Tiga tahun kemudian.
"Puspa, kunci mobil ditaruh di mana?"
"Di atas meja, Bang, sebentar, Puspa lagi pakaikan Robi pampers." Bang Ramon pasti seperti ini bila ingin pergi. Selalu saja memintaku buru-buru, padahal anaknya yang sedari tadi membuat terlambat. Adegan menumpahkan susu tepat di baju yang baru saja dipakaikan. Sekarang malah buang air, hingga aku harus mengganti pampersnya dengan cepat. Belum lagi adegan dandan yang tidak boleh lebih dari lima belas menit.
Oleh karena itu aku tidak mahir bersolek karena Bang Ramon, suami yang tidak sabaran menunggu istrinya dandan. Tak apalah, asalkan alat dandanku selalu ia penuhi. Tidak pernah ada komplain selagi biaya yang aku minta itu tidak berlebihan.
Tin! Tin!
"Iya, tunggu sebentar! Ish, gak sabar banget!" Gerutuku sambil mengunci pintu rumah. Robi sudah berlari menghampiri mobil sedan yang baru setahun ini selalu menemani kami bepergian. Bang Ramon membukakan pintu mo
Pov RamonAku berharap pemandangan di depanku ini salah. Wajah itu yang selalu melekat di hatiku padahal sudah sekian tahun berlalu. Benar jika segumpal daging yang bernama hati tidak akan mungkin mencintai lebih dari satu wanita, tetapi untuk Ayu, entah apa yang harus kusebut. Cinta? Entahlah! Iba? Mungkin saja!Aku kembali memperhatikan dua anak kecil yang menggandeng Ayu dengan sangat lucunya. Keduanya perempuan yang sangat menggemaskan dengan rambut keriting mereka. Mereka pasti anakku!"Pak, maaf, itu pengantin wanita janda anak dua. Itu putri kecilnya calon istri Rahmat?" tanyaku dengan berbisik pada seorang bapak yang duduk persis di sampingku."Oh, iya, itu anak Mbak Ayu. Tidak paham juga janda meninggal atau cerai, tetapi setahu saya si Kembar itu memang anak Mbak Ayu. Rumana dan Ramona namanya. Yang satu dipanggil Ana yang satunya lagi dipanggil Mona." Mulutku terkunci, tidak salah lagi bahwa mereka ada putriku. Berarti saat ia pingsan waktu itu, Ayu tengah hamil."Baik, Pak
Pov PuspaMengetahui Bang Ramon ternyata selama ini masih dalam bayang-bayang Ayu, membuatku mengambil sikap. Pergi darinya adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Bukan hanya satu kali, tetapi ini sudah yang keberapa kalinya Bang Ramon selalu saja goyah dengan kehadiran Ayu. Itu semua pasti karena perasaan cintanya. Lalu apakah aku siap menjalani rumah tangga seperti ini? Aku rasa tidak."Apa kamu yakin, Puspa?" Aku tersentak dari lamunanku saat suara tua itu menegur, seraya menyentuh rambutku."Puspa yakin, Ma, mungkin ini adalah jalan terbaik bagi kami berdua." Aku tersenyum pada mama."Bukannya Ayu sudah menikah, tidak akan mungkin Ramon berani menganggunya. Apalagi suami dari Ayu masih sepupu Ramon. Saran Mama, lebih baik berikan Ramon kesempatan sekali lagi. Mama yakin kalian bisa hidup de-""Ma, anak dari Ayu kembar, perempuan. Bang Ramon begitu menginginkan anak kembar. Saya gak mau hal ini nantinya menjadi masalah terus menerus dalam rumah tangga kami. Mama jangan khawatir,
Aku sampai di rumah tepat pukul dua siang. Rian yang tadinya ingin mengantar pulang ke rumah, menjadi urung karena ada Ramon di rumah mamaku. Ia tidak ingin membuat masalah baru bagiku yang saat ini tengah tidak baik-baik saja dengan Ramon. Lelaki yang saat ini masih sah menjadi suamiku itu sudah duduk di teras sendirian. Mama sepertinya tidak mengijinkannya masuk. Baguslah, Ramon harus diberi pelajaran karena telah menyia-nyiakan perasaanku. "Halo, apa kabar?" sapanya menyambutku dengan berdiri. Aku hanya tersenyum tipis, lalu ikut duduk di depannya. "Kata mama kamu melamar pekerjaan, memangnya kenapa? Kamu kekurangan uang? Bukannya selama ini aku selalu memberikan yang kamu butuhkan?" Aku tersenyum remeh, lalu dengan malas menatap wajahnya sekilas. "Aku harus mempunyai pekerjaan saat nanti aku sudah tidak bersuami lagi." Bang Ramon nampak terkejut. Mulutnya setengah terbuka ingin mengatakan sesuatu, tetapi sulit. "Maksud kamu apa, Puspa? Aku masih sah suami kamu.""Ya, untuk sa
POV Ayu"Sedang apa?" aku berjengkit kaget saat tiba-tiba saja suamiku sudah memeluk tubuhku dari belakang. Ia memutar tubuh ini agar kami saling berpandangan tanpa sedikit pun ia melepas pelukan di pinggangku. "Memikirkan apa nanti saya bisa hamil atau tidak. Begitu banyak obat yang sudah-"Mas Rahmat kembali membungkam bibir ini dengan bibirnya. Bujangan dewasa yang menikahiku seakan-akan selalu kurang dalam menyentuhku. Padahal ini sudah satu minggu kami di Bali untuk berbulan madu dan entah sudah berapa kali ia meminta haknya. Ia begitu memujaku hingga aku benar-benar lupa dengan sosok Ramon. Ya, Mas Rahmat ternyata mampu membuatku melupakan ayah dari anak-anakku. Ia selalu saja memberikan yang terbaik bagiku dan juga si Kembar. Baik perhatian, kasih sayang, bahkan ia begitu siaga menjagaku saat hampir satu bulan aku dirawat setelah melahirkan si Kembar. "Sayang, kamu sangat.... " Mas Rahmat kembali mengerang saat ia mencapai muaranya, sedangkan aku, jangan ditanya sudah berapa
Hari ini adalah sidang terakhir perceraianku dengan Ramon. Lelaki itu menepati janjinya dengan tidak datang selama persidangan berlangsung. Hak asuh Robi pun otomatis jatuh ke tanganku tanpa ada gugatan lain dari Ramon. Lelaki itu benar-benar hilang tanpa kabar. Terakhir yang aku dengar dari Bu Nur, Bang Ramon pindah dari rumah yang pernah kami tempati dan rumah itu dijual. Entahlah, aku tidak mau ribut urusan harta, biarkan rejeki Robi nanti bisa dari mana saja. Bep! Aku meraba tas selempangku yang berbunyi pesan masuk. Jalanan menuju Bandung cukup lengang, sehingga Rian yang mengendarai mobil tidak terlalu tegang. m-Transfer:Berhasil17/03 14:05:11Ke 661025630XPuspaRp. 1,500,000.00Aku mengerutkan kening saat nomor tidak dikenal mengirimkan pesan bukti transfer atas namaku. Siapa ini?SendPuspa, ini saya Ramon, maaf, saya baru transfer uang untuk Robi. Jika nanti ada rejeki lebih, akan saya tambahkan, karena saat ini saya juga harus berbagi dengan Ayu. Aku bersedih sebal.
Mobil Mas Rian berhenti di depan rumahku. Lelaki itu dengan senang membukakan sitbelt bagianku, diiringi senyuman manisnya. Wajah Rian begitu dekat denganku, hingga napasnya yang berbau mint, tercium oleh indera penciumanku. Aroma yang sama, padahal sudah bertahun-tahun lamanya. "Kenapa? Berharap aku cium?" tanyanya dengan begitu percaya diri. Aku bersedih sebal, lalu bersiap untuk menarik handle pintu, tetapi sudah terlanjur dibukakan oleh Rian. "Aku hanya bercanda, Cantik. Jangan marah atuh!" Ia tersenyum kembali dengan sangat manis. Melepas sitbelt nya, lalu membuka pintu. Kakinya melangkah sejajar dengan kakiku; mengantar sampai di depan pintu rumah. Brak! "Bunda!" Seru Robi dengan senangnya. Jagoan kecilku membuka pintu rumah dengan tiba-tiba untuk menyambutku pulang. Senyumannya terus terkembang, terutama saat pelukannya aku balas dengan lebih erat dan juga ciuman di pipinya. "Salim sama Om Rian!" Titahku. Robi mengangguk patuh, lalu menarik punggung tangan Rian untuk diciu
Aku benar-benar terjaga sepanjang malam. Sebenarnya aku tidak mau terganggu dengan permintaan Dini, tetapi ucapan yang ia lontarkan jujur menganggu perasaanku saat ini. Dini; adik bungsu yang mandiri dan jarang sekali meminta apapun dariku. Bahkan untuk biaya kuliah saja ia dapatkan dari beasiswa karena memang ia pintar. Dini juga tidak pernah protes jika aku selalu meminta tolong padanya untuk lebih memperhatikan mama. Kini, sebuah kalimat terucap dari bibir sensual adikku itu dan mampu membuatku tidak bisa memejamkan mata, padahal besok aku harus bekerja. Apa Dini tidak tahu kalau Rian menyukaiku? Pertanyaan itu terus saja muncul di kepala hingga petugas jaga malam memukul kentongan sebanyak dua kali. Ini sudah jam dua dini hari dan aku masih belum bisa tidur. Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar, mengambil air minum di dapur. Mungkin dengan minum segelas air, mataku perlahan akan mengantuk. Aku kembali ke kamar, ikut berbaring memeluk Robi. Ponselku berkelap-kelip. Sinar yan
Aku tiba di rumah pukul enam sore, tepat azan magrib berkumandang. Motor kuparkir di teras depan untuk mendinginkan mesinnya terlebih dahulu, sebelum dibawa masuk ke dalam rumah. Motor Dini pun sudah ada di teras, lengkap dengan helm berwarna merah mudanya."Assalamualaykum," seruku sambil mendorong pintu rumah yang tidak tertutup rapat. "Bunda!" Robi bangun dari duduknya untuk berlari menyambutku. Rupanya putraku sedang bermain bersama Dini. Aku tersenyum manis sembari mengusap rambut Robi."Sedang main apa?" tanyaku pada Robi."Ini, Bun, dibelikan Tante Dini lego. Bagus'kan?" Robi memperlihatkan hasil merangkai potongan lego menjadi bentuk mobil ambulan padaku."Sudah bilang terima kasih belum sama Tante?" putraku itu mengangguk sambil menoleh pada Dini. "Bunda mandi dan solat dulu ya, nanti baru main sama Robi." Aku tersenyum pada Dini, gadis itu membalas senyumku, lalu melanjutkan main bersama Robi.Selesai mandi dan salat, aku merapikan tempat tidur yang amat berantakan. Pasti