Share

Kesayangan Mami
Kesayangan Mami
Penulis: Fitriyani

Bab 1

Semua Demi Adik

 

Dadaku semakin sesak, kala ijab qobul usai diucapkan. Semua hadirin bersorak riang, bertolak belakang dengan hatiku yang sedang tercerai berai. 

 

Seharusnya, hari ini menjadi hari paling bahagia untukku. Bisa menikah dengan Angga, pria tampan yang sangat digilai kaum hawa. 

 

Namun, lagi-lagi Anne mengambil segalanya dariku. Sakit yang dia rasa, seolah dijadikan senjata untuk bisa memikat hati semua orang. 

 

Mami bilang, aku perempuan cantik, kuat, sehat, dan bisa mendapatkan apapun yang lebih dari Anne. Tetap saja, sebuah kenyataan hari ini cukup membuat hati merasa terkoyak.

 

Bahuku terguncang, isak tangis tak dapat lagi ditahan. "Anna, maafkan Mami sayang."

 

Dulu, pelukan Mami selalu menjadi obat paling mujarab dikala hati sedang gundah gulana. Sekarang, semuanya terasa hampa. 

 

Bibir Angga, mengecup kening Anne dengan takzim. Keduanya saling melempar pandang, tersenyum malu bak dua manusia yang tengah dimabuk asmara. 

 

Tuhan, kenapa hidupku harus sesial ini? Kenapa harus aku yang selalu berkorban, dan mengalah untuk adik?

 

Jika boleh meminta, aku juga ingin sakit seperti Anne. Biar semua orang memperhatikan, termasuk Angga yang rela menukar kebahagian kami demi menikahi sang adik.

 

Mendesah resah, dengan kubangan nestapa yang entah ujungnya hingga kapan. Aku berlalu, di bawah tatapan para tamu. Cukup sudah Mi, ternyata aku bukanlah wonder woman! 

 

Dari kecil, Mami selalu menanamkan sifat berbagi dalam hal apapun terhadap Anne. Hingga waktu yang akhirnya menjawab, bahwa akupun bukan hanya sekadar berbagi tapi, merelakan orang yang dicinta demi dia. 

 

Menenggelamkan wajah dalam bantal, bulir bening terus berjatuhan. Hati sudah tak sanggup, menanggung kepedihan.

 

Bagaimana bisa, aku menjalani hari dengan tinggal satu atap bersama mereka?

 

Anne, terkenal manja, feminim, cantik, dan ahh, pasti dia gunakan itu untuk memikat hati sang suami. Miris sudah nasibku Tuhan! 

 

"Maafkan Mami," ucap seseorang. Mengelus bahuku, dengan penuh kelembutan.

"Semoga kelak, kamu mendapat jodoh yang lebih baik sayang."

 

Jujur, aku muak. Mami selalu saja pilih kasih, janda tua itu seakan menomor duakan diriku dalam hal apapun. 

 

"Mi ... Apa aku, dan Anne saudara kandung?" tanyaku, masih dengan posisi rebahan. Sambil membelakangi Mami. 

 

"Jelas dong, Ann. Kalian ini kembar identik loh, hanya beda dari model rambut. Kenapa tanya begitu?" 

 

Aku mendengkus sebal, saudara kandung saja pilih kasihnya kebangetan. Gimana kalau tiri coba? 

 

"Sudah, jangan mikir yang berat. Kamu, nggak mau ikut gabung? Memberi selamat untuk Anne dan Angga?" Pelan, suara Mami bertanya. 

 

"Mami saja, aku lagi nggak enak badan." Kututupi wajah dengan bantal, berharap Mami tahu akan kode tersebut.

 

Saat ini, aku hanya butuh seorang diri. 

 

"Sekali lagi, Mami minta maaf sayang. Kamu ... Jelas tahu, kalau Anne itu lemah. Jadi sebisa mungkin kita harus sanggup, menurut segala kemauannya." 

 

Ada yang bergetar hebat di hati, ya aku tahu itu. Semua memang untuk adik, termasuk kekasih hati yang sudah lama bersemayam.

 

"Pergilah Mi, kasian Anne kalau ditinggal lama. Takut kambuh, biasa dia ngga boleh hatinya tergores sedikit saja."

 

Lama, Mami berdiam diri di tempat. Mengecup rambutku bertubi-tubi, membisikkan kata maaf yang entah mampu menyembuhkan hati atau tidaknya. 

 

Kamu harus kuat Anna, dengan ataupun tanpa Angga. Tapi, aku menolak untuk satu atap dengannya. 

 

Please, jangan tambah beban dalam hidupku lagi. 

 

***

 

"Kamu ini apa-apaan Anna, suasana pagi. Bukannya disambut ceria, hangat, malah ribut soal siapa yang pergi dari rumah." Mami berdecak kesal, biarlah aku memang jengah berlama-lama melihat kedekatan mereka.

 

"Mi ... Tolong kali ini saja, turuti apa mauku. Persis seperti apa yang sering Mami lakukan untuk dia," tunjukku, pada Anne yang seolah duduk dengan tenang. "Bagaimana pun aku dan Angga pernah bersama, saling cinta, sebelum akhirnya seseorang menghancurkan mimpi tersebut."

 

Anne tersedak minuman, dan dua manusia di depanku lagi sibuk memberi perhatian. Untuk pertama kalinya, aku benci hal ini. 

 

"Anna, Mami yang minta tolong. Jangan keras sama adikmu, dia berbeda sayang." Manis, ucapan Mami tapi, cukup terang menohok hatiku. 

 

Aku membanting sendok dan garpu ke sembarang arah, untuk pertama kalinya merasa geram. "Baik, kalau kalian nggak bisa pergi dari rumah ini. Biar aku saja!"

 

Napasku terasa memburu, kutatap mereka secara bergantian. "Cukup Anna! Selama ini mungkin Mami terlalu sabar dalam menghadapi kamu, hingga dengan berani menentang."

 

"Ann, yang sabar. Jangan sampai, Anne kambuh," sahut Angga. Menyandarkan kepala Anne, di bahunya dengan romantis.

 

Aku menarik napas panjang, menyaksikan drama pagi yang amat memuakkan. "Maaf, tapi, keputusanku sudah bulat. Lebih baik kita hidup masing-masing, aku nggak mau satu atap dengan kalian."

 

Berucap dengan lantang dan tegas, aku segera berlari dalam kondisi marah teramat besar. Mengabaikan panggilan Mami, yang terus mengiringi langkah. 

 

Langkahku terhenti untuk sesaat, menangis untuk kesekian kalinya di halaman rumah. Meraba dada, beginikah nasib kakak yang harus selalu berkorban? 

 

"Kak ... Maaf." Anne menyusulku seorang diri? Ia berhamburan memeluk, dengan isak tangis yang tertahan. 

"Dokter bilang, umurku nggak akan lama di dunia. Kakak jangan khawatir, saat aku mati nanti kak Angga pasti balik lagi kok."

 

Bodoh! 

 

Bagaimana bisa dia berpikir sejauh itu? 

 

Kulepas pelukan Anne, untuk pertama kalinya. "Jangan ngaco kamu! Hiduplah yang lama, biar hatimu makin puas melihat penderitaanku sayang."

 

"Kamu ... Nggak perlu khawatir sama aku, aku sehat, kuat, beda sama kamu. Penyakitan!"

 

Anne semakin terisak dalam tangisnya, dan lagi aku mencoba untuk tidak terpengaruh. "Lakukan apa yang mau kamu lakukan bersama Angga, hidupmu sudah sempurna sekarang."

 

Kutatap Anne lekat, air matanya buaya bagiku. Senjata yang selalu dia gunakan, "Selamat tinggal Anne, saudara kembar kesayangan Mami." Aku mengucap itu dengan lirih, bulir bening kembali terjatuh.

 

Aku pergi, dan mungkin tak akan kembali. Dan, semua karenamu Anne. 

 

Kuatkan hatiku Tuhan, pagi ini ada banyak pekerjaan di kantor. Mereka memang tahunya aku sedang terluka, tapi, aku nggak mau dikasihani.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status