Share

Tak Selevel

"Duduklah di sini!" Evan lantas mendudukkan Anita pada kursi panjang berbahan besi itu membuat Anita yang sejak tadi meronta-ronta seketika terdiam kala melihat Evan tampak menghela napas lelah.

Tak lama Jerry datang dengan kotak P3K di tangannya. "Ini yang Pak Evan minta," kata Jerry seraya mengulurkan tangan.

Segera Evan menerimanya. "Terima kasih," ucapnya lantas duduk di samping Anita, membuat wanita itu segera beringsut menjauh.

"Sama-sama, Pak," sahut Jerry lantas pria itu tetap berdiri di sana memperhatikan Evan yang sedang membuka kotak obat.

Evan lalu mengambil kapas dan cairan anti septik, lantas satu tangannya yang lain terulur ingin meraih kaki Anita. Tentu saja wanita itu kaget dan menggeleng keras. "Biar saya sendiri yang mengobati, Pak."

Tanpa menunggu lama Anita segera merampas kapas basah dari tangan Evan dan dengan hati-hati membersihkan lukanya sendiri. "Awh ...." Tak dapat dipungkiri luka di lututnya begitu sangat perih kala dibersihkan membuat air mata wanita itu menetes kembali.

Evan hanya memperhatikan wajah wanita di sampingnya yang pura-pura tegar, tak terdengar suara isak tangis dari bibirnya, tapi air mata terus mengalir dari kedua netranya. Evan dapat merasakan, kalau rasa sakit luka luar tak seberapa dibanding rasa sakit luka dalam.

Ya, air mata itu adalah air mata luka hati.

Evan kembali menuang cairan anti septik pada kapas dan memberikannya pada Anita, wanita itu lantas membuang kapas yang sudah kotor itu pada tong sampah dan menerima kapas baru dari Evan. Lagi ia bersihkan lukanya, sesekali bibirnya meringis menahan sakit dan perih, sementara Evan hanya diam dan memperhatikan wanita yang sedang berusaha menyembunyikan kerapuhan dirinya.

Evan baru sadar kalau masih ada luka lain, ia melihat ke sudut bibir wanita itu yang memar, mungkin tadi pria yang mengaku suaminya itu telah menampar wanita lemah ini. Entah mengapa hati Evan merasa marah kala membayangkan seorang pria dengan tega menampar wanita sampai seperti ini.

Lagi Evan menuang cairan anti septik pada kapas, lalu Anita pun menatap Evan. "Sudah cukup, Pak. Kedua lutut saya sudah bersih dari luka, sekarang saya mau pulang, saya takut kegelapan di jalan," kata Anita.

Evan segera mencegah lengan Anita lagi saat wanita itu hendak berdiri, hingga mau tak mau Anita harus kembali duduk. Wanita itu menatap Evan dengan kening berkerut, ia heran melihat kapas di tangan Evan, untuk apa lagi?

"Luka di sudut bibir Anda belum dibersihkan, biar saya bantu bersihkan karena Anda pasti kesulitan jika tidak melihatnya." Tanpa menunggu jawaban dari Anita tangan kiri Evan meraih rahang wanita itu dan mulai menotolkan kapas ke sudut bibir Anita secara hati-hati.

"Sshhh!" Anita meringis saat kapas basah itu menempel pada lukanya.

"Apakah sangat sakit?" tanya Evan lembut, terlihat ia begitu bersalah.

Anita menggeleng pelan. "Se-sedikit perih, Pak."

"Oke, maafkan saya," timpal Evan, kali ini ia lebih sangat berhati-hati dan benar-benar pelan menotolkan kapasnya.

Jujur saja Anita terkesima menatap wajah Evan sedekat ini, debar jantungnya sangat kuat dan rasanya seolah ingin lompat keluar dari dadanya. Dia tidak tahu mengapa atasannya begitu baik, apakah dia baik pada semua orang? Mungkin iya.

Anita berusaha menetralkan perasaannya, ia berusaha tenang dan rileks. Wanita itu lalu melirik Jerry yang sejak tadi memperhatikan dia dan Evan, entah apa yang ada di dalam otak assistant tampan itu juga?

Perhatian Evan teralihkan dari sudut bibir Anita menuju ke kedua mata wanita itu yang ternyata sedang menatap Jerry yang berdiri di belakangnya. Bukannya memperhatikan wajah dia yang telah menolongnya dan terpesona seperti di film-film, kenapa wanita ini malah memperhatikan orang lain?

Entah apa yang dirasakan Evan, kenapa jadi kesal? Sementara itu kini Anita kembali mengalihkan pandangan pada langit. "Ya Allah, hari sudah mulai gelap? Gimana ini aku pulang?" batin Anita.

"Apa yang Anda lihat, Mbak?"

Pertanyaan Evan membuat Anita sedikit terkejut, kedua tatapannya seketika beralih ke depan dan tepat beradu dengan kedua bola mata Evan yang sipit nan tajam. Sejenak keduanya terdiam, sebelum Anita perlahan menggerakan bibir tipisnya untuk menjawab. "Ti-tidak, Pak. Sa-saya ha-hanya ingin pulang. Langit sudah mulai ge-gelap." Anita benar-benar merasa gugup, ia lantas melepaskan dagunya dari tangan Evan dan membetulkan posisi duduk.

Evan yang sadar karena tadi sejenak seolah terhipnotis oleh tatapan mata besar Anita dan bibir tipis itu saat bergerak tepat di hadapannya, entah apa yang pria itu rasakan. Mengapa jantungnya berdebar, dan kenapa seperti ada aliran listrik tegangan rendah seolah menyengat tubuhnya.

"Lalu kenapa kalau sudah gelap? Ini sudah pukul 6," sahut Evan, pria muda itu berusaha mempertahankan gayanya yang cool, meski ia tadi sempat merasa kikuk.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya takut gelap," jawab Anita apa adanya, sepuluh jemarinya saling tertaut saat melihat langit semakin gelap, lampu-lampu jalan dan gedung mulai menyala, meski begitu tak mengurangi rasa takut di hati Anita ditambah saat ini terdengar suara Adzan yang berkumandang dari masjid terdekat. "Ya Allah, bagaimana ini ... sudah magrib, pandanganku sudah mulai tidak jelas melihat jalanan, tolong aku, Ya Allah. Aku takut," batin Anita.

Mendengar jawaban Anita, Evan pun sejenak terdiam. Dia melihat wajah pucat wanita itu di bawah sorot lampu taman dekat kantor ini, pria itu juga menurunkan pandangan pada kedua tangan Anita sangat jelas kalau wanita itu seperti sangat gelisah.

Karena Anita takut nanti lebih gelap, rasanya ia harus cepat saat ini juga. "Maaf, Pak. Saya harus pulang." Anita tak menoleh kepada Evan yang sejak tadi memperhatikannya di samping, wanita itu malah segera melangkah cepat menuju pinggir jalan untuk mencari angkutan umum.

Rupanya rasa takut membuat Anita lupa kalau lututnya masih terluka dan rasa sakitnya tak terlalu ia hiraukan saat ini.

Beruntung lampu-lampu gedung dan jalanan cukup terang, langit juga belum terlalu menghitam sehingga Anita masih bisa melihat cukup baik meski jarak pandangnya mulai tak jelas.

Evan berdiri dari duduknya, dari kejauhan ia melihat Anita melambaikan tangan pada angkutan umum berwarna biru dan ia segera naik lantas berlalu dibawa pergi dari hadapan Evan yang masih termangu.

"Pak, sebaiknya kita segera pulang." Tepukan tangan Jerry di bahu Evan membuat pria itu tersadar dari lamunan yang membuat Evan sendiri bingung dengan tingkahnya sore ini. Kenapa dengan dirinya saat ini? Mengapa begitu tertarik dengan wanita seperti perempuan tadi?

Evan yang tak banyak bicara pun mengangguk dan langsung melangkah menuju mobilnya diikuti oleh Jerry. "Silakan, Pak." Jerry membukakan pintu dan Evan pun segera masuk dan duduk di kursi penumpang, barulah Jerry segera masuk mobil dan duduk di kursi kemudi.

Kendaraan mewah warna hitam milik Evan pun akhirnya keluar dari halaman parkir kantor, di saat kantor sudah sepi dari para karyawan, kecuali para security dan karyawan yang sedang lembur.

***

Di sepanjang perjalanan Evan terus menatap ke arah jendela, langit yang gelap tak berbintang hanya ada bulan sendirian di sana. Entah mengapa pikiran Evan melayang pada bayangan wajah seseorang. "Jer, apa kamu tahu nama wanita itu?" tanya Evan tiba-tiba membuat Jerry yang sedang fokus mengemudi pun sedikt bingung.

Jerry mengerutkan kening. "Maksud Pak Evan, wanita yang mana, Pak?"

"Yang tadi," jawab Evan.

Mendengar jawaban Evan membuat Jerry semakin bingung, tumben Evan menanyakan nama seseorang? Apalagi orang itu seorang wanita dan wanita itu tak selevel dengan Evan Lee, sangat jauh!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status