Beranda / Romansa / Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan! / Bab 5. William Winston, Kekasih Gelap Yang Baik

Share

Bab 5. William Winston, Kekasih Gelap Yang Baik

Penulis: nanadvelyns
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-19 14:22:13

Fiona menundukkan kepala ketika tiba di taman kota itu. 

Taman kecil dengan bangku kayu yang agak tua, dikelilingi pohon flamboyan, tempat ia dulu sering bertemu William secara diam-diam. 

Malam ini udara terasa lebih dingin, meskipun musim belum benar-benar berganti. 

Lampu jalan redup menyorot wajahnya yang setengah tersembunyi di balik hoodie kebesaran berwarna abu-abu.

Ia sengaja memilih pakaian itu. Hoodie kebesaran yang bisa menutupi tubuh mungilnya, sekaligus menyembunyikan luka di balik kain. 

Rambutnya sengaja ia uraikan berantakan ke depan wajah, sebagian menutupi pipi kirinya yang membengkak dan dahi yang berwarna biru keunguan. 

Luka yang jelas bukan karena jatuh biasa. Luka yang ia coba sembunyikan dari dunia.

Tangannya menggenggam erat ujung lengan hoodie, sementara pikirannya berputar. “Semoga dia tidak banyak bertanya,” bisiknya pelan, seolah menguatkan diri sendiri.

Tak lama kemudian, suara deru mesin mobil sport terdengar mendekat. 

Cahaya lampu depan menerangi jalur sempit taman, sebelum akhirnya berhenti tak jauh darinya. 

Mobil itu berkilau, begitu kontras dengan suasana taman yang sederhana.

Pintu mobil terbuka, dan dari dalamnya keluar William.

Pria itu, seperti biasanya, tampil rapi dengan jas gelap yang membalut tubuh tingginya. 

Senyum rubah yang nyaris tak pernah lepas dari wajahnya seketika pudar begitu matanya menangkap keadaan Fiona. 

Wajah yang biasanya penuh percaya diri mendadak mengeras, dingin, dan penuh perhitungan.

William melangkah cepat. Tatapannya menelusuri wajah Fiona yang berusaha tertutup rambut. Ia berhenti tepat di hadapan gadis itu. “Apa yang terjadi padamu?” suaranya rendah, nyaris tanpa emosi, tapi sarat tekanan.

Fiona bergeming. Ia menunduk lebih dalam, menolak menjawab. 

Sebagai gantinya, ia langsung mengalihkan pembicaraan. “Aku… setuju dengan tawaranmu,” katanya lirih, hampir tak terdengar.

William menajamkan mata, menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Tapi ada satu syarat.” Fiona menarik napas panjang, berusaha menahan getaran di suaranya. “Aku butuh seratus juta. Bisa dipotong dari setengah gajiku setiap bulan ke depan. Aku tidak akan kabur, aku tidak akan mengelak. Kau bisa pegang janjiku.”

William terdiam.

Ada ribuan pertanyaan yang ingin ia lontarkan, mengapa tiba-tiba Fiona berubah pikiran, mengapa ia meminta jumlah uang sebesar itu, dan yang lebih penting—apa yang sebenarnya terjadi hingga wajah gadis itu tampak murung? 

Tapi tatapan mata Fiona, yang keras kepala dan penuh gengsi, memberinya peringatan. Jika ia bertanya terlalu jauh, Fiona akan menutup diri.

Pria itu menahan diri. Bibirnya membentuk garis tipis. “Seratus juta, hm? Kau yakin itu cukup?”

Fiona mengangguk cepat. “Itu saja yang aku butuhkan sekarang.”

William menatapnya lama, sebelum akhirnya berujar dingin, “Baiklah. Kau akan mendapatkannya.”

Ada keheningan sesaat. Fiona merasa lega karena permintaannya diterima. 

Namun William masih menatapnya, seakan berusaha membaca isi kepalanya. 

Lalu ia bertanya pelan, nada suaranya berbeda—lebih lembut, tapi tetap mengandung ketegasan khas dirinya.

“Dan… bagaimana dengan pacarmu?”

Fiona terdiam sepersekian detik. Pertanyaan itu bagai pisau yang menusuk tepat ke titik sakitnya. Namun ia tidak menunjukkan keraguan.

“Leon… biar aku yang urus.” Suaranya kali ini lebih tegas. “Bukankah yang kau mau itu aku? Jadi kau tidak perlu memikirkan dia.”

William memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Ada sesuatu yang aneh—jawaban Fiona seperti tembok yang menolak untuk ditembus. Ia tahu gadis itu menyembunyikan sesuatu.

Namun alih-alih memaksakan diri, William mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau itu maumu.”

Dalam hati, ia tidak sepenuhnya puas. Ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. 

Ia sudah mendapatkan persetujuan Fiona, sudah mendengar gadis itu menyerahkan dirinya dengan syarat yang jelas. Tapi mengapa ia justru merasa ada yang kurang?

William mengalihkan pandangan, lalu membuka pintu mobil. “Masuk. Aku antar pulang.”

Fiona menurut. Ia melangkah ke dalam mobil, duduk dengan kepala tetap tertunduk. 

Sepanjang perjalanan, mereka nyaris tidak berbicara. 

Hanya suara mesin mobil yang mengisi keheningan. 

Fiona menatap jalanan yang dilalui, sementara William beberapa kali meliriknya lewat ekor mata.

Ada sisi lembut dalam dirinya yang ingin mengulurkan tangan, menyentuh pipi Fiona yang bengkak, menanyakan kebenaran di balik luka itu. 

Tapi sisi lain—sisi gelapnya—menahan diri. 

William tahu, terlalu cepat menekan justru akan membuat Fiona menjauh.

Setelah memastikan Fiona kembali ke apartemennya tanpa diketahui siapa pun, William melajukan mobilnya ke arah mansion pribadinya. 

Malam itu terasa panjang, namun pikirannya justru semakin tajam.

Begitu tiba, ia langsung menuju ruang kerjanya yang luas dengan dinding kaca dan rak buku tinggi. 

Di dalam sudah ada James, tangan kanan sekaligus orang kepercayaannya, yang biasanya selalu menunggu jika William meminta laporan mendadak.

“James,” panggil William singkat.

Pria berkacamata itu menoleh, meletakkan berkas yang sedang dibacanya. “Ya, Tuan?”

William menyalakan cerutunya, lalu berjalan ke arah meja. “Aku ingin kau mengumpulkan semua data tentang seorang pria bernama Leon. Nama lengkap, alamat, catatan keuangan, pekerjaan—semua yang bisa kau dapatkan.”

James mengernyit, jelas terkejut. “Leon? Maaf, Tuan, tapi… boleh saya tahu untuk apa?”

William menghembuskan asap pelan, matanya berkilat dingin. “Sebagai kekasih gelap yang baik, aku perlu mengetahui latar lawanku, bukan?”

James membeku. Kata-kata itu membuat darahnya seolah berhenti mengalir. “Kekasih… gelap?”

William menoleh, tatapannya penuh arti. “Ya. Fiona Grace. Kau tahu siapa dia, bukan?”

James tercekat. Rahangnya menegang. “Tuan… Nona Fiona itu karyawan magang. Kalau kabar ini sampai bocor, media bisa mengguncang bukan hanya perusahaan ini, tapi juga reputasi internasional Anda. Ini skandal besar—”

William mengangkat tangannya, memotong ucapan James. “Aku tidak butuh ceramah, James. Yang kubutuhkan hanya data. Selebihnya biar aku yang atur.”

James masih terdiam, seolah otaknya belum bisa menerima apa yang baru saja didengarnya. 

William, CEO muda dan brilian yang dikenal dingin sekaligus penuh strategi, ternyata terlibat hubungan terlarang dengan seorang karyawan magang? Itu di luar logika. Itu terlalu berbahaya.

Namun ia tidak berani menolak. “Baik, Tuan,” jawabnya akhirnya, suara rendah dan berat.

William menyunggingkan senyum tipis. “Bagus." Lalu dia beralih ke ruangan lain.

Di dalam kamar pribadinya yang luas, setelah James pergi, William berdiri di depan kaca besar. Bayangannya menatap balik dirinya.

Entah mengapa, meskipun sudah mendapatkan Fiona malam ini, ada perasaan kosong yang tidak bisa ia abaikan.

Ia tersenyum miring, senyum khas rubah yang samar-samar muncul kembali. “Fiona Grace…” bisiknya. “Kau membuatku ingin tahu lebih banyak. Dan aku tidak pernah kalah dalam permainan seperti ini.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 90. Langkah Balasan Elizabeth

    Malam itu, gedung Winston Holdings telah sepi. Lampu-lampu di lantai atas padam satu per satu, menyisakan hanya cahaya dari ruang kerja pribadi Elizabeth Ratore.Wanita itu duduk di kursinya, kaki disilangkan rapi, segelas anggur merah di tangan.Di depannya, layar laptop menampilkan berita ekonomi dengan headline besar:“Krisis Pasokan Bahan Baku Mengancam Produksi SnackLine Winston.”Elizabeth tersenyum kecil. “Cepat juga, ya,” gumamnya puas. Ia baru saja menekan satu tombol dua jam lalu — pesan singkat ke kenalannya di perusahaan pemasok besar di Texas, mitra utama Winston Holdings. Sekarang efeknya sudah mulai terasa.“Kalau kau menolak aku, William Winston, aku akan buatmu berlutut di hadapan semua yang pernah kau bangun,” bisiknya pelan, nada suaranya setenang racun yang meresap perlahan.Ketukan pintu terdengar.Elizabeth menoleh sekilas. “Masuk.”Mikhail muncul, mengenakan jas abu-abu yang sedikit kusut, wajahnya tampak ragu.“Elizabeth,” katanya pelan. “Kau ingin menemuiku?

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 89. Rapat Darurat

    Fiona datang lebih awal dari biasanya, berharap bisa bekerja dengan tenang tanpa menghadapi tatapan aneh dari rekan-rekan. Namun baru sepuluh menit duduk di meja kerjanya, ponselnya bergetar — pesan dari Jessica."Fi, dengar-dengar bakal ada rapat darurat direksi pagi ini. Katanya soal 'isu internal' perusahaan. Hati-hati."Fiona memandangi layar itu lama. “Isu internal.” Ia tahu betul maksud tersembunyi dari kata itu.Suara langkah berat di belakangnya membuatnya menoleh.Mikhail berdiri dengan wajah tegang, map hitam di tangan. “Fiona, kita perlu bicara. Sekarang.”Fiona bangkit perlahan, menatapnya cemas. “Ada apa lagi, Mikhail?”“Aku baru dipanggil ke lantai atas. Elizabeth akan memimpin presentasi kepada dewan. Topiknya, laporan pelanggaran profesional oleh staf magang. Dan mereka menyiapkan rekaman pesan—”“Pesan apa?” Fiona memotong cepat, darahnya terasa berhenti mengalir.“Pesan suara dari ponsel yang katanya milikmu,” Mikhail menjawab lirih. “Tapi aku tahu itu rekayasa. Mer

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 88. Bayangan di Balik Reputasi

    Suasana kantor Winston berubah drastis.Bisikan halus terdengar di setiap sudut koridor. Tatapan-tatapan cepat muncul setiap kali Fiona lewat. Tak ada lagi sapaan hangat dari rekan-rekan yang dulu memujinya atas kerja keras. Semua digantikan bisikan samar, senyum pura-pura, dan rasa canggung yang menusuk.Fiona berusaha menegakkan kepala, berlagak tidak mendengar.Namun setiap langkahnya terasa berat.Ia tahu gosip itu menyebar cepat. Tentang dirinya dan Mikhail. Tentang hubungan yang katanya “tidak pantas”.Tentang bagaimana ia memanfaatkan kedekatannya dengan William Winston untuk naik jabatan.Semuanya bohong — tapi kebenaran tidak lagi penting ketika kebohongan sudah jadi bahan hiburan.Ketika Fiona membuka pintu ruang rapat kecil, Jessica, sahabatnya, menutup laptop cepat.Wajahnya menegang, seolah takut tertangkap basah.“Jess?” Fiona berusaha tersenyum, tapi suaranya nyaris bergetar.Jessica menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. “Aku tidak percaya gosip itu, Fi. Ta

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 87. Jebakan Sunyi

    Udara di kantor Winston terasa lebih berat dari biasanya.Setiap langkah Fiona di lorong seakan diikuti tatapan-tatapan samar. Sejak kabar kebocoran data itu merebak, segala hal terasa lebih dingin — bahkan cahaya lampu pun seolah memudar.Namun pagi itu berbeda.Ketika Fiona sampai di meja kerjanya, ia menemukan setangkai mawar putih di atas dokumen-dokumen yang belum sempat ia rapikan.Tidak ada kartu nama. Tidak ada catatan kecil. Hanya bunga itu — dan aroma samar parfum yang tidak asing.Hidungnya menangkap aroma khas cologne William.Seketika, senyum kecil muncul di wajahnya.Mungkin ini cara pria itu untuk menebus kesalahpahaman tempo hari.Mungkin William masih peduli.Namun sebelum Fiona sempat menyimpan bunga itu, Mikhail muncul dari balik partisi.“Kau masih percaya padanya?” tanyanya tiba-tiba.Fiona menatapnya, bingung. “Maksudmu?”Mikhail menatap mawar itu tajam. “Pria yang kau pikir selalu melindungimu. Apakah dia juga yang memberimu bunga itu?”Nada suaranya terdengar

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 86. Yang Tak Terlihat

    Hujan baru saja turun, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan tapi menyakitkan di dada. Semua orang sudah pulang, hanya tersisa suara mesin pendingin dan langkah sepatunya yang bergema di lorong panjang.Sejak percakapan singkatnya dengan William siang tadi, dadanya terasa sesak.Ia tahu William tidak benar-benar mempercayai tuduhan itu — tapi diamnya pria itu jauh lebih menyakitkan daripada amarah.Seolah-olah... William mulai ragu lagi.Fiona memeluk tasnya erat-erat, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. Ia sudah terlalu sering menangis karena pria itu, tapi kali ini berbeda.Kali ini, ia menangis bukan karena kehilangan, melainkan karena berjuang terlalu lama sendirian.Di sisi lain gedung, dari balik kaca ruangan lantai atas, William berdiri dengan tangan di saku, memandangi Fiona yang melangkah keluar sendirian dengan payung kecil.Ia tahu gadis itu merasa terluka. Tapi rasa curiga yang tumbuh di antara mereka terlalu sulit dihapus.James, asisten pribadinya, b

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 85. Jejak Yang Tersisa

    Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu, dan Winston Group tenggelam dalam kesibukan luar biasa.William duduk di ruang rapat lantai atas, matanya menatap layar presentasi tanpa benar-benar memperhatikan. Ia tampak seperti patung — rapi, tenang, tapi beku. Di sisi lain meja, Elizabeth dengan senyum profesional memaparkan laporan kinerja cabang Singapura seolah-olah tak terjadi apa pun antara mereka.“...dan karena permintaan meningkat 22% di kuartal terakhir, kami akan memperluas produksi di Cikarang,” ucap Elizabeth mantap, lalu memalingkan pandangannya sekilas ke William, seolah menantikan reaksi.Namun pria itu hanya mengangguk pelan. “Lanjutkan.”Begitu rapat usai, semua keluar, meninggalkan dua orang itu di ruangan luas nan hening. Elizabeth berdiri, melangkah mendekat.“Kau kelihatan lelah, Will,” katanya lembut, suaranya dibuat setenang mungkin. “Aku tahu kehilangan kepercayaan itu berat. Tapi aku hanya ingin mengingatkan... tidak semua orang yang tersenyum padamu pantas kau

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status