Sementara itu, di kediaman Leopold ….
"Daddy jangan pergi! Kita bertiga tidak mau ditinggal Daddy!" Suara tangis anak perempuan bertubuh mungil terdengar menggelegar. Ia memeluk erat pria berbalut jas hitam yang membalut tubuh atletisnya dengan erat. Pria tampan itu adalah Caesar Leopold—Papa si kembar tiga. "Daddy tidak akan lama, Princess. Nanti malam Daddy akan pulang,” kata Caesar sambil menenangkan anak perempuannya yang manja. “Alvino tidak mau berobat kalau tidak ada Daddy,” timpal Alvino dengan suara lemah dan bergetar, hampir menangis. Caesar mengusap kepala anak lelakinya. “Daddy akan menemani Alvino berobat nanti, oke?" “Daddy bohong! Daddy pasti akan pulang sangat malam saat kami bertiga sudah tidur!” Adele kembali meraung. Caesar berusaha sabar. "Di rumah masih ada Mami, Sayang. Nanti Mami akan—" "Kapan Daddy peka?! Kami mau Daddy, bukan Mami!" Kali ini, giliran Alvano—si sulung yang melayangkan protes. Di antara mereka bertiga, memang Alvano lah yang paling menonjol. Ia pemberani, meski kadang nakal dan juga usil. Sangat berbeda dengan kembarannya yang lain—Alvino yang kalem, Adele yang manja dan cengeng. Meski begitu, Alvano juga yang paling dewasa dan selalu melindungi kedua kembarannya. Dari arah lantai dua, turun seorang wanita cantik dengan balutan dress berwarna merah selutut. Wanita itu tersenyum dan berjalan mendekati suami dan anak-anaknya. "Anak-anak Mami, kenapa semuanya terlihat sedih begini?" Wanita itu adalah Vidia—istri Caesar. Wanita yang lima tahun lalu datang ke hadapannya, membawa tiga bayi kembar dan meminta pertanggungjawaban. Saat itu, Caesar sangat terkejut. Ia memang sudah berusaha mencari wanita yang tidur dengannya malam itu. Namun, selama berbulan-bulan, pencariannya tidak kunjung membuahkan hasil. Kedatangan Vidia bersama tiga bayi kembar itu tentu saja seperti oase di padang gurun. Setelah memastikan bahwa triplets itu memang anaknya, Caesar menikahi Vidia. Meski, selama lima tahun ini, Caesar tidak merasakan getaran yang sama dengan yang ia rasakan saat bersama wanita di malam panas itu … dan Caesar tidak tahu mengapa. "Mereka tidak mau aku tinggal," kata Caesar sambil menghela napas. "Siang ini aku ada meeting penting di luar kota." "Pergilah, biar anak-anak di rumah bersamaku, Sayang," ucap Vidia lembut, lalu menarik Alvino dan Adele dari Caesar. "Ihh ... Daddy jahat! Adele tidak sayang Daddy lagi!" cetus Adele marah sambil membuang muka. "Anak Manis, nanti Mami ajak jalan-jalan. Tapi anak Mami yang cantik tidak boleh marah-marah," kata Vidia sambil memeluk dan menenangkan Adele. Caesar beralih menatap Alvino dan Alvano sembari meraih mantel hangatnya dan membungkukkan badan di hadapan kedua anak laki-lakinya. "Anak laki-laki Daddy yang paling hebat juga tidak boleh rewel. Harus dengar apa kata Mami. Mengerti, Sayang?" Alvino mengangguk dengan wajah tertekuk dan bibir manyun, kecewa tapi tidak melontarkan protes. Tatapan Caesar beralih pada si sulung yang bersikap cuek. "Alvano .…" "Terserah Daddy!" jawab anak itu. Caesar tersenyum dan mengusap pucuk kepala anaknya tersebut. "Kalau begitu, aku berangkat sekarang." Caesar lalu menatap Vidia. Wanita itu memeluk mesra dan mengecup pipi Caesar. "Hati-hati di jalan, Sayang." Caesar hanya menggumam dengan ekspresi datar. Dahinya mengerut, seolah tidak nyaman dengan sikap istrinya sendiri. "Jangan khawatir. Aku akan menjaga anak-anak dengan baik." Vidia tetap menunjukkan senyum hangat, terlepas dari respon Caesar yang dingin dan berjarak. Caesar mengangguk, lalu bergegas pergi bersama ajudannya. Si kembar berlari ke teras memberikan lambaian tangan pada papa mereka dengan wajah sedih dan tidak rela. "Sudah, Adele. Nanti Daddy pasti pulang kok," kata Alvano sambil memeluk kembarannya yang menangis. "Jangan menangis lagi." Alvino ikut mengusap pipi Adele. Sebelum Adele mulai tantrum lagi, Vidia datang menghampiri mereka. Ia bersedekap. Ekspresi wajahnya tampak dingin dan jengah, sangat berbeda dengan Vidia beberapa menit yang lalu. "Sudah menangisnya. Jangan drama!" sinis Vidia. Si kembar kompak menoleh padanya. "Kalian di rumah dengan Nanny, Mami mau pergi arisan dengan teman-teman Mami," ujar Vidia tak acuh. "Mami, Adele mau ikut," Adele berlari ke arah Vidia. "Tidak usah, Adele. Di rumah saja dengan kembaranmu," jawab Vidia sekenanya. Tidak peduli melihat sepasang mata Adele yang kembali berkaca-kaca, siap menangis. Vidia menyergah napas kesal. Selalu saja ia direcoki oleh anak-anak ini! Benar-benar merepotkan! Kalau bukan karena ketampanan dan kekayaan Caesar Leopold, Vidia benar-benar tidak sudi menukar masa mudanya untuk merawat mereka bertiga. "Tapi Adele tidak mau ditinggal Mami juga!" seru Adele merengek. Tangisannya mulai pecah lagi. "Alvino masih sakit. Mami di rumah saja," kata Alvano sambil melirik Alvino yang tampak pucat. “Bukannya tadi Mami bilang pada Daddy akan menjaga kami?” ujar anak itu dengan berani. "Berisik!" sentak Vidia, sambil menepis tangan Adele dengan kasar. Ia kemudian menatap Alvano geram. “Heh, anak kecil tidak usah sok mengatur!” Alvano langsung memeluk Adele yang menangis kencang. Tatapan iris hitamnya menajam ke arah Vidia yang tampak murka. "Apa yang Mami lakukan?! Kalau Daddy tahu, Daddy akan marah sama Mami!" pekik Alvano merangkul adiknya itu, seolah ingin memberinya perlindungan. Di belakangnya, Alvino ikut berlindung. Tubuhnya yang lemah dan wajahnya yang pucat menunjukkan rasa takut yang terlihat jelas. Vidia menyunggingkan senyuman sinis. "Oh, berani melawan Mami?” katanya dengan nada angkuh. “Adukan saja! Tapi jangan menangis kalau aku mengirim kalian ke panti asuhan yang sangat jauh!” Wajah ketiga anak itu seketika memucat. Bahkan Alvano yang tadinya tampak berani, tidak berani berkata-kata. Inilah mengapa ia tidak suka jika jauh dari ayah mereka, sebab Vidia bersikap seperti nenek sihir. Sangat berbeda dengan Vidia saat bersama Caesar, yang bermulut manis seperti malaikat. Alvano memeluk kedua kembarannya dan menenangkan mereka. "Sudah, Adele jangan menangis. Cup ... Cup ... sini peluk Kakak!" Alvano menoleh pada Alvino yang tampak lemas. "Jangan sedih, Alvino. Tidak usah pedulikan Nenek Sihir itu! Nanti kalau check up ke rumah sakit, aku temani, okay?" Alvino mengangguk lemah. Ketiga anak kembar itu saling berpelukan. Sementara itu, Vidia sudah pergi meninggalkan mereka tanpa mengatakan apapun lagi, seolah berada di sana membuatnya alergi. Alvano menatap kepergian Vidia dengan tatapan penuh tanya. "Apa iya, Nenek Sihir itu benar-benar Mami kami?" ** Hari sudah mulai gelap saat Chloe kembali ke rumah sakit untuk bertugas shift malam. Ia sudah mengantarkan Dylan dan Diego ke tempat penitipan anak yang berada tak jauh dari rumah sakit. Dengan langkah ringan, ia menyusuri koridor menuju ruang kerjanya. Sungguh, Chloe merasa cukup bangga dengan pencapaiannya saat ini. Dokter Spesialis Anak … gelar itu membuat Chloe benar-benar terharu. "Selamat malam, Dokter Chloe," sapa suster Anna—asistennya yang sudah menunggu Chloe di depan pintu. "Selamat malam Suster Anna. Bagaimana dengan jadwalku malam ini?" tanya Chloe sambil memasang sarung tangan elastis di tangannya. "Ada satu pasien Dokter Dave yang dialihkan pada Dokter Chloe, karena hari ini Dokter Dave menangani banyak sekali pasien," ujarnya perawat itu sembari menyerahkan stetoskop pada Chloe. Chloe mengangguk. "Kalau begitu siapkan semua data-data pasien kecilku, dan bawa ke ruanganku." "Baik, Dok.” Chloe berjalan sambil memasang maskernya menuju ruangan khusus poli anak. Namun, saat ia baru saja membuka pintu lorong itu, langkahnya seketika terhenti. Chloe melebarkan kedua matanya menatap sosok anak kecil laki-laki berbalut sweater rajut berwarna merah yang duduk tak jauh darinya. Chloe tertegun. "Diego … bagaimana bisa Diego ada di sini?!""Tu-Tuan Caesar, apa yang Anda lakukan malam-malam begini menemui saya?"Dengan ragu-ragu, Chloe menatap wajah tampan Caesar Leopold yang dihiasi guratan ekspresi panik. Caesar maju satu langkah dan menatapnya lekat. "Maaf mengganggu malam-malam, Dokter Chloe. Saya ke sini menjemput Anda. Alvino sekarang demam tinggi dan tidak kunjung turun sejak beberapa jam yang lalu." "Apa?!" Chloe ikut terkejut mendengarnya. "Saya sudah mengirimkan pesan pada Anda tapi belum ada balasan. Karena itu saya langsung ke sini." Mendengar penjelasan Caesar dan wajahnya yang panik, Chloe pun ikut merasakan hal yang sama. Pasalnya ia sudah berjanji untuk menjadi dokter pribadi Alvino—putranya sendiri. Chloe menatap laki-laki itu lekat. "Kalau begitu saya akan ikut dengan Tuan, tolong tunggu sebentar, Tuan. Saya akan mengambil peralatan saya dulu." Caesar mengangguk. Laki-laki itu tetap berdiri di luar menunggu Chloe yang berlari masuk ke dalam rumah. Chloe berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat Chloe tiba di tempat penitipan anak yang tampak sepi.Chloe melihat satu putra kecilnya berdiri menunggu dengan wajah tertekuk sedih. Sementara satu lagi duduk di teras tempat penitipan. "Mommy...!" Diego berlari saat melihat Chloe, lalu memeluknya erat. "Mommy kenapa lama sekali? Katanya tidak terlalu malam pulangnya!" protesnya sambil mengeratkan rengkuhannya. "Maafkan Mommy ya, Nak. Tadi banyak pasien," kata Chloe.Dylan beranjak dari duduknya, lalu bersedekap dan bersandar pada pilar. "Si cengeng itu tadi menangis, Mom. Benar-benar tidak gentle man!" adu Dylan, melirik kembarannya yang masih memeluk erat sang Mama. Chloe menatap Diego yang cemberut. "Diego kalau tidak suka bermain dengan teman-teman yang lain, main sama Kakak saja, Sayang." "Tapi Kakak tidak mau diajak main gelembung, Mommy! Tidak seru!" ujarnya cemberut kesal. "Aku sudah besar. Tidak suka bermain gelembung air!" seru Dylan membela diri.Chloe terkekeh mendenga
Chloe melepas maskernya dan berjalan mendekati anaknya yang tengah duduk di kursi tunggu."Ya ampun, Sayang, kenapa menyusul Mommy ke rumah sakit? Siapa yang mengantarkan Diego ke sini?" tanya Chloe khawatir.Namun, anak laki-laki itu menatapnya dengan sorot mata bingung. "Namaku bukan Diego, Bu Dokter. Namaku Alvino," ucap anak itu dengan suara lemah. Chloe menyergah napasnya. "Jangan bercanda, Diego. Kita kembali ke penitipan—""Bu dokter, namaku Alvino. Alvino Leopold!" ujar anak itu dengan bibirnya yang cemberut, tampak mulai kesal. Chloe tercengang. "A-apa? L-Leopold?!"Detak jantung Chloe seketika berpacu saat anak itu mengangguk. Ia merasakan napasnya tercekat. Tangannya gemetar saat menyentuh pipi Alvino. Rasanya … sama seperti menyentuh pipi Dylan dan Diego. Chloe susah payah menelan ludah. Sesuatu seolah baru saja menghantam kepalanya. Anak ini … jangan-jangan ….Tiba-tiba terdengar suara pintu kaca depan terbuka. Chloe menoleh. Kedua pupilnya bergetar saat melihat dua
Sementara itu, di kediaman Leopold …."Daddy jangan pergi! Kita bertiga tidak mau ditinggal Daddy!"Suara tangis anak perempuan bertubuh mungil terdengar menggelegar. Ia memeluk erat pria berbalut jas hitam yang membalut tubuh atletisnya dengan erat.Pria tampan itu adalah Caesar Leopold—Papa si kembar tiga. "Daddy tidak akan lama, Princess. Nanti malam Daddy akan pulang,” kata Caesar sambil menenangkan anak perempuannya yang manja.“Alvino tidak mau berobat kalau tidak ada Daddy,” timpal Alvino dengan suara lemah dan bergetar, hampir menangis.Caesar mengusap kepala anak lelakinya. “Daddy akan menemani Alvino berobat nanti, oke?" “Daddy bohong! Daddy pasti akan pulang sangat malam saat kami bertiga sudah tidur!” Adele kembali meraung.Caesar berusaha sabar. "Di rumah masih ada Mami, Sayang. Nanti Mami akan—" "Kapan Daddy peka?! Kami mau Daddy, bukan Mami!" Kali ini, giliran Alvano—si sulung yang melayangkan protes.Di antara mereka bertiga, memang Alvano lah yang paling menonjol.
Lima Tahun Kemudian."Diego ... ayo, Sayang! Jangan marah dong, anak tampannya Mommy. Itu Dylan sudah menunggu." Chloe menatap salah satu anak laki-lakinya yang tampak merajuk. Anak kecil itu bersedekap dengan bibir mengerucut di tengah kerumunan orang di bandara internasional Paris. Dengan sabar, Chloe mendekatinya dan membungkukkan badan untuk mensejajarkan tatapannya dengan si kecil."Tadi sebelum berangkat, Diego sudah janji pada Mommy untuk tidak nakal, kan?" Chloe mengusap pucuk kepala anak tersebut."Diego ‘kan sudah bilang tidak mau ke sini! Ayo kembali ke Nantes, Mom!" seru anak itu menggembungkan pipinya yang memerah. Berbeda dengan kembarannya yang merajuk, Dylan—si sulung yang merasa sudah dewasa, bersedekap dengan alis mengerut tajam, menatap jengah pada kembarannya. Tangannya memegangi koper kecil miliknya dan kembarannya. "Cih! Anak kecil memang selalu saja merepotkan!" ketus Dylan, seolah mereka tidak seumuran.Wajah Diego semakin keruh. "Kakak, kita hanya beda beb
"Vidia? Kau mau membawa anakku ke mana?" Chloe Valencia yang baru saja terbangun dari tidurnya, menatap bingung pada sahabatnya yang tengah memindahkan bayinya ke dalam boks dorong dengan tergesa. Dua hari yang lalu, setelah melalui persalinan yang panjang, Chloe melahirkan lima anak kembar sekaligus. Kebingungannya berubah menjadi panik saat Chloe menyadari bahwa tiga dari lima ranjang bayinya kini sudah kosong, hanya menyisakan dua bayi di ranjang masing-masing. Sementara tiga bayi lainnya sudah dipindahkan ke dalam boks dorong yang dibawa oleh Vidia. "Tunggu, Vidia!" seru Chloe saat melihat Vidia bergegas ke arah pintu sambil mendorong boks bayi tersebut. Chloe berpegangan pada tepian ranjang dan terbungkuk memegangi perutnya yang perih bekas jahitan operasi. "Kau mau membawa mereka ke mana?!" serunya panik. "Aku akan membawa mereka pergi bersamaku,” kata Vidia ringan. Seolah itu adalah hal yang sangat lumrah untuk dikatakan. “Apa maksudmu?” tanya Chloe cemas. “Ini sudah t