Share

Bab 2

Penulis: Fitriyani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-13 21:51:10

Ada Yang Cemburu

 

Plak

 

Plak 

 

Plak

 

 

"Puas kamu Ann? Lihat, karena kelakuanmu Anne kambuh dan mungkin nggak akan bisa diselamatkan." Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Mami menamparku hingga tiga kali pukulan. 

 

 

Jangan tanya gimana rasanya! Hatiku jauh lebih sakit, dan kata maaf tidak akan mampu untuk menyembuhkan hingga ke akar-akarnya. 

 

 

Andai masih ada Papi, beliaulah orang yang selalu hadir di depan. Kala Mami mulai pilih kasih, sayang, takdir yang begitu kejam harus memisahkan kami.

 

 

"Kamu boleh marah sama aku, Ann. Tapi, jangan lampiaskan semua sama Anne! Seharusnya, kamu lebih tahu gimana kondisi dia." Angga, berucap dengan sedikit nada tinggi. Kupikir ucapan dan tamparan Mami, sudah cukup merobek hati. Ternyata tidak sampai di sini, sang mantan juga ikut menyalahkan.

 

 

Mati-matian kutahan bulir bening, untuk tidak menerebos keluar. Hanya untuk menunjukkan bahwa Anna kuat, mampu berdiri di atas kaki sendiri. 

 

Dulu, Anggalah satu-satunya orang tempatku berkeluh kesah. Menghabiskan waktu bersama, tapi, seiiring berjalannya waktu pria itu lebih memilih hidup dengan adik kembarku. Anne Pratama Dewi. 

 

"Apa Mami bilang Ann, kamu sih ngotot kepengen pergi dari rumah," ucapnya. Masih saja menyalahkan diriku. "Apa salahnya, kamu tetap tinggal bersama kami. Jangan terlalu lebay!"

 

 

Kuhempaskan diri pada kursi rumah sakit, dengan tangan masih meraba pipi akibat pukulan Mami. "Aku ... Nggak yakin bisa Mi, melihat orang yang paling kucinta bermesraan dengan wanita lain. Dan lebih nyesek, itu adik sendiri."

 

Seharusnya Mami dan Angga, cukup paham. Bukan terus menyudutkan diriku, lagian ... Anne memang sudah biasa bolak-balik rumah sakit. 

 

Aku juga punya hati, jangan dipikir aku kuat. Sehingga tidak akan mampu tergores dengan kedekatan mereka, kapan sih Mami ngerti? Walau hanya sedikit saja! 

 

Satu jam menunggu, seorang dokter keluar. Tentu Mami dan Angga, berhamburan saling bertanya perihal Anne. 

 

Sedang, aku masih duduk dengan santai. Tersenyum getir melihat kedua manusia yang begitu antusias, bertanya ini dan itu. 

 

"Anna, dokter Adi ... Mau ngomong tuh sama kamu." Dahiku mengernyit bingung, untuk apa? Bukankah, selalu Mami yang terlibat obrolan dengan dia? Malas bener! 

 

 

"Ayo cepat, anggap saja ini hukuman buat kamu. Udah bikin Anne kambuh, udah sana!" Sial, hukuman macam apa ini? Jujur, aku paling nggak suka berhubungan dengan dokter jutek kayak dia. 

 

Dengan sangat terpaksa, aku melangkah gontai. Berniat untuk menemui dokter Adi, di ruangannya. 

 

Usai pintu diketuk, sosok dokter Adi tengah duduk sambil menatapku lekat. Tanpa senyuman, apalagi sapaan ramah. 

 

Aku memutar bola mata dengan malas, "Langsung aja, dokter ada mau ngomongin apa?"

 

"Duduk dulu Anna, kamu ini ... Beda sekali dengan Anne." Ucapannya, lagi menohok hati. 

 

"Jelas bedalah, kami ini memang kembar. Tapi, soal sifat dan sikap tentu tidak sejalan."

 

Mengenyakan diri di kursi, mataku kembali bertemu dengan dokter Adi. Dan, dia masih tetap sama. Jutek, tanpa seutas senyum di bibir. 

 

Lagian, Mami aneh. Nggak bisa milih dokter lain apa, heran! 

 

"Anna ... Kamu jelas tahu, kalau Anne sedari kecil mengidap penyakit bawaan. Dia nggak boleh stress sedikit saja," ujarnya, memulai pembicaraan. "Dan kamu, menjadi penyebab utama atas kambuhnya penyakit dia hari ini."

 

Cukup sudah, Mami dan Angga kembali menyudutkan. Kenapa dokter Adi pake ikutan segala sih? 

 

"Kamu dengar saya, Anna?" tegurnya, sambil memainkan tangan. Karena, aku sempat terbuai lamunan. 

 

"Hm," sahutku, bosan dengan ucapan apapun perihal Anne. 

 

"Cobalah mengalah untuk adikmu, Anna. Termasuk, merelakan Angga." Aku mendesah resah, dokter Adi cukup banyak memang tahu kondisi keluarga kami. 

 

"Andai semudah itu, dok. Sudah aku lakukan sedari kemarin," sahutku. Kembali menelan ludah, "Coba dokter jadi aku sebentar saja. Biar tahu rasanya gimana!"

 

 

Hening 

 

Dokter Adi terdengar mendengkus sebal, "Ayolah Anna, jangan berlaku layaknya kamu paling menderita! Anne, butuh keluarganya. Disaat terakhir dalam hidup," ungkapnya. Pintar sekali dalam mendiagnosis.

 

"Dok, jadi dari tadi itu yang mau Anda bicarakan? Kenapa harus muter-meter sih?"

 

"Iya hanya itu, semoga tingkat kedewasaanmu makin bertambah setelah keluar dari sini!"

 

Lagi, aku menelan ludah. Memilih untuk lekas pergi, benar-benar konyol. Mereka yang egois, atau emang aku yang bersikap kekanak-kanakan? 

 

Tak terasa, air mata mengalir. Kenapa semua orang begitu memperhatikan kamu Anne? 

 

Rela menukar kebahagiaan aku dengan dirimu, bersikap seolah dirimu adalah barang mahal yang harus dijaga dan dilindungi.

 

"Mami harap, kamu akan tetap di rumah Anna." Kulirik Mami sekilas, apa peduli dia sama aku?

 

"Mi ... Hati aku nggak cukup kuat, melihat Anne sama Angga. Pleaselah, ngertiin perasaanku kali ini saja!" 

 

Bukan rasa kasihan atau hal lembut lain yang kudapat, melainkan tatapan tajam dari wanita yang katanya telah melahirkanku. "Dari dulu Mami nggak bisa ditentang Anna, sana masuk! Jangan sampai, Anne berpikir kamu masih marah."

 

Ya Tuhaaaan, kenapa aku harus selemah ini? Pasrah ketika diseret Mami untuk masuk, dan lihat. Bahkan di dalam sudah ada Angga, yang tengah duduk menemani istrinya. 

 

Suasana kembali hening, Anne belum sadarkan diri. Aku memang tidak pernah tahu dia sakit apa, sebab Mami tidak pernah mau terus terang ketika ditanya.

 

 

Mami pamit, karena masih ada urusan butik miliknya yang perlu dipantau. Menyisakan aku dan Angga, kami terdiam tanpa ada yang mau bersuara. 

 

"Anna ... Maafkan aku," ucapnya setelah sekian lama berdiam diri. 

 

Kutatap sang mantan lekat, kami berada dalam jarak yang cukup jauh. Sengaja, aku tak ingin menatap manik matanya terlalu dekat. 

 

"Kamu tahu, Anne lemah tak sekuat dirimu. Itulah yang membuatku terpaksa menikahi dia," lanjutnya, memulai sakit yang ingin kukubur. "Semoga, kamu mendapat jodoh terbaik. Pengganti aku Ann."

 

Mendengar itu, aku hanya mampu tersenyum getir. Dua tahun menjalin hubungan, dan ternyata aku hanya jagain jodoh orang. 

 

Dan, lebih nyesek jodohnya itu adikku sendiri!

 

"Maaf ... Aku paling nggak bisa, melihat orang seperti Anne berjuang seorang diri. Dia butuh penyemangat," katanya lagi. Mencoba mencari pembelaan. 

 

 

"Terserah apa katamu, Ngga. Semoga kalian selalu berbahagia, di atas penderitaanku."

 

Sekarang, tak ada lagi tangisan yang keluar. Hanya sesak di dada, kala mendengar ucapan Angga. 

 

Mungkin, aku harus sakit dulu supaya dia kembali lagi? Ahh, tapi, aku bukan Anne perempuan picik yang mengatasnamakan penyakit.

 

Suara pintu diketuk, dan sosok dokter Adi menyembul dari luar.

 

Malas, malas, lebih baik aku tidur. Mungkin, dia hanya ingin melihat kondisi pasien. Ahh, lakukan apa yang mau kamu lakukan dok! 

 

"Anna, kamu ... Bisa temani saya makan?" pinta dokter Adi, tanpa melihat kondisi Anne terlebih dahulu. 

 

Apa katanya tadi, makan? Nggak salah, dokter jutek itu ngajakin aku makan? 

 

 

Eh tapi, kulirik wajah Angga terlihat merah padam. Bagussss, aku bisa sedikit membalas rasa sakitku sama dia melalui dokter Adi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nani Lestari
Pergi pergi tinggal pergi, ngedumel doank
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kesayangan Mami   Bab 71

    Sore itu, tepat saat suami pulang. Aku merenung dengan tangan memegang remote TV, kuabaikan acara di sana. Karena pikiran sibuk menerka tentang Anne, sudah beberapa hari semenjak aku dinyatakan sembuh ia tak kunjung datang.Apa mungkin kemarin adalah satu drama terbarunya? Tidak! Aku berharap, itu hanya pikiran tidak baik yang sempat menyergap diri. Selebihnya, Anne berubah ke arah yang memang jauh lebih baik."Mikirin apa sih? Serius banget," cetus Putra. Duduk di sampingku, dengan sesekali menghela napas."Ahh, sayang. Kamu udah pulang? Maaf, lagi sibuk tadi." Takzim, aku mencium punggung tangannya. Lantas, ia balik mengusap kepalaku tak kalah lembut."Ya, aku tahu itu. Kamu, serius bukan karena nontonin TV. Tapi, karena ada pikiran lain. Ada apa sih? Ceritalah," terkaan Putra. Memang benar, aku mengulas senyum. Meletakan remote, berniat untuk bercerita."Anne, Mas. Dia ke mana ya? Kok, nggak lagi datang?" tanyaku, dengan gund

  • Kesayangan Mami   Bab 70

    Dua hari berlalu, dan aku tak mendapati kabar secuilpun dari Putra. Suami yang harusnya ada kala istri terbaring sakit, kini harapan hanya tinggal harapan. Apalah aku, Anna yang memang sedari dulu selalu tersakiti.Ibu jua tak banyak bicara perihal anak lelakinya, beliau seakan bungkam. Mungkin, tak mau terlalu ikut campur lebih dalam. Atau hal lain yang aku tidak tahu, entahlah terlalu banyak misteri dalam hidup ini.Tubuhku mulai membaik, sudah bisa keluar masuk kamar mandi seorang diri. Anne, masih rajin datang. Merawatku dengan baik, tanpa banyak kata yang kadang kala menyebalkan itu.Kandunganku masih baik-baik saja, menjelang dua minggu hari ini. Sesekali kau bicara via WA bersama dokter Ratna, beliau banyak membantu dan menenangkan diri yang sempat gundah gulana."Anne, Mami kerja bareng Papi. Apa kamu nggak marah?" tanyaku, suatu hari saat ia memberiku sarapan."Nggak, kenapa harus marah? Aku senang, jika itu bisa menebu

  • Kesayangan Mami   Bab 69

    "Cieeee ...." Wanita yang tengah kugoda, melirik dengan senyum di bibir. Tangannya sibuk menari di atas keyboard, penampilan yang dulu pernah menghiasi perlahan berubah ke arah yang jauh lebih baik."Anna, kamu sendirian?" tanyanya, sibuk membereskan peralatan kerja. Waktu makan tiba, semua karyawan wajib istirahat."Diantar sopir, Mi. Semenjak aku hamil, Putra makin rewel." Tersenyum getir, entah aku harus bahagia atau sedih. Mendapati kenyataan ini, sedangkan tekanan untuk memiliki anak lelaki seakan tidak memberi suatu ketenangan."Begitu, bagus dong. Itu namanya suami pengertian, beruntung kamu punya dia." Meraih lenganku, kami melangkah beriringan. Memutuskan makan di kantin, berhamburan dengan karyawan lain.Usai memesan dua porsi menu makan dan minum, kami duduk di pojokan. Menghindari keramaian, sedang Papi mungkin masih di ruangan.Kutatap Mami, lekat. Keceriaan tergambar jelas di wajah, amat berbeda dengan Mami yang kukenal

  • Kesayangan Mami   Bab 68

    Kabar bahagia datang, justru ketika sebulan berlalu usai melakukan program kehamilan. Ada calon bayik, yang sudah mengisi perutku seakan menebar berita baik bagi seisi rumah terlebih suamiku Putra.Seperti halnya malam ini, Aya dan Ayi terus berceloteh riang. Sambil memegangi boneka di tangan, bersandiwara layaknya itu adik mereka kelak. Menanggapi itu, aku tersenyum. Menyeka sudut mata, yang terkadang selalu berair."Aku nggak sabar deh, kepengen lihat dedek bayi. Momy, kapan sih dia lahir?" Ayi bertanya dengan bibir merenggut, kepalanya yang miring seakan menambah kesan menggemaskan."Emm, masih lama sayang. Tapi, kalau Ayi sama Aya sabar. Allah, pasti akan memberinya dengan cepat." Tepukan riuh seakan memenuhi langit kamar, istana megah kami tak pernah sepi semenjak hadirnya kedua putri tercinta.Putra yang tampak bahagia, sesekali mencuri pandang. Berkali-kali mengucap terima kasih, atas kehamilan yang sedang kurasa saat sekarang.

  • Kesayangan Mami   Bab 67

    Hari-hari berlalu, dan pikiranku masih berkutat pada Papi. Tentang permintaan dan keluhan yang sempat beliau lontarkan, merasa nggak berguna justru saat dibutuhkan.Tepat jam sepuluh pagi, aku berkutat di taman yang dipenuhi banyak bunga bermekaran. Si kembar tengah bermain, tak lupa ada Ibu yang selalu berada di samping."Maafkan Putra ya, entah kenapa Ibu merasa ... Dia terlalu memaksakan," ucap beliau, mengusap bahuku lembut."Memaksa apa Bu?""Kehamilan, padahal Ibu cukup tahu kamu belum siap lahir batin. Terlebih kedatangan Papimu, seakan membuat kegamangan." Aku mengangguk lemah, mengusap perut yang belum dikaruniai seorang anak juga. Butuh waktu dan kesabaran, itu yang dokter Ratna ucapkan berkali-kali.Mematikan kran yang sedang terpakai, kami duduk di kursi panjang. Kegiatan yang setiap hari dijalani, sambil memantau anak-anak bermain.Aku nggak paham, apa yang mendasari Putra ingin memiliki anak laki-laki. Bukan t

  • Kesayangan Mami   Bab 66

    "Kamu, mantan dokter. Mau-maunya kerja di kantor? Staff biasa lagi." Aku berdecak, menatap Radit dalam stelan kemeja biru polos.Pria itu mengulum senyum, mengangguk hormat. Hidup yang pahit, telah banyak memberi pelajaran untuknya."Teruskan kerjamu, kalau rajin siapa tahu bisa naik jabatan.""Baik, Bu." Formal sekali dia, tanpa menunggu perintah mantanku itu kembali menatap layar besar di depannya. Bekerja serius, seakan menikmati peran baru.Sepanjang jalan menuju ruang suami, aku mulai berpikir untuk membantu pria itu kembali bekerja sebagai dokter. Sesuai stylenya selama ini, memang agak susah untuk membersihkan nama yang tercoreng.Dulu, karena amarah yang membuncah. Kuputuskan untuk melaporkan semua kelakuannya pada kepala rumah sakit, tak pernah berpikir hal itu akan berimbas pada hidupnya kini.Ahh, bukankah itu sesuai dengan perbuatan dia? Hatiku terluka, dan jelas saja aku menginkankan hal sama pada dirinya. Im

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status