Share

Kesayangan Mami
Kesayangan Mami
Author: Fitriyani

Bab 1

Author: Fitriyani
last update Last Updated: 2021-09-13 21:50:22

Semua Demi Adik

 

Dadaku semakin sesak, kala ijab qobul usai diucapkan. Semua hadirin bersorak riang, bertolak belakang dengan hatiku yang sedang tercerai berai. 

 

Seharusnya, hari ini menjadi hari paling bahagia untukku. Bisa menikah dengan Angga, pria tampan yang sangat digilai kaum hawa. 

 

Namun, lagi-lagi Anne mengambil segalanya dariku. Sakit yang dia rasa, seolah dijadikan senjata untuk bisa memikat hati semua orang. 

 

Mami bilang, aku perempuan cantik, kuat, sehat, dan bisa mendapatkan apapun yang lebih dari Anne. Tetap saja, sebuah kenyataan hari ini cukup membuat hati merasa terkoyak.

 

Bahuku terguncang, isak tangis tak dapat lagi ditahan. "Anna, maafkan Mami sayang."

 

Dulu, pelukan Mami selalu menjadi obat paling mujarab dikala hati sedang gundah gulana. Sekarang, semuanya terasa hampa. 

 

Bibir Angga, mengecup kening Anne dengan takzim. Keduanya saling melempar pandang, tersenyum malu bak dua manusia yang tengah dimabuk asmara. 

 

Tuhan, kenapa hidupku harus sesial ini? Kenapa harus aku yang selalu berkorban, dan mengalah untuk adik?

 

Jika boleh meminta, aku juga ingin sakit seperti Anne. Biar semua orang memperhatikan, termasuk Angga yang rela menukar kebahagian kami demi menikahi sang adik.

 

Mendesah resah, dengan kubangan nestapa yang entah ujungnya hingga kapan. Aku berlalu, di bawah tatapan para tamu. Cukup sudah Mi, ternyata aku bukanlah wonder woman! 

 

Dari kecil, Mami selalu menanamkan sifat berbagi dalam hal apapun terhadap Anne. Hingga waktu yang akhirnya menjawab, bahwa akupun bukan hanya sekadar berbagi tapi, merelakan orang yang dicinta demi dia. 

 

Menenggelamkan wajah dalam bantal, bulir bening terus berjatuhan. Hati sudah tak sanggup, menanggung kepedihan.

 

Bagaimana bisa, aku menjalani hari dengan tinggal satu atap bersama mereka?

 

Anne, terkenal manja, feminim, cantik, dan ahh, pasti dia gunakan itu untuk memikat hati sang suami. Miris sudah nasibku Tuhan! 

 

"Maafkan Mami," ucap seseorang. Mengelus bahuku, dengan penuh kelembutan.

"Semoga kelak, kamu mendapat jodoh yang lebih baik sayang."

 

Jujur, aku muak. Mami selalu saja pilih kasih, janda tua itu seakan menomor duakan diriku dalam hal apapun. 

 

"Mi ... Apa aku, dan Anne saudara kandung?" tanyaku, masih dengan posisi rebahan. Sambil membelakangi Mami. 

 

"Jelas dong, Ann. Kalian ini kembar identik loh, hanya beda dari model rambut. Kenapa tanya begitu?" 

 

Aku mendengkus sebal, saudara kandung saja pilih kasihnya kebangetan. Gimana kalau tiri coba? 

 

"Sudah, jangan mikir yang berat. Kamu, nggak mau ikut gabung? Memberi selamat untuk Anne dan Angga?" Pelan, suara Mami bertanya. 

 

"Mami saja, aku lagi nggak enak badan." Kututupi wajah dengan bantal, berharap Mami tahu akan kode tersebut.

 

Saat ini, aku hanya butuh seorang diri. 

 

"Sekali lagi, Mami minta maaf sayang. Kamu ... Jelas tahu, kalau Anne itu lemah. Jadi sebisa mungkin kita harus sanggup, menurut segala kemauannya." 

 

Ada yang bergetar hebat di hati, ya aku tahu itu. Semua memang untuk adik, termasuk kekasih hati yang sudah lama bersemayam.

 

"Pergilah Mi, kasian Anne kalau ditinggal lama. Takut kambuh, biasa dia ngga boleh hatinya tergores sedikit saja."

 

Lama, Mami berdiam diri di tempat. Mengecup rambutku bertubi-tubi, membisikkan kata maaf yang entah mampu menyembuhkan hati atau tidaknya. 

 

Kamu harus kuat Anna, dengan ataupun tanpa Angga. Tapi, aku menolak untuk satu atap dengannya. 

 

Please, jangan tambah beban dalam hidupku lagi. 

 

***

 

"Kamu ini apa-apaan Anna, suasana pagi. Bukannya disambut ceria, hangat, malah ribut soal siapa yang pergi dari rumah." Mami berdecak kesal, biarlah aku memang jengah berlama-lama melihat kedekatan mereka.

 

"Mi ... Tolong kali ini saja, turuti apa mauku. Persis seperti apa yang sering Mami lakukan untuk dia," tunjukku, pada Anne yang seolah duduk dengan tenang. "Bagaimana pun aku dan Angga pernah bersama, saling cinta, sebelum akhirnya seseorang menghancurkan mimpi tersebut."

 

Anne tersedak minuman, dan dua manusia di depanku lagi sibuk memberi perhatian. Untuk pertama kalinya, aku benci hal ini. 

 

"Anna, Mami yang minta tolong. Jangan keras sama adikmu, dia berbeda sayang." Manis, ucapan Mami tapi, cukup terang menohok hatiku. 

 

Aku membanting sendok dan garpu ke sembarang arah, untuk pertama kalinya merasa geram. "Baik, kalau kalian nggak bisa pergi dari rumah ini. Biar aku saja!"

 

Napasku terasa memburu, kutatap mereka secara bergantian. "Cukup Anna! Selama ini mungkin Mami terlalu sabar dalam menghadapi kamu, hingga dengan berani menentang."

 

"Ann, yang sabar. Jangan sampai, Anne kambuh," sahut Angga. Menyandarkan kepala Anne, di bahunya dengan romantis.

 

Aku menarik napas panjang, menyaksikan drama pagi yang amat memuakkan. "Maaf, tapi, keputusanku sudah bulat. Lebih baik kita hidup masing-masing, aku nggak mau satu atap dengan kalian."

 

Berucap dengan lantang dan tegas, aku segera berlari dalam kondisi marah teramat besar. Mengabaikan panggilan Mami, yang terus mengiringi langkah. 

 

Langkahku terhenti untuk sesaat, menangis untuk kesekian kalinya di halaman rumah. Meraba dada, beginikah nasib kakak yang harus selalu berkorban? 

 

"Kak ... Maaf." Anne menyusulku seorang diri? Ia berhamburan memeluk, dengan isak tangis yang tertahan. 

"Dokter bilang, umurku nggak akan lama di dunia. Kakak jangan khawatir, saat aku mati nanti kak Angga pasti balik lagi kok."

 

Bodoh! 

 

Bagaimana bisa dia berpikir sejauh itu? 

 

Kulepas pelukan Anne, untuk pertama kalinya. "Jangan ngaco kamu! Hiduplah yang lama, biar hatimu makin puas melihat penderitaanku sayang."

 

"Kamu ... Nggak perlu khawatir sama aku, aku sehat, kuat, beda sama kamu. Penyakitan!"

 

Anne semakin terisak dalam tangisnya, dan lagi aku mencoba untuk tidak terpengaruh. "Lakukan apa yang mau kamu lakukan bersama Angga, hidupmu sudah sempurna sekarang."

 

Kutatap Anne lekat, air matanya buaya bagiku. Senjata yang selalu dia gunakan, "Selamat tinggal Anne, saudara kembar kesayangan Mami." Aku mengucap itu dengan lirih, bulir bening kembali terjatuh.

 

Aku pergi, dan mungkin tak akan kembali. Dan, semua karenamu Anne. 

 

Kuatkan hatiku Tuhan, pagi ini ada banyak pekerjaan di kantor. Mereka memang tahunya aku sedang terluka, tapi, aku nggak mau dikasihani.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesayangan Mami   Bab 71

    Sore itu, tepat saat suami pulang. Aku merenung dengan tangan memegang remote TV, kuabaikan acara di sana. Karena pikiran sibuk menerka tentang Anne, sudah beberapa hari semenjak aku dinyatakan sembuh ia tak kunjung datang.Apa mungkin kemarin adalah satu drama terbarunya? Tidak! Aku berharap, itu hanya pikiran tidak baik yang sempat menyergap diri. Selebihnya, Anne berubah ke arah yang memang jauh lebih baik."Mikirin apa sih? Serius banget," cetus Putra. Duduk di sampingku, dengan sesekali menghela napas."Ahh, sayang. Kamu udah pulang? Maaf, lagi sibuk tadi." Takzim, aku mencium punggung tangannya. Lantas, ia balik mengusap kepalaku tak kalah lembut."Ya, aku tahu itu. Kamu, serius bukan karena nontonin TV. Tapi, karena ada pikiran lain. Ada apa sih? Ceritalah," terkaan Putra. Memang benar, aku mengulas senyum. Meletakan remote, berniat untuk bercerita."Anne, Mas. Dia ke mana ya? Kok, nggak lagi datang?" tanyaku, dengan gund

  • Kesayangan Mami   Bab 70

    Dua hari berlalu, dan aku tak mendapati kabar secuilpun dari Putra. Suami yang harusnya ada kala istri terbaring sakit, kini harapan hanya tinggal harapan. Apalah aku, Anna yang memang sedari dulu selalu tersakiti.Ibu jua tak banyak bicara perihal anak lelakinya, beliau seakan bungkam. Mungkin, tak mau terlalu ikut campur lebih dalam. Atau hal lain yang aku tidak tahu, entahlah terlalu banyak misteri dalam hidup ini.Tubuhku mulai membaik, sudah bisa keluar masuk kamar mandi seorang diri. Anne, masih rajin datang. Merawatku dengan baik, tanpa banyak kata yang kadang kala menyebalkan itu.Kandunganku masih baik-baik saja, menjelang dua minggu hari ini. Sesekali kau bicara via WA bersama dokter Ratna, beliau banyak membantu dan menenangkan diri yang sempat gundah gulana."Anne, Mami kerja bareng Papi. Apa kamu nggak marah?" tanyaku, suatu hari saat ia memberiku sarapan."Nggak, kenapa harus marah? Aku senang, jika itu bisa menebu

  • Kesayangan Mami   Bab 69

    "Cieeee ...." Wanita yang tengah kugoda, melirik dengan senyum di bibir. Tangannya sibuk menari di atas keyboard, penampilan yang dulu pernah menghiasi perlahan berubah ke arah yang jauh lebih baik."Anna, kamu sendirian?" tanyanya, sibuk membereskan peralatan kerja. Waktu makan tiba, semua karyawan wajib istirahat."Diantar sopir, Mi. Semenjak aku hamil, Putra makin rewel." Tersenyum getir, entah aku harus bahagia atau sedih. Mendapati kenyataan ini, sedangkan tekanan untuk memiliki anak lelaki seakan tidak memberi suatu ketenangan."Begitu, bagus dong. Itu namanya suami pengertian, beruntung kamu punya dia." Meraih lenganku, kami melangkah beriringan. Memutuskan makan di kantin, berhamburan dengan karyawan lain.Usai memesan dua porsi menu makan dan minum, kami duduk di pojokan. Menghindari keramaian, sedang Papi mungkin masih di ruangan.Kutatap Mami, lekat. Keceriaan tergambar jelas di wajah, amat berbeda dengan Mami yang kukenal

  • Kesayangan Mami   Bab 68

    Kabar bahagia datang, justru ketika sebulan berlalu usai melakukan program kehamilan. Ada calon bayik, yang sudah mengisi perutku seakan menebar berita baik bagi seisi rumah terlebih suamiku Putra.Seperti halnya malam ini, Aya dan Ayi terus berceloteh riang. Sambil memegangi boneka di tangan, bersandiwara layaknya itu adik mereka kelak. Menanggapi itu, aku tersenyum. Menyeka sudut mata, yang terkadang selalu berair."Aku nggak sabar deh, kepengen lihat dedek bayi. Momy, kapan sih dia lahir?" Ayi bertanya dengan bibir merenggut, kepalanya yang miring seakan menambah kesan menggemaskan."Emm, masih lama sayang. Tapi, kalau Ayi sama Aya sabar. Allah, pasti akan memberinya dengan cepat." Tepukan riuh seakan memenuhi langit kamar, istana megah kami tak pernah sepi semenjak hadirnya kedua putri tercinta.Putra yang tampak bahagia, sesekali mencuri pandang. Berkali-kali mengucap terima kasih, atas kehamilan yang sedang kurasa saat sekarang.

  • Kesayangan Mami   Bab 67

    Hari-hari berlalu, dan pikiranku masih berkutat pada Papi. Tentang permintaan dan keluhan yang sempat beliau lontarkan, merasa nggak berguna justru saat dibutuhkan.Tepat jam sepuluh pagi, aku berkutat di taman yang dipenuhi banyak bunga bermekaran. Si kembar tengah bermain, tak lupa ada Ibu yang selalu berada di samping."Maafkan Putra ya, entah kenapa Ibu merasa ... Dia terlalu memaksakan," ucap beliau, mengusap bahuku lembut."Memaksa apa Bu?""Kehamilan, padahal Ibu cukup tahu kamu belum siap lahir batin. Terlebih kedatangan Papimu, seakan membuat kegamangan." Aku mengangguk lemah, mengusap perut yang belum dikaruniai seorang anak juga. Butuh waktu dan kesabaran, itu yang dokter Ratna ucapkan berkali-kali.Mematikan kran yang sedang terpakai, kami duduk di kursi panjang. Kegiatan yang setiap hari dijalani, sambil memantau anak-anak bermain.Aku nggak paham, apa yang mendasari Putra ingin memiliki anak laki-laki. Bukan t

  • Kesayangan Mami   Bab 66

    "Kamu, mantan dokter. Mau-maunya kerja di kantor? Staff biasa lagi." Aku berdecak, menatap Radit dalam stelan kemeja biru polos.Pria itu mengulum senyum, mengangguk hormat. Hidup yang pahit, telah banyak memberi pelajaran untuknya."Teruskan kerjamu, kalau rajin siapa tahu bisa naik jabatan.""Baik, Bu." Formal sekali dia, tanpa menunggu perintah mantanku itu kembali menatap layar besar di depannya. Bekerja serius, seakan menikmati peran baru.Sepanjang jalan menuju ruang suami, aku mulai berpikir untuk membantu pria itu kembali bekerja sebagai dokter. Sesuai stylenya selama ini, memang agak susah untuk membersihkan nama yang tercoreng.Dulu, karena amarah yang membuncah. Kuputuskan untuk melaporkan semua kelakuannya pada kepala rumah sakit, tak pernah berpikir hal itu akan berimbas pada hidupnya kini.Ahh, bukankah itu sesuai dengan perbuatan dia? Hatiku terluka, dan jelas saja aku menginkankan hal sama pada dirinya. Im

  • Kesayangan Mami   Bab 65

    Tubuhku menegang. Menatap pria yang tengah berdiri tepat di depan pintu rumah, ada angin apa hingga takdir perlu membawanya ke mari? Masih ingat betul, dengan segala pengkhianatan yang pernah ia torehkan. Apalagi, wanita biasa mengingat itu hingga ke detailnya sekalipun. Adanya dia di sini, seakan membuka luka lama. Sekelebat bayang masa lalu, kembali bermunculan. Dulu, kamu gagah dan tampan di balik seragam dokter. Kini, status itu hanya tinggal nama akibat kelakuan yang amat tak bermoral! "Anna, apa kabar?" Memantik senyum di bibir, aku sama sekali tak ada niat untuk membalasnya. Bagiku, Radit sudah mati!"Sangat baik, bahkan semenjak kamu TIDAK ADA!" Menekan kata demi kata, yang kuharap pria itu cukup tahu diri. "Maafkan aku Ann, semua memang salahku.""Ya, kamu memang salah. Dan semua orang tahu itu!" Bibirku bergetar, menatap pria yang sempat kupuja setengah mati. Tak ada bedanya dengan Angga, sama-sama ba***an!Menunduk l

  • Kesayangan Mami   Bab 64

    "Ka-mu ...." Menjerit kecil, netraku seakan menatap tajam pada wanita di depan sana. Sedang yang tengah menjadi sorotan, enteng mengendikan bahu.Harusnya, pagi ini menjadi hal terindah. Melewati sarapan bersama anak-anak, suami, dan mertua. Namun, harapan hanya tinggal harapan.Melangkah cepat, aku terpaksa diam. Tak mau ribut di depan si kembar, yang sempat kaget melihatku menjerit."Pagi Kakak kesayangan," sapanya.Menyunggingkan senyum, "Makanan di sini enak-enak, beda dengan kontrakanku."Aku memutar bola mata malas, mengucap dalam hati bahwa ini kali terakhir ia masuk ke dalam istanaku! "Ya. Pagi juga adik kesayangan, silakan makan yang banyak. Biar tubuh kurusmu, menjadi besar!"Anne mendengkus, aku terkikik. Menikmati sandiwara yang amat menyebalkan, "Mas, rotbaknya mau nambah lagi?" Dahiku mengernyit, berani sekali dia bersikap sok manis.Tangannya bergerak ke sana-ke mari, bagai Nyonya rumah. Aku berdehem,

  • Kesayangan Mami   Bab 63

    "Momy, tadi ada aunty Anne. Dia datang bawa sekotak makanan buat Papa, ituloh kembaran Momy." Ayi berucap riang, menimbulkan emosi di jiwa. Dia lagi? Benar-benar tak tahu malu!Netraku mengitari sekitar halaman, Anne lenyap. Dia sudah berlalu, mungkin untuk menghindari keributan. Sial, wanita itu memang tak pernah bisa menyerah!"Ayi, sini kotak makanan itu buat Momy." Ia memberikan dengan senang hati, sedang aku menggengam dengan rasa tercabik. Kututup pintu, memastikan bahwa Anne benar-benar sudah tidak ada. Hari ini makanan, besok apa lagi?"Kenapa sayang?" Putra menyelidik. Menatapku membawa sesuatu di tangan, baiknya kuapakan makanan ini?Duduk di sampingnya dengan gelisah, aku menaruh barang tersebut pada meja. "Anne, bawain sarapan buatmu."Putra melotot. "Iya, tapi, untuk apa?"Aku mendengkus, "Tentu saja untuk merebut hati suamiku!"Menyilangkan tangan di dada, napasku makin tak beraturan. Harus dengan cara apa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status