Fiona menundukkan kepala ketika tiba di taman kota itu.
Taman kecil dengan bangku kayu yang agak tua, dikelilingi pohon flamboyan, tempat ia dulu sering bertemu William secara diam-diam.
Malam ini udara terasa lebih dingin, meskipun musim belum benar-benar berganti.
Lampu jalan redup menyorot wajahnya yang setengah tersembunyi di balik hoodie kebesaran berwarna abu-abu.
Ia sengaja memilih pakaian itu. Hoodie kebesaran yang bisa menutupi tubuh mungilnya, sekaligus menyembunyikan luka di balik kain.
Rambutnya sengaja ia uraikan berantakan ke depan wajah, sebagian menutupi pipi kirinya yang membengkak dan dahi yang berwarna biru keunguan.
Luka yang jelas bukan karena jatuh biasa. Luka yang ia coba sembunyikan dari dunia.
Tangannya menggenggam erat ujung lengan hoodie, sementara pikirannya berputar. “Semoga dia tidak banyak bertanya,” bisiknya pelan, seolah menguatkan diri sendiri.
Tak lama kemudian, suara deru mesin mobil sport terdengar mendekat.
Cahaya lampu depan menerangi jalur sempit taman, sebelum akhirnya berhenti tak jauh darinya.
Mobil itu berkilau, begitu kontras dengan suasana taman yang sederhana.
Pintu mobil terbuka, dan dari dalamnya keluar William.
Pria itu, seperti biasanya, tampil rapi dengan jas gelap yang membalut tubuh tingginya.
Senyum rubah yang nyaris tak pernah lepas dari wajahnya seketika pudar begitu matanya menangkap keadaan Fiona.
Wajah yang biasanya penuh percaya diri mendadak mengeras, dingin, dan penuh perhitungan.
William melangkah cepat. Tatapannya menelusuri wajah Fiona yang berusaha tertutup rambut. Ia berhenti tepat di hadapan gadis itu. “Apa yang terjadi padamu?” suaranya rendah, nyaris tanpa emosi, tapi sarat tekanan.
Fiona bergeming. Ia menunduk lebih dalam, menolak menjawab.
Sebagai gantinya, ia langsung mengalihkan pembicaraan. “Aku… setuju dengan tawaranmu,” katanya lirih, hampir tak terdengar.
William menajamkan mata, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Tapi ada satu syarat.” Fiona menarik napas panjang, berusaha menahan getaran di suaranya. “Aku butuh seratus juta. Bisa dipotong dari setengah gajiku setiap bulan ke depan. Aku tidak akan kabur, aku tidak akan mengelak. Kau bisa pegang janjiku.”
William terdiam.
Ada ribuan pertanyaan yang ingin ia lontarkan, mengapa tiba-tiba Fiona berubah pikiran, mengapa ia meminta jumlah uang sebesar itu, dan yang lebih penting—apa yang sebenarnya terjadi hingga wajah gadis itu tampak murung?
Tapi tatapan mata Fiona, yang keras kepala dan penuh gengsi, memberinya peringatan. Jika ia bertanya terlalu jauh, Fiona akan menutup diri.
Pria itu menahan diri. Bibirnya membentuk garis tipis. “Seratus juta, hm? Kau yakin itu cukup?”
Fiona mengangguk cepat. “Itu saja yang aku butuhkan sekarang.”
William menatapnya lama, sebelum akhirnya berujar dingin, “Baiklah. Kau akan mendapatkannya.”
Ada keheningan sesaat. Fiona merasa lega karena permintaannya diterima.
Namun William masih menatapnya, seakan berusaha membaca isi kepalanya.
Lalu ia bertanya pelan, nada suaranya berbeda—lebih lembut, tapi tetap mengandung ketegasan khas dirinya.
“Dan… bagaimana dengan pacarmu?”
Fiona terdiam sepersekian detik. Pertanyaan itu bagai pisau yang menusuk tepat ke titik sakitnya. Namun ia tidak menunjukkan keraguan.
“Leon… biar aku yang urus.” Suaranya kali ini lebih tegas. “Bukankah yang kau mau itu aku? Jadi kau tidak perlu memikirkan dia.”
William memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Ada sesuatu yang aneh—jawaban Fiona seperti tembok yang menolak untuk ditembus. Ia tahu gadis itu menyembunyikan sesuatu.
Namun alih-alih memaksakan diri, William mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau itu maumu.”
Dalam hati, ia tidak sepenuhnya puas. Ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.
Ia sudah mendapatkan persetujuan Fiona, sudah mendengar gadis itu menyerahkan dirinya dengan syarat yang jelas. Tapi mengapa ia justru merasa ada yang kurang?
William mengalihkan pandangan, lalu membuka pintu mobil. “Masuk. Aku antar pulang.”
Fiona menurut. Ia melangkah ke dalam mobil, duduk dengan kepala tetap tertunduk.
Sepanjang perjalanan, mereka nyaris tidak berbicara.
Hanya suara mesin mobil yang mengisi keheningan.
Fiona menatap jalanan yang dilalui, sementara William beberapa kali meliriknya lewat ekor mata.
Ada sisi lembut dalam dirinya yang ingin mengulurkan tangan, menyentuh pipi Fiona yang bengkak, menanyakan kebenaran di balik luka itu.
Tapi sisi lain—sisi gelapnya—menahan diri.
William tahu, terlalu cepat menekan justru akan membuat Fiona menjauh.
Setelah memastikan Fiona kembali ke apartemennya tanpa diketahui siapa pun, William melajukan mobilnya ke arah mansion pribadinya.
Malam itu terasa panjang, namun pikirannya justru semakin tajam.
Begitu tiba, ia langsung menuju ruang kerjanya yang luas dengan dinding kaca dan rak buku tinggi.
Di dalam sudah ada James, tangan kanan sekaligus orang kepercayaannya, yang biasanya selalu menunggu jika William meminta laporan mendadak.
“James,” panggil William singkat.
Pria berkacamata itu menoleh, meletakkan berkas yang sedang dibacanya. “Ya, Tuan?”
William menyalakan cerutunya, lalu berjalan ke arah meja. “Aku ingin kau mengumpulkan semua data tentang seorang pria bernama Leon. Nama lengkap, alamat, catatan keuangan, pekerjaan—semua yang bisa kau dapatkan.”
James mengernyit, jelas terkejut. “Leon? Maaf, Tuan, tapi… boleh saya tahu untuk apa?”
William menghembuskan asap pelan, matanya berkilat dingin. “Sebagai kekasih gelap yang baik, aku perlu mengetahui latar lawanku, bukan?”
James membeku. Kata-kata itu membuat darahnya seolah berhenti mengalir. “Kekasih… gelap?”
William menoleh, tatapannya penuh arti. “Ya. Fiona Grace. Kau tahu siapa dia, bukan?”
James tercekat. Rahangnya menegang. “Tuan… Nona Fiona itu karyawan magang. Kalau kabar ini sampai bocor, media bisa mengguncang bukan hanya perusahaan ini, tapi juga reputasi internasional Anda. Ini skandal besar—”
William mengangkat tangannya, memotong ucapan James. “Aku tidak butuh ceramah, James. Yang kubutuhkan hanya data. Selebihnya biar aku yang atur.”
James masih terdiam, seolah otaknya belum bisa menerima apa yang baru saja didengarnya.
William, CEO muda dan brilian yang dikenal dingin sekaligus penuh strategi, ternyata terlibat hubungan terlarang dengan seorang karyawan magang? Itu di luar logika. Itu terlalu berbahaya.
Namun ia tidak berani menolak. “Baik, Tuan,” jawabnya akhirnya, suara rendah dan berat.
William menyunggingkan senyum tipis. “Bagus." Lalu dia beralih ke ruangan lain.
Di dalam kamar pribadinya yang luas, setelah James pergi, William berdiri di depan kaca besar. Bayangannya menatap balik dirinya.
Entah mengapa, meskipun sudah mendapatkan Fiona malam ini, ada perasaan kosong yang tidak bisa ia abaikan.
Ia tersenyum miring, senyum khas rubah yang samar-samar muncul kembali. “Fiona Grace…” bisiknya. “Kau membuatku ingin tahu lebih banyak. Dan aku tidak pernah kalah dalam permainan seperti ini.”
Fiona duduk dengan canggung di hadapan William, tubuhnya terasa kaku seakan kursi empuk itu berubah menjadi duri yang menusuk kulitnya. Di antara mereka, meja besar dari kayu mahoni tampak penuh dengan hidangan mewah yang disusun rapi. Aroma tajam dan gurih dari berbagai jenis makanan mahal menyeruak, menusuk hidungnya, membuat perut Fiona bergejolak meskipun ia berusaha menahannya.William melepaskan dasinya perlahan, lalu menggulung lengan kemeja putihnya hingga siku. Gerakannya tenang, terukur, seolah setiap detail sengaja diperlihatkan. Tangannya kemudian meraih salah satu kaki lobster berukuran besar. Dengan senyum tipis yang lebih mirip seringai, ia berkata ringan, “Bukankah ini semua makanan kesukaanmu? Ada seafood, carbonara, steak, dan masih banyak lagi. Kau mau yang mana dulu?”Fiona terbatuk pelan, mencoba menutupi gugup yang merambati tubuhnya. Ia hendak meraih kaki lobster lainnya, berusaha bersikap biasa, tetapi tiba-tiba William sudah lebih dulu meletakkan potonga
Fiona buru-buru meraih kotak ponsel yang baru saja diberikan William. Ia menoleh kanan dan kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang memperhatikan gerak-geriknya. Untung saja, ruangan kerja tempat ia duduk masih cukup sepi. Entah kemana rekan-rekan magangnya, mungkin masih sibuk dengan laporan di lantai atas atau sekadar menghirup kopi di pantry. Tanpa pikir panjang, Fiona segera menyelipkan kotak itu ke dalam tas kerjanya. Rasanya jantungnya berdetak tidak karuan, takut ada mata yang tiba-tiba menangkap adegan kecil itu.Baru saja ia hendak menenangkan diri, ponselnya sendiri bergetar. Fiona membuka layar, dan matanya membelalak begitu membaca notifikasi transfer masuk. Angka yang tertera di sana membuat tenggorokannya tercekat—seratus juta rupiah. William benar-benar mentransferkannya. Uang sesuai kesepakatan mereka kemarin, ketika Fiona dengan terpaksa menyebut nominal itu demi menyelamatkan dirinya dari ancaman Leon.Tangannya bergetar halus saat menggenggam ponsel. Rasa
Pagi itu, suasana kantor masih terasa lengang.Beberapa pegawai baru saja datang, sebagian masih sibuk menyalakan komputer, dan sisanya bergegas menyeduh kopi di pantry.Fiona berjalan memasuki ruangan dengan langkah tenang, membawa tas kerja totebag sederhana.Ia mengenakan kemeja biru cerah yang membuat kulitnya tampak lebih segar, rambutnya dibiarkan tergerai bergelombang alami, memberi kesan sederhana namun memikat.Ia menyalakan komputernya perlahan, berusaha mengatur ritme napas agar lebih tenang.Hari ini sama saja seperti hari-hari sebelumnya, atau setidaknya ia berharap begitu.Jari-jarinya mulai bergerak di atas papan ketik, memeriksa laporan penelitian makanan ringan yang kemarin belum selesai.Namun, baru sebentar ia fokus, suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar di belakangnya.“Nona Fiona,” panggil suara itu.Tubuh Fiona refleks menegang, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Ia menoleh cepat, dan benar saja—James berdiri tidak jauh darinya, dengan senyum khas ya
Fiona menundukkan kepala ketika tiba di taman kota itu. Taman kecil dengan bangku kayu yang agak tua, dikelilingi pohon flamboyan, tempat ia dulu sering bertemu William secara diam-diam. Malam ini udara terasa lebih dingin, meskipun musim belum benar-benar berganti. Lampu jalan redup menyorot wajahnya yang setengah tersembunyi di balik hoodie kebesaran berwarna abu-abu.Ia sengaja memilih pakaian itu. Hoodie kebesaran yang bisa menutupi tubuh mungilnya, sekaligus menyembunyikan luka di balik kain. Rambutnya sengaja ia uraikan berantakan ke depan wajah, sebagian menutupi pipi kirinya yang membengkak dan dahi yang berwarna biru keunguan. Luka yang jelas bukan karena jatuh biasa. Luka yang ia coba sembunyikan dari dunia.Tangannya menggenggam erat ujung lengan hoodie, sementara pikirannya berputar. “Semoga dia tidak banyak bertanya,” bisiknya pelan, seolah menguatkan diri sendiri.Tak lama kemudian, suara deru mesin mobil sport terdengar mendekat. Cahaya lampu depan menerangi jalur
Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona buru-buru menyingkirkan diri dari bayangan William yang masih melekat dalam pikirannya. Jantungnya berdetak kencang. Napasnya belum sepenuhnya teratur. Adegan tadi, di mana tubuhnya hampir jatuh lalu berakhir dalam pelukan William, masih berputar di kepalanya. Jika seseorang tadi benar-benar mengenalinya, habislah dirinya.Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi terdekat. Pintu ditutup rapat, Fiona bersandar sejenak pada dinding dingin keramik. Tangannya gemetar saat melepaskan jas kerja abu-abu yang selama ini menjadi seragam wajib karyawan magang. Ia gantungkan jas itu di belakang pintu, menyisakan hanya kemeja putih panjang yang menutupi tubuh mungilnya. Kancing paling atas kemeja ia longgarkan, lalu ia melepas kunciran rambutnya. Rambut hitam panjang terurai bebas, jatuh di bahunya.“Setidaknya… kalau tadi ada yang lihat, sekarang mereka takkan curiga itu aku,” gumamnya lirih, menatap bayangan sendiri di cermin. Wajah pucat dengan
Sebelum Fiona sempat menjawab, tangan William menariknya masuk lebih dalam ke lift. Sentuhan itu kuat, membuat Fiona tak bisa melawan. Pintu lift tertutup rapat, menyisakan keduanya di dalam ruang sempit.Fiona hanya bisa berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona tersadar bahwa dirinya masih berada terlalu dekat dengan William. Refleks, ia menepis kasar tangan pria itu.“Kenapa lagi kali ini?!” serunya lantang, nadanya penuh protes dan amarah yang ia pendam sejak di lobi. Napasnya memburu, dada naik turun tidak teratur. “Kenapa James mengikuti aku? Bahkan sampai mengejar? Apa kalian memang hobi menakut-nakuti orang?”William hanya menatapnya, alisnya sedikit terangkat, seolah heran dengan reaksi meledak-ledak itu. “James mengejarmu karena ada alasan jelas.”“Alasan apa?!” Fiona menantang.“Kartu akses kantor,” ujarnya datar. “Kau menjatuhkannya kemarin saat terburu-buru meninggalkan ruanganku. James hanya ingin mengembalikannya.”Fiona m