LOGINElian melajukan mobil dengan kecepatan tinggi setelah meninggalkan rumah Dian. Suasana di dalam mobil kembali tegang. Mereka telah melakukan perjalanan selama sekitar satu jam ketika tiba-tiba mobil melenceng tajam ke kanan.
"Tuan!" teriak Rinjani karena mobil mereka hampir saja menghantam pembatas jalan. Beruntung, Elian dengan cepat menginjak rem. Mobil berhenti mendadak di bahu jalan. "Aku mengantuk sekali," gumam Elian, meletakkan dahinya di kemudi. Dia diam di sana, beberapa saat. Sudah satu jam mereka berjalan, dan Rinjani tetap tidak tahu arah tujuan mereka yang sesungguhnya. "Tuan, ingin istirahat sejenak?" tanya Rinjani hati-hati, tidak ingin memicu amarahnya lagi. "Ya. Aku tidak berniat mati muda," ucapnya. Elian menegakkan badannya, merogoh saku jasnya, dan menyerahkan dompet kulit tebalnya, lalu membuka kunci mobil. "Aku akan tidur sebentar," kata Elian“Kamu menghancurkanku, Rinjani! Kamu selalu menghancurkan segalanya!” teriak Elian. Tangannya terangkat tinggi, urat-urat di pelipisnya menegang, wajahnya merah padam oleh amarah yang meledak tanpa kendali.Namun Rinjani tidak mundur.Di mata Elian, ia tidak lagi melihat seorang Tuan yang kejam dan dingin, melainkan seorang pria yang sedang berjuang mati-matian melawan kehancuran dirinya sendiri.Rinjani melangkah maju, memperpendek jarak di antara mereka.“Tuan Elian, hentikan.”Suaranya tegas, namun lembut—cukup untuk memutus raungan Elian yang bergetar.Ia berdiri tepat di hadapannya. Bahu kecilnya yang ringkih berhadapan langsung dengan amarah Elian yang eksplosif, tanpa perisai, tanpa perlindungan.“Silakan, Tuan. Tuangkan semuanya ke saya.”Elian menurunkan tangannya perlahan, terkejut oleh keberanian yang datang tanpa rasa takut itu.“Maksudmu?” desisnya.“Tuan marah pada Kirana. Marah p
Rinjani terbangun di pagi hari dengan suara ketukan di pintu kamar. Ia segera melihat jam dinding, baru pukul 8 pagi. Rinjani bergegas membuka pintu, menerima sarapan yang diantarkan staf hotel. Ia kembali ke kamar. Elian masih terbaring di kasurnya, tampak jauh lebih tenang, meskipun ia tidur telentang menghadap langit-langit. "Tuan... sudah bangun. Ini sarapannya," sapa Rinjani lembut, meletakkan nampan sarapan di meja nakas di antara dua kasur. Mendengar kata 'sarapan', Elian langsung tersentak. Ia menatap jam di pergelangan tangannya. "Jam sembilan?! Rinjani, kenapa kamu tidak membangunkan aku lebih awal?!" teriaknya panik. Ia melompat dari tempat tidur dengan mata lebar, mencari jas dan ponselnya. Pasti ada rapat penting pagi ini! Saat akan berdiri, tubuhnya kembali terhuyung sedikit. Rinjani dengan refleks menahan tubuhnya, mencegah Elian jatuh.
Setelah sesi pengobatan dan fashion show yang canggung, Rinjani membereskan barang Elian. Ia menaruh pakaian Elian di lemari dan meletakkan koper di sudut ruangan."Tuan, kamar saya di mana?" tanya Rinjani setelah selesai membereskan barang. Ia berasumsi, di suite penthouse ini, pasti ada kamar tidur terpisah untuknya."Di sini. Kamu tidak lihat, ada dua kasur."Ucap Elian tanpa menoleh, dan kembali ke laptopnya.Rinjani menatap sekeliling. Benar. Ada dua kasur ukuran queen yang terpisah oleh nakas kecil di tengah ruangan yang sama. Kamar ini memang disiapkan untuk satu keluarga atau dua kolega, bukan honeymoon. Rinjani merasa sedikit lega, tetapi juga tersinggung. Elian benar-benar ingin mengawasinya, bahkan saat tidur."Oh, baik, Tuan..." Rinjani berbisik, mengambil tempat duduk di karpet di bawah tempat tidurnya.Jam sudah pukul 9 malam. Elian masih sibuk dengan laptopnya, sementara Rinjani duduk diam. Ia sesekali mengintip ke arah Elia
Elian melajukan mobil dengan kecepatan tinggi setelah meninggalkan rumah Dian. Suasana di dalam mobil kembali tegang. Mereka telah melakukan perjalanan selama sekitar satu jam ketika tiba-tiba mobil melenceng tajam ke kanan. "Tuan!" teriak Rinjani karena mobil mereka hampir saja menghantam pembatas jalan. Beruntung, Elian dengan cepat menginjak rem. Mobil berhenti mendadak di bahu jalan. "Aku mengantuk sekali," gumam Elian, meletakkan dahinya di kemudi. Dia diam di sana, beberapa saat. Sudah satu jam mereka berjalan, dan Rinjani tetap tidak tahu arah tujuan mereka yang sesungguhnya. "Tuan, ingin istirahat sejenak?" tanya Rinjani hati-hati, tidak ingin memicu amarahnya lagi. "Ya. Aku tidak berniat mati muda," ucapnya. Elian menegakkan badannya, merogoh saku jasnya, dan menyerahkan dompet kulit tebalnya, lalu membuka kunci mobil. "Aku akan tidur sebentar," kata Elian
"Duduk, Rinjani. Ceritakan padaku, bagaimana rasanya menjadi pengganti Kirana?"Rinjani menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia tidak boleh bereaksi emosional, tetapi ia harus mempertahankan martabatnya."Saya tidak pernah menjadi pengganti Kirana, Bu Dian," jawab Rinjani, suaranya tenang sedikit bergetar. Dian tertawa renyah, tawa yang menusuk seperti jarum. "Oh, tentu. Benar sekali! Tidak ada yang bisa menggantikan Kirana."Dian bangkit, berjalan mengitari Rinjani, mengamati Rinjani dari ujung kepala hingga ujung kaki. Elian masih duduk di sofa seberang, pura-pura sibuk menonton berita, tetapi Rinjani tahu Elian mendengarkan setiap kata."Kamu tahu, Nak?" Dian berhenti di belakang Rinjani. "Kirana itu seperti Bunga Mawar yang berharga—anggun, mahal, dan sulit didapatkan. Dan kamu?" Dian kembali ke depan Rinjani, matanya menyiratkan penghinaan total. "Kamu terlihat seperti sampah. Sederhana, mudah didapatkan, dan tidak berkelas. Jelas sek
Rinjani bangun dengan memar di pipinya yang tertutup riasan tipis. Ia bersiap-siap untuk kembali ke mode patuh. Pukul lima pagi, saat Rinjani membereskan ruang makan, Elian menuruni tangga. Ia sudah berpakaian rapi, siap untuk keberangkatan."Tuan Elian..." sapa Rinjani, menghindari kontak mata."Aku akan di luar kota selama seminggu,Kamu ingin ikut?" TawarnyaRinjani terkejut. Itu adalah tawaran yang tak terduga, terutama setelah kekerasan semalam."Tuan ingin mengajak saya ke luar kota?" ucap Rinjani, nada suaranya terdengar senang, sejenak melupakan tamparan semalam. Ia melihat kesempatan untuk keluar dari rumah yang terasa seperti penjara ini."Ada pekerjaan, dan di sana aku lebih mudah mengawasimu," Elian menjelaskan alasannya dengan dingin, menghancurkan ilusi romantis Rinjani. "Aku tidak ingin ada Cleo lain yang mendekati 'milikku'.""Persiapkan semua yang aku butuhkan, dalam setengah jam. Kita akan berangkat pukul enam pagi,"







