Sasikirana
Nggak bisa dibayangkan jika Bang Vian tahu kalau Kalila selalu berada di sisinya bertahun-tahun. Dia pasti marah besar kepadaku, karena telah berbohong. Ah, toh Kalila juga yang memintaku untuk tutup mulut.
Aku menatap lekat Bang Vian yang tampak tegang. Dia seperti ingin berbicara, namun ditahan. Bibir tipis itu terbuka, kemudian tertutup lagi. Apa yang ingin dikatakannya?
Oya, semenjak melihat roh almarhumah istri Om Jhonny keluar dari tubuh Tante Diana. Aku jadi khawatir kalau suatu saat Kalila mengambil alih kehidupanku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Tante Dania. Semoga saja almarhumah istri suamiku itu nggak sejahat beliau.
“Saya sebenarnya ….”
Pikiran kembali fokus melihat Bang Vian. Apa yang ingin dikat
MelvianoBegitu Sasi dan Tante Diana pergi berbelanja, aku langsung membawa Om Jhonny ke lantai atas menuju café yang menyediakan beraneka ragam kopi. Beruntung beliau tidak curiga dengan maksud dan tujuan kami yang sebenarnya.“Bagaimana perusahaan?” Om Jhonny membuka pembicaraan setelah kami memesan kopi sesuai dengan selera masing-masing.“Thanks God. Semua berjalan lancar,” sahutku sambil menyandarkan punggung di sofa yang ada di café.“Pasti lelah ya handle perusahaan sebesar itu sendiri,” komentar Om Jhonny merasa bersalah, karena telah memilih pindah ke New York dib
SasikiranaEmpat jam sebelumnya“Kamu bisa lihat makhluk halus?” desis Tante Diana melihatku nggak percaya.Kepala ini mengangguk pelan. “Bisa, Tan. Dari awal bertemu, saya udah curiga. Ada yang nggak beres.”Tante Dania melihatku dengan mata memerah. Terlihat amarah yang sangat besar dari pancaran indra penglihatannya. Tiba-tiba terasa hawa dingin membuatku nyaris menggigil.“Tempat Tante bukan di dunia lagi. Kenapa nggak mau terima kenyataan kalau Tante itu udah meninggal?” kataku menahan volume suara agar nggak menarik perhatian pengunjung lainnya.Tante Diana hanya diam mendengar perkataanku. Beliau mengeratkan genggaman di jemari kami yang saat ini saling bertau
MelvianoKenapa Sasi melontarkan pertanyaan yang sama sekali tidak masuk akal? Apakah aku akan membiarkan Kalila mengambil alih kehidupannya? Itu adalah pertanyaan terkonyol yang pernah didengar.Aku melonggarkan pelukan, kemudian menggenggam bahu mungilnya. Pandangan mengitari wajah Sasi yang begitu gelisah. Kenapa dia menjadi seperti ini?“Ada apa, Dek? Kenapa tiba-tiba tanya tentang itu?” tanyaku bingung.“Jawab, Bang. Apa Abang akan membiarkan Kalila mengambil alih tubuh saya? Abang ‘kan cinta banget sama dia, sama kayak Om Jhonny yang cinta banget sama Tante Dania,” lontar Sasi mulai terisak.Tangan ini segera menyeka bulir bening yang meluncur di pipinya. Aku mulai paham. Mungkin Sasi menjadi sensitif seperti in
SasikiranaTiba-tiba aku terbangun dengan napas yang nggak beraturan. Mimpi apalagi barusan? Kenapa belakangan ini mimpiku aneh? Dua malam berturut-turut bermimpi mengalami kecelakaan dan tadi malam sepertinya aku bertengkar dengan seorang wanita, tapi nggak tahu wajahnya karena samar.“Kenapa, Dek? Mimpi buruk lagi?” Terdengar suara serak Bang Vian.Aku menoleh ke kiri, kemudian mengangguk pelan. “Sekarang mimpinya beda lagi, Bang. Saya bertengkar dengan seorang perempuan, tapi wajahnya nggak kelihatan. Dia marah banget sama saya.”Bang Vian menarik tangan ini, sehingga tubuhku kembali berbaring dengan kepala berada di atas dada bidangnya. Kulit kami saling bersinggungan begitu saja. Ya, sejak tiga hari belakangan kami cukup sering melakukannya, walau cuma sebelum tid
MelvianoAku duduk menatap nanar layar monitor yang menampilkan foto seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh enam tahun. Foto itu baru saja dikirimkan oleh detektif yang disewa tiga hari yang lalu. Hasil penyelidikan telah dikirimkan melalui email.“Tidak ada karyawan bernama Diana Sukmawati yang pernah bekerja di sini, Pak,” info dari detektif dua jam yang lalu.Pada awalnya aku sempat bingung dan meminta detektif untuk menyelidiki lagi. Setelah melihat foto ini, rasa heran terjawab sudah. Pantas saja tidak ada karyawan bernama Diana Sukmawati.Perasaan bercampur aduk ketika melihat foto tersebut. Walau lawas, namun masih terlihat jelas. Apalagi detektif mengirimkan scan foto, sehingga tampak lebih bersih.Ya Tuhan, aku h
SasikiranaHari ini adalah hari pertemuan dengan Tante Diana. Setelah mengalami perdebatan sengit, aku membiarkan Bang Vian ikut bertemu dengan beliau. Suamiku tipe pria yang pantang menyerah. Lihatlah pada akhirnya dia bisa mewujudkan kemauannya. Mulai dari memintaku agar setuju menikah dengannya hingga bisa memiliki diri ini utuh.Ya, pernikahan yang pada awalnya hanya di atas kertas, kini menjadi sungguhan meski tanpa cinta. Bisakah aku masuk ke dalam hati Bang Vian secara perlahan dan menjadi satu-satunya wanita yang dicintainya?Belakangan ini, Bang Vian terlihat sedikit aneh. Dia sering melamun entah sedang memikirkan apa. Tidur pun gelisah dan nggak tenang. Ada apa dengan suamiku?“Bang,” panggilku setelah berpakaian rapi.&ldqu
MelvianoJujur, ada rasa deg-degan menjelang bertemu dengan Tante Diana. Khawatir jika beliau sudah mengetahui semuanya. Apalagi melihat tatapannya saat memandangi Sasi. Kenapa aku jadi egois seperti ini?Aku hanya bisa mengamati kedua wanita yang saling berpelukan itu. Tante Diana seperti membisikkan sesuatu, tapi tak bisa kudengar. Setelah pelukan melonggar mereka saling berbagi pandang.“Tante sudah tahu tentang kamu, Sasi.” Tante Diana kembali memegang dagu mungil istriku. “Beberapa orang yang Tante kenal di resort, bercerita tentang keluargamu.”Kening ini berkerut mendengar perkataan Tante Diana. Apakah itu artinya beliau sudah tahu siapa Sasi?“Tante kenal dengan Mama saya?” tanya Sasi tanpa bisa menutupi
SasikiranaMalu banget rasanya. Masa tiba-tiba sakit perut pas asik-asik ngobrol?! ‘Kan nggak lucu. Parahnya lagi begitu tiba di toilet ternyata ada yang datang ‘bertamu’. Untung bawa pembalut untuk jaga-jaga. Memang sudah jadwalnya sih.Kira-kira reaksi Bang Vian gimana ya kalau tahu aku lagi datang bulan? Pasti itu muka bakalan ditekuk, karena dia sudah punya rencana malam ini. Kasihan.Beberapa langkah mencapai pintu kaca pembatas ruang VIP tempat Tante Diana dan Bang Vian berada, aku melihat mereka seperti sedang terlibat pembicaraan serius. Mungkin membahas Om Jhonny. Tante Diana juga tampak menangis sampai menyeka air mata dengan tisu.“Maaf lama, Tan. Sakit perutnya nyampur sih,” ucapku begitu melangkah ke dalam ruangan.