Pangeran Heydar menekan kening yang terasa berdenyut. Ego dan nurani terus-menerus berperang, membuat kepalanya terasa akan pecah. Dia mengangkat tangan, memberi isyarat kepada para penjaga untuk keluar dari aula. Pangeran Heydar memang paling tidak suka terlihat orang lain saat dalam kondisi rapuh.
Para penjaga memberikan salam penghormatan, lalu keluar diikuti petinggi-petinggi negara. Ketika pintu ditutup Pangeran Heydar langsung ambruk ke lantai. Dia mengerang dengan tetap berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar sampai keluar.
“Heydar!” Ghumaysa berseru dengan memasang wajah pura-pura cemas.
Dia bersimpuh sembari mengenggam tangan Pangeran Heydar. Gadis iblis itu bertingkah seperti sedang melakukan teknik penyembuhan, padahal sedang menyalurkan lebih banyak kabut kegelapan ke tubuh sang pangeran.
“Heydar, beginilah akibatnya jika ritual belum dilakukan. Kamu akan terkena efek buruk. Paling tidak kita harus melewati tiga r
Ghumaysa mengepalkan tangan melihat kabut hitam yang diembuskannya ke dada Pangeran Heydar semakin menipis. Rencana ritual membangkitkan pedang terkutuk bisa-bisa gagal karena hati sang pangeran mulai tersentuh oleh kemurnian anak-anak. Tak habis akal, dia segera meraih gelas perak dan menuangkan anggur, juga meneteskan darah ke dalamnya.“Heydar,” panggil Ghumaysa, membuat Pangeran Heydar tergagap.“Kak Ar— eh, Sayang, ada apa?”“Aku baru saja menuangkan anggur yang lezat ini untukmu. Minumlah dulu”Pangeran Heydar terkekeh. “Ah, anggur ini pasti akan semakin manis karena dituangkan oleh gadis semanis dirimu,” godanya.Ghumaysa mencubit lengan Pangeran Heydar dengan manja. Menggoda memang sudah menjadi keahliannya. Sang pangeran tanpa ragu dan rasa curiga menenggak habis segelas anggur sembari menatap dalam si gadis iblis.“Kenapa langsung dihabiskan, Heydar? Nanti kamu mabuk
Gulzar Heer tercengang, lalu termangu, mencoba mencerna apa yang terjadi. Seingatnya, dia baru saja terlelap di gua setelah mereka menuruni tebing. Namun, saat membuka mata, tak ada lagi pemandangan hutan. Gulzar Heer malah disambut oleh pedesaan yang tak asing, Alvaz.Namun, bukan hal itu yang mengejutkannya, melainkan banjir besar yang memakan banyak korban jiwa. Gulzar Heer mencoba menolong, tetapi seperti kejadian saat kembali ke masa lalu, dia tidak bisa menyentuh apa pun. Tubuhnya bahkan tidak basah meski terendam air bah."Ada apa sebenarnya?" gumam Gulzar Heer sambil menyusuri banjir.Dia terus berjalan ke satu arah karena merasakan tekanan energi yang sangat besar dari sana. Saat tiba di tempat tujuan, Gulzar Heer semakin tercengang. Dilihatnya Pangeran Heydar tengah menusuk jantung korban-korban banjir. Aliran energi yang aneh menyelimuti pedang hitam di tangannya.Gulzar Heer seketika melotot. Dia mengenali pedang itu. Ya, pedang yang dulu digu
Bagian 62Gulzar Heer segera menghampiri Putri Arezha dan Alizeh. Dia mencoba memperjelas maksud dua gadis itu. Ternyata, barang-barang mereka memang telah dicuri. Kantung-kantung penyimpanan pemberian Kayvan tak bersisa satu pun, begitu juga dengan barang bawaan Alizeh, hanya pedang suci yang selamat. Itu pun mungkin dikarenakan para penjahat itu tak bisa menyentuhnya.Pintu tiba-tiba diketuk. Gulzar Heer membukanya. Wajah frustrasi Pangeran Fayruza menyembul dari balik pintu. Sang pangeran masuk ke kamar sambil menekan kening.“Apakah barang-barangmu juga dicuri, Fay?” tebak Gulzar Heer.“Di sini juga?”Gulzar Heer mengangguk.“Hanya pedang suci yang selamat,” tukasnya.Putri Areza tiba-tiba menjerit histeris. Alizeh sampai hampir melepaskan panah angin karena kaget. Gulzar Heer juga mengenggam gagang pedangnya. Sementara Pangeran Fayruza menyalurkan manna bermaksud memer
Bagian 63 Tatapan-tatapan tajam seperti ujung pedang yang menodong. Gulzar Heer segera memberi isyarat untuk membentuk formasi. Pangeran Fayruza dan Alizeh mengambil posisi. Mereka bertiga membentuk lingkaran kecil dengan Putri Arezha berada di tengah-tengah. Tanpa benda sihir pemberian Kayvan, nyawa sang putri bisa saja terancam. Belasan anak panah para pencuri melesat. Gulzar Heer menebaskan pedang untuk mematahkannnya dengan mudah. Sementara Alizeh mencoba menjauhkan dengan embusan angin kencang. Anak-anak panah itu pun tertancap di berbagai tempat, dahan pohon maupun tanah berlumpur. “Mereka hanya rakyat yang menjadi korban ketidakadilan. Sebisa mungkin kita tidak melukai mereka!” perintah Gulzar Heer. “Bagaimana caranya? Nyawa kita terancam, Nona Kesatria!” ketus Alizeh yang tampaknya sedikit tidak terima. Gulzar Heer berpikir keras sembari terus menangkis serangan anak panah. Dia memahami pemikiran Alizeh. Orang-orang di
"Anda benar-benar kesatria suci, Ratu. Jika bukan kesatria suci, Anda tidak akan bisa menyentuh pedang suci, seperti halnya tetangga kami yang hendak mencuri pedang itu," jawab Tetua Avyan."Tapi, kenapa saya bisa terkena sihir hitam?" "Tunggu sebentar ...."Tetua Avyan memejamkan mata. Tubuhnya bersinar terang untuk sesaat. Darah tiba-tiba menetes dari lubang hidungnya."Kakek! Kakek!" seru Ava. Dia hampir menggendong sang kakek."Aku baik-baik saja, Ava," sergah Tetua Avyan."Tapi, hidung Kakek ...."Tetua Avyan mengangkat tangan, memberi isyarat agar sang cucu bersikap tenang. Selanjutnya, dia menatap Gulzar Heer dengan sorot mata iba. Helaan napas beratnya terdengar samar-samar."Apa Anda pernah terkena sihir hitam sebelum usia 7 tahun?""Beberapa saat setelah saya lahir, peri yang bersekutu dengan iblis mengutuk saya akan membunuh ayah sendiri ...," Gulzar Heer mengepalkan tangan dengan kuat hingga terlihat b
Pangeran Heydar merasa sedikit kecewa. Sebenarnya, dia datang ke kamar Ghumaysa karena ingin bermesraan dengan sang kekasih. Sejak mereka membebaskan pedang hitam dari segel, sikap gadis itu perlahan berubah. Hangatnya pelukan dan lembutnya bibir Ghumaysa sudah sangat jarang dirasakan. Pangeran Heydar sangat haus kasih sayang.“Heydar, apa yang membuat wajahmu menjadi semuram ini?” tanya Ghumaysa dengan sorot mata iba. “Seseorang menganggumu?”Pangeran Heydar mendekap erat Ghumaysa. Dia terus mendorongnya, hingga mereka terguling ke kasur. Tangan yang kokoh menyentuh lembut wajah cantik sang kekasih. Namun, saat bibir mereka hampir tak berjarak, Ghumaysa mendorong Pangeran Heydar menjauh.“Sudah kubilang untuk bersabar, kan, Heydar?”“Sampai kapan, Ghumaysa? Dulu, kita tak bisa bebas karena statusmu sebagai pelayan Kak Arezha. Sekarang, kita berkuasa. Tapi, kau bahkan menolak untuk dinikahi!”Napas Pa
Sejak suara-suara misterius yang terasa tak asing sering menggema di telinganya, Pangeran Heydar benar-benar bimbang. Dia mulai meragukan semua rencana bersama Ghumaysa. Kadang, tidurnya pun dihantui wajah-wajah korban ritual. Sudah terhitung delapan orang persembahan dikorbankan setelah gadis yang mereka culik seminggu lalu. Berarti, ritual akan lengkap dengan satu korban lagi.Menurut Ghumaysa, ritual akan dilakukan dalam tiga kali purnama. Pangeran Heydar duduk di altar dan dimandikan dengan darah para korban persembahan. Energi akan mengisi tubuhnya dan pedang hitam, sehingga akan menjadi petarung tak terkalahkan.Kini, Pangeran Heydar bahkan tak yakin sanggup melakukan ritual yang terdengar mengerikan dan menjijikkan itu. Entah kenapa Ghumaysa menjadi sedikit menyeramkan di matanya. Dia juga takut dengan diri sendiri saat teringat pernah mengayunkan pedang membunuh orang-orang tak berdosa.“Ada apa denganku? Kenapa aku bahkan merasa asing dengan diri
Pangeran Heydar tiba di ruang persembahan tepat saat matahari terbenam. Ghumaysa menyambutnya dengan senyum semringah. Dia meminta sang pangeran untuk duduk di atas altar, lalu memutar rubi yang menempel di dinding batu. Atap ruang persembahan berderak dan membuka perlahan. Purnama terlihat bersinar indah di hamparan hitam penuh kerlipan bintang.“Kau siap, Heydar?” tanya Ghumaysa.Dia telah memegang cawan berisi darah para korban. Pangeran Heydar mengangguk pelan meskipun hatinya digayuti keraguan. Aroma amis yang tercium dari cawan seolah meneriakkan kesakitan para korban persembahan.“Baiklah, ritual pertama akan kumulai. Rasanya, mungkin sangat sakit, bertahanlah hingga purnama merah kembali menjadi putih.”Pangeran Heydar mengerutkan kening. “Purnama merah?”“Iya, Heydar. Ketika aku membaca mantra purnama di atas sana akan menjadi merah, dan nanti kembali putih jika ritual telah selesai.”