Share

Bab 4

Penulis: Fitriyani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-13 21:53:03

Pergi Dari Rumah

 

 

"Ke mana Mami sama kak Angga?" tanya Anne, lagi merajuk dengan gayanya yang sok imut.

 

 

"Ada di rumah, katanya ada surprise untuk kamu." Menjawab dengan malas, dan rasa sedih. Aku terus menuntun Anne, penuh kehati-hatian. Kalau tergores sedikit saja, tamatlah riwayatku! 

 

Aku nggak tahu, surprise apa yang sedang Mami dan Angga persiapkan. Hanya saja, mereka terlalu berlebihan. 

 

Lagi-lagi aku tak bisa membantah, selain takut kualat juga masih ada rasa kasihan dan juga sayang sama Anne. 

 

Tuh, kurang baik apa coba? Udah disakiti, tapi, aku masih saja baik. Seharusnya kalian sadar, terlebih kamu Anne. 

 

Terus berperang ucapan dalam diri, rupanya kami telah sampai mobil. Yang telah dipersiapkan sebelumnya, tentu untuk Putri cantik jelita di sampingku ini. 

 

Selama dalam perjalanan, kami sama-sama terdiam. Entah apa yang merasuki Anne, dia berubah berkali lipat semenjak terakhir kali bertemu.

 

Dan lagi, aku tak ingin terlibat obrolan dengan dia. Takut salah ucap, akhirnya kambuh aku juga yang kena omel. Ingat, yang bawel di rumah nggak hanya Mami ada Angga di sana. 

 

"Kak, tolong jaga jarak sama kak Angga. Biar gimanapun, kalian sudah bukan apa-apa." Repleks, aku menoleh pada Anne. Merasa geram, perasaan dari kemarin juga udah jaga jarak deh. 

 

Sabar Anna, kalau nggak ingat lagi sakit. Ingin kupukul saja, atau kujambak rambut panjangnya itu.

 

"Hm, itu bukan hal sulit untukku," jawabku, akhirnya.

 

Anne tersenyum manis, dengan wajah pucat yang biasa ia tampilkan. Memakai dress hitam selutut, tak mengurangi kecantikan alami yang biasa terpancar.

 

Ahh, kami memang berbeda dalam segala hal. Aku lebih senang memakai jeans, dengan kaos berlengan pendek. Tapi, masih terhitung sopan.

 

Dan ya, rambutku juga pendek. Modelnya sama persis kayak artis yang lagi tenar, Amanda Manopo kalau nggak salah. 

 

Mobil terus bergerak, membelah jalanan dengan santai. Anne tak lagi bersuara, sedari tadi ia sibuk dengan ponsel di tangan. 

 

Hatiku serasa diremas, berpikir bahwa ia tengah berchat ria dengan Angga. Suaminya, yang berhasil ia rebut. Bukan begitu? 

 

Belum sempat terkaanku berakhir, Anne menyodorkan ponsel miliknya. Memperlihatkan chatnya bersama sang suami, romantis dan cukup membakar sesuatu di dalam dada. 

 

Ia terus tertawa senang, tanpa memikirkan bagaimana tentang hatiku. "Aku baru tahu kalau kak Angga bisa sweet, nyesel kenapa nggak kenal duluan."

 

Meredam amarah dalam dada, aku terus berusaha untuk tenang. Dia baru pulang dari RS, tidak mungkin harus masuk lagi gara-gara kemarahanku. Hitung-hitung, uji kesabaran.

 

"Sudah sampai Non, silakan." Pak Emir, sopir setia keluarga kami. Dengan ramah dan sopan, membukakan pintu.

 

Jantungku berpacu dengan cepat, memasuki rumah besar nan mewah ini tak lagi menjadi sesuatu yang dirindukan. 

 

Terlebih ada Angga sekarang, jika dulu kehadirannya begitu kutunggu. Kini justru malah sebaiknya, menyebalkan.

 

Pintu terbuka lebar, dengan hiasan cantik di sekitar dinding. Ada lagi ucapan selamat datang, ahh begitu manis.

 

Mami dan Angga menyambut hangat kedatangan Anne, si cantik jelita yang selalu membuat hidupku susah. 

 

Satu-persatu dari mereka, bergantian memeluk Anne. Suasana rumah seperti diliputi kebahagiaan, beda dengan suasana hatiku. Bertolak belakang! 

 

Pelukan Angga paling lama, tanpa malu ia menghujani Anne dengan ciuman di mana-mana. Terutama di bibir, sudah cukup mantan! 

 

Netraku terbelalak, saat Angga menyematkan sebuah kalung sama persis dengan punyaku. 

 

Dan Anne terpikik senang, kembali mereka berpelukan. Layaknya dua sejoli, yang telah berpisah lama. 

 

"Ngga, i-tu kalung siapa?" tanyaku, gugup disertai ketakutan luar biasa. 

 

"Maaf Ann, aku ambil ini tadi di kamarmu. Anne bilang dia suka, dan ingin aku mengambilnya dari kamu." Penuturan dari Angga, begitu menohok hati. 

 

Ya, kalung itu memang pemberian dari dia. Tapi, apa harus diambil lagi dengan cara seperti ini? 

 

Kenapa mereka seolah mempermainkan hatiku? Apa salahku terhadap kalian?"

 

"Kakak nggak marah 'kan?" tanya Anne, sok polos dan nggak sadar diri.

 

Tanganku kembali mengepal dengan kuat, "Perempuan licik, kamu masih tanya juga. Seharusnya, kamu cukup tahu diri!"

 

Aku berteriak, dengan napas tersengal. Tak mampu lagi menahan emosi, yang sudah sejak lama kupendam. 

 

"Mi .... Huhuhuhu." Kulihat, tubuh Anne bergetar hebat. Ia memeluk Mami dengan tangis tiada henti, baru dibentak gitu aja udah ciut.

 

Kamu boleh memiliki segalanya, tapi, kelakuanmu yang mengambil Angga dariku sudah tak bisa ditelorir. 

 

Mami memberi perintah pada Angga, untuk membawa Anne pergi dari hadapanku. Kenapa, kalian takut? 

 

 

"Anna, kamu kenapa? Angga hanya mengambil barang miliknya, yang sempat dia beri untukmu. Harusnya, kamu nggak sampai membentak Anne!" Selepas mereka pergi, Mami menghakimiku. 

 

"Mi, tolong jangan perlakukan aku seperti ini. Seolah, aku adalah saudara tiri. Atau anak tiri, aku juga punya hati."

 

"Nggak ada yang bilang kamu anak tiri, Anna. Tapi, hati dan tubuhmu cukup kuat. Dibanding Anne, kalau kamu nggak lupa!"

 

Air mataku jatuh, untuk kesekian kalinya. Hadiah kalung dari Angga, Anne minta juga dengan maruk. 

 

Ia seolah tak ingin, ada satupun barang pemberian dari Angga untukku. Heran, kenapa kamu secemburu itu sama aku? 

 

Sekarang, nggak ada lagi alasanku untuk tetap tinggal di sini. Kalian tega, jahat, membiarkan diri menanggung luka.

 

"Mami nggak mau, dengar kamu marahin Anne lagi. Dia itu sakit, nggak boleh stress." 

 

Iya, aku tahu jutaan kali Mami bilang itu. Dan aku bosan, capek, merasa lelah.

 

Kali ini aku hanya bisa diam, merasakan sakit di sekujur tubuh. Kalian menahanku di sini untuk apa? 

 

Tak mampu lagi menerima kesakitan bertubi-tubi, aku beranjak dari hadapan Mami. Janda tua, yang hartanya bergelimang. 

 

Namun, ia gagal dalam menerapkan pola asuh pada anak. Berat sebelah, hanya karena yang satu sering sakit dan butuh perhatian lebih.

 

Mengabaikan hati yang lain, memaksa yang satu untuk kuat. Tapi, goresan luka yang ia. rasa begitu menohok di setiap harinya. 

 

Dan puncaknya adalah, hari ini. Pernikahan Anne dan Angga, bagai mimpi buruk.

 

"Mami bilang stop, Anna. Jangan pergi!" teriak Mami, menyusulku hingga gerbang depan.

 

Bahunya terguncang dengan isak tangis, yang sama sekali tak kumengerti. "Maaf, Mi. Anna lelah, menjauh dari kalian adalah hal terbaik."

 

Mundur satu langkah, dan berbalik. Membuat hati gamang, seperti sedang di persimpangan jalan. 

 

Kali ini, tekadku sudah bulat. Angga memang telah berkomplot dengan Mami, untuk membahagiakan Anne. Dan secara perlahan, menggores hatiku.

 

Silakan, kamu ambil dan muliai kalung itu Anne. Aku nggak butuh lagi, merasa jika Angga bukan pria yang pantas untuk terus bersemayam di hatiku. 

 

Ia berubah menjadi lemah, karena Anne dan Mami. Selamat tinggal luka, dan kusambut masa depan cerah tanpa kalian.

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kesayangan Mami   Bab 71

    Sore itu, tepat saat suami pulang. Aku merenung dengan tangan memegang remote TV, kuabaikan acara di sana. Karena pikiran sibuk menerka tentang Anne, sudah beberapa hari semenjak aku dinyatakan sembuh ia tak kunjung datang.Apa mungkin kemarin adalah satu drama terbarunya? Tidak! Aku berharap, itu hanya pikiran tidak baik yang sempat menyergap diri. Selebihnya, Anne berubah ke arah yang memang jauh lebih baik."Mikirin apa sih? Serius banget," cetus Putra. Duduk di sampingku, dengan sesekali menghela napas."Ahh, sayang. Kamu udah pulang? Maaf, lagi sibuk tadi." Takzim, aku mencium punggung tangannya. Lantas, ia balik mengusap kepalaku tak kalah lembut."Ya, aku tahu itu. Kamu, serius bukan karena nontonin TV. Tapi, karena ada pikiran lain. Ada apa sih? Ceritalah," terkaan Putra. Memang benar, aku mengulas senyum. Meletakan remote, berniat untuk bercerita."Anne, Mas. Dia ke mana ya? Kok, nggak lagi datang?" tanyaku, dengan gund

  • Kesayangan Mami   Bab 70

    Dua hari berlalu, dan aku tak mendapati kabar secuilpun dari Putra. Suami yang harusnya ada kala istri terbaring sakit, kini harapan hanya tinggal harapan. Apalah aku, Anna yang memang sedari dulu selalu tersakiti.Ibu jua tak banyak bicara perihal anak lelakinya, beliau seakan bungkam. Mungkin, tak mau terlalu ikut campur lebih dalam. Atau hal lain yang aku tidak tahu, entahlah terlalu banyak misteri dalam hidup ini.Tubuhku mulai membaik, sudah bisa keluar masuk kamar mandi seorang diri. Anne, masih rajin datang. Merawatku dengan baik, tanpa banyak kata yang kadang kala menyebalkan itu.Kandunganku masih baik-baik saja, menjelang dua minggu hari ini. Sesekali kau bicara via WA bersama dokter Ratna, beliau banyak membantu dan menenangkan diri yang sempat gundah gulana."Anne, Mami kerja bareng Papi. Apa kamu nggak marah?" tanyaku, suatu hari saat ia memberiku sarapan."Nggak, kenapa harus marah? Aku senang, jika itu bisa menebu

  • Kesayangan Mami   Bab 69

    "Cieeee ...." Wanita yang tengah kugoda, melirik dengan senyum di bibir. Tangannya sibuk menari di atas keyboard, penampilan yang dulu pernah menghiasi perlahan berubah ke arah yang jauh lebih baik."Anna, kamu sendirian?" tanyanya, sibuk membereskan peralatan kerja. Waktu makan tiba, semua karyawan wajib istirahat."Diantar sopir, Mi. Semenjak aku hamil, Putra makin rewel." Tersenyum getir, entah aku harus bahagia atau sedih. Mendapati kenyataan ini, sedangkan tekanan untuk memiliki anak lelaki seakan tidak memberi suatu ketenangan."Begitu, bagus dong. Itu namanya suami pengertian, beruntung kamu punya dia." Meraih lenganku, kami melangkah beriringan. Memutuskan makan di kantin, berhamburan dengan karyawan lain.Usai memesan dua porsi menu makan dan minum, kami duduk di pojokan. Menghindari keramaian, sedang Papi mungkin masih di ruangan.Kutatap Mami, lekat. Keceriaan tergambar jelas di wajah, amat berbeda dengan Mami yang kukenal

  • Kesayangan Mami   Bab 68

    Kabar bahagia datang, justru ketika sebulan berlalu usai melakukan program kehamilan. Ada calon bayik, yang sudah mengisi perutku seakan menebar berita baik bagi seisi rumah terlebih suamiku Putra.Seperti halnya malam ini, Aya dan Ayi terus berceloteh riang. Sambil memegangi boneka di tangan, bersandiwara layaknya itu adik mereka kelak. Menanggapi itu, aku tersenyum. Menyeka sudut mata, yang terkadang selalu berair."Aku nggak sabar deh, kepengen lihat dedek bayi. Momy, kapan sih dia lahir?" Ayi bertanya dengan bibir merenggut, kepalanya yang miring seakan menambah kesan menggemaskan."Emm, masih lama sayang. Tapi, kalau Ayi sama Aya sabar. Allah, pasti akan memberinya dengan cepat." Tepukan riuh seakan memenuhi langit kamar, istana megah kami tak pernah sepi semenjak hadirnya kedua putri tercinta.Putra yang tampak bahagia, sesekali mencuri pandang. Berkali-kali mengucap terima kasih, atas kehamilan yang sedang kurasa saat sekarang.

  • Kesayangan Mami   Bab 67

    Hari-hari berlalu, dan pikiranku masih berkutat pada Papi. Tentang permintaan dan keluhan yang sempat beliau lontarkan, merasa nggak berguna justru saat dibutuhkan.Tepat jam sepuluh pagi, aku berkutat di taman yang dipenuhi banyak bunga bermekaran. Si kembar tengah bermain, tak lupa ada Ibu yang selalu berada di samping."Maafkan Putra ya, entah kenapa Ibu merasa ... Dia terlalu memaksakan," ucap beliau, mengusap bahuku lembut."Memaksa apa Bu?""Kehamilan, padahal Ibu cukup tahu kamu belum siap lahir batin. Terlebih kedatangan Papimu, seakan membuat kegamangan." Aku mengangguk lemah, mengusap perut yang belum dikaruniai seorang anak juga. Butuh waktu dan kesabaran, itu yang dokter Ratna ucapkan berkali-kali.Mematikan kran yang sedang terpakai, kami duduk di kursi panjang. Kegiatan yang setiap hari dijalani, sambil memantau anak-anak bermain.Aku nggak paham, apa yang mendasari Putra ingin memiliki anak laki-laki. Bukan t

  • Kesayangan Mami   Bab 66

    "Kamu, mantan dokter. Mau-maunya kerja di kantor? Staff biasa lagi." Aku berdecak, menatap Radit dalam stelan kemeja biru polos.Pria itu mengulum senyum, mengangguk hormat. Hidup yang pahit, telah banyak memberi pelajaran untuknya."Teruskan kerjamu, kalau rajin siapa tahu bisa naik jabatan.""Baik, Bu." Formal sekali dia, tanpa menunggu perintah mantanku itu kembali menatap layar besar di depannya. Bekerja serius, seakan menikmati peran baru.Sepanjang jalan menuju ruang suami, aku mulai berpikir untuk membantu pria itu kembali bekerja sebagai dokter. Sesuai stylenya selama ini, memang agak susah untuk membersihkan nama yang tercoreng.Dulu, karena amarah yang membuncah. Kuputuskan untuk melaporkan semua kelakuannya pada kepala rumah sakit, tak pernah berpikir hal itu akan berimbas pada hidupnya kini.Ahh, bukankah itu sesuai dengan perbuatan dia? Hatiku terluka, dan jelas saja aku menginkankan hal sama pada dirinya. Im

  • Kesayangan Mami   Bab 65

    Tubuhku menegang. Menatap pria yang tengah berdiri tepat di depan pintu rumah, ada angin apa hingga takdir perlu membawanya ke mari? Masih ingat betul, dengan segala pengkhianatan yang pernah ia torehkan. Apalagi, wanita biasa mengingat itu hingga ke detailnya sekalipun. Adanya dia di sini, seakan membuka luka lama. Sekelebat bayang masa lalu, kembali bermunculan. Dulu, kamu gagah dan tampan di balik seragam dokter. Kini, status itu hanya tinggal nama akibat kelakuan yang amat tak bermoral! "Anna, apa kabar?" Memantik senyum di bibir, aku sama sekali tak ada niat untuk membalasnya. Bagiku, Radit sudah mati!"Sangat baik, bahkan semenjak kamu TIDAK ADA!" Menekan kata demi kata, yang kuharap pria itu cukup tahu diri. "Maafkan aku Ann, semua memang salahku.""Ya, kamu memang salah. Dan semua orang tahu itu!" Bibirku bergetar, menatap pria yang sempat kupuja setengah mati. Tak ada bedanya dengan Angga, sama-sama ba***an!Menunduk l

  • Kesayangan Mami   Bab 64

    "Ka-mu ...." Menjerit kecil, netraku seakan menatap tajam pada wanita di depan sana. Sedang yang tengah menjadi sorotan, enteng mengendikan bahu.Harusnya, pagi ini menjadi hal terindah. Melewati sarapan bersama anak-anak, suami, dan mertua. Namun, harapan hanya tinggal harapan.Melangkah cepat, aku terpaksa diam. Tak mau ribut di depan si kembar, yang sempat kaget melihatku menjerit."Pagi Kakak kesayangan," sapanya.Menyunggingkan senyum, "Makanan di sini enak-enak, beda dengan kontrakanku."Aku memutar bola mata malas, mengucap dalam hati bahwa ini kali terakhir ia masuk ke dalam istanaku! "Ya. Pagi juga adik kesayangan, silakan makan yang banyak. Biar tubuh kurusmu, menjadi besar!"Anne mendengkus, aku terkikik. Menikmati sandiwara yang amat menyebalkan, "Mas, rotbaknya mau nambah lagi?" Dahiku mengernyit, berani sekali dia bersikap sok manis.Tangannya bergerak ke sana-ke mari, bagai Nyonya rumah. Aku berdehem,

  • Kesayangan Mami   Bab 63

    "Momy, tadi ada aunty Anne. Dia datang bawa sekotak makanan buat Papa, ituloh kembaran Momy." Ayi berucap riang, menimbulkan emosi di jiwa. Dia lagi? Benar-benar tak tahu malu!Netraku mengitari sekitar halaman, Anne lenyap. Dia sudah berlalu, mungkin untuk menghindari keributan. Sial, wanita itu memang tak pernah bisa menyerah!"Ayi, sini kotak makanan itu buat Momy." Ia memberikan dengan senang hati, sedang aku menggengam dengan rasa tercabik. Kututup pintu, memastikan bahwa Anne benar-benar sudah tidak ada. Hari ini makanan, besok apa lagi?"Kenapa sayang?" Putra menyelidik. Menatapku membawa sesuatu di tangan, baiknya kuapakan makanan ini?Duduk di sampingnya dengan gelisah, aku menaruh barang tersebut pada meja. "Anne, bawain sarapan buatmu."Putra melotot. "Iya, tapi, untuk apa?"Aku mendengkus, "Tentu saja untuk merebut hati suamiku!"Menyilangkan tangan di dada, napasku makin tak beraturan. Harus dengan cara apa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status