LOGINRinjani menyibukkan diri di dapur, meracik teh herbal untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Namun, gerakan tangannya terhenti saat mendengar denting sepatu hak tinggi yang mengetuk lantai marmer dengan irama anggun.
"Elian..." Suara itu lembut namun penuh otoritas. Rinjani mengintip dari balik celah dinding. Seorang wanita cantik dengan pakaian desainer yang elegan melangkah mendekati Elian. Dia adalah Sarah. Tanpa ragu, Sarah duduk di samping Elian dan meletakkan tangannya di atas jemari pria itu. "Aku turut berduka, Elian. Maaf aku baru bisa datang," ucap Sarah tulus. Detik itu, pertahanan Elian runtuh. Untuk pertama kalinya, Rinjani melihat suaminya tersenyum. Bukan senyum palsu seperti saat di depan orang tuanya, melainkan senyum tipis yang memancarkan kelegaan nyata. "Terima kasih, Sar. Aku tahu kamu sibuk," jawab Elian. Suaranya melunak, kehilangan nada dingin yang biasanya ia gunakan untuk menusuk hati Rinjani. "Jangan mengunci diri lagi. Kamu punya aku... kamu punya orang-orang yang peduli padamu." Rinjani mematung, meremas serbet di tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Sesak di dadanya kian meradang. Ternyata Elian memiliki sisi hangat, namun kehangatan itu bukan miliknya. Ya Allah, kenapa dada ku sesak, saat Elian tersenyum pada wanita itu, batin Rinjani, bingung dengan emosi barunya. Saat ia membalikkan badan, seorang Asisten Rumah Tangga (ART) senior, Bi Surti, yang sudah lama bekerja di keluarga Baskara, mendekat membawa nampan berisi gelas kotor. Bi Surti melihat raut wajah Rinjani yang terluka. "Nyonya... Nyonya tidak apa-apa?" bisik Bi Surti hati-hati, memanggil Rinjani dengan rasa sungkan yang bercampur iba. Rinjani menggeleng lemah, lalu menunjuk ke arah ruang tengah dengan dagunya. "Bi... siapa wanita itu? Tuan Elian... Tuan tersenyum padanya." Bi Surti menghela napas panjang, memahami kebingungan Rinjani yang lugu. Ia tahu betul posisi Rinjani di rumah ini. "Oh, itu Nona Sarah, Nyonya. Beliau sahabat dekat mendiang Nyonya Kirana." Bi Surti berbisik perlahan, memastikan suara mereka tidak terdengar sampai ke ruang tengah. Rinjani mengerutkan kening. "Tuan Elian terlihat... nyaman sekali." "Karna mereka, lebih dari teman, Nyonya," Bi Surti membungkuk sedikit, berbagi rahasia yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan ART. "Dulu, sebelum Tuan Elian dekat dengan mendiang Nyonya Kirana, Tuan Elian itu mengejar Nona Sarah mati-matian. Tuan Elian benar-benar menyukainya." Rinjani terkejut, matanya melebar. "Tuan Elian... menyukai wanita itu?" "Iya, Nyonya. Tapi Nona Sarah menolak karena sudah bertunangan. Nah, Tuan Elian akhirnya mendekati Nyonya Kirana, teman Nona Sarah. Tapi, Tuan Elian memang berteman baik sekali dengan Nona Sarah sampai sekarang. Nona Sarah itu satu-satunya orang yang bisa membuat Tuan Elian benar-benar tersenyum, sejak Nyonya Kirana tiada." Pernyataan itu terasa seperti hantaman godam. Rinjani tersadar bahwa dirinya hanyalah pengalihan duka, sementara Sarah adalah sejarah yang membuat Elian merasa hidup. Ia adalah istri sah dalam dokumen, namun orang asing dalam kenyataan. "Jadi... saya memang tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun di sini ya, Bi?" lirih Rinjani. Bi Surti hanya menggenggam tangan Rinjani tanpa suara. Keheningan itu sudah cukup menjadi jawaban. Rinjani membalikkan badan, menyandarkan dahinya pada dinding dapur yang dingin. Aku hanya istri kontrak. Aku tidak boleh cemburu, batinnya berulang kali, mencoba mematikan rasa sakit yang baru saja lahir. Beberapa saat kemudian, suara pintu utama menutup menandakan kepergian Sarah. Aura membeku kembali menyelimuti rumah. Elian bangkit dari sofa, langkah kakinya membawanya menuju dapur untuk mencari minum. Di sana, ia mendapati Rinjani yang sibuk mencuci piring dengan gerakan lambat dan bahu yang tampak tegang. Elian berhenti di ambang pintu, menatap punggung Rinjani. Ada sesuatu yang berbeda dari cara gadis itu berdiri. Meski berusaha disembunyikan, Elian menangkap rona merah di ujung mata Rinjani saat gadis itu menoleh sekilas. "Rinjani," panggil Elian dingin. Rinjani tersentak hingga mangkuk di tangannya terlepas ke dalam bak sabun. Ia segera berbalik, menunduk dalam tanpa berani menatap mata suaminya. "Tuan Elian? Maaf, saya—" "Ada apa dengan wajahmu?" potong Elian dengan nada menuntut. Ia melangkah dua langkah lebih dekat, memperpendek jarak. "Sudah kubilang, jangan tunjukkan emosi tak perlu di rumah ini." Rinjani meremas jemarinya yang masih basah. "Maaf, Tuan. Saya hanya... memikirkan Nenek." Elian menyipitkan mata. Ia tahu itu kebohongan yang buruk. "Jangan libatkan aku dalam urusan sentimentalmu," desisnya tajam. "Jika ingin menangis, lakukan di kamar. Duka di rumah ini sudah cukup banyak, jangan ditambah dengan wajah murungmu." "Termasuk duka Tuan?" Rinjani membalas tanpa sadar. Ia segera menggigit bibir bawahnya, menyesali keberanian yang muncul tiba-tiba itu. Rahang Elian mengeras. Sorot matanya menghunus tajam ke arah Rinjani. "Tentu saja. Terutama dukaku. Tugasmu adalah memastikan segalanya terlihat baik-baik saja, bukan malah membuatku terganggu dengan kegusaranmu. Ingat, kamu di sini mungkin hanya untuk menjadi penenang atau wadahku, bukan beban baru." "Baik, Tuan Elian," bisik Rinjani pasrah. Elian menarik napas kasar, lalu berbalik pergi bahkan tanpa mengambil minum yang ia cari. Ia merasa terusik. Kesedihan Rinjani yang polos terasa lebih menuntut daripada semua masalah di kantornya. Mengapa tatapan mata gadis desa itu terasa lebih menyakitkan daripada tangisannya sendiri? Di dapur, Rinjani memejamkan mata erat-erat. Ia menyadari satu hal pahit, ia tidak bisa lari dari Elian. Jika ia tak bisa memberikan kebahagiaan, setidaknya ia akan memastikan Elian tidak sendirian dalam kegelapan, meski ia harus terluka berulang kali untuk itu.Setelah sesi pengobatan dan fashion show yang canggung, Rinjani membereskan barang Elian. Ia menaruh pakaian Elian di lemari dan meletakkan koper di sudut ruangan."Tuan, kamar saya di mana?" tanya Rinjani setelah selesai membereskan barang. Ia berasumsi, di suite penthouse ini, pasti ada kamar tidur terpisah untuknya."Di sini. Kamu tidak lihat, ada dua kasur."Ucap Elian tanpa menoleh, dan kembali ke laptopnya.Rinjani menatap sekeliling. Benar. Ada dua kasur ukuran queen yang terpisah oleh nakas kecil di tengah ruangan yang sama. Kamar ini memang disiapkan untuk satu keluarga atau dua kolega, bukan honeymoon. Rinjani merasa sedikit lega, tetapi juga tersinggung. Elian benar-benar ingin mengawasinya, bahkan saat tidur."Oh, baik, Tuan..." Rinjani berbisik, mengambil tempat duduk di karpet di bawah tempat tidurnya.Jam sudah pukul 9 malam. Elian masih sibuk dengan laptopnya, sementara Rinjani duduk diam. Ia sesekali mengintip ke arah Elia
Elian melajukan mobil dengan kecepatan tinggi setelah meninggalkan rumah Dian. Suasana di dalam mobil kembali tegang. Mereka telah melakukan perjalanan selama sekitar satu jam ketika tiba-tiba mobil melenceng tajam ke kanan. "Tuan!" teriak Rinjani karena mobil mereka hampir saja menghantam pembatas jalan. Beruntung, Elian dengan cepat menginjak rem. Mobil berhenti mendadak di bahu jalan. "Aku mengantuk sekali," gumam Elian, meletakkan dahinya di kemudi. Dia diam di sana, beberapa saat. Sudah satu jam mereka berjalan, dan Rinjani tetap tidak tahu arah tujuan mereka yang sesungguhnya. "Tuan, ingin istirahat sejenak?" tanya Rinjani hati-hati, tidak ingin memicu amarahnya lagi. "Ya. Aku tidak berniat mati muda," ucapnya. Elian menegakkan badannya, merogoh saku jasnya, dan menyerahkan dompet kulit tebalnya, lalu membuka kunci mobil. "Aku akan tidur sebentar," kata Elian
"Duduk, Rinjani. Ceritakan padaku, bagaimana rasanya menjadi pengganti Kirana?"Rinjani menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia tidak boleh bereaksi emosional, tetapi ia harus mempertahankan martabatnya."Saya tidak pernah menjadi pengganti Kirana, Bu Dian," jawab Rinjani, suaranya tenang sedikit bergetar. Dian tertawa renyah, tawa yang menusuk seperti jarum. "Oh, tentu. Benar sekali! Tidak ada yang bisa menggantikan Kirana."Dian bangkit, berjalan mengitari Rinjani, mengamati Rinjani dari ujung kepala hingga ujung kaki. Elian masih duduk di sofa seberang, pura-pura sibuk menonton berita, tetapi Rinjani tahu Elian mendengarkan setiap kata."Kamu tahu, Nak?" Dian berhenti di belakang Rinjani. "Kirana itu seperti Bunga Mawar yang berharga—anggun, mahal, dan sulit didapatkan. Dan kamu?" Dian kembali ke depan Rinjani, matanya menyiratkan penghinaan total. "Kamu terlihat seperti sampah. Sederhana, mudah didapatkan, dan tidak berkelas. Jelas sek
Rinjani bangun dengan memar di pipinya yang tertutup riasan tipis. Ia bersiap-siap untuk kembali ke mode patuh. Pukul lima pagi, saat Rinjani membereskan ruang makan, Elian menuruni tangga. Ia sudah berpakaian rapi, siap untuk keberangkatan."Tuan Elian..." sapa Rinjani, menghindari kontak mata."Aku akan di luar kota selama seminggu,Kamu ingin ikut?" TawarnyaRinjani terkejut. Itu adalah tawaran yang tak terduga, terutama setelah kekerasan semalam."Tuan ingin mengajak saya ke luar kota?" ucap Rinjani, nada suaranya terdengar senang, sejenak melupakan tamparan semalam. Ia melihat kesempatan untuk keluar dari rumah yang terasa seperti penjara ini."Ada pekerjaan, dan di sana aku lebih mudah mengawasimu," Elian menjelaskan alasannya dengan dingin, menghancurkan ilusi romantis Rinjani. "Aku tidak ingin ada Cleo lain yang mendekati 'milikku'.""Persiapkan semua yang aku butuhkan, dalam setengah jam. Kita akan berangkat pukul enam pagi,"
Ia segera berbalik, menyambar jubah mandinya, dan keluar kamar dengan langkah kaki yang berat. Amarahnya sudah di ubung-ubun. Saat ia tiba di teras, Cleo sudah tidak terlihat, sementara Rinjani bersiap masuk ke rumah. Langkah gadis itu terhenti seketika saat melihat sosok Elian menghalangi pintu, tampak mengerikan di bawah cahaya lampu teras yang temaram. "Tuan..." suara Rinjani tercekat, jantungnya mencelos melihat kilatan amarah di mata suaminya.Elian tidak membalas. Tanpa peringatan, ia mengangkat tangannya yang dingin.Plaaaak!Tamparan keras itu memecah kesunyian malam. Kepala Rinjani terhempas ke samping, rasa panas menjalar hebat di pipi kirinya. Ia memegang wajahnya dengan napas tersengal, air mata langsung merembes jatuh karena kaget dan perih yang luar biasa."Tuan, ada apa? Apa salah saya?" tanya Rinjani dengan suara bergetar hebat.Elian tidak membentak. Ia justru membungkuk, mendekatkan wajahnya hingga Rinjani bisa merasakan napasnya yang mematikan. "Murahan," bisiknya
Rinjani berdiri di taman samping, mencoba mengusir rasa sepi dengan menyiram deretan krisan yang mulai layu. Suara langkah kaki di atas kerikil membuatnya menoleh. "Siang, Nyonya," sapa Cleo. Pemuda itu berdiri dengan posisi tegak, tangan tertaut di depan tubuh—posisi formal seorang bawahan. Rinjani mematikan keran air, lalu menyeka peluh di keningnya. "Tuan Elian membawa mobil sendiri?" "Benar, Nyonya," jawab Cleo kaku, pandangannya tertuju lurus ke depan, seolah takut salah menatap. Rinjani tertawa kecil melihat kekakuan itu. Ia meletakkan selang air ke rumput. "Jangan bersikap terlalu kaku begitu, Cleo. Aku sebenarnya tidak terlalu nyaman dengan semua formalitas ini. Anggap saja kita sedang di desa." "Maaf, Nyonya... saya hanya menjalankan prosedur rumah ini." "Prosedur itu untuk Tuanmu, bukan untukku," sahut Rinjani santai, mencoba mencairkan suasana. Ia duduk di pinggiran pembatas semen taman. "Jadi, apa yang biasanya kamu lakukan kalau sedang bosan? Cleo tampak rag







