Dara duduk di ruang tamunya ketika dia baru saja selesai mandi di kediaman Arga, hanya di sana dia bisa bersantai dengan menjadi nyonya di sini. Om dan tante selalu mengharapkan dia ada di sini. Andai saja dia dan Robi bukan sepupu, sudah pasti mereka berdua akan diminta untuk menikah saja, dibandingkan harus menjadi sepupu seperti ini. Apalagi keluarga besarnya Arga tahu seluk beluknya Dara.
Sewaktu dirinya mendapatkan pesan dari Gio, dia langsung membukanya. “Kapan pulang?”
“Abis ini pulang.”
“Pulang sekarang juga! Aku nggak suka kamu keluyuran!”
Salah satu yang akan membuat Dara tersadar bahwa dirinya harus tetap menjaga hati sang kekasih. Begitu diminta untuk pulang, maka dia akan pulang. Sampai sekang pria itu malah menjadi orang yang keras kepala. Bertahun-tahun mereka pacaran, sikapnya Gio masih tetap sama. Yaitu dia akan menjadi orang yang pertama kali mengekang hidupnya Dara.
Tapi dengan cara seperti itu Dara suka. Karena menganggap bahwa Gio adalah pria yang sangat perhatian kepadanya. “Aku jemput sekarang juga.”
Dia tersenyum, saat dirinya tadi hendak marah karena dikekang oleh pria itu. Tapi tidak lagi karena dia merasa sangat disayangi oleh Gio. “Aku tunggu sekarang.”
Arga baru saja menghampiri keponakannya. “Kamu kenapa senyum-senyum?”
“Nggak ada, Om.”
Arga sendiri sudah tahu bahwa keponakannya menjalin hubungan dengan, Gio. Dia tidak suka terhadap pria itu. Bahkan tidak segan-segan memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Gio sekalipun itu di depan Dara.
Bukan tanpa sebab dia merasa seperti itu kepada Gio. Karena dia juga sebenarnya tahu masa lalu pria itu yang pernah menjadi seorang playboy. Dia meminta kepada anak buahnya mencari tahu keberadaan dan juga kehidupan pria itu dari beberapa orang. Akan tetapi sekalipun dia memberitahu Dara. Jawaban Dara akan tetap sama. Setiap orang memiliki masa lalu yang tidak bisa menjadi tolok ukur untuk menilainya.
Maka jawaban Arga akan tetap mengalah kepada keponakannya.
Tidak lama waktu mereka asyik mengobrol. Tiba-tiba terdengar suara mobil yang sudah ada di depan rumah. “Om, aku balik dulu, ya.”
“Iya, kamu hati-hati, ya.”
Arga tidak mau keluar ketika ada Gio di sana. Sudah tahu pria itu akan pintar sekali mencari muka di hadapan Arga.
“Om nggak ke depan?”
“Kamu aja, Om harus selesaikan pekerjaan dulu.”
Waktu itu dia langsung pergi dari rumah Arga. Waktu di sana dia melihat Gio berdiri di depan mobilnya. “Kamu lama.”
“Maaf, tadi aku lagi ada urusan soalnya. Lagi ngobrol sama, Om.”
“Kamu tahu sendiri aku nggak suka kamu keluyuran. Pulang kerja ya pulang ke rumah. Bukannya malah ke sini. Aku nggak suka lihat kamu di sini tahu.”
Maka sekarang dia mendekat ke arah Gio. “Maaf, aku kan nggak bermaksud bikin kamu marah. Aku sama sekali nggak mau bikin kamu kesal sama aku.”
Gadis itu mengamati ekspresi kekasihnya begitu sudah ada di dalam mobil. Sekarang dia diantar ke apartemennya oleh Gio. “Kamu tadi pulang sama Robi?”
“Iya, soalnya Om Arga suruh aku pulang ke rumahnya.”
“Besok nggak usah ke sana lagi. Aku nggak suka kamu sama Robi.”
Dara mengusap bahunya mendengar permintaan dari Gio. Biar bagaimanapun juga Robi adalah sepupunya. “Kamu nggak suka dilarang seperti itu?”
“Aku bukannya nggak suka. Tapi ini kan keluarga aku. Kamu minta aku jauhi dia?”
“Itu hak aku minta kamu jauhi siapa pun. Kamu sebentar lagi jadi istri aku. Jadi seharusnya kamu tuh nurut sama aku.”
Gadis itu mengiyakan apa yang sudah dikatakan oleh kekasihnya barusan. “Kamu nggak suka ya bilang aja sih. Aku kan nggak maksa kamu juga.”
Tidak maksa bagaimana? Pria itu sudah mengatakan dengan jelas kalau dia tidak suka melihat Robi bersama dengan Dara. Sampai di apartemennya Dara, pria itu juga masuk ke dalam kamarnya. “Kamu kenapa sampai kamar sih?”
“Aku marah.”
“Marah kenapa? Kamu bisa marah besok. Jangan masuk ke kamar aku. Aku nggak suka.”
Pria itu mendekat lalu memeluk Dara. “Aku nggak suka kamu sama Robi. Itu aja yang aku benci. Dia bakalan jelek-jelekin aku di depan kamu. Itu sudah menjadi hal yang sangat biasa, Sayang.”
Dara menggelengkan kepalanya mendekat kepada Gio. “Kamu terlalu cemburuan, sayang.”
Pria itu mendekap Dara saat Dara hendak ke kamar mandi untuk menaruh baju kotor yang tadi dibawanya dari rumah Arga. “Aku mau nyuci.”
“Peluk bentaran doang.”
Gio seperti anak kecil bagi Dara, dia membiarkan pria itu memeluknya dengan erat. Dara berbalik lalu berpelukan dengan Gio. “Sayang.” Pria itu berbisik pada Dara saat Dara sedang menikmati pelukannya dengan Gio.
Suara deru napasnya Gio mulai memburu, cukup mengganggu ketenangannya Dara saat dia merasakan bahwa Gio menginginkan dirinya. “Boleh sekarang?”
Pasalnya bukan satu atau dua kali Gio mengajaknya bercinta. Tapi sudah sering pria itu mengajaknya dan kemudian Dara akan mencari cara yang bisa membuat dirinya terhindar dari pria itu. “Kamu sendiri tahu kan kalau kita belum menikah belum boleh lakukan itu.
“Tapi kita pasti akan menikah, sayang.”
Dara tetap menolak itu. Dia tidak mau dirusak oleh calon suaminya. Sekalipun itu adalah Gio sendiri. “Aku nggak mau.”
Pria itu menghela napas. “Sampai kapan?”
“Sampai kita resmi jadi suami istri. Tubuh aku berhak kamu miliki. Nggak sekarang, Gio. Aku jelas tidak akan pernah mau sekalipun kamu mengatakan bahwa kamu adalah calon suamiku. Nggak akan pernah kamu dapatkan hal itu. Aku nggak mau.”
Jadi ini adalah kesekian kalinya Dara menolak diajak bercinta oleh pria itu. Kalau hanya sekadar berciuman, menggigit lidah satu sama lain, gigitan lembutnya Gio pada bibir bawahnya Dara, itu jelas masih dalam kewajaran. Tapi kalau sudah menjurus pada seks, maka Dara akan menolak dengan keras. “Kamu marah?” Dara beranikan diri bertanya pada Gio yang melepaskan pelukannya tadi.
Pria itu kemudian menatapnya. “Nggak, kalau kamu memang nggak mau aku nggak maksa kok.”
Tapi bagi Dara ini jelas menyinggung dirinya juga sebagai seorang wanita. Kalau seorang pria sudah meminta jatah itu, sudah bisa dipastikan bahwa dia akan mendewakan nafsunya. Jadi Dara berusaha untuk menjaga dirinya dengan baik agar tidak terbuai juga dengan rayuan maupun pelukannya Gio untuknya. Dia hanya ingin menjalani hubungan dengan baik sekarang tanpa ada sentuhan di luar nikah. Apalagi menjurus ke seks, sungguh itu yang tidak akan pernah dilakukan oleh Dara.
Tapi sarapan sekaligus makan siang malah justru kali ini nasi goreng. “Kamu kenapa sekarang suka banget makanan beginian?” “Gimana nggak suka, Sayang? Kamu dari kita pacaran ya sudah disediakan aku nasi goreng, kadang nasi uduk. Sejak sama kamu lho aku udah nggak sarapan sama roti.” Dara menyadari itu, dia menyediakan nasi yang setiap hari kalau Arvin mampir ke apartemennya untuk sarapan. “Sayang, apa aku ini pengacau di hidup kamu?” “Nggaklah, justru aku bahagia ya sejak kamu punya pemikiran terbuka. Sekarang jadi istriku, semuanya serba berbeda sekali rasanya, Dara.” “Semoga sehat terus, ya, Mas. Biar nanti bisa sama-sama. Kita punya anak terus bisa main bareng, awasi mereka. Pasti nanti kamu juga ngerasain gimana enaknya sama-sama dari awal.” Dari awal memang itu tujuan Arvin untuk bersama dengan istrinya. Sekarang malah wanita itu yang mengatakan kalau dia pasti akan bahagia hidup dari nol bersama sang istri. Usai makan siang, Arvin mengajak sang istri jalan-jalan di sekitar
Pagi-pagi Dara sudah bangun dan mendapati suaminya masih dalam keadaan tidur. Waktu dia melihat suaminya yang tertidur sangat lelap sekali di dekatnya, Dara mengusap pipi Arvin yang bahkan begadang semalam lantaran teman-temannya yang datang dan mengajak mengobrol sampai larut. “Ayo tidur, ngapain coba?” Arvin malah terbangun tapi malah Dara yang tersenyum karena suaminya. Arvin ikut bangun dari tidurnya. “Mas, bangun!” “Aku bangun nggak mau lepasin kamu ntar. Lanjut tidur aja.” Dara tidak mau tidur lagi tapi malah mengganggu suaminya, dia menarik hidung Arvin. Sampai pria itu benar-benar membuka matanya dan menarik Dara ke dalam pelukan. “Sayang, ayo tidur! Aku ngantuk lho.” Dara melepaskan pelukan dan mengambil ponselnya, sudah jam sebelas. “Mas ini jam sebelas lho.” “Masih pagi.” “Pagi apanya, kita yang tidurnya kelamaan. Itu juga gorden nggak dibuka ya kita mikirnya pagi.” “Tidur kenapa sih?” Dara tidak mau tapi Arvin malah terus memeluknya. “Jalan-jalan yuk!” “Eh nanti
Pengantin baru dengan gaun yang sangat indah di desain sendiri oleh Iriana yang dikhususkan untuk Dara. Tampak begitu cantik dengan balutan gaun indah serta make up yang sangat disukai oleh Dara.Apalagi ketika melihat penampilan Arvin mengenakan kemeja yang serasi dengannya. Pria itu sangat tampan, Dara tersenyum melihat suaminya yang juga sudah siap untuk keluar dari tempat make up mereka.Menikah, dulu pernah diinginkan dengan sangat oleh Dara. Begitu terwujud pun sekarang justru di luar nalarnya kalau ia akan jadi secantik ini di hari pernikahannya. Berterima kasih kepada sang mama yang telah mendesain gaun secantik ini.Dijadikan ratu oleh mertua sendiri di hari bahagianya. Dara berpikir ini akan jadi pesta yang paling bahagia seumur hidupnya. Tidak pernah dibahagiakan dengan cara seperti ini pada waktu yang lalu. Namun khusus untuk hari ini dia merasa sangat bahagia sekali.Arvin menatap istrinya sangat bahagia sekali di hari yang indah ini. “Apa hutangku sudah lunas, sayang?”“
Arvin malah gugup malam harinya pasalnya besok malam adalah acara untuk pesta mereka. Menikah? Berkali-kali kamus di dalam hidupnya berusaha dibuka oleh Arvin untuk mencari itu. Namun tetap tidak ada. Akan tetapi setelah bertemu dengan Dara. Semua itu berbeda sekali dengan apa yang telah direncanakan oleh Arvin.Sewaktu ada di dalam kamar bersama sang istri. Wanita ini malah membaca novel yang ada di kamarnya Arvin. “Apa aku sedang diselingkuhi sama buku?”Dara menoleh ke arahnya. “Kenapa bilang begitu?”“Aku dari tadi ngomong sendirian.”Tapi wanita itu malah kembali fokus lagi terhadap bacaannya. Benar-benar mengabaikan apa yang sudah dikatakan oleh Arvin. Jujur saja kalau Dara terlihat malah makin dewasa setelah menikah. “Sayang, kapan ulang tahun?”Arvin tidur di paha istrinya lalu menyingkirkan buku itu karena tidak terima ditinggalkan oleh istrinya yang hanya fokus pada buku. “Kasih aku hadiah kalau aku ulang tahun.”Pria itu menaruh tangan istrinya di atas kepalanya sendiri. “Y
Tidak meleset yang dikatakan oleh Arvin mengenai acara malam ini. Beberapa karyawan meminta untuk foto bersama. Selesai itu akan langsung makan-makan dan salah seorang mengambil mikrofon setelah ada instrumen musik yang diputar.Pria itu berjoget di depan Arvin sampai Dara tertawa lepas bahkan Khadafi yang tertawa melihat kelakuan anak buahnya.Lagu dangdut sambil berjoget sampai Arvin malah tertawa melihat kelakuan orang yang menyanyikan lagu untuknya. Tidak sedikit juga yang datang untuk menyawer si pria sampai Arvin juga malah merasa lucu dengan pernikahannya.Arvin mau menyangkal kalau ini bukan konsep yang diinginkan, tapi inilah yang terjadi. Pernikahan dengan segala keseruan dari orang kantornya. Khadafi malah ikut mendekat dan ikut berjoget di sana. Jatuh sudah wibawa seorang bos besar yang malah berjoget di depan banyaknya karyawan yang lain sambil mengeluarkan uangnya dan berjoget di sana.“Papa malah ikutan juga,” kata Arvin yang terus tertawa melihat beberapa orang yang ma
Dara sudah mendengar keputusan dari Sabrina, bahwa ia positif tidak diperbolehkan bekerja oleh mertuanya. Meskipun keinginan itu sangat besar, tapi benar-benar diperlakukan seperti anak kandung. “Itu muka kenapa cemberut, sih?” Arvin menghampiri sembari mengunyah makanan.Dara menatap suaminya yang terus makan. “Kamu kenapa sih makan terus?”“Namanya juga lapar. Kamu datang bulan? Emosian amat sih,”Arvin menyindirnya dan pria itu duduk di sofa menaikkan sebelah kakinya. “Mama nggak bolehin aku kerja.”“Ya nggak masalah kalau nggak dibolehin.”Dara malah tidak dibela oleh suaminya. “Kamu setuju aku nggak kerja?”“Ya gimana, kalau Mama sudah bilang begitu aku nggak bisa komentar. Aku sudah pernah bilang kalau ada pilihan antara kamu sama Mama. Aku nggak bakalan pilih keduanya.”“Jadi, aku nggak boleh kerja?”Arvin masih mengunyah makanannya. “Emang Mama bilang apa sama kamu?” tanya Arvin masih santai menanggapi istrinya.Dara masih sedikit kesal lalu kemudian menjawab. “Mama bilang kal