Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya.
Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri. “Bu, tolong ceritakan Bapak kenapa?” tanyanya panik sambil mengusap punggung ibunya. Bu Ida melepaskan pelukan dan menatap Ranaya dengan mata merah. “Bapakmu … jantungnya. Tiba-tiba tadi dia sesak napas. Dokter bilang harus segera masuk ICU.” Jantung Ranaya seolah berhenti berdetak sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba memahami situasi yang diceritakan. Ayahnya, Sugik, selama ini selalu terlihat sehat. Meski usianya tak lagi muda, pria itu tetap kuat bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka. Dan, paling mengherankan, ayahnya tak punya riwayat jantung, tak punya hipertensi atau penyakit yang bersangkutan dengan jantung. Gaya hidup pria paruh baya tersebut juga terbilang sehat dengan selalu menjaga asupan makannya. Mengurangi konsumsi gula, garam, makanan bersantan, juga makanan bertepung. Bagaimana mungkin kini ia terbaring lemah di ruang ICU? Tak berapa lama seorang dokter terlihat berjalan keluar dari ruang bilik ICU. “Ada keluarga dari Bapak Sugik Hadiwijanto?” Ranaya lantas menggandeng ibunya dan mendekat. “Kami keluarganya, Dok. Bagaimana keadaan beliau?” tanya Ranaya. “Pasien telah siuman. Kami sudah memeriksa semuanya dan memutuskan untuk merawat beliau di ruangan khusus hari ini juga.” Ranaya kemudian mengikuti apa saran dokter dan mengurus seluruh administrasi pemindahan ruang rawat ayahnya. Baik Ranaya maupun ibunya kini menunggu dengan harap-harap cemas di luar sementara beberapa tenaga medis tengah memasangkan sejumlah alat seperti monitor, ventilator, dan sebagainya. “Ran, masuklah. Temui bapakmu dulu,” ucap Ida begitu tenaga medis tadi keluar ruangan. Ranaya langsung membawa kakinya menuju ruang rawat Sugik tanpa menunggu lebih lama lagi. Begitu ia masuk, aroma khas rumah sakit yang menusuk hidung bercampur dengan suasana sunyi yang mencekam menyambutnya. Matanya segera menemukan sosok ayahnya yang terbaring di ranjang dengan selang oksigen terpasang di hidung. Ayahnya terlihat begitu pucat. Tubuh yang dulu kokoh kini tampak lemah dan layu. “Bapak ….” lirih Ranaya sambil mendekati ranjang. Mendengar suara putrinya, Sugik membuka mata perlahan. Sebuah senyum tipis terlukis di bibirnya meski jelas terlihat betapa lemahnya ia. Tampak tulang pipi pria itu menyembul. “Ranaya … kamu datang,” suaranya serak. Bahkan nyaris tak terdengar. Ranaya langsung meraih tangan ayahnya yang dingin dan kurus. Air matanya kembali tumpah. Ia tak bisa menahan rasa sesak di dadanya. “Gimana keadaan Bapak? Bapak ngerasain gejala apa sebelumnya? Kenapa nggak cerita ke aku atau ibu?” tanyanya dengan suara bergetar. Pak Sugik tersenyum. “Nggak perlu. Kamu kan sudah punya banyak beban sendiri. Nggak perlu pikirkan Bapak lagi. Bapak baik-baik saja .…” “Baik-baik saja gimana, Pak? Lihat diri Bapak sekarang,” bisik Ranaya tak kuasa menahan tangisnya. “Bapak selalu bilang nggak apa-apa, tapi akhirnya kayak gini. Aku nggak mau Bapak kenapa-kenapa .…” Sugik mengangkat tangan dengan susah payah demi menyentuh kepala putrinya. “Kamu nggak boleh menangis seperti ini, Nak. Lihat, kamu jadi nggak cantik. Anak Bapak harus selalu tersenyum, harus selalu bahagia. Karena dengan begitu anak Bapak tambah kelihatan cantik.” Ranaya terisak semakin keras. Bagaimana mungkin ayahnya masih sempat bercanda dalam kondisi seperti ini? Apalagi beliau secara terus terang ingin dirinya selalu bahagia. ‘Ranaya juga ingin Bapak sembuh.’ ujarnya dalam hati. “Ran, gimana kabar kamu sama Sagara? Dia baik sama kamu, kan?” tanya Pak Sugik tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat Ranaya tercekat. Ia tahu ia harus berbohong. Tak mungkin ia menceritakan kenyataan bahwa pernikahannya dengan Sagara tidak membawa kebahagiaan dan justru menghancurkan perasaannya. Suaminya itu bahkan terang-terangan berselingkuh di hadapan Ranaya. Namun, ia tak ingin ayahnya khawatir. “Baik kok, Pak. Bapak tenang saja,” responsnya dengan suara kecil. Ia berusaha mengulas senyum di bibir agar terlihat meyakinkan. Sugik tersenyum tipis. “Syukurlah. Bapak tahu Sagara anak yang baik. Bapak nggak mungkin salah pilih.” Ranaya hanya bisa menggigit bibir. Ia menahan rasa perih yang menyeruak di hatinya. Ia tahu, ayahnya percaya sepenuhnya pada Sagara. Dan kepercayaan itu kini terasa seperti belati yang menusuk jantungnya. Setelah beberapa saat berbicara, Ranaya memutuskan untuk meninggalkan ruangan agar ayahnya bisa beristirahat. Dengan langkah gontai, ia keluar dan mencari ibunya. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara percakapan dari sebuah ruangan kecil di dekat lorong. Ia mengenali suara dokter yang sedang berbicara dengan ibunya. “Bu Ida, sebenarnya ini semua karena Pak Sugik terlalu lama menyembunyikan kondisinya. Beliau hanya memiliki satu ginjal saat ini, dan itu sudah sejak lama,” kata dokter itu. Ranaya membelalak. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Ginjal … satu?” bisiknya. Tak sadar suaranya bergetar. Ia segera mendekat, masuk ke ruangan kecil itu tanpa pikir panjang. “Dok, apa maksudnya bapak saya cuma punya satu ginjal?” sambarnya langsung. Matanya tampak menuntut. Dokter terlihat terkejut melihat kedatangannya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, panggilan darurat dari rekannya membuatnya terpaksa pergi. “Maaf, saya harus segera ke ruang lain. Nanti kita lanjutkan pembicaraan ini,” tekan dokter itu sambil berlalu. “Dok, tunggu! Mohon jelaskan dulu!” Ranaya berseru di sela tangisnya. Tetapi, dokter itu sudah menghilang di balik lorong. Ia beralih menatap ibunya, yang kini tampak linglung. “Bu, Ada apa ini?! Apa maksudnya Bapak cuma punya satu ginjal?” tuntutnya lagi sembari mengguncang kedua bahu Ida. Suaranya terdengar meninggi. Namun, Ida hanya terdiam. Wajahnya mendadak pucat, dan beberapa detik kemudian tubuhnya justru ambruk di lantai. “Bu!” Ranaya berteriak panik, lalu langsung memeluk ibunya yang tak sadarkan diri. Air mata kembali membanjiri wajah Ranaya. Dalam sekejap, semua dunia seolah runtuh di hadapannya. Ayahnya sakit parah, dan kini ibunya pingsan. Hari semakin malam. Beruntung Ida sempat siuman sehingga Ranaya bisa kembali ke rumah. Ia pun tak menyangka harus pulang selarut ini. Ranaya melangkah mengendap-endap sewaktu melewati ruang tengah. Hal ini sengaja ia lakukan agar orang rumah tak khawatir. Lagian ia juga lupa mengabari ibu mertuanya jika ia harus menjenguk ayahnya yang sakit. Namun, baru saja kakinya menapak anak tangga, lampu ruang tengah tiba-tiba menyala. “Ranaya, kamu dari mana saja?”"Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa
Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber
Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co
Ranaya dan Sagara langsung bergerak cepat. Dengan raut wajah panik, keduanya mendekati etalase yang kini menjadi sorotan orang banyak.“Sebentar, tenang dulu,” ucap Sagara kepada semua orang saat di dekat perempuan yang berteriak tadi. “Maaf, bolehkah saya memeriksa cincin itu?”Tangan kanan Sagara terulur sopan kepada aktris yang cukup ternama tersebut. Perempuan yang diajak bicara secara spontan melepas cincin yang tersemat di salah satu jarinya, lantas menyerahkan kepada Sagara dengan ekspresi kecewa.Sagara mengamati cincin itu dengan teliti. Mata tajamnya yang bagai elang memeriksa hingga detail. Dari setiap lekuk, permata, bahkan berlian memang menyerupai desain mereka.Tetapi … tunggu dulu. Perlahan keningnya menimbulkan kerutan. Ada yang aneh di sini.“Ini sepertinya bukan berlian kita, Ran,” gumamnya pelan dengan rahang mengeras. “Coba lihat dulu.”Tangan Sagara menyodorkan benda berkilau tersebut kepada Ranaya yang sudah pucat pasi. Kini cincin yang dimaksud sudah beralih di
"Belcelai? Kayak yang dilakukan Mama dan Om Papa, dong?"Ucapan Radeva yang polos menggema di udara seperti petir di siang bolong. Sepanjang koridor apartemen itu seketika hening.Ranaya, Sagara, dan Tantri sama-sama tercekat. Tatapan mereka membeku, lantas saling bertaut satu sama lain, seperti mengandung beragam rasa yang tak mampu diutarakan masing-masing.Sagara tampak menahan napas. Ranaya kaku. Sementara itu, Tantri susah payah menelan salivanya."Eh, kita masuk aja yuk!" ajak Tantri tiba-tiba, berusaha memecah suasana yang mendadak tegang. Tangannya langsung menggamit lengan Ranaya dan Radeva sekaligus, kemudian menarik mereka ke dalam apartemen.“Nggak enak dilihatin tetangga kalau ngobrol di lorong kayak gini,” kilahnya sedikit memaksakan tawa yang tersembur samar.Mau tak mau, Ranaya dan Radeva mengikuti langkahnya. Sagara menyusul pelan dari belakang. Jujur, pikirannya masih terpaku pada celetukan anak itu tadi. Ia tak menyangka jika Radeva masih mengingat kata “bercerai” y
[Subject: Hasil Pemeriksaan DNA antara Sdr. Sagara Wiratama dan An. Radeva Elvano AtmajaKepada Yth.Bapak Sagara Wiratamadi TempatDengan hormat,Bersama email ini, kami sampaikan hasil resmi pemeriksaan DNA yang telah dilakukan oleh Laboratorium Genetika Klinik GenLab Diagnostics terhadap sampel biologis Bapak Sagara Wiratama dan anak atas nama Radeva Elvano Atmaja.Berdasarkan analisis 24 lokus genetik yang diperiksa, diperoleh hasil kecocokan biologis 99,9999%, yang secara ilmiah menyimpulkan bahwa Sdr. Sagara Wiratama adalah ayah biologis dari An. Radeva Elvano Atmaja.Laporan lengkap dan sertifikat hasil pemeriksaan terlampir dalam bentuk PDF untuk dapat Bapak telaah lebih lanjut.Apabila Bapak membutuhkan informasi tambahan atau klarifikasi lebih lanjut terkait hasil ini, silakan menghubungi kami melalui kontak yang tersedia.Demikian kami sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Bapak terhadap layanan kami.Hormat kami,Dr. Antonius Setiawan, Sp.AndKepala LaboratoriumGenLab