Share

Bab 3

Tusukan Kesedihan

 

 

Sedari tadi, aku terus merenung. Memikirkan jalan hidup, yang sama sekali tak pernah berpihak. 

 

Mami terus memaksa, agar aku tetap tinggal di rumah sakit. Menyaksikan keintiman Anne dengan sang suami, Angga ... Kini hatiku tengah diselimuti keresahan. 

 

Kenapa semudah itu, kamu dekat dan terlihat sayang dengan tulus terhadap Anne? 

 

Masih adakah, secuil rasa untukku? Ke mana cinta yang sering kamu agungkan? Bisikan kata rindu, yang seolah terucap dari bibir. 

 

Mengepalkan tangan dengan kuat, aku mencoba berdiri. Berniat keluar, tak ingin menjadi serangga pengganggu untuk mereka.

 

Mami bilang, Anne kambuh lagi karena aku. Mana buktinya? Sedari tadi dia hanya diam, merajuk dengan menyebalkan pada Angga. 

 

Untuk apa coba? Kalau bukan untuk, membuat hatiku terbakar api cemburu!

 

Dan ya, Anne sukses. Padahal, aku selalu mengalah dalam hal apapun, tapi, kenapa seolah pengorbanan yang aku beri tak ada harganya? 

 

"Mau ke mana Ann?" tegur Angga, saat kaki mencapai daun pintu. 

 

Aku menghela napas panjang, berdecak kesal karena baru diajak bicara sekarang. Itu pun, karena diri memutuskan akan pergi. Sedari tadi, kamu ke mana aja? Ahh, ya aku Lupa. Sibuk ama istri penyakitan! 

 

"Pulang, 'kan udah ada kamu yang jaga." Mengukir senyum di bibir, sembari menatap Anne. Oi, lihatlah ia seperti tak menganggapku ada. 

 

"Jangan pulang, nanti Mami marah tahu. Lagian, kalau suamiku tidur atau apa gitu. Siapa yang jagain aku?" Anne berucap dengan manja, seratus kali lipat terdengar menyebalkan. 

 

Kemarin, dia memohon agar aku tetap tinggal di rumah. Meminta maaf, dengan air mata buaya. Tapi, sekarang kenapa semua berubah dalam waktu sekejap? 

 

Tuhan, tolong aku. Jangan Kau tambah beban hidup, aku pun punya hati. 

 

"Nggak apa, biar Anna pulang. Kasian dia, kecapean." Terima kasih, Angga. Ternyata masih ada setitik rasa kasihan, darimu untuk aku sang mantan. 

 

"Pokoknya, nggak ada yang boleh pergi. Kalian, harus tetap jagain aku. Huhuhuhu." Mulai lagi, Anne menangis seperti anak kecil yang kehilangan balon. 

 

Dengan sabar, Angga berusaha untuk menenangkan Anne. Mengecup pipinya sekilas, mengelus rambut panjang sang istri dengan sayang. 

 

Lagi, aku menelan ludah. Hatiku bagai ditusuk ribuan jarum, tak cukupkah diri tergores dengan pernikahan kalian?

 

Mungkin, selama ini aku terlalu baik. Terlalu nurut sama Mami, dan Anne. Hingga mereka tak sadar, ada hatiku yang juga perlu dijaga. 

 

Satu kata untuk kalian, tegaaaaaaa! 

 

 

"Kak, tetap di sini!" teriak Anne, loh dia kenapa lagi? Biasa lembut, kenapa sekarang harus sekasar itu sih? 

 

"Anne, sekarang sudah ada suamimu. Kamu, nggak lagi butuh aku. Tolong, jangan halangi kepergian aku. Bisa?" gertakku, mencoba tenang dengan berpegang tangan pada pintu.

 

Lagi, ia menjerit histeris. Mengguncang bahu Angga, yang masih terpaku. "Cepat bilang sama dia, sayang. Tetap di sini, atau aku akan bilang Mami!"

 

Dahiku mengernyit bingung, kenapa Anne jadi separah ini? Dia bukan lagi saudara kembarku yang biasa lembut, waktu sudah banyak mengubahnya ternyata.

 

Angga menghampiriku, yang masih setia berdiri di ambang pintu. "Ann, to-long turuti apa kata adikmu. Kasian, aku ngga mau lagi kalau dia kambuh."

 

Lemah, ke mana Angga yang dulu? Kenapa dia selalu terlihat tak berdaya, bila di sisi Anne? 

 

Kenapa hidupku, harus selalu diatur dan ditekan mereka? Mami dan Anne, sekarang hadir Angga. Yang tak bisa membantu banyak, yang ada ia malah mengperkeruh suasana.

 

"Bilang istrimu yang manja itu, aku hanya perlu ke kantin. Jadi, nggak usah lebay. Dan ngancem mau bilang Mami!" sahutku, dengan suara tak kalah keras dari Anne sebelumnya. 

 

Menggertakan kaki pada lantai, aku bergegas pergi. Lagi, air mataku mengalir deras. 

 

Lihat Mi, aku bukan wonder woman seperti harapan Mami selama ini. 

 

Aku ... Mendadak rindu Papi, berharap sang waktu mampu mempertemukan kami kembali.

 

"Bu, mau nasgor satu dengan pedas luar biasa," kataku, lantas mencari tempat duduk di pojokan. 

 

Angga pikir, hanya Anne saja apa yang lapar. Sedari tadi ia sibuk memperhatikan istrinya, tapi, lupa sama aku. 

 

Ahh, lagian aku ini kenapa? Mau banget diperhatiin adik ipar merangkap sang mantan, terkadang hidup bisa selucu itu. 

 

Sepuluh menit berlalu, pesanan datang. Harum yang menguar dari nasi goreng, membuat perutku berbunyi tak tahu malu. 

 

Untung lagi sendiri, jadi puas kamu apa aja. 

 

Dan hah, baru satu suap. Tapi, pedasnya kebangetan. Air mata kembali mengalir, seolah melukiskan kesedihan hati. 

 

Memang, aku perlu mengeluarkan unek di hati berupa tangisan. Biar lega, dan bisa berpikir jernih.

 

"Buat kamu," ucap seseorang, sambil menyodorkan sapu tangan berwarna biru.

 

Aku mendongak, berjengit kaget saat tahu itu dokter Adi. Ahh, kenapa harus dia lagi coba?

 

"Nggak mau," sahutku, menahan gerak tangannya. "Lagian, ada tisu kok!"

 

"Ck, kamu ini keras kepala. Nggak malu, udah gede masih nangis?" cibir sang dokter, lantas duduk tanpa dipersilakan.

 

"Anda ini kenapa sih dok? Selalu ganggu," kataku, menahan kesal yang mengembara. 

 

Aku tahu, dokter Adi pasti ada di pihak Anne. Jelaslah, dia 'kan dekat sama Mami. Sudah barang tentu, akan memihak pada siapa bukan?

 

"Aku hanya kasian sama kamu, nasibmu benar-benar malang. Mirip sinetron ikan terbang," celotehnya sambil terkekeh pelan. 

 

"Jiah, dokter suka nonton juga? Dikira, orang tampan nggak doyan." Senyum terukir di bibirku, perlahan mulai melupakan rasa sakit di hati. 

 

Untuk beberapa saat ke depan, kami saling bertukar cerita tentang banyak hal. Hingga kutahu, bahwa dokter Adi adalah manusia biasa yang ternyata bisa tertawa. 

 

Kutatap wajah tampannya, makin menawan saat ia tersenyum tulus. Hatiku berdesir, entah kenapa ada sisi lain yang menarik diri untuk terus memandang wajahnya? 

 

Dan seketika, suasana romantis mendadak ambyar. Angga datang, sempat marah tak jelas. Menyuruhku untuk segera kembali, dengan alasan ia akan pergi ke luar.

 

"Kenapa sih, lama banget? Pake ngobrol segala sama dia, sok kecakepan!" cecar Angga, terus mengoceh tak menentu.

 

Dengan malas, aku masuk ke ruangan sang adik. Syukur deh, dia udah tidur. 

 

"Jagain Anne, tolong jangan mengucap kata apapun yang bisa membuat hatinya sakit!" pesan Angga, terus bertubi-tubi sebelum pergi.

 

Dengan malas, aku hanya menjawab ya. Sekarang Angga berlaku seperti Mami, cocok. Mereka sama-sama penjaga Anne yang baik, beda sama aku. 

 

Sepeninggal Angga, aku mendesah sedih. Menatap adik kembarku dengan tusukan keresahan yang makin nyata, kenapa kamu harus setega itu sama aku Dek? 

 

Salah kakak apa? Kamu lupa, sewaktu kecil kakakmu ini selalu berbagi dalam banyak hal. Dan, mengalah kala Mami lebih banyak membelikan dirimu suatu barang tanpa ingat sama aku.

 

Sekarang, hubungan kita berjarak jauh. Dan itu hanya karena seorang pria, kenapa kamu selalu ingin memiliki apa yang aku punya?

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Kok kesannya bohongan sh sktnya? Emanknya ada apa penyakit macam gitu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status