Lima Tahun Kemudian.
"Diego ... ayo, Sayang! Jangan marah dong, anak tampannya Mommy. Itu Dylan sudah menunggu." Chloe menatap salah satu anak laki-lakinya yang tampak merajuk. Anak kecil itu bersedekap dengan bibir mengerucut di tengah kerumunan orang di bandara internasional Paris. Dengan sabar, Chloe mendekatinya dan membungkukkan badan untuk mensejajarkan tatapannya dengan si kecil. "Tadi sebelum berangkat, Diego sudah janji pada Mommy untuk tidak nakal, kan?" Chloe mengusap pucuk kepala anak tersebut. "Diego ‘kan sudah bilang tidak mau ke sini! Ayo kembali ke Nantes, Mom!" seru anak itu menggembungkan pipinya yang memerah. Berbeda dengan kembarannya yang merajuk, Dylan—si sulung yang merasa sudah dewasa, bersedekap dengan alis mengerut tajam, menatap jengah pada kembarannya. Tangannya memegangi koper kecil miliknya dan kembarannya. "Cih! Anak kecil memang selalu saja merepotkan!" ketus Dylan, seolah mereka tidak seumuran. Wajah Diego semakin keruh. "Kakak, kita hanya beda beberapa menit! Kau juga masih anak kecil!" balasnya dengan suara memekik kesal. “Tidak sama. Aku tidak suka merajuk sepertimu karena aku lebih dewasa!” kata Dylan sinis. “Huh! Kakak menyebalkan! Diego tidak suka!” serunya sambil menghentak-hentakkan kedua kaki di lantai bandara Chloe menghela napas. Ia segera memeluk si kecil yang tengah tantrum setelah perjalanan yang cukup panjang. Kedua anaknya memang kembar, tetapi mereka memiliki perbedaan sifat yang sangat mencolok. Diego mudah merajuk, cerewet, dan juga hangat pada Chloe. Berbeda dengan Dylan yang sedikit dingin dan selalu bersikap sok dewasa karena dia seorang Kakak. Lima tahun membesarkan mereka berdua dan hidup bertiga di Nantes, Chloe selalu berusaha menjadi sosok Mama yang kuat untuk mereka. Chloe memperdalam pendidikannya di bidang kesehatan. Berkat kepintarannya, juga kebaikan hati Amelia—temannya yang membantunya—mengantarkan Chloe pada kesuksesan. Ia berhasil menjadi seorang Dokter Spesialis Anak yang hebat dan cukup terkenal karena kinerjanya yang baik. Bahkan, Chloe mendapatkan promosi ke rumah sakit ternama di Paris, karena itu hari ini ia kembali ke kota tempat kelahirannya tersebut. Tidak hanya untuk kariernya, kedatangannya ke Paris juga untuk mencari Vidia yang telah membawa ketiga anak kembarnya lima tahun lalu. Setelah Chloe mencari tahu, ternyata alasan Vidia membawa ketiga anaknya tak lain untuk meminta pertanggungjawaban pada seorang presdir perusahaan terkemuka di Prancis, yaitu Caesar Leopold. Pria itu yang telah menghabiskan malam panas dengan Chloe beberapa tahun yang lalu. Dialah ayah kandung quintuplets—si kembar lima. Vidia mengaku sebagai gadis yang ditiduri Caesar. Karena itu, Caesar menikahinya. "Mommy, kopernya biar Dylan yang bawa. Mommy tenangkan saja si cengeng daripada tangisannya mengguncang bandara," ujar Dylan. Lamunan Chloe buyar mendengar suara Dylan. Putra kecilnya itu meraih gagang koper di tangannya. "Tapi ini berat, Sayang," kata Chloe, hendak meraihnya kembali sambil menggendong Diego yang masih merajuk. Tapi Dylan menggeleng dan menatapnya serius. "Mom, Dylan sudah besar. Menyeret koper itu urusan kecil," ujarnya dengan nada sedikit ketus, seolah Chloe telah menyinggungnya. Chloe terkekeh melihat raut Dylan yang justru tampak gemas di matanya. “Baiklah kalau begitu. Kakak Dylan yang bantu Mommy. Terima kasih ya, Sayang.” "Chloe...!" Suara teriakan itu membuat Chloe menoleh. Seorang perempuan melambaikan tangan dari arah pintu masuk kedatangan. Chloe tersenyum lebar dan membalas lambaian tangan wanita itu. Dia adalah Amelia, rekan dokter sekaligus teman yang banyak membantu Chloe selama berkarier beberapa tahun di Nantes. Amelia berjalan ke arah mereka. Chloe langsung memeluknya dengan erat. "Ya ampun, Kak Amelia, bagaimana kabarmu? Aku sangat merindukanmu." Amelia melepas pelukan mereka. Wajahnya tampak sumringah. "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, Chloe." Wanita itu beralih menatap si kembar yang cemberut padanya. "Astaga! Aku belum menyapa dua keponakanku yang manis-manis ini. Diego yang mana dan Dylan yang mana?" "Diego yang paling tampan dan manis, Tante. Anak Mommy yang paling hebat!" jawab Diego sambil mengangkat botol susu kotak yang ia minum. "Aku tidak butuh pengakuan, tampangku sudah membuktikan kalau aku bibit unggul Mommy!" sahut Dylan sambil membenarkan posisi kaca mata hitam yang ia pakai. Amelia tertawa geli melihat tingkah gemas mereka. "Iya, iya, kalian berdua sama tampannya, kok." Tatapan Amelia yang begitu hangat dan bahagia, perlahan berubah menjadi terenyuh. Amelia kembali menatap Chloe. "Harusnya, kau hidup berenam dengan mereka, Chloe," ujar Amelia. Wajah Chloe menjadi mendung mendengarnya, teringat ketiga anaknya yang entah bagaimana keadaan mereka sekarang. "Karena itu aku datang ke Paris. Selain untuk bekerja, aku juga ingin mengambil anakku dari Vidia," kata Chloe bertekad. Amelia mengangguk. "Omong-omong, apakah berkas surat kerjamu sudah kau kirimkan ke manajemen rumah sakit?" "Sudah. Mulai malam ini aku bisa langsung bekerja." "Baguslah, kalau begitu. Ayo, aku antarkan kalian pulang ke rumah baru kalian di Paris! Let’s go, boys!" Amelia menggiring Dylan dan Diego untuk berjalan ke arah parkiran mobil. Chloe menatap pemandangan sekitar dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. Ia sudah siap mengambil kembali harta berharganya yang dicuri. Dadanya berdebar-debar, tak bisa membayangkan rasa senang berjumpa dengan ketiga anak kembarnya yang bertahun-tahun terpisah darinya. “Anak-anak, Mommy telah datang. Mommy tidak sabar ingin memeluk kalian bertiga.”Setelah memeriksa anaknya, Chloe menemui Caesar di ruangan pribadi milik laki-laki itu. Kini, ia tengah duduk berhadapan dengan Caesar di dalam ruangan yang dipenuhi dengan rak dokumen dan meja kerja yang penuh dengan berkas-berkas. Berdua dengan Caesar membuat atmosfer yang menyelimuti Chloe terasa menipis. Rasa canggung, gugup, dan takut bercampur aduk menjadi satu dalam dirinya. Chloe masih memegangi cangkir keramik berisi teh melati yang masih hangat. "Sepertinya, kondisi Alvino sudah stabil saat ini. Tapi, aku masih perlu sering memeriksanya," ujar Chloe tiba-tiba memecah hening. Caesar diam tidak menjawab. Sepasang mata dengan iris hitam dan tajam itu menatapnya lekat dan dalam, seolah melucuti rasa takut di dalam kepala Chloe. Wanita itu tertunduk gugup. "Ke-kenapa kau menatapku seperti itu?" cicit Chloe. "Kau berasal dari Nantes?" Caesar membuka suara tiba-tiba. Kedua mata Chloe melebar, jemarinya meremas pegangan cangkir keramik putih yang ia bawa. "Nantes ... berarti
"Mommy kenapa datang ke sini, ini 'kan hari libur?" Diego panik melihat Chloe datang, karena dia bukan Alvino dan ia juga tidak sakit. Anak itu berdiri menatap Chloe yang tersenyum padanya. Tetapi, Diego yakin kalau Alvano dan Alvino pasti cerita pada Chloe tentang siapa masing-masing dari mereka. Menanggapi pertanyaan Diego, Chloe hanya memberikan senyuman manis pada anak-anaknya itu. Ternyata benar, anak-anaknya memang berada di sini, Chloe paham betul dengan Dylan yang memakai kacamatanya. "Mommy datang ke sini untuk menyuntik anak-anak yang nakal," jawab Chloe sambil menatap ketiga wajah gemas anak-anaknya. "Hah? Apa?!" Dylan, Diego, dan Adele terkesiap dan terkejut mendengarnya. Chloe menekuk kedua lututnya di hadapan mereka bertiga sambil tetap tersenyum. Hingga dari arah depan sana, terlihat Caesar muncul dan berjalan ke arah Chloe dan ketiga anaknya. "Dokter Chloe," sapa Caesar pada wanita itu. Chloe tersenyum dan kembali menegakkan tubuhnya. "Tuan Caesar, selama pagi
Keesokan paginya, Chloe membawa Alvano dan Alvino ke kediaman Amelia. Hari ini, ia ingin menitipkan kedua anaknya di sana. Chloe terlihat murung. Raut wajahnya yang sembab dan lesu menunjukkan dirinya berada dalam posisi yang membingungkan saat ini. "Jadi, selama ini mereka sudah tahu kalau mereka kembar lima, Chloe?" tanya Amelia pada Chloe. Chloe mengangguk pelan. "Iya, Kak. Aku saja yang lalai selama ini." Amelia terkejut, wanita itu menatap dua anak yang tampak anteng bermain di teras. Perbedaan sikap anak-anak Chloe yang mencolok, kalau Dylan dan Diego, pasti mereka sudah heboh bila tiba di rumah Amelia. Tetapi Alvano dan Alvino benar-benar kalem dan patuh. "Aku tidak bisa diam saja, Dylan dan Diego pasti suka membuat onar di rumah Caesar. Aku harus mengambil mereka dalam hari-hari ini, Kak Amelia," ujar Chloe tiba-tiba. "Iya, Chloe. Tapi pasti sulit untukmu masuk ke dalam sana bila tanpa alasan." Chloe diam sejenak. Wanita itu meraih tas miliknya dan ia meraih ponselnya
Keesokan paginya, di kediaman Caesar tampak seperti biasanya. Ketiga anaknya, dan juga istrinya berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Semalaman penuh Caesar tidak bisa tidur, ia terus memikirkan anak laki-laki di hadapannya kini. Anak yang tidak lepas dari kacamata itu. Jelas-jelas dia bukanlah Alvano karena Alvano tidak suka memakai aksesoris apapun selain gelang jam. "Sayang, makan yang banyak ya, anak-anak Mami," ujar Vidia pada mereka semua. "Iya, Mami," jawab Adele sambil mengambil sendoknya. Di samping Adele, ada Diego yang menatap cemberut telur goreng di atas piringnya. "Kenapa telurnya diorak-arik? Aku kan minta telur mata sapi, Bi!" seru anak itu pada pelayan. "Loh, iya kah? Bibi lupa, Tuan," ujar pelayan itu. "Huwaa ... Bibi! Aku mau telur mata sapi," rengek Diego mendorong piringnya. "Iya, Tuan Kecil. Sebentar, ya ... Bibi siapkan minum untuk Nona Adele dulu." "Aku maunya sekarang, Bi!" pekik Diego lagi. "Sabar, Sayang..." Caesar menatap anaknya. "Yahhh, Dadd
Dylan tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya pada Caesar saat Papanya itu bertanya siapa dirinya. Caesar menuruti insting anak kecil itu, ia menjabat tangan Dylan dan menatapnya penasaran. "Anakmu, yang kau lupakan," jawab Dylan dengan serius. Alis tebal Caesar bertaut. "Jangan bercanda, aku tahu kau bukan anakku yang biasanya." Salah satu alis tebal Dylan terangkat dan menatapnya memicing. "Kenapa? Panik, ya?" "Nak—""Intropeksi diri dulu sebelum mencari tahu siapa aku! Sudah jelas-jelas berbeda seperti ini kok masih tidak tahu! Sama anak sendiri bisa lupa! Hemhh ... payah seperti itu kok mau dipanggil Daddy! Tidak level!" Dylan turun dari sofa sambil mengomeli Caesar yang kini berdiri tercengang melihatnya. Anak itu berjalan ke arah tangga, sebelum dia menghentikan langkahnya dan menatap Caesar. "Daddy lebih baik duduk dan ingat-ingat, siapa yang pernah Daddy tinggalkan dan Daddy sakiti! Dengan begitu, Daddy tahu siapa aku!" sinis Dylan. Dylan tersenyum manis beralih men
Hari sudah malam, jam menunjukkan pukul sembilan tepat. Dylan tampak murung dan berdiri di balik jendela, menatap pemandangan malam yang gelap, sunyi, dan cahaya penerangan rumah yang sengaja dibuat temaram. Dengan balutan piyama panjang dan hangat berwarna biru muda, Dylan membenarkan posisi kacamata yang ia pakai. Sejak satu bulan ini, Dylan tidak bisa melihat jauh, pandangannya buram saat anak itu memandang jauh hingga Chloe membelikannya sebuah kaca mata khusus agar Dylan bisa melihat dengan jelas kembali. "Mom..." Dylan berucap lirih. Ia merasa sedih tiap kali mengingat Mamanya yang ia tinggalkan. "Dylan kangen. Mommy sedang apa?" Anak itu tertunduk dengan wajah sedih. "Aku harap, aku bisa segera pergi dari sini setelah membuat Daddy kapok!" Dylan memejamkan kedua matanya perlahan dan anak itu membalikkan badannya. Dylan tersentak pelan, saat ia berbalik, di belakangnya berdiri Caesar yang tengah menatapnya dengan tatapan lekat. "Kenapa belum tidur, Sayang?" tanya Caesar be