INICIAR SESIÓNMaya mendorong Karyo agar berbaring telentang, kemudian naik ke atasnya dengan gerakan anggun. "Biar aku yang kerja," bisiknya, mencoba tersenyum menggoda.Dia mencium dada Karyo, turun ke perutnya, kemudian lebih rendah lagi. Tangannya menurunkan celana dalam Karyo, mengekspos kejantanannya yang masih tertidur. Maya melirik ke arah Irwan sekali lagi, kemudian menundukkan kepalanya.Sensasi hangat dan basah mulut Maya membuat Karyo mengerang pelan. "Ahh..." Dia memejamkan mata, berusaha fokus pada kenikmatan, bukan pada rasa malu atau keberadaan Irwan. Tapi semakin dia mencoba, semakin sulit."Slurp... hmm..." Maya bekerja dengan tekun, lidahnya bergerak ahli, menciptakan sensasi yang biasanya cukup untuk membuat Karyo mengeras dalam hitungan detik. Tapi tubuhnya tetap tidak merespons sepenuhnya.Di sofa, Irwan berdehem pelan. Suara kecil itu cukup untuk menghancurkan konsentrasi Karyo.Tiga menit berla
Hening menyesakkan. Hanya suara es yang beradu dengan gelas wiski Irwan sesekali memecah kesunyian."Mulai," perintah Irwan dengan nada datar.Karyo menarik napas dalam-dalam. Aku harus lakukan ini. Dengan keberanian yang dipaksakan, tangannya terangkat, menyentuh pipi Maya. Kulitnya terasa lembut, seperti yang dia ingat. Maya memejamkan mata, condong ke sentuhan itu, berusaha menemukan kembali sensasi yang dulu begitu natural.Karyo mencium Maya—awalnya ragu, kemudian semakin berani. Lidahnya menyapu bibir Maya yang terasa manis oleh lipstik, mencoba mengingat kembali ritme yang dulu begitu mereka kuasai. Maya membalas, tangannya meremas lengan Karyo, mencari pegangan di tengah kebingungannya sendiri."Hmm..." Maya mendesah pelan, sebuah suara yang setengah nyata, setengah dibuat-buat. Matanya setengah terbuka, melirik ke arah Irwan yang masih mengamati dengan tenang, sebelum kembali terpejam.
Hari ketiga sejak kedatangan mereka di Jakarta tiba. Hari yang telah ditentukan Irwan untuk "sesi pertama" Karyo dengan Maya sejak Ratih ikut tinggal bersama mereka.Sepanjang hari itu, Karyo terlihat gelisah. Tangannya gemetar saat menyiram tanaman, pikirannya tidak fokus saat mencuci mobil. Dia bahkan menumpahkan air pel saat membantu Ratih membersihkan teras."Sampeyan ora apa-apa, Mas?" tanya Ratih pelan, memerhatikan kegugupan suaminya."Ora apa-apa, Dik," jawab Karyo, meski keringat dingin mulai membasahi dahinya.Dulu, saat "program" kehamilan itu berlangsung, Karyo selalu menunggu dengan tidak sabar. Tubuhnya bergetar oleh gairah, bukan ketakutan seperti sekarang. Dulu, dia adalah pria yang percaya diri, yang dengan penuh keberanian menaklukkan wanita dari kelas sosial jauh di atasnya. Sekarang, dia hanya merasa seperti siswa yang akan menghadapi ujian—tegang, gugup, dan takut gagal.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan Ratih dan Dani berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka. Maya, meski awalnya canggung, bersikap sangat baik pada Ratih. Dia menepati janjinya menemani Ratih berbelanja kebutuhan sehari-hari, bahkan membantu memilihkan pakaian yang cocok untuk Ratih dan Dani.Dani yang awalnya excited dengan rumah besar dan mewah mulai menunjukkan tanda-tanda kebosanan. Tidak ada teman sebaya untuk diajak bermain, tidak ada hewan ternak untuk dikejar-kejar seperti di desa. Dia mulai rewel, sering menempel pada Ratih yang sibuk dengan tugas-tugas rumah tangga."Bosen, Bu," rengek Dani suatu sore, menarik-narik celemek Ratih yang sedang menyiapkan makan malam."Sedhiluk maneh, Le. Ibu isih masak," (Sebentar lagi, Nak. Ibu masih masak,) jawab Ratih sabar, meski ia sendiri mulai kewalahan membagi perhatian.Maya yang kebetulan masuk ke dapur mendengar percakapan merek
Irwan tidak berbicara seperti suami yang diselingkuhi; dia berbicara seperti seorang pemilik yang propertinya coba dicuri. Nada suaranya yang dingin dan tanpa emosi itulah yang menghancurkan Ratih. Untuk pertama kalinya, dia melihat tindakan suaminya bukan sebagai dosa atau perselingkuhan, tapi sebagai pelanggaran batas yang absolut dalam dunia dengan aturan yang tidak ia kenal. Kengerian yang sesungguhnya bukanlah pada apa yang Karyo lakukan, melainkan pada siapa yang menjadi korbannya.Saat Ratih berdiri membeku dalam realitas barunya yang mengerikan, Irwan melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, yang terasa jauh lebih mengancam."Dan yang paling mengecewakan, Ratih, adalah kami selalu berusaha memperlakukannya dengan baik di sini. Dia tidak kekurangan apa pun."Pernyataan itu menghantam Ratih dengan rasa malu yang baru, memperlihatkan betapa tidak bersyukurnya tindakan Karyo.Irwan kemudian mengangg
Sore menjelang.Cahaya keemasan matahari mulai menerobos masuk dari jendela besar kamar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di lantai kayu yang mengilap. Langit Jakarta mulai berubah menjadi kanvas jingga keunguan—warna yang tidak pernah terlihat sama di desa mereka.Ratih duduk di pinggir tempat tidur, memandangi Dani yang akhirnya tertidur pulas. Jari-jarinya dengan lembut menyisir rambut anaknya yang lembab oleh keringat. Sepanjang hari, Dani tidak berhenti berlarian mengeksplorasi seluruh sudut rumah yang baginya terasa seperti istana. Setiap benda—mulai dari remote TV hingga shower kamar mandi—membuat mata bulatnya berbinar dengan keingintahuan yang tak terbendung."Kelelahan," bisik Ratih pada Karyo yang baru selesai menyusun pakaian mereka di lemari. "Ora biasa koyok ngene." (Tidak biasa seperti ini.)Karyo mengangguk sambil duduk di kursi dekat jendela. "Besok paling wis biasa. Bocah-b







