Mag-log inDi dalam kamar tamu, Rinjani bergerak dengan sangat tenang. Tidak ada air mata yang jatuh, yang ada hanya gerakan jemari yang cekatan melipat pakaian-pakaian lamanya—pakaian yang ia bawa sebelum ia "dibeli" oleh Elian.Ia tidak menyentuh satu pun gaun sutra, tas bermerek, atau sepatu mewah pemberian Elian. Ia membiarkan semua itu tergantung rapi di lemari, seolah ingin menunjukkan bahwa identitas "Nyonya Baskara" tidak pernah benar-benar ia miliki.Setelah tas kecilnya siap, Rinjani melangkah menuju kamar utama untuk terakhir kalinya. Kamar yang sempat menjadi saksi bisu kemanjaan Elian saat sakit, kini terasa begitu asing. Rinjani berdiri di depan meja rias. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wanita yang sempat berharap pada cinta seorang monster. Dengan perlahan, ia melepaskan cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya. Benda emas putih bermata berlian itu terasa begitu berat saat ia letakkan di atas meja marmer yang dingin.Ting.Bunyi logam yang beradu dengan marmer
Elian kembali ke kantor, Dia masuk ke ruangannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Suasana di lantai eksekutif langsung membeku.Elian melemparkan kunci mobilnya ke meja dan segera memanggil Alexa melalui interkom."Semua laporan Grand Marina minggu lalu, sekarang!" perintahnya, suaranya tajam dan tidak sabar.Alexa masuk dengan cepat. Dia tahu ada yang tidak beres. Wajah Elian tampak gelap, jauh lebih buruk daripada saat ia demam."Di mana laporan due diligence dari tim legal?" tanya Elian, matanya menyapu dokumen di mejanya."Sudah ada di email Anda, Tuan. Saya kirim 10 menit yang lalu," jawab Alexa.Elian membuka emailnya. Laporan itu memang ada, tetapi tidak sesuai dengan tata letak yang ia inginkan."Ini apa, Alexa?" raung Elian, melempar tablet di tangannya ke meja. "Formatnya salah! Kenapa tidak kau cetak dengan margin yang benar?! Apakah kamu lupa cara bekerja?""Maaf, Tuan Elian. Saya akan cetak ulang," kata Alexa, kaget dengan ledakan itu.Seharian itu, suasana hati Elian
"Kamu yakin kita makan di sini?" tanya Rinjani pelan. Ia merapikan gaun sederhananya yang terasa kontras dengan kemewahan restoran fine dining ini. Langit-langit kristal dan pelayan berseragam rapi membuatnya merasa sedikit "minder"."Tempat ini hanya bangunan, Rinjani. Yang penting adalah siapa yang ada di depanku."Mereka tertawa kecil, saling melempar candaan tentang Elian yang ternyata tidak tahu cara memotong steak dengan benar saat tangannya masih sedikit lemas pasca demam. Rinjani hampir saja menyuapinya saat keajaiban itu hancur. "Elian... Wow, manis sekali," ucap sebuah suara lembut yang sangat familiar, membelah tawa yang baru saja tercipta.Elian tersentak. Genggaman hangatnya pada tangan Rinjani terlepas begitu saja—refleks yang terjadi tanpa berpikir panjang. Ia segera menegakkan punggungnya, namun anehnya, wajahnya tidak menjadi kaku. Justru ekspresi Elian melunak saat melihat siapa yang berdiri di sana."Sarah?" Elian bergumam, suaranya terdengar lebih hidup daripada
Dalam perjalanan pulang dari bandara, Elian yang sudah terlihat pucat tiba-tiba merasakan sakit tak tertahankan di perutnya. "Hentikan mobilnya! Cepat!" erangnya, menekan tombol jendela mobil dengan panik. Supir sempat mengerem mendadak di pinggir jalan tol. Elian segera membuka pintu dan memuntahkan isi perutnya di rerumputan pinggir jalan. Rinjani segera keluar, mengusap punggung Elian dengan gerakan menenangkan. "Sudah? Semua sudah keluar?" tanya Rinjani.. "Aku benci demam," bisik Elian, wajahnya kuyu dan basah oleh keringat dingin. Ia bergantung sepenuhnya pada Rinjani. "Ayo kembali." Rinjani membantu Elian kembali ke mobil. Sesampainya di Rumah Baskara, Rinjani langsung membimbing Elian ke kamar. Ia menyuruh Elian berbaring. Namun, begitu Rinjani mencoba beranjak untuk mengambil kotak obat, drama dimulai. "Jangan pergi. Di sini saja," rengek Elian, memegang erat pergelangan tangan Rinjani. "Aku harus mengambil termometer, Elian. Dan obat," kata Rinjani, mencoba mel
"Kamu ingin kabur kemana?hm?," bisik Elian. Suaranya serak khas orang baru bangun tidur, terdengar sangat hangat di telinga Rinjani. "Tuan... kenapa kita jadi tidur sekamar?" Rinjani bertanya gugup, jantungnya berdebar kencang. Elian membuka matanya perlahan, menatap Rinjani dalam-dalam. "Kamu di sini. Mulai sekarang dan seterusnya, ini kamarmu juga." "Tuan yakin?" "Panggil aku Elian, Rinjani," sela Elian dengan nada rendah yang menuntut. "Dan berhentilah bersembunyi di bawah selimut itu. Aku sudah 'mengeluarkan' semuanya tadi malam di kamar mandi. Kamu aman." Wajah Rinjani memanas seketika. "Bagaimana kalau... masih ada yang tersisa?" tantangnya nakal. Elian menyeringai. "Ya, kalau kamu terus menatapku seperti itu, mungkin bisa dua atau tiga ronde lagi sebelum matahari benar-benar naik." "Elian!" Rinjani memukul dada Elian pelan. Tawa riang mereka pecah—sebuah pemandangan langka di rumah besar yang biasanya kaku itu. Namun, momen manis itu terputus saat ponsel Elian di atas na
"Tuan..." sapa Rinjani setelah sampai di dorika (ruang makan/ruang keluarga kecil dekat dapur).Tempat pertama yang Rinjani tuju tentu saja adalah tempat ia menyimpan kotak P3K. Ia segera mengambil antiseptik dan perban untuk mengobati tangan Elian yang memar dan berdarah, yang hanya dibersihkan oleh Elian seadanya di mobil.Elian duduk di kursi bar dapur. Kali ini ia tidak menolak atau pun berkomentar sinis. Ia membiarkan Rinjani bekerja, memandangi kepala Rinjani yang menunduk fokus."Tadi, kamu bertanya soal panggilan," ujar Elian, memecah keheningan. "Kamu bisa memanggilku 'Elian' kalau kamu mau. Atau...""Atau...?" tanya Rinjani, yang masih fokus membersihkan luka di buku jari Elian."Atau apa pun yang membuatmu nyaman," jawab Elian, suaranya sedikit rendah. "Aku lelah mendengar 'Tuan' di dalam rumah ini."Rinjani mengangguk. Ia menuangkan cairan antiseptik ke kapas dan menekan lukanya."Aw, sakit, Rinjani!" bentak Elian lagi, refleks dari rasa sakit yang tajam, saat Rinjani mene







