Tanah Yunani disebut sebagai tanah para Dewa. Konon diceritakan, para penduduk Yunani kuno pernah hidup berdampingan dengan para Dewa-dewi, mereka saling menjawab pesan satu sama lain melalui orang-orang tertentu yang disebut sebagai para orakel, dukun di zaman Yunani Kuno. Dewa dan Dewi selalu muncul disaat manusia melakukan kelalaian menyembah kepada mereka, demi memberikan hukuman yang setimpal.
Suatu masa, ktika tatanan kehidupan di Yunani sudah mulai teratur, para Dewa kehilangan perannya untuk ikut andil dalam mengatur kehidupan manusia. Manusia memilih untuk hidup dan berjuang dengan kemampuannya sendiri. Pada saat itu, para Dewa dan Dewi telah menyadari bahwa selama ini mereka tidak berhak berkuasa atas manusia itu sendiri.
Hidup mereka dipenuhi penyesalan, menyadari bahwa eksistensi mereka tak jauh berbeda dengan manusia. Mereka juga diciptakan oleh Dzat Agung yang tak bisa dijelaskan wujudnya secara lisan maupun pikiran. Para Dewa-dewi memohon ampun atas perbuatan mereka yang selalu ingin disembah oleh para manusia, tetapi kini telah terlambat untuk menyadarkan pemikiran tersebut kepada para manusia. Manusia telah menulis ajaran serta berkotbah sepenuh hati untuk menyeru menyembah kepada mereka yang juga sama-sama fana. Sehingga mereka memohon kepada Sang Dzat Agung untuk melenyapkan para manusia yang masih menyembah mereka. Tetapi Dzat Agung tidak berkehendak melakukannya, Dzat Agung membiarkan mereka para manusia menemukan jalannya sendiri untuk bertaubat.
Mereka pun memohon hukuman setimpal atas perbuatan mereka selama ini sebagai penembus dosa, Dzat Agung pun menyetujuinya. Mereka para manusia yang dulunya tunduk atas perintah Dewa-dewi kini berbalik menjadi para Dewa-dewi yang harus tunduk kepada keinginan manusia. Dengan ini, lahirlah sebuah energi dalam manusia yang dinamakan thelisi yang berarti kehendak, karena kekuatan ini terlahir dari kehendak para Dewa-dewi untuk menitiskan roh mereka dalam diri manusia yang kemudian dikendalikan oleh manusia itu sendiri. Sehingga disaat manusia dan manusia yang lain saling berkelahi, maka rasa sakit juga dirasakan oleh para Dewa-dewi. Namun, para Dewa-dewi tak bisa berbuat apa-apa dan manusia bebas melakukan yang mereka suka. Thelisi membantu manusia untuk bisa mengeluarkan tenaga super sesuai kekuatan fisik mereka, setiap manusia memiliki thelisi masing-masing sesuai jumlah para Dewa-dewi, satu dewa hanya bisa menitis kepada satu orang sampai orang itu meninggal dan menitis ke orang lain. Besar kekuatan thelisi yang dikeluarkan tergantung kesanggupan manusia dalam mengontrol thelisi tersebut.
Tuntutan manusia dalam mengendalikan thelisi begitu banyak dan mendesak. Sehingga, setiap orang bermaksud untuk mendirikan semacam asrama pelatihan para pendekar yang bersedia belajar dengan giat dalam mengendalikan thelisi. Lambat laun, semakin banyak para pendekar yang ahli dalam mengendalikan thelisi. Kemudian muncul gagasan untuk memanfaatkan asrama pelatihan yang kemudian diambil alih oleh pihak kerajaan sebagai amunisi kekuatan tempur. Tak jarang produktivitas mereka dijadikan sebagai alat penguasa daratan Yunani.
***
Di halaman asrama akademi Herakles, salah satu akademi pendekar di negara Vennisios sedang dalam keadaan porak poranda. Sebuah anak panah melesat dengan cepat, menancap di dada seseorang bertubuh kekar berzirah kerajaan. Tubuhnya jatuh seketika lemah tak berdaya menahan hujaman anak panah yang tepat menembus jantungnya.
Seorang anak muda dengan tangan kiri membawa busur panah, sedang tangan kanannya memegang beberapa anak panah yang siap dia tembakkan lagi –namanya, Naruma. Beserta quiver dari kulit di punggungnya, ia memakai pakaian zirah perang. Tanah di sekitarnya basah akan darah gelimpangan jasad para pasukan kerajaan Athena yang sekarat. Ia siap membidik ke salah satu orang yang masih mampu untuk duduk, melihat dirinya dengan penuh rasa kebencian.
“Kau siapa, Bocah! Beraninya melawan pasukan militer kerajaan Athena!” gertak orang tersebut.
“Kau yang seharusnya dipertanyakan, Tuan!” seru pemuda lain yang memakai pakaian sama dengan pemuda pemanah tersebut namanya Kimble, “Seenaknya ingin menghancurkan gedung asrama akademi Herakles!” Dia tak kalah garangnya.
“Hahaha ... akademi sampah yang akan melahirkan sampah masyarakat.”
Orang sekarat itu malah tertawa dan mengolok-olokkan akademi Herakles. Hal ini menyulut amarah beberapa pemuda berdiri di dekatnya yang siap merenggut nyawanya. Satu orang pemuda melangkahkan kaki dengan mengaktifkan kemampuan thelisi-nya, energi panas menyala disekujur tubuhnya, siap menghancurkan orang sekarat yang bermulut besar di hadapannya –namanya, Macrones. Tapi Naruma menahannya. Ia mengajukan pilihan kepada orang sekarat di hadapannya.
“Tuan, jika anda menyerah, kami akan mengampuni nyawa anda jika tidak yang akan terjadi kepada anda itu adalah akibat keputusan anda!”
“Aku takkan menyerah, karena pasukan Athena adalah yang terkuat!” Orang itu berdiri dan siap menyerang, meluapkan segala sisa tenaga yang dimilikinya. Sebelum niatnya terwujud, sebilah tombak menghujam tengkuknya. Sehingga membuat orang itu kehilangan nyawanya seketika.
Jasadnya roboh sembari seseorang berjalan mendekatinya dengan langkah kaki perlahan dan menarik tombak yang menancap ditengkuknya.
“Kerja bagus, Anak-anak,” ucapnya. Orang itu tak lain adalah seorang jenderal yang bernama Eurobe datang bersama beberapa pasukan negara. “Kalian berhasil mengalahkan pasukan bala tentara keajaan Athena.”
“Tuan Eurobe!” seru tiga anak di hadapannya. Mereka menunduk dengan kompak untuk menghormatinya.
“Maaf, aku tidak datang tepat waktu. Sepertinya mereka menimbulkan kerusakan yang cukup parah,” kata Eurobe. Berjalan mengelilingi halaman gedung asrama, banyak pemuda pemudi yang terluka. Ada juga yang sudah tak bernyawa. “Kita bereskan segala kerusakan dan kumpulkan yang terluka agar ditangani oleh tukang medis dengan cepat.”
Semuanya mengangguk dan melaksanakan perintahnya. Para tukang medis akademi bersiap untuk menyembuhkan setiap anak-anak akademi yang terluka akibat penyerangan prajurit Athena di gelap gulita. Beberapa sudah tak dapat diselamatkan.
Beberapa waktu kemudian pekerjaan mereka selesai. Eurobe menyuruh anak-anak asrama untuk beristirahat. Seluruh anak-anak asrama pun segera terlelap melampiaskan rasa lelah mereka. Namun, tidak untuk Naruma, Kimble dan Macrones. Mereka dikenal sebagai tiga pemuda unggul di akademi Herakles saat ini. Mereka membuat api unggun dan berkemah di halaman asrama. Eurobe pun ikut menemani mereka. Menceritakan pengalaman bersama.
“Kalian mengingatkanku dengan seorang pemuda akademi Herakles sembilan tahun yang lalu. Pemuda yang begitu ulung dan kehadirannya membuat para pasukan Athena tertunduk.”
“Pemuda yang bernama Osryos itu ‘kan, Tuan,” tebak Macrones. Eurobe mengangguk.
Eurobe menceritakan seseorang yang kini menjadi ikon di akademi Herakles. Dia adalah murid paling unggul dari semua murid yang pernah belajar di akademi Herakles. Sembari bercerita ternyata yang mendengarkan hanya Kimble dan Macrones. Sedangkan Naruma melantunkan do’a untuk teman-temannya yang meninggal, agar arwahnya dapat melakukan perjalanan menuju dunia Hades(kematian) dengan lancar.
“Dewa-dewi berbisik padaku, teman-teman kita sedang membutuhkan pengabdian kita karena arwah mereka sedang mendapati masalah saat hendak menuju ke Dunia Hades. Karberos sedang menyalak dengan suara yang mengerikan. Teman-teman kita yang tak kuasa membendung segala dosa dan kesalahan mereka. Arwah mereka diombang-ambingkan oleh kegelisahan yang memuncak. Oh ... Dewa! Ampunilah segala kesalahan dan dosa mereka. Atas kehedakmu, Dewa! Berikanlah mereka keberanian dan kekuatan, kalahkan rasa gelisah mereka, tuntun mereka menuju dunia Hades dengan cahaya petunjukmu. Dewa Hades sambutlah teman-teman kami dengan ramah. Mereka adalah para pejuang yang berani mati membela kedamaian Tanah para saudara-saudari-Mu di Alam Dunia....”
Eurobe salut melihat para pemuda di hadapannya. Ternyata ia memiliki potensi yang luar biasa dalam hal bertempur, intelektual serta spiritual. Tak terasa waktu bergulir cepat sampai sang Dewa Apollo mengangkat matahari dari ufuk timur. Dewa Hermes menyampaikan pesan bahwa hari telah berganti melalui hembusan angin membawa seberkas lembaran baru.
***
Dataran rendah padang rumput luas, disambut oleh sinar mentari pagi yang begitu hangat. Ketiga pengelana hebat –Boy Knight, Vichnight dan Saxomenes memacu kudanya dengan cepat. Beberapa langkah kemudian kuda mereka meringkik, kekuatan berlarinya menurun kian waktu kian melambat. Sudah tentu kalau hewan tunggangan mereka kelelahan dan butuh istirahat. Mereka memutuskan untuk berhenti. Satu dari mereka mengawali untuk turun dilanjut dengan yang lain.
“Dia sudah tidak kuat lagi,” ucap Vichnight. Kuda yang mereka tunggangi terlihat lemah dan kelaparan.”Sepertinya pemilik sebelumnya tidak merawatnya dengan baik.”
“Dasar pasukan negara tak tau diri,” umpat Saxomenes.
“Kalau begitu, tinggalkan saja di sini. Biar mereka menikmati rerumputan segar,” saran Boy Knight,”Kita juga beberapa langkah lagi sampai di negara Bornuza.” Menunjuk cakrawala terlihat sebuah gerbang masuk yang samar-samar dari kejauhan. Pertanda langkah mereka tinggal sedikit lagi. Kedua temannya menyetujui, segera mereka langkahkan kaki untuk menuju ke negeri di seberang padang rumput luas, perbatasan sebelah selatan negara Vennisios. Kota utara di negara Bornuza, kota Lobos.
Bersambung
Terima kasuh bagi kalian yang sudah mengikuti cerita ini sampai lebih 5 chapter, saya berharap anda sekalian bisa menikmati ceritanya. Selalu beri dukungan, ya! Supaya saya bisa lebih semangat dalam menulis cerita. Untuk segala kritik dan saran silahkan kalian ungkapkan di kolom komentar. Stay reading!
Semoga hari-hari kalian menyenangkan!
Salam manis: Hanazawa-kun
Rombongan Boy Knight pergi meninggalkan singgahannya di kampung para Gigant. Mereka menuju ke suatu tempat agar bisa mendapatkan singgahan berikutnya. Boy knight memiliki kebiasaan untuk melawan para pasukan kerajaan yang sedang mengintimidasi suatu pemukiman. Sehingga bila ia dapat melakukannya, ia bisa meraih alih kekuasaan atas kampung tersebut. Entah tujuan seperti apa sebenarnya melakukan hal semacam itu. Kali ini ia menuju ke suatu daerah pemukiman yang konon katanya diintimidasi oleh para pasukan kerajaan. Mereka hadir hanya meminta-minta dan menjamin keamanan. Segala bentuk pembayaran pajak masuk ke kantong mereka sendiri. Beginilah suatu budaya mafia tanah dijalankan oknum aparat negara. Salah satu pasukan berkuda kerajaan menuju pemukiman tersebut. Mereka di
Hembusan angin mengibarkan dedaunan dan pepohonan rindang di dalam hutan belantara. Seseorang pria setengah baya berbaju tempur memasuki kawasan pepohonan lebat, membawakan aura yang hebat. Hewan-hewan liar menjadi jinak di hadapannya. Ia duduk bersandar pada satu pohon ek rindang, dedaunannya menutupi sinar sang surya di siang hari menyengat. Di tengah nyamannya beristirahat, ia kedatangan seseorang. Membawa senjata tajam yang dihunuskan padanya. Tetapi ia tidak merasakan adanya ancaman sedikitpun meski tajamnya pedang hanya berjarak satu senti dari lehernya. Justru orang yang mengancam tersebut merasa kuwalahan."Kau nampaknya masih mengingat kata-kataku. Aku tidak akan bergeming jika tidak merasakan adanya ancaman," ucap pria tersebut.
Rigol berjalan dengan napas terengah-engah sambil menggendong Rinara. Langkah kakinya terdengar oleh sekelompok pasukan negara yang sedang berpatroli di tempat evakuasi dari peristiwa kehancuran Akropolis. Satu petugas menancegahnya dengan menodongkan senjata. "Siapa kau? Kenapa kau bisa membawa anak kecil ini?." Rigol menjelaskan bahwa ia menemukan anak kecil ini sedang terluka di tengah hutan dan berniat mengembalikannya kepada orang tuanya. Rigol juga menjelaskan bahwa Rinara adalah seorang anak yang terdampak dari peristiwa kehancuran Akropolis. "Kaupikir aku percaya ceritamu, aku bisa melihat bahwa kau adalah seorang bandit. Tidak mungkin kau mau menyelamatkan anak ini, kau pasti ingin memperalatnya 'kan?" hardik sang petugas.
Pertumpahan darah telah berakhir. Para petugas medis berlarian ke sana ke mari memberikan pertolongan kepada para pejuang yang terluka. Diperkirakan tiada yang terenggut nyawanya, jika seandainya ada mereka dianggap meninggal secara terhormat. Dikala Boy Knight melawan Itamos, mereka membuat pernyataan peperangan dengan tanpa saling membunuh. Bahkan sewaktu Itamos melakukan pemberontakan, mereka tiada niat membunuh kecuali jika harus membunuh. Boy Knight mempercayainya, tetapi bagi Boy Knight pribadi sudah menjadi janjinya bahwa ia tidak akan pernah merenggut nyawa meski kebiasaannya merampok harta orang lain. Ia tidak memaksakan prinsip kepada para anggotanya, tetapi senantiasa mengingatkan sebelum bertindak. Itamos terlentang lemas, ia bangkit per
Seorang ibu menggendong anak laki-lakinya yang berusia sekitar 6 tahun. Dia meletakkannya di pada rumput luas tengah hutan lebat. Mata sang ibu berkaca-kaca, tak kuasa menahan bendungan air mata hingga meneteslah beberapa butir air mata lembut membahasi pipinya. Namun, sang ibu menggeleng ketika anak laki-laki menatap mukanya malahan dia pasang senyum palsu lebar-lebar. "Itamos, ibu pergi dulu. Ibu akan kembali kok. Jika ada orang yang menemukanmu di sini sebelum ibu kembali, ikuti saja orang itu. Tidak perlu khawatirkan ibu, ibu pasti menyusulmu," ucap sang ibu.Anak itu menarik pakaian sang ibu ketika ibu tersebut berbalik arah. Perasaan sang ibu kini semakin mengguncang. "Tapi, aku hanya ingin bersama ibu. Jangan tinggalkan aku!" Ucapan polos dari anak yang
Pertempuran di kampung Gigant belum kunjung usai. Namun, banyak para pasukan jatuh bergelimpangan karena kehabisan tenaga. Untungnya mereka tidak ada yang berniat membunuh, bisa dipastikan tidak ada korban yang sampai kehilangan jiwa. Hanya mendapatkan luka-luka dan pingsan.Duel pertarungan raksasa wanita Saras melawan Dombros semakin memanas. Mereka sama-sama unjuk kekuatan sejati, sampai mengangkat bebatuan sekitar mereka untuk dijadikan sebagai senjata yang membenturkan lawan mereka. Dombros melakukan serangan, dan setiap dia melancarkan pukulan ada bebatuan melayang yang mengikuti irama serangannya. Saras menangkis serangannya, sampai bebatuan yang ditangkisnya membentur dan melukai orang lain. Saras yang melihat hal ini mencoba membuat perhitungan, dia merentangkan tangan kanan untuk memberikan isyarat berhenti.