LOGINBegitu pintu lift menutup rapat, Fiona buru-buru menyingkirkan diri dari bayangan William yang masih melekat dalam pikirannya.
Jantungnya berdetak kencang. Napasnya belum sepenuhnya teratur.
Adegan tadi, di mana tubuhnya hampir jatuh lalu berakhir dalam pelukan William, masih berputar di kepalanya.
Jika seseorang tadi benar-benar mengenalinya, habislah dirinya.
Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi terdekat. Pintu ditutup rapat, Fiona bersandar sejenak pada dinding dingin keramik.
Tangannya gemetar saat melepaskan jas kerja abu-abu yang selama ini menjadi seragam wajib karyawan magang.
Ia gantungkan jas itu di belakang pintu, menyisakan hanya kemeja putih panjang yang menutupi tubuh mungilnya.
Kancing paling atas kemeja ia longgarkan, lalu ia melepas kunciran rambutnya.
Rambut hitam panjang terurai bebas, jatuh di bahunya.
“Setidaknya… kalau tadi ada yang lihat, sekarang mereka takkan curiga itu aku,” gumamnya lirih, menatap bayangan sendiri di cermin.
Wajah pucat dengan mata sedikit bengkak menatap balik dirinya.
Fiona mengembuskan napas panjang, lalu keluar dan kembali ke ruang menelitinya.
Begitu ia melangkah masuk ke ruang kerja tim peneliti makanan ringan, suara riuh segera menyambut.
Teman-teman satu divisinya tampak heboh membicarakan sesuatu.
“Astaga, kalian lihat barusan?!” seru salah satu dari mereka, Mira, dengan mata berbinar penuh gosip.
“Iya! Aku tadi lihat jelas. Ada cewek misterius di pelukan Pak William!” timpal yang lain, Lenny, sambil setengah berbisik meski jelas semua orang bisa mendengar.
“Cantik banget kayaknya, tapi aku nggak kenal. Pasti bukan karyawan sini deh,” sahut yang lain.
“Apa mungkin pacarnya? Atau selingkuhannya? Gila sih, masih jam kerja, di lift pula!”
Suasana makin ramai dengan tebak-tebakan liar.
Ada yang menduga wanita itu artis yang diam-diam dekat dengan William, ada yang mengatakan mungkin rekan bisnis luar negeri, bahkan ada yang berspekulasi itu hanya salah satu tamu kehormatan perusahaan.
Fiona berusaha menahan wajahnya agar tetap datar.
Jantungnya masih berdebar, tapi dalam hati ia sedikit lega.
Tak seorang pun yang mengaitkan kejadian itu dengannya.
Tidak ada yang sadar bahwa “wanita misterius” itu sebenarnya adalah dirinya, si karyawan magang yang selama ini nyaris tak diperhatikan.
Ia duduk, menyalakan komputer, mencoba kembali fokus.
Tangannya mulai mengetik, menata data penelitian terbaru tentang sampel makanan ringan rendah kalori.
Namun konsentrasi Fiona buyar seketika ketika notifikasi email masuk muncul di layar.
Subjek: Tagihan Pembayaran – Rp100.000.000
Pengirim: [noreply@judol-online.com]
Fiona terbelalak.
“Apa-apaan ini?” bisiknya. Dengan cepat ia membuka email itu.
Di dalamnya tertera jelas, ia memiliki kewajiban membayar tagihan judi daring sebesar seratus juta rupiah, atas nama akun yang didaftarkan dengan identitas lengkap dirinya.
Nomor KTP, alamat email, bahkan rekening bank tercantum—semua miliknya.
“Tidak mungkin… aku bahkan tidak pernah buka situs semacam ini!” Fiona menutup mulutnya, tubuhnya gemetar.
Otaknya langsung mengarah ke satu nama. Leon.
Tangannya refleks meraih ponsel. Ia menekan tombol panggilan berulang-ulang, memanggil Leon puluhan kali.
Namun panggilannya tidak pernah dijawab. Suara sambungan hanya terus berdering, lalu terputus.
“Leon… dasar brengsek!” Fiona memukul meja kecil di sampingnya. Rasa muak memenuhi dadanya.
Sejak awal ia sudah tahu kebiasaan buruk pria itu, tapi tidak pernah menyangka Leon akan tega memakai identitasnya untuk berjudi.
Hari kerja terasa begitu panjang. Fiona hampir tidak bisa berkonsentrasi.
Data-data penelitian yang biasanya bisa ia teliti dengan tenang kini hanya menjadi angka-angka kosong di layar.
Ia merasa kepalanya penuh dengan bara kemarahan dan rasa putus asa.
Begitu jam kerja usai, Fiona langsung membereskan barang-barangnya tanpa basa-basi.
Ia tidak menyapa siapa pun, tidak menoleh ke arah teman-temannya yang masih sibuk bergosip soal William.
Dengan langkah cepat ia keluar gedung, menahan diri agar tidak menangis di depan umum.
Setibanya di apartemen, pemandangan yang sama menyambutnya, rumah berantakan, bau rokok bercampur sisa makanan basi, dan Leon yang masih terlelap di kamar, seolah dunia tidak punya masalah.
“Leon!” Fiona membanting pintu kamar.
Pria itu menggeliat sebentar, lalu membuka mata dengan malas. “Apa lagi sih, Fi? Ribut banget.”
“Apa maksudmu pakai dataku buat judi?!” Suara Fiona pecah, matanya berair. “Ada tagihan seratus juta atas namaku! Kau gila?!”
Leon mengucek matanya, duduk, lalu tertawa kecil. “Ah, itu toh. Tenang aja. Nanti juga beres. Jangan kayak orang panik.”
“Beress?!” Fiona hampir menjerit. “Uang dari mana kita bayar hutang sebesar itu? Aku sudah kerja banting tulang, sementara kamu—kamu cuma tidur, main game, dan sekarang berjudi pakai namaku! Kau pikir aku ini apa, Leon?!”
Ekspresi Leon berubah dingin. “Fi, jangan drama. Kalau kamu kerja lebih keras lagi, hutang itu bisa cepat lunas. Toh, kamu masih punya kesempatan. Lagipula… aku yakin kamu nggak mau kalau foto-foto pribadimu itu tiba-tiba tersebar, kan?”
Fiona tercekat. Kalimat itu lagi. Ancaman yang selalu berhasil membungkamnya.
“Aku capek, Leon…” suaranya parau. “Aku kerja siang malam, aku bersihin rumah, aku masakin kamu, dan sekarang aku juga harus tanggung hutang berjudi. Aku udah gak kuat lagi.”
Namun bukannya luluh, Leon justru bangkit dan membentaknya. “Kalau kamu nggak kuat, keluar aja dari sini! Jangan sok menyalahkan aku! Semua ini bisa selesai kalau kamu lebih nurut sama aku!”
Fiona terpaku. Matanya panas, dadanya sesak.
Leon mendekat, wajahnya merah penuh emosi. “Dan jangan pernah lagi nyebut-nyebut soal aku harus kerja! Aku nggak butuh kerja kantoran norak itu! Ngerti?!”
“Aku cuma mau kita hidup normal, Leon…” Fiona masih berusaha bicara. “Aku ingin kita punya masa depan. Bukan terus begini!”
Bentakan keras kembali melayang. “Diam, Fiona!”
Tangan Leon bergerak kasar, menepis bahunya dengan keras hingga Fiona terhuyung ke sisi ranjang.
Tubuhnya sakit, tapi yang lebih menyakitkan adalah hatinya.
Tanpa menoleh lagi, Leon meraih jaket lusuhnya, lalu keluar dari kamar.
Suara pintu apartemen dibanting keras, meninggalkan Fiona sendirian di tengah kekacauan.
Hening.
Fiona terduduk di lantai. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Tubuhnya gemetar, jiwanya lelah. Semua tenaga seakan disedot keluar dari dirinya.
Ia menatap layar ponselnya. Notifikasi email tagihan seratus juta masih terpampang jelas.
Itu bukan sekadar angka—itu adalah jerat, belenggu yang menghancurkan sisa kekuatan yang ia miliki.
“Oke… kalau memang takdirku seperti ini…” Fiona berbisik, suara lirih bercampur tangis. “Kalau aku harus jatuh sedalam ini…”
Tangannya gemetar saat menekan kontak yang selama ini ia hindari.
Nama William terpampang di layar. Hatinya berontak, tapi pikirannya buntu. Ia tidak punya jalan lain.
Sambungan terhubung. Suara dering berulang. Fiona menggigit bibir, menahan sesak di dadanya.
Begitu sambungan diangkat, ia langsung bicara.
“Kamu di mana?” suaranya lirih, nyaris pecah.
Hening beberapa detik. Fiona tidak memberi kesempatan untuk jawaban.
Ia menutup mata, lalu mengucapkan kalimat yang membuat hatinya serasa jatuh ke jurang.
“Tawaran yang sebelumnya… apa masih berlaku?”
Malam itu, gedung Winston Holdings telah sepi. Lampu-lampu di lantai atas padam satu per satu, menyisakan hanya cahaya dari ruang kerja pribadi Elizabeth Ratore.Wanita itu duduk di kursinya, kaki disilangkan rapi, segelas anggur merah di tangan.Di depannya, layar laptop menampilkan berita ekonomi dengan headline besar:“Krisis Pasokan Bahan Baku Mengancam Produksi SnackLine Winston.”Elizabeth tersenyum kecil. “Cepat juga, ya,” gumamnya puas. Ia baru saja menekan satu tombol dua jam lalu — pesan singkat ke kenalannya di perusahaan pemasok besar di Texas, mitra utama Winston Holdings. Sekarang efeknya sudah mulai terasa.“Kalau kau menolak aku, William Winston, aku akan buatmu berlutut di hadapan semua yang pernah kau bangun,” bisiknya pelan, nada suaranya setenang racun yang meresap perlahan.Ketukan pintu terdengar.Elizabeth menoleh sekilas. “Masuk.”Mikhail muncul, mengenakan jas abu-abu yang sedikit kusut, wajahnya tampak ragu.“Elizabeth,” katanya pelan. “Kau ingin menemuiku?
Fiona datang lebih awal dari biasanya, berharap bisa bekerja dengan tenang tanpa menghadapi tatapan aneh dari rekan-rekan. Namun baru sepuluh menit duduk di meja kerjanya, ponselnya bergetar — pesan dari Jessica."Fi, dengar-dengar bakal ada rapat darurat direksi pagi ini. Katanya soal 'isu internal' perusahaan. Hati-hati."Fiona memandangi layar itu lama. “Isu internal.” Ia tahu betul maksud tersembunyi dari kata itu.Suara langkah berat di belakangnya membuatnya menoleh.Mikhail berdiri dengan wajah tegang, map hitam di tangan. “Fiona, kita perlu bicara. Sekarang.”Fiona bangkit perlahan, menatapnya cemas. “Ada apa lagi, Mikhail?”“Aku baru dipanggil ke lantai atas. Elizabeth akan memimpin presentasi kepada dewan. Topiknya, laporan pelanggaran profesional oleh staf magang. Dan mereka menyiapkan rekaman pesan—”“Pesan apa?” Fiona memotong cepat, darahnya terasa berhenti mengalir.“Pesan suara dari ponsel yang katanya milikmu,” Mikhail menjawab lirih. “Tapi aku tahu itu rekayasa. Mer
Suasana kantor Winston berubah drastis.Bisikan halus terdengar di setiap sudut koridor. Tatapan-tatapan cepat muncul setiap kali Fiona lewat. Tak ada lagi sapaan hangat dari rekan-rekan yang dulu memujinya atas kerja keras. Semua digantikan bisikan samar, senyum pura-pura, dan rasa canggung yang menusuk.Fiona berusaha menegakkan kepala, berlagak tidak mendengar.Namun setiap langkahnya terasa berat.Ia tahu gosip itu menyebar cepat. Tentang dirinya dan Mikhail. Tentang hubungan yang katanya “tidak pantas”.Tentang bagaimana ia memanfaatkan kedekatannya dengan William Winston untuk naik jabatan.Semuanya bohong — tapi kebenaran tidak lagi penting ketika kebohongan sudah jadi bahan hiburan.Ketika Fiona membuka pintu ruang rapat kecil, Jessica, sahabatnya, menutup laptop cepat.Wajahnya menegang, seolah takut tertangkap basah.“Jess?” Fiona berusaha tersenyum, tapi suaranya nyaris bergetar.Jessica menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. “Aku tidak percaya gosip itu, Fi. Ta
Udara di kantor Winston terasa lebih berat dari biasanya.Setiap langkah Fiona di lorong seakan diikuti tatapan-tatapan samar. Sejak kabar kebocoran data itu merebak, segala hal terasa lebih dingin — bahkan cahaya lampu pun seolah memudar.Namun pagi itu berbeda.Ketika Fiona sampai di meja kerjanya, ia menemukan setangkai mawar putih di atas dokumen-dokumen yang belum sempat ia rapikan.Tidak ada kartu nama. Tidak ada catatan kecil. Hanya bunga itu — dan aroma samar parfum yang tidak asing.Hidungnya menangkap aroma khas cologne William.Seketika, senyum kecil muncul di wajahnya.Mungkin ini cara pria itu untuk menebus kesalahpahaman tempo hari.Mungkin William masih peduli.Namun sebelum Fiona sempat menyimpan bunga itu, Mikhail muncul dari balik partisi.“Kau masih percaya padanya?” tanyanya tiba-tiba.Fiona menatapnya, bingung. “Maksudmu?”Mikhail menatap mawar itu tajam. “Pria yang kau pikir selalu melindungimu. Apakah dia juga yang memberimu bunga itu?”Nada suaranya terdengar
Hujan baru saja turun, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan tapi menyakitkan di dada. Semua orang sudah pulang, hanya tersisa suara mesin pendingin dan langkah sepatunya yang bergema di lorong panjang.Sejak percakapan singkatnya dengan William siang tadi, dadanya terasa sesak.Ia tahu William tidak benar-benar mempercayai tuduhan itu — tapi diamnya pria itu jauh lebih menyakitkan daripada amarah.Seolah-olah... William mulai ragu lagi.Fiona memeluk tasnya erat-erat, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. Ia sudah terlalu sering menangis karena pria itu, tapi kali ini berbeda.Kali ini, ia menangis bukan karena kehilangan, melainkan karena berjuang terlalu lama sendirian.Di sisi lain gedung, dari balik kaca ruangan lantai atas, William berdiri dengan tangan di saku, memandangi Fiona yang melangkah keluar sendirian dengan payung kecil.Ia tahu gadis itu merasa terluka. Tapi rasa curiga yang tumbuh di antara mereka terlalu sulit dihapus.James, asisten pribadinya, b
Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu, dan Winston Group tenggelam dalam kesibukan luar biasa.William duduk di ruang rapat lantai atas, matanya menatap layar presentasi tanpa benar-benar memperhatikan. Ia tampak seperti patung — rapi, tenang, tapi beku. Di sisi lain meja, Elizabeth dengan senyum profesional memaparkan laporan kinerja cabang Singapura seolah-olah tak terjadi apa pun antara mereka.“...dan karena permintaan meningkat 22% di kuartal terakhir, kami akan memperluas produksi di Cikarang,” ucap Elizabeth mantap, lalu memalingkan pandangannya sekilas ke William, seolah menantikan reaksi.Namun pria itu hanya mengangguk pelan. “Lanjutkan.”Begitu rapat usai, semua keluar, meninggalkan dua orang itu di ruangan luas nan hening. Elizabeth berdiri, melangkah mendekat.“Kau kelihatan lelah, Will,” katanya lembut, suaranya dibuat setenang mungkin. “Aku tahu kehilangan kepercayaan itu berat. Tapi aku hanya ingin mengingatkan... tidak semua orang yang tersenyum padamu pantas kau







