Share

Bab 3

Author: Fitriyani
last update Huling Na-update: 2021-09-13 21:52:03

Tusukan Kesedihan

 

 

Sedari tadi, aku terus merenung. Memikirkan jalan hidup, yang sama sekali tak pernah berpihak. 

 

Mami terus memaksa, agar aku tetap tinggal di rumah sakit. Menyaksikan keintiman Anne dengan sang suami, Angga ... Kini hatiku tengah diselimuti keresahan. 

 

Kenapa semudah itu, kamu dekat dan terlihat sayang dengan tulus terhadap Anne? 

 

Masih adakah, secuil rasa untukku? Ke mana cinta yang sering kamu agungkan? Bisikan kata rindu, yang seolah terucap dari bibir. 

 

Mengepalkan tangan dengan kuat, aku mencoba berdiri. Berniat keluar, tak ingin menjadi serangga pengganggu untuk mereka.

 

Mami bilang, Anne kambuh lagi karena aku. Mana buktinya? Sedari tadi dia hanya diam, merajuk dengan menyebalkan pada Angga. 

 

Untuk apa coba? Kalau bukan untuk, membuat hatiku terbakar api cemburu!

 

Dan ya, Anne sukses. Padahal, aku selalu mengalah dalam hal apapun, tapi, kenapa seolah pengorbanan yang aku beri tak ada harganya? 

 

"Mau ke mana Ann?" tegur Angga, saat kaki mencapai daun pintu. 

 

Aku menghela napas panjang, berdecak kesal karena baru diajak bicara sekarang. Itu pun, karena diri memutuskan akan pergi. Sedari tadi, kamu ke mana aja? Ahh, ya aku Lupa. Sibuk ama istri penyakitan! 

 

"Pulang, 'kan udah ada kamu yang jaga." Mengukir senyum di bibir, sembari menatap Anne. Oi, lihatlah ia seperti tak menganggapku ada. 

 

"Jangan pulang, nanti Mami marah tahu. Lagian, kalau suamiku tidur atau apa gitu. Siapa yang jagain aku?" Anne berucap dengan manja, seratus kali lipat terdengar menyebalkan. 

 

Kemarin, dia memohon agar aku tetap tinggal di rumah. Meminta maaf, dengan air mata buaya. Tapi, sekarang kenapa semua berubah dalam waktu sekejap? 

 

Tuhan, tolong aku. Jangan Kau tambah beban hidup, aku pun punya hati. 

 

"Nggak apa, biar Anna pulang. Kasian dia, kecapean." Terima kasih, Angga. Ternyata masih ada setitik rasa kasihan, darimu untuk aku sang mantan. 

 

"Pokoknya, nggak ada yang boleh pergi. Kalian, harus tetap jagain aku. Huhuhuhu." Mulai lagi, Anne menangis seperti anak kecil yang kehilangan balon. 

 

Dengan sabar, Angga berusaha untuk menenangkan Anne. Mengecup pipinya sekilas, mengelus rambut panjang sang istri dengan sayang. 

 

Lagi, aku menelan ludah. Hatiku bagai ditusuk ribuan jarum, tak cukupkah diri tergores dengan pernikahan kalian?

 

Mungkin, selama ini aku terlalu baik. Terlalu nurut sama Mami, dan Anne. Hingga mereka tak sadar, ada hatiku yang juga perlu dijaga. 

 

Satu kata untuk kalian, tegaaaaaaa! 

 

 

"Kak, tetap di sini!" teriak Anne, loh dia kenapa lagi? Biasa lembut, kenapa sekarang harus sekasar itu sih? 

 

"Anne, sekarang sudah ada suamimu. Kamu, nggak lagi butuh aku. Tolong, jangan halangi kepergian aku. Bisa?" gertakku, mencoba tenang dengan berpegang tangan pada pintu.

 

Lagi, ia menjerit histeris. Mengguncang bahu Angga, yang masih terpaku. "Cepat bilang sama dia, sayang. Tetap di sini, atau aku akan bilang Mami!"

 

Dahiku mengernyit bingung, kenapa Anne jadi separah ini? Dia bukan lagi saudara kembarku yang biasa lembut, waktu sudah banyak mengubahnya ternyata.

 

Angga menghampiriku, yang masih setia berdiri di ambang pintu. "Ann, to-long turuti apa kata adikmu. Kasian, aku ngga mau lagi kalau dia kambuh."

 

Lemah, ke mana Angga yang dulu? Kenapa dia selalu terlihat tak berdaya, bila di sisi Anne? 

 

Kenapa hidupku, harus selalu diatur dan ditekan mereka? Mami dan Anne, sekarang hadir Angga. Yang tak bisa membantu banyak, yang ada ia malah mengperkeruh suasana.

 

"Bilang istrimu yang manja itu, aku hanya perlu ke kantin. Jadi, nggak usah lebay. Dan ngancem mau bilang Mami!" sahutku, dengan suara tak kalah keras dari Anne sebelumnya. 

 

Menggertakan kaki pada lantai, aku bergegas pergi. Lagi, air mataku mengalir deras. 

 

Lihat Mi, aku bukan wonder woman seperti harapan Mami selama ini. 

 

Aku ... Mendadak rindu Papi, berharap sang waktu mampu mempertemukan kami kembali.

 

"Bu, mau nasgor satu dengan pedas luar biasa," kataku, lantas mencari tempat duduk di pojokan. 

 

Angga pikir, hanya Anne saja apa yang lapar. Sedari tadi ia sibuk memperhatikan istrinya, tapi, lupa sama aku. 

 

Ahh, lagian aku ini kenapa? Mau banget diperhatiin adik ipar merangkap sang mantan, terkadang hidup bisa selucu itu. 

 

Sepuluh menit berlalu, pesanan datang. Harum yang menguar dari nasi goreng, membuat perutku berbunyi tak tahu malu. 

 

Untung lagi sendiri, jadi puas kamu apa aja. 

 

Dan hah, baru satu suap. Tapi, pedasnya kebangetan. Air mata kembali mengalir, seolah melukiskan kesedihan hati. 

 

Memang, aku perlu mengeluarkan unek di hati berupa tangisan. Biar lega, dan bisa berpikir jernih.

 

"Buat kamu," ucap seseorang, sambil menyodorkan sapu tangan berwarna biru.

 

Aku mendongak, berjengit kaget saat tahu itu dokter Adi. Ahh, kenapa harus dia lagi coba?

 

"Nggak mau," sahutku, menahan gerak tangannya. "Lagian, ada tisu kok!"

 

"Ck, kamu ini keras kepala. Nggak malu, udah gede masih nangis?" cibir sang dokter, lantas duduk tanpa dipersilakan.

 

"Anda ini kenapa sih dok? Selalu ganggu," kataku, menahan kesal yang mengembara. 

 

Aku tahu, dokter Adi pasti ada di pihak Anne. Jelaslah, dia 'kan dekat sama Mami. Sudah barang tentu, akan memihak pada siapa bukan?

 

"Aku hanya kasian sama kamu, nasibmu benar-benar malang. Mirip sinetron ikan terbang," celotehnya sambil terkekeh pelan. 

 

"Jiah, dokter suka nonton juga? Dikira, orang tampan nggak doyan." Senyum terukir di bibirku, perlahan mulai melupakan rasa sakit di hati. 

 

Untuk beberapa saat ke depan, kami saling bertukar cerita tentang banyak hal. Hingga kutahu, bahwa dokter Adi adalah manusia biasa yang ternyata bisa tertawa. 

 

Kutatap wajah tampannya, makin menawan saat ia tersenyum tulus. Hatiku berdesir, entah kenapa ada sisi lain yang menarik diri untuk terus memandang wajahnya? 

 

Dan seketika, suasana romantis mendadak ambyar. Angga datang, sempat marah tak jelas. Menyuruhku untuk segera kembali, dengan alasan ia akan pergi ke luar.

 

"Kenapa sih, lama banget? Pake ngobrol segala sama dia, sok kecakepan!" cecar Angga, terus mengoceh tak menentu.

 

Dengan malas, aku masuk ke ruangan sang adik. Syukur deh, dia udah tidur. 

 

"Jagain Anne, tolong jangan mengucap kata apapun yang bisa membuat hatinya sakit!" pesan Angga, terus bertubi-tubi sebelum pergi.

 

Dengan malas, aku hanya menjawab ya. Sekarang Angga berlaku seperti Mami, cocok. Mereka sama-sama penjaga Anne yang baik, beda sama aku. 

 

Sepeninggal Angga, aku mendesah sedih. Menatap adik kembarku dengan tusukan keresahan yang makin nyata, kenapa kamu harus setega itu sama aku Dek? 

 

Salah kakak apa? Kamu lupa, sewaktu kecil kakakmu ini selalu berbagi dalam banyak hal. Dan, mengalah kala Mami lebih banyak membelikan dirimu suatu barang tanpa ingat sama aku.

 

Sekarang, hubungan kita berjarak jauh. Dan itu hanya karena seorang pria, kenapa kamu selalu ingin memiliki apa yang aku punya?

 

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Kok kesannya bohongan sh sktnya? Emanknya ada apa penyakit macam gitu
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Kesayangan Mami   Bab 71

    Sore itu, tepat saat suami pulang. Aku merenung dengan tangan memegang remote TV, kuabaikan acara di sana. Karena pikiran sibuk menerka tentang Anne, sudah beberapa hari semenjak aku dinyatakan sembuh ia tak kunjung datang.Apa mungkin kemarin adalah satu drama terbarunya? Tidak! Aku berharap, itu hanya pikiran tidak baik yang sempat menyergap diri. Selebihnya, Anne berubah ke arah yang memang jauh lebih baik."Mikirin apa sih? Serius banget," cetus Putra. Duduk di sampingku, dengan sesekali menghela napas."Ahh, sayang. Kamu udah pulang? Maaf, lagi sibuk tadi." Takzim, aku mencium punggung tangannya. Lantas, ia balik mengusap kepalaku tak kalah lembut."Ya, aku tahu itu. Kamu, serius bukan karena nontonin TV. Tapi, karena ada pikiran lain. Ada apa sih? Ceritalah," terkaan Putra. Memang benar, aku mengulas senyum. Meletakan remote, berniat untuk bercerita."Anne, Mas. Dia ke mana ya? Kok, nggak lagi datang?" tanyaku, dengan gund

  • Kesayangan Mami   Bab 70

    Dua hari berlalu, dan aku tak mendapati kabar secuilpun dari Putra. Suami yang harusnya ada kala istri terbaring sakit, kini harapan hanya tinggal harapan. Apalah aku, Anna yang memang sedari dulu selalu tersakiti.Ibu jua tak banyak bicara perihal anak lelakinya, beliau seakan bungkam. Mungkin, tak mau terlalu ikut campur lebih dalam. Atau hal lain yang aku tidak tahu, entahlah terlalu banyak misteri dalam hidup ini.Tubuhku mulai membaik, sudah bisa keluar masuk kamar mandi seorang diri. Anne, masih rajin datang. Merawatku dengan baik, tanpa banyak kata yang kadang kala menyebalkan itu.Kandunganku masih baik-baik saja, menjelang dua minggu hari ini. Sesekali kau bicara via WA bersama dokter Ratna, beliau banyak membantu dan menenangkan diri yang sempat gundah gulana."Anne, Mami kerja bareng Papi. Apa kamu nggak marah?" tanyaku, suatu hari saat ia memberiku sarapan."Nggak, kenapa harus marah? Aku senang, jika itu bisa menebu

  • Kesayangan Mami   Bab 69

    "Cieeee ...." Wanita yang tengah kugoda, melirik dengan senyum di bibir. Tangannya sibuk menari di atas keyboard, penampilan yang dulu pernah menghiasi perlahan berubah ke arah yang jauh lebih baik."Anna, kamu sendirian?" tanyanya, sibuk membereskan peralatan kerja. Waktu makan tiba, semua karyawan wajib istirahat."Diantar sopir, Mi. Semenjak aku hamil, Putra makin rewel." Tersenyum getir, entah aku harus bahagia atau sedih. Mendapati kenyataan ini, sedangkan tekanan untuk memiliki anak lelaki seakan tidak memberi suatu ketenangan."Begitu, bagus dong. Itu namanya suami pengertian, beruntung kamu punya dia." Meraih lenganku, kami melangkah beriringan. Memutuskan makan di kantin, berhamburan dengan karyawan lain.Usai memesan dua porsi menu makan dan minum, kami duduk di pojokan. Menghindari keramaian, sedang Papi mungkin masih di ruangan.Kutatap Mami, lekat. Keceriaan tergambar jelas di wajah, amat berbeda dengan Mami yang kukenal

  • Kesayangan Mami   Bab 68

    Kabar bahagia datang, justru ketika sebulan berlalu usai melakukan program kehamilan. Ada calon bayik, yang sudah mengisi perutku seakan menebar berita baik bagi seisi rumah terlebih suamiku Putra.Seperti halnya malam ini, Aya dan Ayi terus berceloteh riang. Sambil memegangi boneka di tangan, bersandiwara layaknya itu adik mereka kelak. Menanggapi itu, aku tersenyum. Menyeka sudut mata, yang terkadang selalu berair."Aku nggak sabar deh, kepengen lihat dedek bayi. Momy, kapan sih dia lahir?" Ayi bertanya dengan bibir merenggut, kepalanya yang miring seakan menambah kesan menggemaskan."Emm, masih lama sayang. Tapi, kalau Ayi sama Aya sabar. Allah, pasti akan memberinya dengan cepat." Tepukan riuh seakan memenuhi langit kamar, istana megah kami tak pernah sepi semenjak hadirnya kedua putri tercinta.Putra yang tampak bahagia, sesekali mencuri pandang. Berkali-kali mengucap terima kasih, atas kehamilan yang sedang kurasa saat sekarang.

  • Kesayangan Mami   Bab 67

    Hari-hari berlalu, dan pikiranku masih berkutat pada Papi. Tentang permintaan dan keluhan yang sempat beliau lontarkan, merasa nggak berguna justru saat dibutuhkan.Tepat jam sepuluh pagi, aku berkutat di taman yang dipenuhi banyak bunga bermekaran. Si kembar tengah bermain, tak lupa ada Ibu yang selalu berada di samping."Maafkan Putra ya, entah kenapa Ibu merasa ... Dia terlalu memaksakan," ucap beliau, mengusap bahuku lembut."Memaksa apa Bu?""Kehamilan, padahal Ibu cukup tahu kamu belum siap lahir batin. Terlebih kedatangan Papimu, seakan membuat kegamangan." Aku mengangguk lemah, mengusap perut yang belum dikaruniai seorang anak juga. Butuh waktu dan kesabaran, itu yang dokter Ratna ucapkan berkali-kali.Mematikan kran yang sedang terpakai, kami duduk di kursi panjang. Kegiatan yang setiap hari dijalani, sambil memantau anak-anak bermain.Aku nggak paham, apa yang mendasari Putra ingin memiliki anak laki-laki. Bukan t

  • Kesayangan Mami   Bab 66

    "Kamu, mantan dokter. Mau-maunya kerja di kantor? Staff biasa lagi." Aku berdecak, menatap Radit dalam stelan kemeja biru polos.Pria itu mengulum senyum, mengangguk hormat. Hidup yang pahit, telah banyak memberi pelajaran untuknya."Teruskan kerjamu, kalau rajin siapa tahu bisa naik jabatan.""Baik, Bu." Formal sekali dia, tanpa menunggu perintah mantanku itu kembali menatap layar besar di depannya. Bekerja serius, seakan menikmati peran baru.Sepanjang jalan menuju ruang suami, aku mulai berpikir untuk membantu pria itu kembali bekerja sebagai dokter. Sesuai stylenya selama ini, memang agak susah untuk membersihkan nama yang tercoreng.Dulu, karena amarah yang membuncah. Kuputuskan untuk melaporkan semua kelakuannya pada kepala rumah sakit, tak pernah berpikir hal itu akan berimbas pada hidupnya kini.Ahh, bukankah itu sesuai dengan perbuatan dia? Hatiku terluka, dan jelas saja aku menginkankan hal sama pada dirinya. Im

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status