya anak itu dengan polosnya. "Mommy ... Mommy tidur kok. Hanya saja, Mommy 'kan tidak enak badan," jawabnya. "Mommy harus cepat sembuh." Adele mengulurkan tangannya memeluk Chloe dan anak itu meringkuk dalam pelukan Chloe sambil merengek-rengek. Chloe mendekapnya hangat dan menyelimuti tubuh Adele. Cuaca bulan ini memang sangat dingin. Chloe memperhatikan Caesar yan
Udara yang hangat menyelimuti Chloe. Namun, wanita itu merasakan tubuhnya sangat lelah. Lelah yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata dan tertinggal sensasi tidak nyaman pada pangkal pahanya saat ini. Wanita cantik itu membuka kedua matanya dan telapak tangannya menyentuh dada bidang Caesar yang keras. Begitu ingatannya terkumpul sempurna, Chloe melebarkan kedua matanya mengingat kejadian beberapa jam yang lalu bersama Caesar. "Hah? Ya ampun..." Wanita itu membekam mulutnya dan menyandarkan keningnya pada dada Caesar. "Apa yang sudah aku lakukan?" "Kau tidak melakukan apapun," bisik Caesar tiba-tiba, laki-laki itu menundukkan kepalanya mengecup pucuk kepala Chloe. Suara Caesar yang pelan dan berat membuat Chloe merinding. Sontak, ia mengangkat wajahnya dan mendorong pelan dada bidangnya. "Caesar..." "Tidak apa-apa, tidak usah gugup begitu," jawab Caesar tersenyum. Kedua pipi Chloe merona dan itu tampak sangat indah di mata Caesar. Chloe menundukkan kepalan
Dada Chloe berdebar-debar hebat saat Caesar membawanya masuk ke dalam kamar dan merebahkannya di atas hamparan ranjang mewah dan luas. Bahkan laki-laki itu tidak beranjak dan mengungkungnya. Chloe tidak bisa menepis pesona laki-laki yang berusia tujuh tahun lebih dewasa darinya tersebut. Wajahnya terasa panas saat Caesar mengelus pipi Chloe dengan jemari tangannya yang hangat. "Kenapa wajahmu tegang begini, hm?" tanya Caesar lembut. "Kau bilang tadi kita harus pindah?" Wajah cantik Chloe memerah seperti kepiting rebus. Ia mengalihkan tatapannya dari Caesar. "Ka-kau tidak berniat melakukan hal itu, kan?" tanyanya. "Entahlah, sepertinya begitu," jawab Caesar, laki-laki itu mendekati wajah Chloe dan mengecup pipinya dengan gemas. Terasa jemari tangan Chloe yang menyentuh bahu kokohnya. Chloe mengerjap kedua matanya cemas. "Ka-kalau si kembar bangun, bagaimana?" cicit Chloe. "Tidak akan." "Tapi Caesar, aku—"Ucapan Chloe seolah tertelan saat Caesar tiba-tiba mencium bibirnya leb
Chloe dan Caesar tiba di rumah saat hari sudah hampir larut malam. Rumah sangat sunyi dan sepi. Chloe yang baru saja membersihkan tubuhnya, wanita itu keluar dengan balutan gaun tidur panjang berwarna biru dan memakai cardigan putih sebagai penutup pundaknya. Rambut hitamnya yang panjang digerai oleh Chloe, ia berjalan menuruni anak tangga menuju dapur. Namun, saat tiba di sana, Chloe melihat Caesar yang duduk di ruang keluarga sendirian, ditemani sebotol minuman anggur di atas meja. Chloe tahu, diam-diam Caesar selalu menyimpan meminum itu, dan menyembunyikannya dari anak-anak. "Kau belum tidur?" tanya Chloe berjalan mendekatinya. Caesar menoleh cepat saat mendengar suara Chloe yang lembut menyapa pendengarannya. "Belum. Aku tidak bisa tidur, entah mengapa ... rasanya sangat lelah," ujar Caesar menyandarkan punggungnya di sofa dan menatap Chloe yang berdiri di sampingnya.Laki-laki itu mengulurkan tangannya ke arah Chloe. "Kemarilah, duduk di sampingku," pintanya. Tanpa menjawa
"Ja-jadi, si kembar baru sekolah satu hari sudah diskors selama satu Minggu?! Oh My God! Mereka memang the best, Chloe! The best-nya anak-anak nakal!" Amelia tercengang memegang kepalanya, sekaligus menahan tawa saat mendengar Chloe bercerita padanya malam ini, saat mereka baru selesai jam kerja. Chloe menganggukkan kepalanya sambil berjalan bersama Amelia di lorong rumah sakit. "Iya, Kak. Bayangkan seberapa stressnya aku memikirkan mereka," jawab Chloe sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dylan dan Diego, mereka malah semakin nakal setelah bertemu Papanya." "Namanya juga anak-anak, Chloe. Setidaknya, aku merasa sangat senang melihatmu dan Caesar rukun. Anak-anak juga bahagia menemukan rumahnya," jawab Amelia. "Iya, Kak. Meskipun awalnya aku ingin mempertimbangkan Caesar lebih lama lagi, tapi ... melihat anak-anak aku tidak tega sendiri." "Anak-anak jauh lebih penting Chloe. Jangan menjadikan ego kalian sebagai kendali. Takutnya anak-anak menjadi korban. Anak kecil yang tidak
Chloe dan Caesar tiba di sekolah si kembar, semua guru menjelaskan apa yang terjadi pada anak-anak tersebut. Hingga mereka diminta untuk pulang dan menenangkan diri lebih dulu. Bahkan parahnya, si kembar Dylan, Alvino, dan Diego tidak boleh bersekolah dulu selama satu minggu. Hal itu membuat Chloe sangat malu, sekaligus pusing dengan ketiga anaknya. Kini, mereka berlima dibawa pulang oleh Caesar ke kediamannya. Caesar sudah menduga kalau Chloe pasti akan marah. "Ayo sini, Mommy mau tanya satu-satu!" seru wanita itu dengan wajah memerah menatap ketiga anaknya yang kini berdiri berjajar sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Penampilan ketiganya berantakan, tidak rapi lagi. Tapi mereka tidak ada yang menangis meskipun wajahnya sampai ada yang memar dan babak belur, benar-benar tidak kenal rasa takut. "Kenapa bisa sampai bertengkar di sekolah seperti tadi? Kalian tidak bisa, menyelesaikan masalah dengan baik-baik?" tanya Chloe menatap ketiganya. "Mom, Mommy ... jangan dimarahi,