"Te-rima kasih Anna, sudah mau menjenguk Mami." Aku tersenyum getir, seumur-umur baru mendengar hal itu dari mulutnya. Oh ya, dikasih sakit baru sadar!Kutatap sekeliling kamar, begitu nyaman untuk ditinggali. Karena berada di ruang VIP, dengan segala kemudahan. Namun, tetap saja rumah sakit bukan salah satu tempat yang dirindukan.Anne, tampak lelah dengan wajah pucat yang biasa ditampilkan. Meski begitu, hatiku tetap enggan untuk merasa tersentuh. Kejadian menyakitkan, masih terekam jelas.Kalau bukan karena Papi, yang terus memaksa. Malas rasanya menjenguk Mami, mereka tak akan sadar bila terus dikasihani!Harusnya Papi, membiarkan mereka menderita. Hitung-hitung sebagai ganjaran, atas dosa yang sudah mereka buat."I-tu ... Pacar kakak?" tanya Anne, sambil menatap boss Putra. Pikiran tak baik, menjelma di hati. Takut kejadian yang lalu, akan terulang."Kenapa, kamu naksir? Apa, ada niatan un
"Apaaa? Jadi, Anna mau tidur di rumah kita?" tanya Ibunya boss, dengan ekspresi terkejut.Aku meneguk ludah, merasa konyol dengan ide tersebut. Tidur di rumah boss, beralasan tak ingin menemui Papi, dalam waktu sementara.Sebenarnya tak enak, rencana ingin menginap saja di hotel. Namun, sebuah tawaran boss. Meluncur bebas, merasa takut jika ada hal tak diinginkan padaku katanya."Tentu boleh, Anna. Lagian, di rumah ini tidak hanya ada Putra. Jadi, kamu amaaan." Lega rasanya, sikap ramah sang Ibu membuat diri begitu nyaman.Aku butuh waktu, untuk menerima sebuah kenyataan. Bahwa Papi, harus memberi perhatian lebih pada orang lain. Meski terikat darah, tetap saja perlakuan mereka selama ini sudah sangat keterlaluan!Ada rasa takut yang menyelinap, bagaimana jika kelak rasa sayang Papi. Akan terbagi, lebih dominan pada Anne jua Mami. Yang notabenenya, sedang dirundung masalah ekonomi.
Tujuh hari berlalu, dan aku masih jua mendekam diri di rumah boss Putra. Ibunya yang baik, membuat diri begitu kerasan di sini.Namun, kejadian hari ini. Seakan mengusik kenyamanan yang ada, Pak Rt dengan dua orang Bapak. Datang menyambangi rumah, dengan menanyakan status tamu pada diriku.Tubuhku menegang, ini memang salahku! Bertamu hingga berhari-hari, lupa bahwa kami hidup bermasyarakat. Bukan hanya seorang diri, tanpa memikirkan tanggapan orang lain."Kalau mau barengan terus, ada baiknya nikah aja, Neng. Tahu sendirilah, mulut Ibu-ibu. Pedas macam cabe," seloroh Pak Rt. Yang gemar berbicara, seakan ingin mengusir ketegangan.Aku menggigit bibir, begitu pusing dengan kata nikah. Yang terdengar mudah saat diucap, apa mereka tidak tahu bahwa aku masih sangat trauma dengan pengkhianatan?Kutekan kepala yang makin berdenyut, celotehan Pak Rt dan kedua temannya. Sama sekali tak memberi solus
"Mami pikir, kamu nggak bakalan pulang. Hm, ternyata bossmu lumayan juga." Aku mendengkus sebal, saat mendengar ucapan Mami. Dan apa katanya tadi, lumayan?"Cakeeep bingit Mami, bukan hanya lumayan." Anne ikut menimpali, dengan mulut penuh nasi. Sarapan yang amat memuakkan!Aku mulai menghidu, jangan-jangan keduanya ada rencana untuk merebut apa yang tengah berada dalam genggaman. Tidak!Semoga, boss Putra cukup kuat. Tahan iman, tak meski tergoda dengan wanita macam Anne!"Tapi, sayang. Udah jadi milik kak Anna," ucapnya lagi. Tak lupa memasang wajah cemberut, sok imut!Terus, kalau bukan milikku kamu mau? Atau, memang ada rencana untuk kembali merebut? Ish, nggak ada kapoknya ternyata.Meja makan, begitu ramai oleh celoteh kedua manusia. Tanpa merasa malu, dengan kehadiranku dan Papi.Benar-benar mereka belum berubah sepenuh
"Karena yang akan menjalani adalah Anna, jelas kita semua menunggu jawaban darinya." Pipiku kembali merona, menahan malu. Karena semua mata tertuju, dan seakan tak sabar ingin tahu keputusan mana yang akan dipilih.Hari ini, boss Putra membuktikan ucapannya. Untuk memboyong kedua orang tua, dalam rangka melamar. Katanya ingin cepat menikah, membangun mahligai rumah tangga.Di ruang tamu, juga telah hadir Mami dan Anne. Keduanya tampak membisu, dan sama sekali tak ada raut bahagia yang harusnya terpancar."In Syaa Allah, Anna siap." Usai berucap, aku menunduk. Merasakan debaran jantung, yang kian bertalu.Semua yang hadir, mengucap kata hamdallah dengan suka cita. Tentu saja, dengan Anne dan Mami yang tetap terdiam. Tanpa sepatah katapun, terlontar dari bibir.Netraku dan boss Putra, sempat beradu. Kami seolah berbicara melalui pandangan, begitu bahagia karena akhirnya bisa menyatukan cinta yang semp
Hari ini ... Rumah kedatangan tamu tak diundang, siapa lagi kalau bukan Angga dan Ibunya. Tengah duduk santai, sembari mengobrol dengan Papi.Aku mengembuskan napas kesal, semoga kedatangan mereka tak lain hanya untuk bertemu dengan Anne dan Mami. Bukan lagi membahas tentang masalah kami, yang sudah tidak mungkin disatukan!Melangkah gontai, terpaksa aku temui sang tamu. Mengukir senyum, meski terpaksa. Lagian, kenapa Papi harus seramah ini terhadap mereka? Lupaaa, dengan kejadian beruntun yang pernah kualami.Di tengah mereka, juga telah hadir Anne dan Mami. Keduanya tampak malas, jua menatap penuh benci."Akhirnya ... Kamu datang juga, Anna." Bu Dena tersenyum manis, seakan amnesia bahwa kami pernah bertengkar.Lagi, aku terpaksa mengulum senyum. Meski tak ikhlas, sebab menghidu kabar tak baik."Kami datang, untuk melamarmu. Menikahlah dengan Angga, Anna." Damn! Dahiku mengern
Sah!Sah!Sah!"Alhamdulillah." Jantungku berdebar tak karuan, air mata menetes. Usai ijab qobul dilaksanakan, harapku tak banyak hanya ingin langgeng hingga akhir hayat memisahkan.Kucium punggung tangan boss Putra, yang telah resmi menjadi suami. Ada getaran cinta, yang membumbung tinggi. Rasanya, masih tak menyangka akan menikah dengan dirinya.Semua yang hadir. Tampak bahagia, terkecuali Mami dan Anne. Keduanya merenggut, seakan dunia hendak kiamat!Banyak karyawan boss, yang berdatangan.Memberi selamat, jua untaian doa tiada henti. Termasuk Nindy, teman sekaligus sahabat selama masih bekerja di sana."Enak banget jadi kamu, Ann. Selalu dikelilingi pria tampan dan kaya, bagi tipsnya dong." Aku menggeleng lemah, ia masih saja seperti dulu. Ketika kami masih bersama, dalam bidang pekerjaan yang sama.Karena banyaknya tamu, tak sempat kuhiraukan celotehan ceria dari mulut Nin
Aku meringis, merasakan perih di sekitar wajah. Dengan bringas, Tante Mita membuat deretan luka di sana.Sedang tubuh, seakan dibuat tak berdaya dengan dua cengkeraman manusia yang tak lain adalah saudara satu darah. Miris!Mami ... aku adalah anakmu juga, terlahir dari rahim yang sama. Kenapa bisa hanya karena penyakit, dirimu berlaku seperti hewan. Ingin menghabisi, darah daging sendiri tanpa memikirkan banyak hal lainnya.Tuhan, izinkan diri untuk tetap hidup. Jelas tak mau, meninggalkan sang kekasih hati yang baru dinikahi hari kemarin.Dalam resah, aku terus melafalkan doa. Ada banyak harapan yang terselip, semoga akan ada bantuan untuk mencegah kejahatan mereka."Luka yang kamu rasakan, tak sebanding dengan apa yang kami alami selama ini!" teriak Tante Mita, penuh penekanan. Sambil mencengkeram, daguku keras.Kukunya yang panjang, lagi-lagi membuat kesakitan di sana. Perih bercampur sedih, seakan bercampur m