MasukSatu bulan berlalu dalam rutinitas yang membeku. Rinjani tetap menjadi bayangan patuh, sementara Elian semakin mengunci diri dalam dunianya yang terisolasi. Pagi itu, aroma kopi dan roti panggang yang biasanya menenangkan, mendadak terasa hambar. Rinjani sedang menyiram bunga di teras saat ponsel Elian berdering nyaring di ruang tengah.
"Ya, saya Elian Baskara." Hening sejenak. Rinjani yang melihat dari balik kaca jendela menyadari tubuh Elian mendadak kaku. Bulu kuduk pria itu berdiri saat suara di seberang sana, seorang petugas kepolisian, berbisik dengan nada penuh duka tentang kecelakaan pesawat pribadi rute Singapura-Jakarta. Gelas kopi di tangan Elian terlepas, hancur berkeping-keping di lantai marmer, sama seperti sisa harapannya. Rinjani bergegas masuk dan menemukan Elian mematung di tengah genangan kopi. Wajahnya putih pasi, matanya memancarkan kengerian yang bahkan lebih dalam daripada saat kematian Kirana dulu. Ini adalah kehancuran ganda. "Tuan Elian! Ada apa?" seru Rinjani cemas. Elian menjatuhkan ponselnya, bibirnya bergetar saat berbisik lirih, "Mama dan Papa kecelakaan pesawat saat perjalanan pulang." Tanpa membuang waktu, Elian melesat menuju rumah sakit, menolak dampingan siapa pun. "Tugasmu di rumah! Jaga tempat ini!" bentaknya dengan suara parau sebelum menghilang bersama mobilnya. Rinjani terdiam, hatinya sakit menyadari bahwa meski ia menyandang status istri, ia tetap bukan tempat bersandar bagi Elian. Sore itu, di pemakaman yang penuh isak tangis kolega, Elian berdiri tegak seperti patung es di samping tanah pemakaman. Ia tidak menangis, bahkan tidak berkedip. Ia membiarkan orang lain mengurus formalitas tanah dan doa. Di sebelahnya, Rinjani berdiri dengan pakaian hitam sederhana. Ia menangis diam-diam, bukan hanya karena kehilangan mertua yang baik, tapi karena melihat kesepian Elian yang begitu absolut. Malam harinya, rumah Baskara kembali sunyi setelah para pelayat pulang. Elian duduk di sofa, kaku dan menolak menyentuh apa pun. Rinjani mendekat dengan nampan berisi semangkuk bubur hangat. "Tuan Elian, Tuan belum makan sejak pagi. Tolong, isi tenaga Tuan..." bisik Rinjani lirih. Elian menoleh, tatapannya menusuk tajam. "Aku tidak butuh belas kasihanmu, Rinjani. Juga tidak butuh makananmu." Suaranya rendah namun mematikan. "Sandiwara ini sudah selesai. Mereka yang memaksaku menikahimu sudah tiada. Aku sudah memenuhi kewajibanku pada mereka." Ia berdiri, memangkas jarak hingga Rinjani terpojok. "Kamu bisa tetap di sini sebagai Nyonya Elian Baskara hanya dalam nama, tapi jangan pernah bertingkah seperti istri sungguhan. Dan yang paling penting, jangan pernah mencoba menggantikan siapa pun di rumah ini." Kalimat itu adalah pengusiran paling kejam dari hati Elian. Rinjani mundur selangkah, menelan luka yang begitu dalam, lalu mengangguk pelan. Elian berbalik menuju ruang kerjanya yang gelap, mengunci pintu dan membiarkan dirinya hancur sendirian di balik kegelapan. Keesokan paginya, kelelahan emosional menyelimuti seluruh rumah. Elian tidak keluar dari ruang kerjanya semalam. Rinjani yang hanya tidur beberapa jam segera menyiapkan sarapan. Ia melihat mangkuk sup jahe yang ia letakkan semalam sudah kosong, namun Elian sudah kembali duduk di sofa ruang tengah, membaca koran dengan aura tak tersentuh. Rinjani melangkah ke taman belakang yang tenang untuk mencari kekuatan. Ia menghubungi Neneknya di desa. "Assalamu'alaikum, Nenek. Apa kabar?" tanyanya sesenyum mungkin, meski suaranya bergetar. "Wa'alaikumussalam, Nak. Nenek baik, hanya punggung ini makin sakit. Bagaimana kabar suamimu?" suara hangat Nenek terdengar di seberang sana. Rinjani melirik ke arah Elian. "Dia masih sangat berduka, Nek." Baru saja Rinjani hendak melanjutkan, sebuah tangan besar yang dingin menyambar ponselnya. Rinjani tersentak, takut jika Elian akan meluapkan amarahnya pada sang Nenek. Namun, Elian justru mendekatkan ponsel itu ke telinganya dengan suara yang tak terduga tenang. "Halo, Nek," sapa Elian dengan nada menantu yang sopan. "Halo, Elian. Maaf Nenek tidak bisa ke sana karena kaki Nenek sedikit sulit digerakkan," ucap Nenek cemas. "Tidak apa, Nek. Fokus saja pada kesehatan. Apa obat yang saya kirimkan sudah sampai?" tanya Elian. Rinjani terpaku. Elian mengirimkan obat untuk Neneknya secara diam-diam? Padahal pria itu tidak pernah mengungkit hal tersebut. "Sudah, Nak. Rasanya pahit sekali seperti jamu desa," kekeh Nenek. "Itu bagus untuk kesehatan. Jaga diri, Nek. Assalamu'alaikum," Elian menutup telepon dan menyerahkannya kembali pada Rinjani tanpa ekspresi. Setelah mengakhiri percakapan singkat dengan Neneknya yang memuji kebaikan Elian, Rinjani mendekati suaminya di ruang tengah. "Tuan Elian... terima kasih. Untuk obat dan perhatian Tuan pada Nenek." Elian melipat korannya dengan sekali sentak, menatap Rinjani dengan mata tajam yang menghakimi. "Jangan salah paham, Rinjani. Itu bukan perhatian. Itu bagian dari kontrak agar kamu tidak punya alasan untuk menggangguku." Ia berdiri, kembali memasang topeng arogansinya. "Aku hanya memainkan peranku dengan baik. Jangan berpikir karena aku membelikan obat, batas di antara kita sudah hilang." Rinjani mengangguk perlahan. Kehangatan singkat itu lenyap dalam sekejap, digantikan rasa sakit yang mulai akrab. "Baik, Tuan Elian. Saya mengerti." Rinjani memegang ponselnya erat. Ia tahu ia tak bisa menembus benteng Elian sekarang, namun percakapan tadi memberinya harapan tipis. Di balik topeng monster itu, masih ada sedikit cahaya manusiawi yang tersisa, meski Elian berusaha keras untuk memadamkannya.Setelah sesi pengobatan dan fashion show yang canggung, Rinjani membereskan barang Elian. Ia menaruh pakaian Elian di lemari dan meletakkan koper di sudut ruangan."Tuan, kamar saya di mana?" tanya Rinjani setelah selesai membereskan barang. Ia berasumsi, di suite penthouse ini, pasti ada kamar tidur terpisah untuknya."Di sini. Kamu tidak lihat, ada dua kasur."Ucap Elian tanpa menoleh, dan kembali ke laptopnya.Rinjani menatap sekeliling. Benar. Ada dua kasur ukuran queen yang terpisah oleh nakas kecil di tengah ruangan yang sama. Kamar ini memang disiapkan untuk satu keluarga atau dua kolega, bukan honeymoon. Rinjani merasa sedikit lega, tetapi juga tersinggung. Elian benar-benar ingin mengawasinya, bahkan saat tidur."Oh, baik, Tuan..." Rinjani berbisik, mengambil tempat duduk di karpet di bawah tempat tidurnya.Jam sudah pukul 9 malam. Elian masih sibuk dengan laptopnya, sementara Rinjani duduk diam. Ia sesekali mengintip ke arah Elia
Elian melajukan mobil dengan kecepatan tinggi setelah meninggalkan rumah Dian. Suasana di dalam mobil kembali tegang. Mereka telah melakukan perjalanan selama sekitar satu jam ketika tiba-tiba mobil melenceng tajam ke kanan. "Tuan!" teriak Rinjani karena mobil mereka hampir saja menghantam pembatas jalan. Beruntung, Elian dengan cepat menginjak rem. Mobil berhenti mendadak di bahu jalan. "Aku mengantuk sekali," gumam Elian, meletakkan dahinya di kemudi. Dia diam di sana, beberapa saat. Sudah satu jam mereka berjalan, dan Rinjani tetap tidak tahu arah tujuan mereka yang sesungguhnya. "Tuan, ingin istirahat sejenak?" tanya Rinjani hati-hati, tidak ingin memicu amarahnya lagi. "Ya. Aku tidak berniat mati muda," ucapnya. Elian menegakkan badannya, merogoh saku jasnya, dan menyerahkan dompet kulit tebalnya, lalu membuka kunci mobil. "Aku akan tidur sebentar," kata Elian
"Duduk, Rinjani. Ceritakan padaku, bagaimana rasanya menjadi pengganti Kirana?"Rinjani menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia tidak boleh bereaksi emosional, tetapi ia harus mempertahankan martabatnya."Saya tidak pernah menjadi pengganti Kirana, Bu Dian," jawab Rinjani, suaranya tenang sedikit bergetar. Dian tertawa renyah, tawa yang menusuk seperti jarum. "Oh, tentu. Benar sekali! Tidak ada yang bisa menggantikan Kirana."Dian bangkit, berjalan mengitari Rinjani, mengamati Rinjani dari ujung kepala hingga ujung kaki. Elian masih duduk di sofa seberang, pura-pura sibuk menonton berita, tetapi Rinjani tahu Elian mendengarkan setiap kata."Kamu tahu, Nak?" Dian berhenti di belakang Rinjani. "Kirana itu seperti Bunga Mawar yang berharga—anggun, mahal, dan sulit didapatkan. Dan kamu?" Dian kembali ke depan Rinjani, matanya menyiratkan penghinaan total. "Kamu terlihat seperti sampah. Sederhana, mudah didapatkan, dan tidak berkelas. Jelas sek
Rinjani bangun dengan memar di pipinya yang tertutup riasan tipis. Ia bersiap-siap untuk kembali ke mode patuh. Pukul lima pagi, saat Rinjani membereskan ruang makan, Elian menuruni tangga. Ia sudah berpakaian rapi, siap untuk keberangkatan."Tuan Elian..." sapa Rinjani, menghindari kontak mata."Aku akan di luar kota selama seminggu,Kamu ingin ikut?" TawarnyaRinjani terkejut. Itu adalah tawaran yang tak terduga, terutama setelah kekerasan semalam."Tuan ingin mengajak saya ke luar kota?" ucap Rinjani, nada suaranya terdengar senang, sejenak melupakan tamparan semalam. Ia melihat kesempatan untuk keluar dari rumah yang terasa seperti penjara ini."Ada pekerjaan, dan di sana aku lebih mudah mengawasimu," Elian menjelaskan alasannya dengan dingin, menghancurkan ilusi romantis Rinjani. "Aku tidak ingin ada Cleo lain yang mendekati 'milikku'.""Persiapkan semua yang aku butuhkan, dalam setengah jam. Kita akan berangkat pukul enam pagi,"
Ia segera berbalik, menyambar jubah mandinya, dan keluar kamar dengan langkah kaki yang berat. Amarahnya sudah di ubung-ubun. Saat ia tiba di teras, Cleo sudah tidak terlihat, sementara Rinjani bersiap masuk ke rumah. Langkah gadis itu terhenti seketika saat melihat sosok Elian menghalangi pintu, tampak mengerikan di bawah cahaya lampu teras yang temaram. "Tuan..." suara Rinjani tercekat, jantungnya mencelos melihat kilatan amarah di mata suaminya.Elian tidak membalas. Tanpa peringatan, ia mengangkat tangannya yang dingin.Plaaaak!Tamparan keras itu memecah kesunyian malam. Kepala Rinjani terhempas ke samping, rasa panas menjalar hebat di pipi kirinya. Ia memegang wajahnya dengan napas tersengal, air mata langsung merembes jatuh karena kaget dan perih yang luar biasa."Tuan, ada apa? Apa salah saya?" tanya Rinjani dengan suara bergetar hebat.Elian tidak membentak. Ia justru membungkuk, mendekatkan wajahnya hingga Rinjani bisa merasakan napasnya yang mematikan. "Murahan," bisiknya
Rinjani berdiri di taman samping, mencoba mengusir rasa sepi dengan menyiram deretan krisan yang mulai layu. Suara langkah kaki di atas kerikil membuatnya menoleh. "Siang, Nyonya," sapa Cleo. Pemuda itu berdiri dengan posisi tegak, tangan tertaut di depan tubuh—posisi formal seorang bawahan. Rinjani mematikan keran air, lalu menyeka peluh di keningnya. "Tuan Elian membawa mobil sendiri?" "Benar, Nyonya," jawab Cleo kaku, pandangannya tertuju lurus ke depan, seolah takut salah menatap. Rinjani tertawa kecil melihat kekakuan itu. Ia meletakkan selang air ke rumput. "Jangan bersikap terlalu kaku begitu, Cleo. Aku sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan semua formalitas ini. Anggap saja kita sedang di desa." "Maaf, Nyonya... saya hanya menjalankan prosedur rumah ini." "Prosedur itu untuk Tuanmu, bukan untukku," sahut Rinjani santai, mencoba mencairkan suasana. Ia duduk di pinggiran pembatas semen taman. "Jadi, apa yang biasanya kamu lakukan kalau sedang bosan? Cleo tampak rag







