Share

Bab 4. Keputusan Panas

Author: nanadvelyns
last update Last Updated: 2025-09-19 14:20:59

Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona buru-buru menyingkirkan diri dari bayangan William yang masih melekat dalam pikirannya. 

Jantungnya berdetak kencang. Napasnya belum sepenuhnya teratur. 

Adegan tadi, di mana tubuhnya hampir jatuh lalu berakhir dalam pelukan William, masih berputar di kepalanya. 

Jika seseorang tadi benar-benar mengenalinya, habislah dirinya.

Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi terdekat. Pintu ditutup rapat, Fiona bersandar sejenak pada dinding dingin keramik. 

Tangannya gemetar saat melepaskan jas kerja abu-abu yang selama ini menjadi seragam wajib karyawan magang. 

Ia gantungkan jas itu di belakang pintu, menyisakan hanya kemeja putih panjang yang menutupi tubuh mungilnya. 

Kancing paling atas kemeja ia longgarkan, lalu ia melepas kunciran rambutnya. 

Rambut hitam panjang terurai bebas, jatuh di bahunya.

“Setidaknya… kalau tadi ada yang lihat, sekarang mereka takkan curiga itu aku,” gumamnya lirih, menatap bayangan sendiri di cermin. 

Wajah pucat dengan mata sedikit bengkak menatap balik dirinya.

Fiona mengembuskan napas panjang, lalu keluar dan kembali ke ruang menelitinya.

Begitu ia melangkah masuk ke ruang kerja tim peneliti makanan ringan, suara riuh segera menyambut. 

Teman-teman satu divisinya tampak heboh membicarakan sesuatu.

“Astaga, kalian lihat barusan?!” seru salah satu dari mereka, Mira, dengan mata berbinar penuh gosip.

“Iya! Aku tadi lihat jelas. Ada cewek misterius di pelukan Pak William!” timpal yang lain, Lenny, sambil setengah berbisik meski jelas semua orang bisa mendengar.

“Cantik banget kayaknya, tapi aku nggak kenal. Pasti bukan karyawan sini deh,” sahut yang lain.

“Apa mungkin pacarnya? Atau selingkuhannya? Gila sih, masih jam kerja, di lift pula!”

Suasana makin ramai dengan tebak-tebakan liar. 

Ada yang menduga wanita itu artis yang diam-diam dekat dengan William, ada yang mengatakan mungkin rekan bisnis luar negeri, bahkan ada yang berspekulasi itu hanya salah satu tamu kehormatan perusahaan.

Fiona berusaha menahan wajahnya agar tetap datar. 

Jantungnya masih berdebar, tapi dalam hati ia sedikit lega. 

Tak seorang pun yang mengaitkan kejadian itu dengannya. 

Tidak ada yang sadar bahwa “wanita misterius” itu sebenarnya adalah dirinya, si karyawan magang yang selama ini nyaris tak diperhatikan.

Ia duduk, menyalakan komputer, mencoba kembali fokus. 

Tangannya mulai mengetik, menata data penelitian terbaru tentang sampel makanan ringan rendah kalori. 

Namun konsentrasi Fiona buyar seketika ketika notifikasi email masuk muncul di layar.

Subjek: Tagihan Pembayaran – Rp100.000.000

Pengirim: [noreply@judol-online.com]

Fiona terbelalak.

“Apa-apaan ini?” bisiknya. Dengan cepat ia membuka email itu. 

Di dalamnya tertera jelas, ia memiliki kewajiban membayar tagihan judi daring sebesar seratus juta rupiah, atas nama akun yang didaftarkan dengan identitas lengkap dirinya. 

Nomor KTP, alamat email, bahkan rekening bank tercantum—semua miliknya.

“Tidak mungkin… aku bahkan tidak pernah buka situs semacam ini!” Fiona menutup mulutnya, tubuhnya gemetar.

Otaknya langsung mengarah ke satu nama. Leon.

Tangannya refleks meraih ponsel. Ia menekan tombol panggilan berulang-ulang, memanggil Leon puluhan kali. 

Namun panggilannya tidak pernah dijawab. Suara sambungan hanya terus berdering, lalu terputus.

“Leon… dasar brengsek!” Fiona memukul meja kecil di sampingnya. Rasa muak memenuhi dadanya. 

Sejak awal ia sudah tahu kebiasaan buruk pria itu, tapi tidak pernah menyangka Leon akan tega memakai identitasnya untuk berjudi.

Hari kerja terasa begitu panjang. Fiona hampir tidak bisa berkonsentrasi. 

Data-data penelitian yang biasanya bisa ia teliti dengan tenang kini hanya menjadi angka-angka kosong di layar. 

Ia merasa kepalanya penuh dengan bara kemarahan dan rasa putus asa.

Begitu jam kerja usai, Fiona langsung membereskan barang-barangnya tanpa basa-basi. 

Ia tidak menyapa siapa pun, tidak menoleh ke arah teman-temannya yang masih sibuk bergosip soal William. 

Dengan langkah cepat ia keluar gedung, menahan diri agar tidak menangis di depan umum.

Setibanya di apartemen, pemandangan yang sama menyambutnya, rumah berantakan, bau rokok bercampur sisa makanan basi, dan Leon yang masih terlelap di kamar, seolah dunia tidak punya masalah.

“Leon!” Fiona membanting pintu kamar.

Pria itu menggeliat sebentar, lalu membuka mata dengan malas. “Apa lagi sih, Fi? Ribut banget.”

“Apa maksudmu pakai dataku buat judi?!” Suara Fiona pecah, matanya berair. “Ada tagihan seratus juta atas namaku! Kau gila?!”

Leon mengucek matanya, duduk, lalu tertawa kecil. “Ah, itu toh. Tenang aja. Nanti juga beres. Jangan kayak orang panik.”

“Beress?!” Fiona hampir menjerit. “Uang dari mana kita bayar hutang sebesar itu? Aku sudah kerja banting tulang, sementara kamu—kamu cuma tidur, main game, dan sekarang berjudi pakai namaku! Kau pikir aku ini apa, Leon?!”

Ekspresi Leon berubah dingin. “Fi, jangan drama. Kalau kamu kerja lebih keras lagi, hutang itu bisa cepat lunas. Toh, kamu masih punya kesempatan. Lagipula… aku yakin kamu nggak mau kalau foto-foto pribadimu itu tiba-tiba tersebar, kan?”

Fiona tercekat. Kalimat itu lagi. Ancaman yang selalu berhasil membungkamnya.

“Aku capek, Leon…” suaranya parau. “Aku kerja siang malam, aku bersihin rumah, aku masakin kamu, dan sekarang aku juga harus tanggung hutang berjudi. Aku udah gak kuat lagi.”

Namun bukannya luluh, Leon justru bangkit dan membentaknya. “Kalau kamu nggak kuat, keluar aja dari sini! Jangan sok menyalahkan aku! Semua ini bisa selesai kalau kamu lebih nurut sama aku!”

Fiona terpaku. Matanya panas, dadanya sesak.

Leon mendekat, wajahnya merah penuh emosi. “Dan jangan pernah lagi nyebut-nyebut soal aku harus kerja! Aku nggak butuh kerja kantoran norak itu! Ngerti?!”

“Aku cuma mau kita hidup normal, Leon…” Fiona masih berusaha bicara. “Aku ingin kita punya masa depan. Bukan terus begini!”

Bentakan keras kembali melayang. “Diam, Fiona!”

Tangan Leon bergerak kasar, menepis bahunya dengan keras hingga Fiona terhuyung ke sisi ranjang. 

Tubuhnya sakit, tapi yang lebih menyakitkan adalah hatinya.

Tanpa menoleh lagi, Leon meraih jaket lusuhnya, lalu keluar dari kamar. 

Suara pintu apartemen dibanting keras, meninggalkan Fiona sendirian di tengah kekacauan.

Hening.

Fiona terduduk di lantai. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. 

Tubuhnya gemetar, jiwanya lelah. Semua tenaga seakan disedot keluar dari dirinya.

Ia menatap layar ponselnya. Notifikasi email tagihan seratus juta masih terpampang jelas. 

Itu bukan sekadar angka—itu adalah jerat, belenggu yang menghancurkan sisa kekuatan yang ia miliki.

“Oke… kalau memang takdirku seperti ini…” Fiona berbisik, suara lirih bercampur tangis. “Kalau aku harus jatuh sedalam ini…”

Tangannya gemetar saat menekan kontak yang selama ini ia hindari. 

Nama William terpampang di layar. Hatinya berontak, tapi pikirannya buntu. Ia tidak punya jalan lain.

Sambungan terhubung. Suara dering berulang. Fiona menggigit bibir, menahan sesak di dadanya.

Begitu sambungan diangkat, ia langsung bicara.

“Kamu di mana?” suaranya lirih, nyaris pecah.

Hening beberapa detik. Fiona tidak memberi kesempatan untuk jawaban. 

Ia menutup mata, lalu mengucapkan kalimat yang membuat hatinya serasa jatuh ke jurang.

“Tawaran yang sebelumnya… apa masih berlaku?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 8. Manis Bercampur Darah

    Fiona duduk dengan canggung di hadapan William, tubuhnya terasa kaku seakan kursi empuk itu berubah menjadi duri yang menusuk kulitnya. Di antara mereka, meja besar dari kayu mahoni tampak penuh dengan hidangan mewah yang disusun rapi. Aroma tajam dan gurih dari berbagai jenis makanan mahal menyeruak, menusuk hidungnya, membuat perut Fiona bergejolak meskipun ia berusaha menahannya.William melepaskan dasinya perlahan, lalu menggulung lengan kemeja putihnya hingga siku. Gerakannya tenang, terukur, seolah setiap detail sengaja diperlihatkan. Tangannya kemudian meraih salah satu kaki lobster berukuran besar. Dengan senyum tipis yang lebih mirip seringai, ia berkata ringan, “Bukankah ini semua makanan kesukaanmu? Ada seafood, carbonara, steak, dan masih banyak lagi. Kau mau yang mana dulu?”Fiona terbatuk pelan, mencoba menutupi gugup yang merambati tubuhnya. Ia hendak meraih kaki lobster lainnya, berusaha bersikap biasa, tetapi tiba-tiba William sudah lebih dulu meletakkan potonga

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 7. Kalah Kau Tidak Mau, Maka Aku Yang Mau

    Fiona buru-buru meraih kotak ponsel yang baru saja diberikan William. Ia menoleh kanan dan kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang memperhatikan gerak-geriknya. Untung saja, ruangan kerja tempat ia duduk masih cukup sepi. Entah kemana rekan-rekan magangnya, mungkin masih sibuk dengan laporan di lantai atas atau sekadar menghirup kopi di pantry. Tanpa pikir panjang, Fiona segera menyelipkan kotak itu ke dalam tas kerjanya. Rasanya jantungnya berdetak tidak karuan, takut ada mata yang tiba-tiba menangkap adegan kecil itu.Baru saja ia hendak menenangkan diri, ponselnya sendiri bergetar. Fiona membuka layar, dan matanya membelalak begitu membaca notifikasi transfer masuk. Angka yang tertera di sana membuat tenggorokannya tercekat—seratus juta rupiah. William benar-benar mentransferkannya. Uang sesuai kesepakatan mereka kemarin, ketika Fiona dengan terpaksa menyebut nominal itu demi menyelamatkan dirinya dari ancaman Leon.Tangannya bergetar halus saat menggenggam ponsel. Rasa

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 6. Rona Merah Dari Dosa Yang Manis

    Pagi itu, suasana kantor masih terasa lengang.Beberapa pegawai baru saja datang, sebagian masih sibuk menyalakan komputer, dan sisanya bergegas menyeduh kopi di pantry.Fiona berjalan memasuki ruangan dengan langkah tenang, membawa tas kerja totebag sederhana.Ia mengenakan kemeja biru cerah yang membuat kulitnya tampak lebih segar, rambutnya dibiarkan tergerai bergelombang alami, memberi kesan sederhana namun memikat.Ia menyalakan komputernya perlahan, berusaha mengatur ritme napas agar lebih tenang.Hari ini sama saja seperti hari-hari sebelumnya, atau setidaknya ia berharap begitu.Jari-jarinya mulai bergerak di atas papan ketik, memeriksa laporan penelitian makanan ringan yang kemarin belum selesai.Namun, baru sebentar ia fokus, suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar di belakangnya.“Nona Fiona,” panggil suara itu.Tubuh Fiona refleks menegang, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Ia menoleh cepat, dan benar saja—James berdiri tidak jauh darinya, dengan senyum khas ya

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 5. William Winston, Kekasih Gelap Yang Baik

    Fiona menundukkan kepala ketika tiba di taman kota itu. Taman kecil dengan bangku kayu yang agak tua, dikelilingi pohon flamboyan, tempat ia dulu sering bertemu William secara diam-diam. Malam ini udara terasa lebih dingin, meskipun musim belum benar-benar berganti. Lampu jalan redup menyorot wajahnya yang setengah tersembunyi di balik hoodie kebesaran berwarna abu-abu.Ia sengaja memilih pakaian itu. Hoodie kebesaran yang bisa menutupi tubuh mungilnya, sekaligus menyembunyikan luka di balik kain. Rambutnya sengaja ia uraikan berantakan ke depan wajah, sebagian menutupi pipi kirinya yang membengkak dan dahi yang berwarna biru keunguan. Luka yang jelas bukan karena jatuh biasa. Luka yang ia coba sembunyikan dari dunia.Tangannya menggenggam erat ujung lengan hoodie, sementara pikirannya berputar. “Semoga dia tidak banyak bertanya,” bisiknya pelan, seolah menguatkan diri sendiri.Tak lama kemudian, suara deru mesin mobil sport terdengar mendekat. Cahaya lampu depan menerangi jalur

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 4. Keputusan Panas

    Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona buru-buru menyingkirkan diri dari bayangan William yang masih melekat dalam pikirannya. Jantungnya berdetak kencang. Napasnya belum sepenuhnya teratur. Adegan tadi, di mana tubuhnya hampir jatuh lalu berakhir dalam pelukan William, masih berputar di kepalanya. Jika seseorang tadi benar-benar mengenalinya, habislah dirinya.Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi terdekat. Pintu ditutup rapat, Fiona bersandar sejenak pada dinding dingin keramik. Tangannya gemetar saat melepaskan jas kerja abu-abu yang selama ini menjadi seragam wajib karyawan magang. Ia gantungkan jas itu di belakang pintu, menyisakan hanya kemeja putih panjang yang menutupi tubuh mungilnya. Kancing paling atas kemeja ia longgarkan, lalu ia melepas kunciran rambutnya. Rambut hitam panjang terurai bebas, jatuh di bahunya.“Setidaknya… kalau tadi ada yang lihat, sekarang mereka takkan curiga itu aku,” gumamnya lirih, menatap bayangan sendiri di cermin. Wajah pucat dengan

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 3. Tertangkap Di Lift

    Sebelum Fiona sempat menjawab, tangan William menariknya masuk lebih dalam ke lift. Sentuhan itu kuat, membuat Fiona tak bisa melawan. Pintu lift tertutup rapat, menyisakan keduanya di dalam ruang sempit.Fiona hanya bisa berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona tersadar bahwa dirinya masih berada terlalu dekat dengan William. Refleks, ia menepis kasar tangan pria itu.“Kenapa lagi kali ini?!” serunya lantang, nadanya penuh protes dan amarah yang ia pendam sejak di lobi. Napasnya memburu, dada naik turun tidak teratur. “Kenapa James mengikuti aku? Bahkan sampai mengejar? Apa kalian memang hobi menakut-nakuti orang?”William hanya menatapnya, alisnya sedikit terangkat, seolah heran dengan reaksi meledak-ledak itu. “James mengejarmu karena ada alasan jelas.”“Alasan apa?!” Fiona menantang.“Kartu akses kantor,” ujarnya datar. “Kau menjatuhkannya kemarin saat terburu-buru meninggalkan ruanganku. James hanya ingin mengembalikannya.”Fiona m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status