Share

Bab 4

Pergi Dari Rumah

 

 

"Ke mana Mami sama kak Angga?" tanya Anne, lagi merajuk dengan gayanya yang sok imut.

 

 

"Ada di rumah, katanya ada surprise untuk kamu." Menjawab dengan malas, dan rasa sedih. Aku terus menuntun Anne, penuh kehati-hatian. Kalau tergores sedikit saja, tamatlah riwayatku! 

 

Aku nggak tahu, surprise apa yang sedang Mami dan Angga persiapkan. Hanya saja, mereka terlalu berlebihan. 

 

Lagi-lagi aku tak bisa membantah, selain takut kualat juga masih ada rasa kasihan dan juga sayang sama Anne. 

 

Tuh, kurang baik apa coba? Udah disakiti, tapi, aku masih saja baik. Seharusnya kalian sadar, terlebih kamu Anne. 

 

Terus berperang ucapan dalam diri, rupanya kami telah sampai mobil. Yang telah dipersiapkan sebelumnya, tentu untuk Putri cantik jelita di sampingku ini. 

 

Selama dalam perjalanan, kami sama-sama terdiam. Entah apa yang merasuki Anne, dia berubah berkali lipat semenjak terakhir kali bertemu.

 

Dan lagi, aku tak ingin terlibat obrolan dengan dia. Takut salah ucap, akhirnya kambuh aku juga yang kena omel. Ingat, yang bawel di rumah nggak hanya Mami ada Angga di sana. 

 

"Kak, tolong jaga jarak sama kak Angga. Biar gimanapun, kalian sudah bukan apa-apa." Repleks, aku menoleh pada Anne. Merasa geram, perasaan dari kemarin juga udah jaga jarak deh. 

 

Sabar Anna, kalau nggak ingat lagi sakit. Ingin kupukul saja, atau kujambak rambut panjangnya itu.

 

"Hm, itu bukan hal sulit untukku," jawabku, akhirnya.

 

Anne tersenyum manis, dengan wajah pucat yang biasa ia tampilkan. Memakai dress hitam selutut, tak mengurangi kecantikan alami yang biasa terpancar.

 

Ahh, kami memang berbeda dalam segala hal. Aku lebih senang memakai jeans, dengan kaos berlengan pendek. Tapi, masih terhitung sopan.

 

Dan ya, rambutku juga pendek. Modelnya sama persis kayak artis yang lagi tenar, Amanda Manopo kalau nggak salah. 

 

Mobil terus bergerak, membelah jalanan dengan santai. Anne tak lagi bersuara, sedari tadi ia sibuk dengan ponsel di tangan. 

 

Hatiku serasa diremas, berpikir bahwa ia tengah berchat ria dengan Angga. Suaminya, yang berhasil ia rebut. Bukan begitu? 

 

Belum sempat terkaanku berakhir, Anne menyodorkan ponsel miliknya. Memperlihatkan chatnya bersama sang suami, romantis dan cukup membakar sesuatu di dalam dada. 

 

Ia terus tertawa senang, tanpa memikirkan bagaimana tentang hatiku. "Aku baru tahu kalau kak Angga bisa sweet, nyesel kenapa nggak kenal duluan."

 

Meredam amarah dalam dada, aku terus berusaha untuk tenang. Dia baru pulang dari RS, tidak mungkin harus masuk lagi gara-gara kemarahanku. Hitung-hitung, uji kesabaran.

 

"Sudah sampai Non, silakan." Pak Emir, sopir setia keluarga kami. Dengan ramah dan sopan, membukakan pintu.

 

Jantungku berpacu dengan cepat, memasuki rumah besar nan mewah ini tak lagi menjadi sesuatu yang dirindukan. 

 

Terlebih ada Angga sekarang, jika dulu kehadirannya begitu kutunggu. Kini justru malah sebaiknya, menyebalkan.

 

Pintu terbuka lebar, dengan hiasan cantik di sekitar dinding. Ada lagi ucapan selamat datang, ahh begitu manis.

 

Mami dan Angga menyambut hangat kedatangan Anne, si cantik jelita yang selalu membuat hidupku susah. 

 

Satu-persatu dari mereka, bergantian memeluk Anne. Suasana rumah seperti diliputi kebahagiaan, beda dengan suasana hatiku. Bertolak belakang! 

 

Pelukan Angga paling lama, tanpa malu ia menghujani Anne dengan ciuman di mana-mana. Terutama di bibir, sudah cukup mantan! 

 

Netraku terbelalak, saat Angga menyematkan sebuah kalung sama persis dengan punyaku. 

 

Dan Anne terpikik senang, kembali mereka berpelukan. Layaknya dua sejoli, yang telah berpisah lama. 

 

"Ngga, i-tu kalung siapa?" tanyaku, gugup disertai ketakutan luar biasa. 

 

"Maaf Ann, aku ambil ini tadi di kamarmu. Anne bilang dia suka, dan ingin aku mengambilnya dari kamu." Penuturan dari Angga, begitu menohok hati. 

 

Ya, kalung itu memang pemberian dari dia. Tapi, apa harus diambil lagi dengan cara seperti ini? 

 

Kenapa mereka seolah mempermainkan hatiku? Apa salahku terhadap kalian?"

 

"Kakak nggak marah 'kan?" tanya Anne, sok polos dan nggak sadar diri.

 

Tanganku kembali mengepal dengan kuat, "Perempuan licik, kamu masih tanya juga. Seharusnya, kamu cukup tahu diri!"

 

Aku berteriak, dengan napas tersengal. Tak mampu lagi menahan emosi, yang sudah sejak lama kupendam. 

 

"Mi .... Huhuhuhu." Kulihat, tubuh Anne bergetar hebat. Ia memeluk Mami dengan tangis tiada henti, baru dibentak gitu aja udah ciut.

 

Kamu boleh memiliki segalanya, tapi, kelakuanmu yang mengambil Angga dariku sudah tak bisa ditelorir. 

 

Mami memberi perintah pada Angga, untuk membawa Anne pergi dari hadapanku. Kenapa, kalian takut? 

 

 

"Anna, kamu kenapa? Angga hanya mengambil barang miliknya, yang sempat dia beri untukmu. Harusnya, kamu nggak sampai membentak Anne!" Selepas mereka pergi, Mami menghakimiku. 

 

"Mi, tolong jangan perlakukan aku seperti ini. Seolah, aku adalah saudara tiri. Atau anak tiri, aku juga punya hati."

 

"Nggak ada yang bilang kamu anak tiri, Anna. Tapi, hati dan tubuhmu cukup kuat. Dibanding Anne, kalau kamu nggak lupa!"

 

Air mataku jatuh, untuk kesekian kalinya. Hadiah kalung dari Angga, Anne minta juga dengan maruk. 

 

Ia seolah tak ingin, ada satupun barang pemberian dari Angga untukku. Heran, kenapa kamu secemburu itu sama aku? 

 

Sekarang, nggak ada lagi alasanku untuk tetap tinggal di sini. Kalian tega, jahat, membiarkan diri menanggung luka.

 

"Mami nggak mau, dengar kamu marahin Anne lagi. Dia itu sakit, nggak boleh stress." 

 

Iya, aku tahu jutaan kali Mami bilang itu. Dan aku bosan, capek, merasa lelah.

 

Kali ini aku hanya bisa diam, merasakan sakit di sekujur tubuh. Kalian menahanku di sini untuk apa? 

 

Tak mampu lagi menerima kesakitan bertubi-tubi, aku beranjak dari hadapan Mami. Janda tua, yang hartanya bergelimang. 

 

Namun, ia gagal dalam menerapkan pola asuh pada anak. Berat sebelah, hanya karena yang satu sering sakit dan butuh perhatian lebih.

 

Mengabaikan hati yang lain, memaksa yang satu untuk kuat. Tapi, goresan luka yang ia. rasa begitu menohok di setiap harinya. 

 

Dan puncaknya adalah, hari ini. Pernikahan Anne dan Angga, bagai mimpi buruk.

 

"Mami bilang stop, Anna. Jangan pergi!" teriak Mami, menyusulku hingga gerbang depan.

 

Bahunya terguncang dengan isak tangis, yang sama sekali tak kumengerti. "Maaf, Mi. Anna lelah, menjauh dari kalian adalah hal terbaik."

 

Mundur satu langkah, dan berbalik. Membuat hati gamang, seperti sedang di persimpangan jalan. 

 

Kali ini, tekadku sudah bulat. Angga memang telah berkomplot dengan Mami, untuk membahagiakan Anne. Dan secara perlahan, menggores hatiku.

 

Silakan, kamu ambil dan muliai kalung itu Anne. Aku nggak butuh lagi, merasa jika Angga bukan pria yang pantas untuk terus bersemayam di hatiku. 

 

Ia berubah menjadi lemah, karena Anne dan Mami. Selamat tinggal luka, dan kusambut masa depan cerah tanpa kalian.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status