Sebelum Fiona sempat menjawab, tangan William menariknya masuk lebih dalam ke lift.
Sentuhan itu kuat, membuat Fiona tak bisa melawan.
Pintu lift tertutup rapat, menyisakan keduanya di dalam ruang sempit.
Fiona hanya bisa berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang.
Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona tersadar bahwa dirinya masih berada terlalu dekat dengan William.
Refleks, ia menepis kasar tangan pria itu.
“Kenapa lagi kali ini?!” serunya lantang, nadanya penuh protes dan amarah yang ia pendam sejak di lobi.
Napasnya memburu, dada naik turun tidak teratur. “Kenapa James mengikuti aku? Bahkan sampai mengejar? Apa kalian memang hobi menakut-nakuti orang?”
William hanya menatapnya, alisnya sedikit terangkat, seolah heran dengan reaksi meledak-ledak itu. “James mengejarmu karena ada alasan jelas.”
“Alasan apa?!” Fiona menantang.
“Kartu akses kantor,” ujarnya datar. “Kau menjatuhkannya kemarin saat terburu-buru meninggalkan ruanganku. James hanya ingin mengembalikannya.”
Fiona membeku di tempatnya.
Beberapa detik lalu ia memaki dalam hati, menyangka James akan melakukan hal buruk.
Ia bahkan sempat berpikir pria itu hendak menghabisinya.
Namun kenyataannya, James hanya mencoba menyerahkan sesuatu yang penting.
Pipi Fiona terasa panas. Malu menyelusup dalam dadanya, meski gengsinya masih menahan untuk meminta maaf secara gamblang.
“Aku… aku tidak sadar menjatuhkannya,” katanya terbata. “Ya sudah… aku akan temui James nanti, untuk ambil kembali.”
William mengangkat sebelah alis, lalu dengan santai melayang-layangkan kartu akses itu di udara, seolah sedang mempermainkan seekor anak kucing. “Temui James? Untuk apa repot-repot? Aku sudah punya kartumu di sini.”
Fiona mendelik. “Kalau begitu, kembalikan!”
William tidak bergeming, justru menjauhkan kartu dari jangkauan tangannya. “Kau yakin mau sekarang? Atau kau lebih suka aku simpan dulu… biar setiap kali kau masuk kantor, kau harus mencariku lebih dulu?”
Nada suaranya terdengar sengaja mengusik. Fiona semakin kesal.
Ia melangkah cepat, mencoba merebut kartu itu.
Namun William lebih gesit, mengangkat tangan lebih tinggi, membuatnya sulit dijangkau.
“William! Jangan main-main!”
“Siapa yang main-main? Aku serius. Kalau aku mau, kartu ini bisa hilang selamanya.”
Fiona menggertakkan gigi, kesabarannya habis.
Dengan spontan, ia menginjak kuat kaki William menggunakan hak sepatunya.
“Agh!” William meringis, tubuhnya refleks bergerak.
Tangan kirinya secara spontan mendorong Fiona agar terlepas dari jarak yang terlalu dekat.
Namun dorongan itu terlalu keras. Fiona kehilangan keseimbangan, tubuhnya oleng ke belakang.
Dalam sekejap, William kembali bergerak, menarik lengannya dengan cepat sebelum ia benar-benar terjatuh.
“Ahh—!”
Tubuh Fiona terhempas tepat ke pelukan William. Ia membeku, matanya melebar kaget.
Punggungnya menempel erat pada dada bidang pria itu, sementara pintu lift tepat di belakang mereka seolah menjadi penyangga.
Posisi mereka terlalu dekat, terlalu intim, membuat jantung Fiona berdetak tak terkendali.
Waktu terasa melambat. Aroma wangi maskulin William menyeruak tajam, menyelimuti hidungnya.
Tangannya yang besar menahan pinggang Fiona dengan kuat, memastikan ia tidak terjatuh.
Sementara kartu akses masih tergenggam erat di tangan satunya.
“Lepas…” bisik Fiona pelan, wajahnya memerah.
William justru menundukkan kepala sedikit, mendekatkan bibirnya ke telinganya. “Kalau aku lepas, kau jatuh. Apa kau mau luka hanya karena keras kepala?”
Fiona ingin membalas, namun suara ting dari lift membuat tubuhnya membeku lebih kaku.
Pintu lift terbuka.
“Eh?!”
Suara kaget terdengar jelas. Jessica, rekan kerjanya, berdiri di depan lift bersama dua pegawai wanita lain.
Ketiganya terpaku melihat pemandangan yang tidak terduga.
Seorang wanita berada dalam pelukan mesra William—CEO baru Wins Group. Adegan itu jelas tidak terlihat seperti kecelakaan.
Jessica menutup mulutnya, matanya membesar penuh penasaran. “Siapa… itu?” bisiknya pelan kepada rekannya.
Fiona panik. Jantungnya berdentam hebat, wajahnya pucat pasi.
Jika mereka menyadari bahwa wanita dalam pelukan itu adalah dirinya—Fiona, karyawan magang yang tidak punya kuasa apa pun—maka gosip akan menyebar ke seluruh kantor dalam sekejap.
William berbeda. Ia tidak menunjukkan tanda panik sedikit pun.
Justru bibirnya melengkung tipis, seakan menikmati kekacauan kecil yang baru saja tercipta.
Tanpa ragu, ia menekan tombol penutup pintu. “Maaf, lift penuh,” ujarnya datar, membuat pintu menutup kembali dengan cepat, meninggalkan ketiga pegawai itu dalam keterkejutan dan rasa penasaran yang membuncah.
Begitu pintu tertutup rapat, Fiona segera meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan William. “Lepaskan aku! Kalau mereka tahu—aku bisa habis!”
Namun William tidak bergeming. Matanya menatapnya dalam, bibirnya masih menyunggingkan senyum puas.
“Yakin masih mau menolak?” suaranya rendah, penuh penekanan. “Sensasi tadi itu… seru, kan?”
Fiona tertegun, tubuhnya menegang. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa semua ini hanya kebetulan, bahwa ia tidak pernah menikmati kedekatan itu.
Namun lidahnya kelu, seakan terikat oleh kenyataan bahwa tubuhnya memang sempat bergetar saat berada dalam pelukan pria itu.
William mendekatkan wajahnya, jarak mereka kini hanya sejengkal. “Kau bisa bilang tidak… tapi tubuhmu berkata lain.”
“Cukup!” Fiona menoleh cepat, menolak menatap matanya.
Pipinya panas, dadanya bergejolak campur aduk. Malu, marah, takut, sekaligus bingung.
Lift terus melaju, namun bagi Fiona, ruangan sempit itu terasa seperti jerat yang memenjarakan dirinya bersama serigala berwajah manusia.
Ia hanya punya dua hari untuk membuat keputusan.
Namun detik ini, yang lebih menakutkan adalah perasaan asing yang perlahan menyelinap dalam dirinya—perasaan yang tidak seharusnya muncul kepada seorang pria seperti William.
Fiona duduk dengan canggung di hadapan William, tubuhnya terasa kaku seakan kursi empuk itu berubah menjadi duri yang menusuk kulitnya. Di antara mereka, meja besar dari kayu mahoni tampak penuh dengan hidangan mewah yang disusun rapi. Aroma tajam dan gurih dari berbagai jenis makanan mahal menyeruak, menusuk hidungnya, membuat perut Fiona bergejolak meskipun ia berusaha menahannya.William melepaskan dasinya perlahan, lalu menggulung lengan kemeja putihnya hingga siku. Gerakannya tenang, terukur, seolah setiap detail sengaja diperlihatkan. Tangannya kemudian meraih salah satu kaki lobster berukuran besar. Dengan senyum tipis yang lebih mirip seringai, ia berkata ringan, “Bukankah ini semua makanan kesukaanmu? Ada seafood, carbonara, steak, dan masih banyak lagi. Kau mau yang mana dulu?”Fiona terbatuk pelan, mencoba menutupi gugup yang merambati tubuhnya. Ia hendak meraih kaki lobster lainnya, berusaha bersikap biasa, tetapi tiba-tiba William sudah lebih dulu meletakkan potonga
Fiona buru-buru meraih kotak ponsel yang baru saja diberikan William. Ia menoleh kanan dan kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang memperhatikan gerak-geriknya. Untung saja, ruangan kerja tempat ia duduk masih cukup sepi. Entah kemana rekan-rekan magangnya, mungkin masih sibuk dengan laporan di lantai atas atau sekadar menghirup kopi di pantry. Tanpa pikir panjang, Fiona segera menyelipkan kotak itu ke dalam tas kerjanya. Rasanya jantungnya berdetak tidak karuan, takut ada mata yang tiba-tiba menangkap adegan kecil itu.Baru saja ia hendak menenangkan diri, ponselnya sendiri bergetar. Fiona membuka layar, dan matanya membelalak begitu membaca notifikasi transfer masuk. Angka yang tertera di sana membuat tenggorokannya tercekat—seratus juta rupiah. William benar-benar mentransferkannya. Uang sesuai kesepakatan mereka kemarin, ketika Fiona dengan terpaksa menyebut nominal itu demi menyelamatkan dirinya dari ancaman Leon.Tangannya bergetar halus saat menggenggam ponsel. Rasa
Pagi itu, suasana kantor masih terasa lengang.Beberapa pegawai baru saja datang, sebagian masih sibuk menyalakan komputer, dan sisanya bergegas menyeduh kopi di pantry.Fiona berjalan memasuki ruangan dengan langkah tenang, membawa tas kerja totebag sederhana.Ia mengenakan kemeja biru cerah yang membuat kulitnya tampak lebih segar, rambutnya dibiarkan tergerai bergelombang alami, memberi kesan sederhana namun memikat.Ia menyalakan komputernya perlahan, berusaha mengatur ritme napas agar lebih tenang.Hari ini sama saja seperti hari-hari sebelumnya, atau setidaknya ia berharap begitu.Jari-jarinya mulai bergerak di atas papan ketik, memeriksa laporan penelitian makanan ringan yang kemarin belum selesai.Namun, baru sebentar ia fokus, suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar di belakangnya.“Nona Fiona,” panggil suara itu.Tubuh Fiona refleks menegang, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Ia menoleh cepat, dan benar saja—James berdiri tidak jauh darinya, dengan senyum khas ya
Fiona menundukkan kepala ketika tiba di taman kota itu. Taman kecil dengan bangku kayu yang agak tua, dikelilingi pohon flamboyan, tempat ia dulu sering bertemu William secara diam-diam. Malam ini udara terasa lebih dingin, meskipun musim belum benar-benar berganti. Lampu jalan redup menyorot wajahnya yang setengah tersembunyi di balik hoodie kebesaran berwarna abu-abu.Ia sengaja memilih pakaian itu. Hoodie kebesaran yang bisa menutupi tubuh mungilnya, sekaligus menyembunyikan luka di balik kain. Rambutnya sengaja ia uraikan berantakan ke depan wajah, sebagian menutupi pipi kirinya yang membengkak dan dahi yang berwarna biru keunguan. Luka yang jelas bukan karena jatuh biasa. Luka yang ia coba sembunyikan dari dunia.Tangannya menggenggam erat ujung lengan hoodie, sementara pikirannya berputar. “Semoga dia tidak banyak bertanya,” bisiknya pelan, seolah menguatkan diri sendiri.Tak lama kemudian, suara deru mesin mobil sport terdengar mendekat. Cahaya lampu depan menerangi jalur
Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona buru-buru menyingkirkan diri dari bayangan William yang masih melekat dalam pikirannya. Jantungnya berdetak kencang. Napasnya belum sepenuhnya teratur. Adegan tadi, di mana tubuhnya hampir jatuh lalu berakhir dalam pelukan William, masih berputar di kepalanya. Jika seseorang tadi benar-benar mengenalinya, habislah dirinya.Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi terdekat. Pintu ditutup rapat, Fiona bersandar sejenak pada dinding dingin keramik. Tangannya gemetar saat melepaskan jas kerja abu-abu yang selama ini menjadi seragam wajib karyawan magang. Ia gantungkan jas itu di belakang pintu, menyisakan hanya kemeja putih panjang yang menutupi tubuh mungilnya. Kancing paling atas kemeja ia longgarkan, lalu ia melepas kunciran rambutnya. Rambut hitam panjang terurai bebas, jatuh di bahunya.“Setidaknya… kalau tadi ada yang lihat, sekarang mereka takkan curiga itu aku,” gumamnya lirih, menatap bayangan sendiri di cermin. Wajah pucat dengan
Sebelum Fiona sempat menjawab, tangan William menariknya masuk lebih dalam ke lift. Sentuhan itu kuat, membuat Fiona tak bisa melawan. Pintu lift tertutup rapat, menyisakan keduanya di dalam ruang sempit.Fiona hanya bisa berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona tersadar bahwa dirinya masih berada terlalu dekat dengan William. Refleks, ia menepis kasar tangan pria itu.“Kenapa lagi kali ini?!” serunya lantang, nadanya penuh protes dan amarah yang ia pendam sejak di lobi. Napasnya memburu, dada naik turun tidak teratur. “Kenapa James mengikuti aku? Bahkan sampai mengejar? Apa kalian memang hobi menakut-nakuti orang?”William hanya menatapnya, alisnya sedikit terangkat, seolah heran dengan reaksi meledak-ledak itu. “James mengejarmu karena ada alasan jelas.”“Alasan apa?!” Fiona menantang.“Kartu akses kantor,” ujarnya datar. “Kau menjatuhkannya kemarin saat terburu-buru meninggalkan ruanganku. James hanya ingin mengembalikannya.”Fiona m