Sandarra Faradita, seorang gadis dua puluh empat tahun yang akrab dipanggil Dara bekerja di salah satu toko bangunan yang memiliki beberapa cabang di antaranya Bali, Lombok, seluruh Sumatera dan Surabaya yang merupakan toko bangunan besar milik Arga yang merupakan omnya Sandarra.
Dia telah bekerja cukup lama di sana, setelah lulus dari sekolah menengah atas. Dia bekerja di sana dan enggan melanjutkan pendidikannya. Namun yang keras kepala menginginkan dia agar tetap kuliah tentu saja bukan orangtuanya sendiri. Dara diberikan fasilitas berupa apartemen yang dia tempati sejak pertama kali dia bekerja. Berbeda dengan kakaknya Leta yang enggan sekali masuk di perusahaan itu lantaran sang adik dari papa mereka berdua ini cukup cerewet juga.
Dia bekerja di sini sebagai tangan kanan Arga untuk mengurus semua yang dilakukan pria itu. Kalau dia tidak ada, maka yang akan melakukan tanda tangan beserta melakukan pengecekan berkas tentu saja adalah Dara. Ia yang dilatih untuk bekerja keras sejak usianya masih belasan tahun. Sampai usianya belum genap dua puluh lima tahun dia telah dipercaya untuk memegang kendali oleh Arga sendiri.
Baru saja dia selesai dengan pekerjaan mengecek email dari salah satu perusahaan yang mengajak bekerja sama yang dia terima ke emailnya langsung. Seharusnya ke email sang sekretaris. “Om, aku tadi dapat email dari salah satu kontraktor, katanya minta kalau bahannya dia pakai dulu bayarnya belakangan. Tapi aku jelasin kalau kita nggak nerima utang.”
Ekspresi Arga yang tidak menanggapi lebih karena sudah tahu bahwa keponakannya pasti akan bekerja dengan sangat cekatan. “Ya, jangan kasih siapa pun utang. Kamu sendiri tahu kalau sekarang ini banyak sekali orang yang udah bawa barang terus kabur gitu aja. Iming-iming bayaran tinggi tapi hasilnya nihil. Lebih baik jangan, Dara,” pria itu meletakkan kopi di atas mejanya. “Kamu nanti ke rumah makan malam sama Tante juga, ya. Soalnya Tante kamu ngundang makan malam. Pulangnya sama Om nanti,” beritahu pria itu kepada Dara yang sedang mengikat rambutnya.
Gadis itu mengangguk cepat, dia mengeluarkan ponselnya yang sudah dia pakai selama bertahun-tahun. “Kamu nggak minat ganti HP?”
“Nanti aja, Om. Sebenarnya mau, tapi sekarang lagi nabung buat nikah sama, Gio. Kami berdua sepakat untuk nabung aja, Om.”
Arga duduk di kursinya sembari bersandar, memutar kursinya ke arah Dara kemudian dia berkata. “Entah kenapa Om kurang sreg sama si Gio itu, Dara. Bukannya karena dia usianya lebih tua dari kamu. Tapi nggak tahu deh pokoknya. Om cuman nggak bisa ngerasain dia tulus aja kalau kamu sama dia.”
“Apa karena aku yang nabung?”
Pria itu menggeleng. “Bukan soal itu. Tapi Om cuman nggak bisa nebak gimana perasaan dia ke kamu. cowok kalau udah niat nikah ngapain minta ceweknya nabung segala?”
“Gio juga kan lagi beli rumah, Om. Jadi aku maklumi.”
“Gaji kamu nggak sedikit ya di sini. Om kasih kamu banyak biar kamu mandiri aja, Dara. Om juga nggak pernah kasih tahu Papa atau Mama kamu soal gaji kamu. Apartemen juga udah jadi milik kamu. Walaupun kita sebutnya sewa, tapi itu atas nama kamu. Kata sewa hanya untuk mengelabui mereka biar mereka juga nggak seenak jidat minta uang sama kamu. Dari dulu banget pokoknya Om nggak suka kamu sama, Gio.”
Bagi Dara, kekasihnya itu adalah pria paling baik yang pernah dia temui di muka bumi ini yang tidak pernah menyakiti hatinya. Apa yang Dara mau akan langsung dituruti oleh Gio. Kapan pun Dara butuh maka pria itu akan langsung datang pada Dara. Tidak perlu menunggu lama untuk bisa bertemu dengan Dara.
Arga tidak akan berkomentar panjang lagi setelah Dara diam dengan pendapatnya barusan. “Kamu nanti pulang dijemput sama Robi, ya. Sepertinya Om ada urusan bentar,” kilah pria itu yang sebenarnya tidak mau melihat kedatangan Gio nanti yang ke kantor menjemput Dara. Robi merupakan anak pertamanya Arga yang kini memiliki kantor konsultan sendiri dan sibuk dengan pekerjaanya. Anak itu juga yang mendorong perusahaan Arga menjadi lebih maju lagi lalu memercayakan perihal orang kedua di perusahaannya itu keponakan sendiri karena sangat bisa dipercaya.
Sewaktu jam kerja telah tiba. Dia menghubungi anaknya untuk bisa menjemput Dara.
“Kalau saja kamu dan Robi itu nggak saudara dekat, Om udah pasti nikahkan kalian berdua,” bisiknya dengan pelan lalu saat itu Dara menoleh.
Gadis itu tersenyum ke arahnya. “Om tadi bilang, apa?”
“Nggak apa-apa. Om cuman nungguin si Robi ini lama sekali.”
Sandarra sudah terbiasa jalan bersama dengan Robi karena mereka ini adalah sepupu yang paling dekat. Dia menunggu beberapa menit sampai pria itu datang menjemputnya dengan mobil mewah miliknya dengan warna abu-abu. Pria itu gagah mengenakan mobil tersebut lalu menghampiri Dara. “Aku kalau jemput kamu rasanya sedang kencan.”
Dara tertawa lalu memukul pundaknya Robi. “Tapi aku nggak ngerasa. Ohya tadi aku hubungi Gio, dia bilang nggak bisa ke sini.”
“Nggak usah lah, biar kita aja yang kencan. Kamu mau ke mana?”
Dara masuk ke mobilnya Robi usai dibukakan pintu oleh kakak sepupunya. Pria itu membuka dasinya lalu melempar ke arah Dara. “Kebiasaan banget lempar sana sini.”
“Biarin, daripada nanti ditinggal nikah. Nggak bisa gini terus sama kamu.”
“Kakak mau nikah?”
“Papa bilang kamu yang mau nikah. Katanya kamu udah nabung bareng, Gio.”
Dara tertawa lalu mengakui itu. “Tiap bulan kami nabung lima juta, Kak.”
“Gaji kamu di atas dua puluh juta dikasih Papa aku lho. Kamu nggak usah pamer-pamer gaji ke dia. Aku nggak mau nanti karena gaji kamu tinggi dia jadi lirik kamu terus.”
Dara juga tidak mau kalau Gio tahu gaji dia yang sebenarnya. “Aku tadi kebetulan ketemu sama Leta, tapi dia lagi sendirian di depan toko bunga gitu.”
“Toko bunga?”
Sembari meninggalkan kantor tempatnya Dara bekerja mereka berdua bercerita usai Dara menghubungi Gio.
Waktu itu mereka melewati lagi toko bunga yang dimaksud. Waktu baru saja mereka mau menghampiri Leta di sana. Tiba-tiba mobilnya Gio berhenti di sana dan membukakan pintu untuk Leta. “Lho dia bilang tadi sibuk,” sambar Robi yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Dara.
Gadis itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu menghubungi Gio. Tidak lama kemudian pria itu menjawab. “Halo, Sayang. Kenapa?”
“Kamu di mana?”
“Aku barusan aja pulang, ketemu sama Leta di depan toko bunga dia nunggu kendaraan mungkin. Aku sama dia.”
Dara menganggukkan kepalanya waktu itu berusaha percaya. “Oh gitu, ya udah kalian hati-hati. Aku lagi sama Kak Robi soalnya.”
“Ya udah kamu hati-hati, ya. Nanti malam aku mau lanjut kerja soalnya. Ada pertemuan sama klien aku.”
Telepon diputus oleh Dara sendiri. “Dia ngakunya baru pulang terus ketemu sama Kak Leta.”
Robi yang kemudian melanjutkan perjalanan. “Ya udahlah, tinggal percaya aja sama dia. Nggak usah mikir aneh-aneh segala, kan?”
Robi mengajaknya untuk pulang ke rumah untuk makan malam. “Kenapa ya Papa Kak Robi kayaknya nggak suka banget sama Papa aku?” ucap Dara tiba-tiba yang merasa kalau orangtuanya dijauhi oleh Arga.
Mereka berdua masuk dengan mesra sekali. “Ya aku sendiri nggak tahu. Tapi kan mereka itu saudara, ya nggak mungkin dong kalau mereka itu saling jauhi?”
“Bukan mereka yang saling jauhi. Tapi Papa Kakak yang nggak suka ke Papa aku. Entah kenapa dari dulu Papa nggak pernah akur juga kan. Dari dulu Om Arga selalu bilang kalau Dara tinggal aja di sini. Mau kuliah ke luar negeri? Gitu terus tawarannya.”
Robi mengibaskan tangannya di depan dadanya. “Sudahlah jangan dipikirkan soal itu. Nanti keburu tua mikirin masalah mereka.”
Tapi sarapan sekaligus makan siang malah justru kali ini nasi goreng. “Kamu kenapa sekarang suka banget makanan beginian?” “Gimana nggak suka, Sayang? Kamu dari kita pacaran ya sudah disediakan aku nasi goreng, kadang nasi uduk. Sejak sama kamu lho aku udah nggak sarapan sama roti.” Dara menyadari itu, dia menyediakan nasi yang setiap hari kalau Arvin mampir ke apartemennya untuk sarapan. “Sayang, apa aku ini pengacau di hidup kamu?” “Nggaklah, justru aku bahagia ya sejak kamu punya pemikiran terbuka. Sekarang jadi istriku, semuanya serba berbeda sekali rasanya, Dara.” “Semoga sehat terus, ya, Mas. Biar nanti bisa sama-sama. Kita punya anak terus bisa main bareng, awasi mereka. Pasti nanti kamu juga ngerasain gimana enaknya sama-sama dari awal.” Dari awal memang itu tujuan Arvin untuk bersama dengan istrinya. Sekarang malah wanita itu yang mengatakan kalau dia pasti akan bahagia hidup dari nol bersama sang istri. Usai makan siang, Arvin mengajak sang istri jalan-jalan di sekitar
Pagi-pagi Dara sudah bangun dan mendapati suaminya masih dalam keadaan tidur. Waktu dia melihat suaminya yang tertidur sangat lelap sekali di dekatnya, Dara mengusap pipi Arvin yang bahkan begadang semalam lantaran teman-temannya yang datang dan mengajak mengobrol sampai larut. “Ayo tidur, ngapain coba?” Arvin malah terbangun tapi malah Dara yang tersenyum karena suaminya. Arvin ikut bangun dari tidurnya. “Mas, bangun!” “Aku bangun nggak mau lepasin kamu ntar. Lanjut tidur aja.” Dara tidak mau tidur lagi tapi malah mengganggu suaminya, dia menarik hidung Arvin. Sampai pria itu benar-benar membuka matanya dan menarik Dara ke dalam pelukan. “Sayang, ayo tidur! Aku ngantuk lho.” Dara melepaskan pelukan dan mengambil ponselnya, sudah jam sebelas. “Mas ini jam sebelas lho.” “Masih pagi.” “Pagi apanya, kita yang tidurnya kelamaan. Itu juga gorden nggak dibuka ya kita mikirnya pagi.” “Tidur kenapa sih?” Dara tidak mau tapi Arvin malah terus memeluknya. “Jalan-jalan yuk!” “Eh nanti
Pengantin baru dengan gaun yang sangat indah di desain sendiri oleh Iriana yang dikhususkan untuk Dara. Tampak begitu cantik dengan balutan gaun indah serta make up yang sangat disukai oleh Dara.Apalagi ketika melihat penampilan Arvin mengenakan kemeja yang serasi dengannya. Pria itu sangat tampan, Dara tersenyum melihat suaminya yang juga sudah siap untuk keluar dari tempat make up mereka.Menikah, dulu pernah diinginkan dengan sangat oleh Dara. Begitu terwujud pun sekarang justru di luar nalarnya kalau ia akan jadi secantik ini di hari pernikahannya. Berterima kasih kepada sang mama yang telah mendesain gaun secantik ini.Dijadikan ratu oleh mertua sendiri di hari bahagianya. Dara berpikir ini akan jadi pesta yang paling bahagia seumur hidupnya. Tidak pernah dibahagiakan dengan cara seperti ini pada waktu yang lalu. Namun khusus untuk hari ini dia merasa sangat bahagia sekali.Arvin menatap istrinya sangat bahagia sekali di hari yang indah ini. “Apa hutangku sudah lunas, sayang?”“
Arvin malah gugup malam harinya pasalnya besok malam adalah acara untuk pesta mereka. Menikah? Berkali-kali kamus di dalam hidupnya berusaha dibuka oleh Arvin untuk mencari itu. Namun tetap tidak ada. Akan tetapi setelah bertemu dengan Dara. Semua itu berbeda sekali dengan apa yang telah direncanakan oleh Arvin.Sewaktu ada di dalam kamar bersama sang istri. Wanita ini malah membaca novel yang ada di kamarnya Arvin. “Apa aku sedang diselingkuhi sama buku?”Dara menoleh ke arahnya. “Kenapa bilang begitu?”“Aku dari tadi ngomong sendirian.”Tapi wanita itu malah kembali fokus lagi terhadap bacaannya. Benar-benar mengabaikan apa yang sudah dikatakan oleh Arvin. Jujur saja kalau Dara terlihat malah makin dewasa setelah menikah. “Sayang, kapan ulang tahun?”Arvin tidur di paha istrinya lalu menyingkirkan buku itu karena tidak terima ditinggalkan oleh istrinya yang hanya fokus pada buku. “Kasih aku hadiah kalau aku ulang tahun.”Pria itu menaruh tangan istrinya di atas kepalanya sendiri. “Y
Tidak meleset yang dikatakan oleh Arvin mengenai acara malam ini. Beberapa karyawan meminta untuk foto bersama. Selesai itu akan langsung makan-makan dan salah seorang mengambil mikrofon setelah ada instrumen musik yang diputar.Pria itu berjoget di depan Arvin sampai Dara tertawa lepas bahkan Khadafi yang tertawa melihat kelakuan anak buahnya.Lagu dangdut sambil berjoget sampai Arvin malah tertawa melihat kelakuan orang yang menyanyikan lagu untuknya. Tidak sedikit juga yang datang untuk menyawer si pria sampai Arvin juga malah merasa lucu dengan pernikahannya.Arvin mau menyangkal kalau ini bukan konsep yang diinginkan, tapi inilah yang terjadi. Pernikahan dengan segala keseruan dari orang kantornya. Khadafi malah ikut mendekat dan ikut berjoget di sana. Jatuh sudah wibawa seorang bos besar yang malah berjoget di depan banyaknya karyawan yang lain sambil mengeluarkan uangnya dan berjoget di sana.“Papa malah ikutan juga,” kata Arvin yang terus tertawa melihat beberapa orang yang ma
Dara sudah mendengar keputusan dari Sabrina, bahwa ia positif tidak diperbolehkan bekerja oleh mertuanya. Meskipun keinginan itu sangat besar, tapi benar-benar diperlakukan seperti anak kandung. “Itu muka kenapa cemberut, sih?” Arvin menghampiri sembari mengunyah makanan.Dara menatap suaminya yang terus makan. “Kamu kenapa sih makan terus?”“Namanya juga lapar. Kamu datang bulan? Emosian amat sih,”Arvin menyindirnya dan pria itu duduk di sofa menaikkan sebelah kakinya. “Mama nggak bolehin aku kerja.”“Ya nggak masalah kalau nggak dibolehin.”Dara malah tidak dibela oleh suaminya. “Kamu setuju aku nggak kerja?”“Ya gimana, kalau Mama sudah bilang begitu aku nggak bisa komentar. Aku sudah pernah bilang kalau ada pilihan antara kamu sama Mama. Aku nggak bakalan pilih keduanya.”“Jadi, aku nggak boleh kerja?”Arvin masih mengunyah makanannya. “Emang Mama bilang apa sama kamu?” tanya Arvin masih santai menanggapi istrinya.Dara masih sedikit kesal lalu kemudian menjawab. “Mama bilang kal