"Mmmpph!" Maya terkejut, matanya terbelalak lebar. Rasa asin dan amis langsung memenuhi mulutnya. Dia mencoba mendorong pinggang Pak Karyo, tapi pria itu memegang kepalanya dengan satu tangan sementara tangan lainnya terus memainkan klitorisnya.
Maya merasa terhina sekaligus bingung oleh sensasi baru ini. Dia, seorang eksekutif senior yang terbiasa memberi perintah, kini dipaksa melayani pembantunya dengan cara paling merendahkan. Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Namun anehnya, sensasi jari Pak Karyo di bawah sana terus mengirimkan gelombang kenikmatan yang membingungkan pikirannya. "Gitu, Bu... jilat aja pelan-pelan," Pak Karyo memberi instruksi, jarinya semakin cepat. "Rasanya nggak seburuk yang Bu Maya kira, kan?" Maya awalnya ingin muntah, tapi tubuhnya masih bereaksi terhadap rangsangan di klitorisnya. Pikirannya berkecamuk—antara rasa jijik, malu, marah, dan anehnya, sedikit rasa penasaran. Dia tidak pernah melakukan iniMaya menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Ini bukan reaksi yang ia duga dari Irwan. Ia mengira suaminya akan berpaling, atau paling tidak menunjukkan rasa jijik. Tapi tatapan Irwan justru menunjukkan keingintahuan yang aneh. "Kamu... yakin?" Maya bertanya ragu. Irwan mengangguk pelan, "Iya. Aku perlu... tau." Dengan tangan gemetar, Maya menurunkan kerah piyamanya sedikit, memperlihatkan bekas-bekas kemerahan yang menghiasi leher dan tulang selangkanya. Bekas-bekas yang ditinggalkan Pak Karyo dengan sengaja—tanda kepemilikan yang jelas. Irwan melangkah mendekat, matanya menelusuri setiap bekas di kulit Maya. Tangannya terangkat, jemarinya dengan lembut menyentuh salah satu bekas kemerahan di bawah telinga Maya. "Sakit?" tanyanya pelan. Maya menggeleng, napasnya tertahan merasakan sentuhan Irwan di kulitnya yang sensitif. "Nggak." Jemari Irwan bergerak turun, menelusuri beka
Senja mulai turun di luar jendela, melukis langit Jakarta dengan semburat jingga keunguan. Di dalam kamar utama yang temaram, waktu seolah membeku dalam momen penuh emosi antara dua orang yang saling mencintai namun kini berada di tepi jurang ketakutan.Maya menatap mata suaminya yang berkaca-kaca, melihat kerentanan yang belum pernah Irwan perlihatkan sebelumnya. Selama enam tahun pernikahan mereka, Irwan selalu menjadi sosok kuat, penyangga dalam badai kehidupan mereka. Tapi kini, di hadapannya, Irwan seperti kaca retak yang bisa pecah kapan saja, dan Maya tahu dialah yang menyebabkannya.Tangan Maya bergetar saat mengusap pipi Irwan yang kasar oleh jenggot tipis. Hatinya mencelos melihat ketakutan murni di mata pria yang selalu percaya padanya. Bagaimana bisa mereka sampai di titik ini? Bagaimana impian sederhana untuk memiliki anak bisa membawa mereka ke situasi yang begitu rumit dan menyakitkan?"Aku janji," bisiknya, suaranya mantap meski basah oleh
Sinar matahari sore menyusup melalui celah tirai ruang kerja. Debu-debu kecil menari di bawah cahaya keemasan yang jatuh di lantai kayu. Irwan memutar kursinya menghadap jendela, menatap hampa ke halaman belakang. Dia meneguk sisa kopi dingin dari cangkir yang sudah dia pegang entah berapa lama. Pahit. Seperti kenyataan yang harus dia telan. Sudah hampir dua jam berlalu sejak Maya naik ke lantai atas. Irwan bahkan tidak tahu apa yang sedang dilakukan istrinya—tidur? Menangis? Atau mungkin... memikirkan Pak Karyo? "Sial," gerutunya pelan, melempar pulpen ke meja hingga menggelinding jatuh ke lantai. Dia tidak repot-repot memungutnya. Matanya kembali tertuju ke halaman belakang, di mana Pak Karyo sedang mencuci mobil. Kemeja tipisnya basah, menempel di tubuh atletisnya yang tidak sesuai dengan usianya. Tangan kekarnya bergerak efisien, menggosok permukaan mobil dengan gerakan memutar. Tetes-tetes air dan busa meluncur di kuli
"Yang..."Maya melangkah masuk dan melingkarkan tangannya di leher Irwan dari belakang, memeluknya dengan lembut.Suara lembut Maya menyadarkan Irwan dari lamunannya. Dia berbalik cepat, melihat istrinya berdiri di ambang pintu ruang kerja.Maya tampak baru bangun tidur. Tubuhnya dibalut jubah tidur sutra, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya masih terlihat sayu. Meski begitu, dia tetap terlihat cantik. Terlalu cantik."Udah bangun?" tanyanya pelan, suaranya terdengar lelah bahkan di telinganya sendiri.Maya mengangguk, masih memeluk Irwan dari belakang. "Kamu ngapain di sini sendirian?"Irwan tidak langsung menjawab. Jemarinya membelai lembut lengan Maya, matanya masih menatap pemandangan di luar jendela—langit sore Jakarta yang mulai memerah."Cuma... mikir," jawabnya akhirnya.Maya melepaskan pelukannya perlahan, lalu berjalan mengitari kursi untuk berhadapan dengan Irwan. Ia berlutut di depan suaminya,
"Aku bahkan nggak inget kapan ini terjadi, Yang." Dia menggelengkan kepala perlahan. "Dia... mencium aku di mana-mana. Sepanjang waktu."Maya menelan ludah, pipinya semakin merah, "malam kemarin... tadi pagi... siang... di kasur hotel, di kamar mandi..." Tangannya kini bergerak gelisah ke arah kerah blazernya yang menutupi sebagian tubuhnya. "Aku yakin masih ada tanda lain di... tempat lain."Irwan terhuyung mundur seperti habis dipukul. Wajahnya memucat dengan cepat, matanya terpejam sejenak sebelum terbuka lagi penuh rasa sakit dan amarah. Tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih."Kamu..." Irwan berbisik, suaranya bergetar hebat. "Kamu beneran ngebiarin dia... tandain kamu... di mana-mana?"Maya menunduk, tidak sanggup menatap mata suaminya. "Aku nggak sadar, Yang. Semua terjadi begitu cepat. Begitu... intens." Dia mendongak, mata berkaca-kaca. "Kayak aku kehilangan kendali atas tubuhku sendiri.""Aku..." Maya me
"Yang..." Maya memulai, jemarinya memilin ujung syal dengan gelisah. Keringat dingin mengalir di punggungnya meski AC ruangan bekerja maksimal.Dia melirik ke arah halaman belakang melalui jendela besar, di mana Pak Karyo sedang mencuci mobil. Otot-otot punggungnya bergerak di bawah kemeja tipis yang basah. Maya menelan ludah, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan saat menyadari Irwan memperhatikannya."Aku..." Maya mencoba lagi, suaranya nyaris berbisik. Bagaimana mungkin dia mengutarakan ini? Bahwa tubuhnya masih bisa merasakan sentuhan kasar Pak Karyo? Bahwa dia ingin merasakannya lagi? "Aku kepikiran soal program kita."Irwan duduk kaku di sofa, matanya tertuju pada bekas kemerahan di leher Maya yang gagal disembunyikan syal sutra mahal. Tanda kepemilikan yang jelas, seperti Pak Karyo sengaja meninggalkannya agar semua orang tahu."Dokter bilang..." Maya menarik napas dalam, tangannya gemetar memegang cangkir teh. "Sekali belum tentu berhasil