Yang ini setia kok, Bu.
"Ariana, jangan berjalan terlalu cepat." Bastian berlarian sambil membuka jasnya, mengejar sang istri yang sudah melangkah lebih dulu ke arah tempat mobilnya diparkir. "Kau bisa kedinginan, jadi ...." "Masalahnya, aku lebih suka kedinginan dibanding tidak tahu." Ariana yang masih kesal, memotong kalimat sang suami. Membuat Bastian batal menyampirkan jasnya. "Lagi pula aku juga pakai outer." "Aku minta maaf," ucap Bastian pelan, menunduk pelan. "Tidak usah minta maaf, karena kau belum mau mengatakan apa pun," ucap Ariana hanya sedikit lebih lembut. "Beri aku waktu. Setidaknya sampai ...." "Sampai sebelum kau kabur lagi," potong Ariana dengan mata melotot. "Kalau kau sampai kabur ke sini lagi tanpa izin, aku mungkin akan melaporkanmu pada Dad. Dia sudah lama mau menghukummu." "Aku mengerti." Mau tidak mau, Bastian hanya bisa mengangguk. "Kau mengerti, tapi belum tentu juga menepati janji. Untungny
Dalam temaram lampu merah, Bastian bisa mendengar suara percakapan yang samar. Sekali dengar pun dia langsung tahu siapa pemilik suara, bahkan hanya dari suara langkah kaki pun sudah bisa dia tebak. Tapi, pemandangan yang dia lihat sama sekali tidak menyenangkan. Bastian mengenali Ariana, tapi tidak mengenali lelaki yang mengejar istrinya dan dia tidak suka adegan itu. "Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Bastian refleks saja, bahkan ketika harus mengucapkan pertanyaan yang sama sebanyak dua kali. "Mungkin sudah saatnya aku mundur." Le Corbeau mengangkat kedua tangan. "Sepertinya kau sudah punya janji." Tidak ada yang berbicara lagi, bahkan Ariana dan Bastian hanya menatap kepergian lelaki misterius tadi. Mereka bahkan masih saling menatap tanpa kata, saat hanya ada mereka berdua di pertengahan tangga. "Kenapa kau datang?" tanya Ariana dengan ekspresi datar, tanpa bisa dia tahan. "Bukannya kau yang mengundangku?" Bastian membalas dengan kening berkerut. "Aku mengundan
Ariana tidak pernah menyangka saat dia menginjakkan kaki di lantai lima, dia akan melihat pemandangan yang mencengangkan. Padahal keberadaan kamar di lantai lima saja tidak dia tahu, tapi sekarang ada hal lain yang membuatnya terkejut. Dominique, si ular perak bermata hijau yang tak bertopeng. Perempuan yang memanggil Ariana itu, kini sedang sibuk dengan dua orang lelaki tanpa busana. Satu lelaki dengan mata tertutup kain merah dan tangan terikat di belakang, sedang berlutut di antara kedua kaki Dominique. Menghindu aroma perempuan itu dari balik gaunnya. Sementara lelaki yang lain, duduk di belakang sang ular perak, menjamah tubuh Dominique dengan mata yang juga tertutup kain merah. Untung saja perempuan itu masih mengenakan gaun tipis berwarna perak. Itu pun tali penyangganya sudah turun sebelah dan sebelah tangan Dominique memegang cambuk dengan ujung pipih. "Maaf, mengganggu." Lelaki yang menemani Ariana menepuk tangan satu kali, hanya untuk menyadarkan orang-orang di dala
"Mrs. Crawford." Seorang petugas keamanan berlari ke arah Ariana yang baru saja mau naik ke mobilnya. "Mrs. Crawford, ada kiriman untukmu." "Jackson," tegur Ariana langsung berbalik dengan mata melotot pada petugas keamanan. "Apa kau lupa nama suamiku?" "Tentu saja tidak. Aku sangat ingat dengan Mr. Bastian Jackson, tapi sekarang aku harus memberimu ini." Ariana menyambar amplop merah dengan ukuran yang lumayan besar dari tangan lelaki di depannya, masih dengan mata melotot. Hanya amplop polos dengan tulisan namanya di bagian depan. Tapi ketika dibalik, kedua alis Ariana langsung terangkat. "Dari mana kau dapat benda ini?" tanya Ariana pada petugas keamanan yang masih berdiri tegap di depannya. "Kurir membawanya dan dia bilang kalau ini adalah undangan VIP yang harus segera diserahkan. Makanya, aku mengejar sampai ke sini." "Sudah diperiksa dengan benar?" Ariana kembali bertanya. "Maaf?" Kening si petugas keamanan berkerut karena bingung. "Bukannya ada standar prosedur
Ariana membuka matanya dengan pelan. Dia kemudian melepas headphone yang sejak tadi dia pakai untuk mendengar lagu demo. Sudah selesai direkam, tapi masih belum dipoles ulang. Cinta tanpa nama. Itulah judul yang diberikan untuk lagu yang terdengar seperti kejujuran bagi Ariana. Rasanya, dia tidak mau merilis lagu itu. Terlalu memalukan. "Tapi masalahnya sekarang, Bastian ini mau ikut atau tidak sih?" gumam Ariana menatap ponselnya dengan kening berkerut. Tadi siang Ariana sudah mengirim pesan untuk sang suami, tapi lelaki itu belum membalas. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Mungkin Bastian sibuk, tapi Ariana yakin tidak seperti itu. "Dari dulu, dia biasanya selalu membalas singkat pesanku sesibuk apa pun itu. Sekarang bahkan sudah lewat berjam-jam dan tidak ada balasan? Dia pasti menghindar." Merasa bosan, Ariana memilih untuk membuka galeri ponselnya. Dia menggulir layar benda pipih itu, sampai mememukan sebuah foto lama. Foto dirinya dan Bastian di taman belakang rumah
Jemari Ariana mengetuk pelan permukaan laptop miliknya yang terbuka lebar. Dia baru saja sampai di studio ketika Elian mengatakan ada beberapa berkas yang harus dilihat. Namun, fokus Ariana selalu saja teralihkan dengan percakapannya dengan Bastian semalam. "Sepertinya kau sedang butuh ini." Ariana mendongak dan mendapati Sebastian baru saja datang, sembari meletakkan secangkir kopi instan di hadapannya. Membuat perempuan itu memperbaiki cara duduknya yang terlalu santai. "Santai saja." Sebastian menarik kursi di sebelah partner kerjanya. "Kau bisa berbaring kalau memang sedang lelah. Apalagi aku lihat, kau sepertinya kurang bersemangat." "Padahal, proyek kita sejauh ini berjalan cukup lancar loh. Antusias orang-orang juga cukup bagus," lanjut Sebastian dengan senyum lebar. "Aku hanya ... terlalu banyak pikiran kurasa." Ariana mengedikkan bahu, sambil mengambil gelas kertas berisi kopi di hadapannya. "Omong-omong, terima kasih u