LOGINAsap mengepul di udara malam ketika Lorenzo melangkah maju, cerutu setengah terbakar menggantung di bibirnya. Dia bersiul pelan, terdengar terhibur. "Wah, wah. Lihat aku sekarang, benar-benar melakukan pekerjaan mafia."Cassius mengangkat pistolnya, membidik Lorenzo tepat di dada. "Kamu berani mendekatinya tanpa izinku?"Aku langsung melangkah ke depan, melindungi Lorenzo dengan tubuhku. "Kalau kamu memang mencintaiku, biarkan aku pergi bersamanya!"Cassius membeku, ketidakpercayaan dan keniscayaan saling bertabrakan di matanya. "Kamu selalu menentangku, Ariel," gumamnya. Ironis. Dulu dia menyeretku keluar dari klub itu seperti trofi, dan sekarang dia harus menyaksikan pria lain melakukan hal yang sama."Ya," kataku, suara tetap tenang. "Kita seperti api dan es, Cassius. Dua dunia yang tak akan pernah bisa bertemu."Aku menarik napas, lalu kata-kata itu tumpah. "Penolakanmu untuk memeriksa rekaman keamanan, untuk mengonfirmasi apa pun denganku, memaksaku meminta maaf pada wanita yang t
Tangan Cassius menyambar dan mencengkeramku. Suaranya rendah dan kasar, bergetar oleh keputusasaan yang tak lagi bisa dia sembunyikan."Ariel, pulanglah bersamaku. Aku janji, nggak ada aturan lagi. Nggak ada larangan, nggak ada lagi menyeretmu ke ruang pengakuan. Aku nggak akan menyakitimu lagi. Aku akan berubah. Aku bisa mengubah semuanya."Aku menarik tanganku dan menatapnya dengan tenang, setenang air yang diam. "Cassius, janji-janjimu nggak pernah bernilai apa pun."Rahangnya menegang dan dia kembali mencengkeram pergelangan tanganku. "Ariel. Jangan lakukan ini."Saat itu juga, tangan lain melingkari pinggangku dan menarikku ke dada yang hangat. Suaranya santai, malas, tetapi sarat ejekan. "Cassius, bukannya kamu yang selalu berkhotbah soal pengendalian diri? Tata krama seorang pria sejati? Menyentuh wanita seperti ini ... bukan pemandangan yang bagus, 'kan?"Cassius terdiam. Tatapannya terpaku pada tangan Lorenzo di pinggangku, pada caraku bersandar padanya begitu alami, pada baga
Setelah festival musik, aku menuju ke kasino.Malam terbentang seperti tinta di langit, sementara kasino berkilau dengan cahaya keemasan, sebuah labirin yang dirajut dari uang, hasrat, dan ambisi. Suara dadu beradu, udara di sekitar meja blackjack seolah-olah menyedot napas, seperti mampu menelan jiwa, dan dentingan cip saling beradu, bergema seperti genderang kematian yang samar tetapi terus hadir.Di satu meja bakarat raksasa, kerumunan berdesakan paling rapat dibandingkan tempat lain.Aku mengenakan gaun beludru hitam dengan belahan tinggi hingga pinggang. Cahaya menelusuri setiap lekuk tubuhku, menarik tatapan seperti ngengat ke api.Satu putaran kartu lagi. Aku menopang dagu di telapak tangan, jari-jari mengetuk meja dengan malas, setengah mengantuk, bahkan tak repot melirik kartu bawah.Dealer menelan ludah, suaranya bergetar. "Pemain menang."Gunungan cip didorong ke arahku.Bisik-bisik menyebar di antara kerumunan."Dia menang tujuh kali berturut-turut.""Ini ... bukan pemain b
Cassius bahkan tak sempat mengambil mantel.Dia menerjang menuruni tangga marmer, rahang menegang, mata memerah setelah semalaman tanpa tidur. Mobilnya sudah menunggu di luar, siap membawanya langsung ke landasan udara pribadi Keluarga Varsali.Dia masuk dengan cepat ke kursi belakang. Tepat saat mobil hendak melaju, Dina menghalang di depan kendaraan, kedua tangan menekan kap, maskara luntur membasahi pipinya."Cassius, aku mohon!" isaknya, suara bergetar. "Aku sudah menunggu berhari-hari. Aku mohon ... hentikan ini. Berhentilah menyakiti Keluarga Veksana. Jangan hukum kami lagi ...."Kaca jendela turun.Napas Dina tersendat, secercah harapan menyala untuk pertama kalinya setelah berhari-hari."Cassius," bisiknya, memaksakan senyum gemetar. "Akhirnya kamu berubah pikiran ya? Aku bisa bicara dengan kakakku. Aku bisa membawanya pulang ke ...."Cassius bahkan tidak menatapnya.Suaranya seperti bilah pisau yang diseret perlahan di atas baja."Tabrak."Sopir tak ragu sedikit pun dan mengin
Asistennya bergegas maju dengan napas terengah-engah."Pak, anak buah kita melihat Bu Ariel naik pesawat di bandara. Mereka bahkan sempat mengambil foto!"Cassius merampas ponsel itu, melirik layarnya sekali, lalu menghantamkannya keras-keras ke lantai marmer.Mata Cassius memerah. Ketika dia bicara, setiap suku kata terdengar seperti menggesek tulang."Tutup semua jalur keluar sekarang juga. Udara, darat, laut, semuanya. Aku mau daftar semua penerbangan, semua catatan perbatasan, dan semua rekaman keamanan ditarik sekarang. Aku nggak peduli kalau kalian harus menyisir seluruh planet ini. Bawa dia kembali padaku!"Wajah Dina langsung pucat pasi.Ayahnya terdiam membeku, seperti mangsa di bawah bayang-bayang predator."Bo ... Bos," katanya terbata. "I ... ini bukan salah kami. Ariel menolak menikah denganmu. Dia bersikeras menandatangani kontrak atas nama Dina. Kami nggak punya pilihan. Dina itu penurut, lembut, wanita sempurna. Dia jauh lebih cocok untukmu!"Cassius menoleh perlahan, s
Pernikahan Keluarga Varsali yang disebut sebagai pernikahan abad ini berlangsung persis seperti yang dituntut tradisi.Sebuah gereja bermandikan cahaya kaca patri. Semua nama paling berpengaruh di kota berkumpul di bawah satu atap."Mereka pasangan yang sempurna," bisik para tamu, terpukau.Tinggi. Tanpa cela. Sosok pria yang seolah-olah dipahat untuk sebuah dinasti.Cassius berdiri di ujung lorong, ekspresinya tegang, pandangannya tertuju pada mempelai wanita ber-veil yang menunggunya.Hari ini, ada sesuatu di dalam dirinya yang melunak, karena pengantin itu berdiri dengan sempurna, tenang, dan patuh. Tanpa pemberontakan, tanpa lidah tajam, tanpa kekacauan ala Ariel.'Akhirnya', pikirnya. 'Dia sudah belajar disiplin.''Akhirnya, dia telah dibentuk dengan sikap seorang Nyonya Keluarga Varsali yang seharusnya.'Bahkan sebelum upacara benar-benar dimulai, dia sudah merencanakan sisa hidupnya, bagaimana dia akan membentuknya sesuai dengan keinginannya, bagaimana dia akan menghaluskan seti