Share

Bab 2

Ada Yang Cemburu

 

Plak

 

Plak 

 

Plak

 

 

"Puas kamu Ann? Lihat, karena kelakuanmu Anne kambuh dan mungkin nggak akan bisa diselamatkan." Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Mami menamparku hingga tiga kali pukulan. 

 

 

Jangan tanya gimana rasanya! Hatiku jauh lebih sakit, dan kata maaf tidak akan mampu untuk menyembuhkan hingga ke akar-akarnya. 

 

 

Andai masih ada Papi, beliaulah orang yang selalu hadir di depan. Kala Mami mulai pilih kasih, sayang, takdir yang begitu kejam harus memisahkan kami.

 

 

"Kamu boleh marah sama aku, Ann. Tapi, jangan lampiaskan semua sama Anne! Seharusnya, kamu lebih tahu gimana kondisi dia." Angga, berucap dengan sedikit nada tinggi. Kupikir ucapan dan tamparan Mami, sudah cukup merobek hati. Ternyata tidak sampai di sini, sang mantan juga ikut menyalahkan.

 

 

Mati-matian kutahan bulir bening, untuk tidak menerebos keluar. Hanya untuk menunjukkan bahwa Anna kuat, mampu berdiri di atas kaki sendiri. 

 

Dulu, Anggalah satu-satunya orang tempatku berkeluh kesah. Menghabiskan waktu bersama, tapi, seiiring berjalannya waktu pria itu lebih memilih hidup dengan adik kembarku. Anne Pratama Dewi. 

 

"Apa Mami bilang Ann, kamu sih ngotot kepengen pergi dari rumah," ucapnya. Masih saja menyalahkan diriku. "Apa salahnya, kamu tetap tinggal bersama kami. Jangan terlalu lebay!"

 

 

Kuhempaskan diri pada kursi rumah sakit, dengan tangan masih meraba pipi akibat pukulan Mami. "Aku ... Nggak yakin bisa Mi, melihat orang yang paling kucinta bermesraan dengan wanita lain. Dan lebih nyesek, itu adik sendiri."

 

Seharusnya Mami dan Angga, cukup paham. Bukan terus menyudutkan diriku, lagian ... Anne memang sudah biasa bolak-balik rumah sakit. 

 

Aku juga punya hati, jangan dipikir aku kuat. Sehingga tidak akan mampu tergores dengan kedekatan mereka, kapan sih Mami ngerti? Walau hanya sedikit saja! 

 

Satu jam menunggu, seorang dokter keluar. Tentu Mami dan Angga, berhamburan saling bertanya perihal Anne. 

 

Sedang, aku masih duduk dengan santai. Tersenyum getir melihat kedua manusia yang begitu antusias, bertanya ini dan itu. 

 

"Anna, dokter Adi ... Mau ngomong tuh sama kamu." Dahiku mengernyit bingung, untuk apa? Bukankah, selalu Mami yang terlibat obrolan dengan dia? Malas bener! 

 

 

"Ayo cepat, anggap saja ini hukuman buat kamu. Udah bikin Anne kambuh, udah sana!" Sial, hukuman macam apa ini? Jujur, aku paling nggak suka berhubungan dengan dokter jutek kayak dia. 

 

Dengan sangat terpaksa, aku melangkah gontai. Berniat untuk menemui dokter Adi, di ruangannya. 

 

Usai pintu diketuk, sosok dokter Adi tengah duduk sambil menatapku lekat. Tanpa senyuman, apalagi sapaan ramah. 

 

Aku memutar bola mata dengan malas, "Langsung aja, dokter ada mau ngomongin apa?"

 

"Duduk dulu Anna, kamu ini ... Beda sekali dengan Anne." Ucapannya, lagi menohok hati. 

 

"Jelas bedalah, kami ini memang kembar. Tapi, soal sifat dan sikap tentu tidak sejalan."

 

Mengenyakan diri di kursi, mataku kembali bertemu dengan dokter Adi. Dan, dia masih tetap sama. Jutek, tanpa seutas senyum di bibir. 

 

Lagian, Mami aneh. Nggak bisa milih dokter lain apa, heran! 

 

"Anna ... Kamu jelas tahu, kalau Anne sedari kecil mengidap penyakit bawaan. Dia nggak boleh stress sedikit saja," ujarnya, memulai pembicaraan. "Dan kamu, menjadi penyebab utama atas kambuhnya penyakit dia hari ini."

 

Cukup sudah, Mami dan Angga kembali menyudutkan. Kenapa dokter Adi pake ikutan segala sih? 

 

"Kamu dengar saya, Anna?" tegurnya, sambil memainkan tangan. Karena, aku sempat terbuai lamunan. 

 

"Hm," sahutku, bosan dengan ucapan apapun perihal Anne. 

 

"Cobalah mengalah untuk adikmu, Anna. Termasuk, merelakan Angga." Aku mendesah resah, dokter Adi cukup banyak memang tahu kondisi keluarga kami. 

 

"Andai semudah itu, dok. Sudah aku lakukan sedari kemarin," sahutku. Kembali menelan ludah, "Coba dokter jadi aku sebentar saja. Biar tahu rasanya gimana!"

 

 

Hening 

 

Dokter Adi terdengar mendengkus sebal, "Ayolah Anna, jangan berlaku layaknya kamu paling menderita! Anne, butuh keluarganya. Disaat terakhir dalam hidup," ungkapnya. Pintar sekali dalam mendiagnosis.

 

"Dok, jadi dari tadi itu yang mau Anda bicarakan? Kenapa harus muter-meter sih?"

 

"Iya hanya itu, semoga tingkat kedewasaanmu makin bertambah setelah keluar dari sini!"

 

Lagi, aku menelan ludah. Memilih untuk lekas pergi, benar-benar konyol. Mereka yang egois, atau emang aku yang bersikap kekanak-kanakan? 

 

Tak terasa, air mata mengalir. Kenapa semua orang begitu memperhatikan kamu Anne? 

 

Rela menukar kebahagiaan aku dengan dirimu, bersikap seolah dirimu adalah barang mahal yang harus dijaga dan dilindungi.

 

"Mami harap, kamu akan tetap di rumah Anna." Kulirik Mami sekilas, apa peduli dia sama aku?

 

"Mi ... Hati aku nggak cukup kuat, melihat Anne sama Angga. Pleaselah, ngertiin perasaanku kali ini saja!" 

 

Bukan rasa kasihan atau hal lembut lain yang kudapat, melainkan tatapan tajam dari wanita yang katanya telah melahirkanku. "Dari dulu Mami nggak bisa ditentang Anna, sana masuk! Jangan sampai, Anne berpikir kamu masih marah."

 

Ya Tuhaaaan, kenapa aku harus selemah ini? Pasrah ketika diseret Mami untuk masuk, dan lihat. Bahkan di dalam sudah ada Angga, yang tengah duduk menemani istrinya. 

 

Suasana kembali hening, Anne belum sadarkan diri. Aku memang tidak pernah tahu dia sakit apa, sebab Mami tidak pernah mau terus terang ketika ditanya.

 

 

Mami pamit, karena masih ada urusan butik miliknya yang perlu dipantau. Menyisakan aku dan Angga, kami terdiam tanpa ada yang mau bersuara. 

 

"Anna ... Maafkan aku," ucapnya setelah sekian lama berdiam diri. 

 

Kutatap sang mantan lekat, kami berada dalam jarak yang cukup jauh. Sengaja, aku tak ingin menatap manik matanya terlalu dekat. 

 

"Kamu tahu, Anne lemah tak sekuat dirimu. Itulah yang membuatku terpaksa menikahi dia," lanjutnya, memulai sakit yang ingin kukubur. "Semoga, kamu mendapat jodoh terbaik. Pengganti aku Ann."

 

Mendengar itu, aku hanya mampu tersenyum getir. Dua tahun menjalin hubungan, dan ternyata aku hanya jagain jodoh orang. 

 

Dan, lebih nyesek jodohnya itu adikku sendiri!

 

"Maaf ... Aku paling nggak bisa, melihat orang seperti Anne berjuang seorang diri. Dia butuh penyemangat," katanya lagi. Mencoba mencari pembelaan. 

 

 

"Terserah apa katamu, Ngga. Semoga kalian selalu berbahagia, di atas penderitaanku."

 

Sekarang, tak ada lagi tangisan yang keluar. Hanya sesak di dada, kala mendengar ucapan Angga. 

 

Mungkin, aku harus sakit dulu supaya dia kembali lagi? Ahh, tapi, aku bukan Anne perempuan picik yang mengatasnamakan penyakit.

 

Suara pintu diketuk, dan sosok dokter Adi menyembul dari luar.

 

Malas, malas, lebih baik aku tidur. Mungkin, dia hanya ingin melihat kondisi pasien. Ahh, lakukan apa yang mau kamu lakukan dok! 

 

"Anna, kamu ... Bisa temani saya makan?" pinta dokter Adi, tanpa melihat kondisi Anne terlebih dahulu. 

 

Apa katanya tadi, makan? Nggak salah, dokter jutek itu ngajakin aku makan? 

 

 

Eh tapi, kulirik wajah Angga terlihat merah padam. Bagussss, aku bisa sedikit membalas rasa sakitku sama dia melalui dokter Adi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nani Lestari
Pergi pergi tinggal pergi, ngedumel doank
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status