Share

Goodbye Toronto

Author: Eng_
last update Last Updated: 2025-09-07 20:01:37

Lounge Bandara Pearson - Toronto sore itu tampak lengang. Jendela kaca lebar menampakkan deretan pesawat berbaris rapi di paron, lampunya berkelap kelip menantang senja yang mulai jingga. Musik klasik lembut mengalun lembut dari pengeras suara, menambah hangat suasana lounge bernuansa coklat muda itu. Aroma kopi dan pastry yang baru keluar dari panggangan memenuhi udara, memberi perasaan nyaman pada siapapun yang sedang menunggu jadwal keberangkatan mereka. Sayangnya, itu tak berlaku bagi Reya.

Duduk berhadapan berhadapan dengan Ibrar, segelas americano hangat mengepul di depan Reya. Jarinya sibuk memainkan boarding pass. Di ujung ruangan, Sky menempelkan wajahnya ke kaca, memperhatikan pesawat Air Canada dengan logo daun maple merah di badan putihnya. Wajahnya tampak cerah, senyum tak luntur darinya sejak tadi.

Wendy? Entah sudah kemana. Mungkin dia sedang mengobrol dengan pria Norwegia yang tadi menyapanya di buffet bar.

“I still can’t believe you’re really going back,” suara Ibrar lirih, ada kilatan sedih di matanya yang tak berhasil disembunyikan.

Reya menunduk sebentar, menatap boarding pass dalam genggamannya. “Aku juga masih nggak nyangka. Tapi.. yah, here we are.”

Ibrar menghela nafas panjang, meraih tangan Reya, mengelusnya lembut dengan ibu jari. Senyumnya tipis tapi tatapannya penuh ketulusan. “Kamu tahu kan….aku selalu ada dipihak kamu?”

Tentu saja Reya tahu. Selain Wendy, hanya Ibrar yang selalu mendukungnya tanpa pamrih. Mereka berdua adalah kekuatan yang selalu mendukung Reya menghadapi semua jungkir balik hidupnya dan Sky. Lebih dari itu, bahkan Ibrar tetap mendukung Reya sepenuh hati meski ia tak pernah bisa membalas perasaan Ibrar dengan layak.

Tatapan mereka bertaut. “Aku tahu… and thank you so much, Brar,” balas Reya tulus. “Aku nggak tahu gimana caranya buat bales kebaikan kamu selama ini buat aku dan Sky.”

Ibrar menunduk sejenak, menatap tangan Reya dalam genggamannya, lalu kembali mendongak. Menggeleng kecil. “You don’t have to. Tapi aku mau kamu janji satu hal…,” Ibrar mempererat genggamannya, “Kalau kamu capek, atau kamu butuh apapun… just call me. Gue bakal nyusul elo ke Jakarta. No matter what.”

Reya menggigit bibirnya. Hatinya berkedut nyeri.

Kadang kita memang menjadi tokoh antagonis dalam sudut pandang orang lain. Dan saat ini, Reya merasa dia adalah tokoh antagonis dalam garis kisah Ibrar. Setelah semua kebaikan dan ketulusan yang Ibrar padanya, yang Reya bisa berikan hanya ucapan terimakasih.

Reya tersenyum getir, “You don’t have to….”

“Of course I have to,” potong Ibrar cepat, ia lalu tertawa kecil meski matanya makin berkaca-kaca. “You and Sky mean a lot to me. Always.”

Seolah mendengar namanya disebut, Sky yang sedari tadi sibuk memperhatikan pesawat akhirnya menoleh. Ia melambai ke arah Ibrar dan sang Ibu. Ibrar melepas genggamannya lalu balas melambai pada Sky sambil tersenyum. Sky berdiri dengan ransel di pundak dan headphone terkalung di leher, berjalan ringan menghampiri keduanya. Tanpa basa basi Sky merangkul Ibrar.

“Thank you, Bang. I’ll miss you.”

Ibrar terdiam sejenak, tatapannya sendu. Jelas ia juga tak ingin melepas Sky pergi.

Pria itu mengelus rambut Sky dengan sayang. I’ll miss you too, Champ. Jangan malas belajar. I know you’re a genius, tapi jangan sampai lengah. Jangan malas latihan juga. Next time kita ketemu, Abang mau kamu udah sabuk hitam.”

Sky tertawa, tapi matanya juga berkaca-kaca. “Deal!”

“Be a good kid, okay? Take care of Mom.”

Tangan Sky terangkat ke pelipis, “Got it, Boss.” Keduanya tertawa, haru.

Pengumuman boarding terdengar dari pengeras suara lounge. Suara perempuan berlogat Kanada memanggil penumpang Air Canada flight AC 753 to Jakarta, now boarding at Gate E77.

Reya berdiri, bahunya terasa berat. Saat itu Wendy muncul, menenteng dua paper cup kopi dan dan sepotong pastry. Ia melambai ke arah seorang pria asing yang berjalan menjauh. “Oh my God, udah boarding? Padahal obrolan gue lagi seru tadi!”

Ibrar hanya menggeleng sambil tertawa. Ia lantas memeluk Wendy singkat, “Take care ya, Wen. Hopefully we meet again soon.”.

“You too. Look after yourself. Kalau kangen langsung ke Jakarta aja,” balas Wendy sambil mengedipkan jahil.

Sebelum benar-benar melangkah ke gate, Reya dan Ibrar berpelukan sekali lagi. Pelukan lama, penuh arti.

“Take care, Re,” bisik Ibrar di telinganya.

Reya mengangguk, air mata akhirnya jatuh juga kali ini. “Thank you … for everything.”

Setelah melepas pelukan Ibrar, Reya melangkah menuju gate bersama Sky dan Wendy. Ia bisa merasakan tangan Sky menggenggamnya erat, seakan tahu bahwa betapa sulitnya momen ini untuk Reya dan berusaha menguatkannya.

Saat Reya menoleh sekali lagi, Ibrar masih berdiri di depan kaca lounge, melambaikan tangan. Bayangan pesawat besar di luar jendela menjadi latar perpisahan mereka. Dalam hati Reya tulus berharap Ibrar akan mendapatkan seseorang yang bisa mencintai dia dengan tulus. Setulus Ibrar mencintai Reya dan Sky. He deserves the best.

***

Kursi pesawat terasa tetap sempit bagi Reya malam itu, meski kelas bisnis memberi mereka ruang lebih. Ia duduk di sisi lorong sementara Sky duduk di sebelah jendela, matanya berbinar melihat hamparan lampu kota yang semakin mengecil. “Goodbye Toronto,” bisiknya riang.

Wendy menatap takjub. “Kamu sesenang itu ya kita mau balik ke Jakarta?”

Anggukan cepat menjadi jawaban Sky, senyumnya merekah lebar. “Aku nggak sabar pengen lihat semuanya. Jakarta… Sekolah Mama… terus tempat Ayah juga.”

Begitu kata itu lolos dari bibirnya, mata Sky membelalak kecil. Rahangnya menegang, seolah ingin menarik kembali ucapan yang sudah terlanjur keluar. Tak berani melihat reaksi ibunya, Sky hanya melirik Wendy yang hanya bisa menggeleng samar. Ekspresinya juga sama menyesal seperti Sky.

Di sisi lain. Raya tercekat. Ia menutup matanya sebentar, menahan perasaan yang bergolak. “Sky…kita sudah sepakat ‘kan?”

Sky mengangguk canggung.

Berat sekali rasanya, sekali lagi Reya harus mematahkan harapan Sky. Tapi dia tidak bisa membiarkan Sky semakin tenggelam dalam angan yang sebenarnya Reya sendirilah yang menciptakan. Reya takut jika kenyataan yang menanti mereka nanti tidak seperti yang Sky harapkan, dan itu justru akan membuat Sky lebih hancur.

Reya menggenggam tangan Sky. “Ibu nggak akan melarang kamu ketemu ayahmu, Sky.” Ia menatap lurus pada manik coklat gelap putranya. Mengisyaratkan bahwa Reya sungguh-sungguh dengan apa yang berusaha ia katakan.

“Kalaupun akhirnya takdir bawa kita ketemu ayahmu, Ibu minta kamu ingat kesepakatan kita. Kita bukan pulang untuk itu.”

Sky menelan ludah.

“We’re happy, even if it’s just the two of us, right?” suara Reya nyaris pecah. Rasa bersalah mencengkeram dadanya. Ia merasa gagal sebagai ibu karena membawa Sky berada pada situasi seperti ini.

“And we want your dad to be happy too. Don’t we?”

Sky mengangguk. “Yes. We do. And I’m okay, as long as I have you.” Keduanya berbagi senyum. Sendu tapi penuh pemahaman.

Reya mengusap pipi Sky. “I love You, honey.”

“Me too,” balas Sky sebelum menarik ibunya ke dalam pelukan singkat.

Di kursi seberang, Wendy memperhatika dengan mata berkaca. “You know what… I think we raised Sky right.” ucap Wendy lirih.

Reya menoleh, lalu ikut menatap punggung tegap Sky yang kini telah kembali menatap ke luar jendela. Punggung itu….begitu mengingatkan Reya pada sosok seseorang. Senyumnya getir, “Yes, we did..”

Pesawat menembus gelap malam, jauh meninggalkan Toronto. Membawa Reya menjemput kembali masa lalu yang ia takutkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Topeng Sunyi

    Rumah Reya sudah kembali hangat pagi ini. Tidak ada lagi air mata, amarah tertahan atau rahasia yang menggantung di ujung lidah. Hanya sarapan sederhana. Obrolan, canda, dan perdebatan kecil mengalir seperti biasa. Badai kecil kemarin sudah berlalu, meski tidak semua sepenuhnya kembali utuh.Langit.Nama itu kini seperti debu tipis di sudut ruangan yang sengaja dibiarkan tak tersentuh. Semua sadar debu itu di sana, tapi pura-pura tak melihat. Wendy berangkat kerja lebih pagi. Hatinya ringan karena kini rahasia antara Sky dan Reya akhirnya selesai. Tapi masih ada yang mengganjal bagi Wendy. Sesuatu yang membuat langkahnya berat begitu menginjak lobby Skywave.Bagaiamana dengan Langit? Apa dia baik-baik saja?Reya dan Sky sudah selesai dengan rahasia mereka, tapi Langit masih terjebak di sana. Raut wajah Langit kemarin terus menempel di kepala Wendy. Tatapan kosong, langkahnya yang gontai− Langit terlihat seperti petarung yang baru saja dibantai habis-habisan. Telak. Hari ini ada week

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Enough. Just Two of Us

    Sky tak beranjak dari depan pintu kamar Reya sejak Ramon masuk beberapa saat lalu. Tatapannya tak lepas dari daun pintu. Nyaris tak berkedip, seolah takut melewatkan sesuatu.Begitu terdengar suara kenop berputar, punggung Sky langsung tegak. Nafasnya tertahan. Ramon keluar pelan. Pandangannya bertemu dengan Sky. Ia lalu menyunggingkan senyum tipis sambil menepuk bahu Sky, “You can go in now.”Sky mengangguk, menelan ludah. Ia menatap Wendy sekilas, seakan mencari keberanian terakhir, lalu memutar kenop dan melangkah masuk.---Mendengar pintu berderit, Reya buru-buru menghapus air mata. Ia paksakan senyum hangat tersungging di bibir meski sembab di matanya belum benar-benar surut. “Come here,” bisiknya, membuka kedua tangan.Sky tidak berpikir dua kali untuk langsung menghambur dalam dekapan ibunya. Jari-jarinya mencengkram bagian belakang kaos Reya erat-erat, seolah takut kesempatan ini akan hilang jika ia melepasnya. Bahunya yang kaku perlahan turun. Helaan nafasnya pelan dan pan

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Pintu Tertutup, Tapi Semua Rahasia Terbuka

    KlikReya menutup pintu kamarnya lalu melangkah gontai. Nafasnya pendek, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Ia merosot duduk di lantai, memeluk lutut. Tangannya gemetar. Amarah dan lelah bercampur menjadi sesak yang tidak terdefinisi. Bohong. Sky berbohong padanya.Wendy… juga ikut mengelabuhinya.Dan Langit— Dia sama sekali tidak berubah. Sama seperti enam belas tahun lalu, pria itu hanya percaya pada apa yang dia lihat. Reya memejamkan mata keras-keras. Dadanya seperti ditarik dari dua arah. Satu sisi dia ingin marah pada semuanya. Sky, Wendy, bahkan Langit juga. Tapi sisi lain, lebih dari semua itu, Reya marah pada dirinya sendiri.Ia sadar betul, semua ini rumit karena keputusan yang ia buat dulu. Karena ketakutannya sendiri.Reya menggigit bibir. Ia membenamkan wajah diantara lutut. Mencoba menahan isaknya hingga bahunya bergetar. Kenapa harus begini?Kenapa Sky harus bertemu Langit secepat ini?---Tok. Tok. Tok. Ketukan terdengar dari luar.“Reya, we need

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    The Price of a Dream

    Pizza kotak besar terbuka di tengah meja. Potongan steak masih mengepulkan aroma panas. Suara gelak tawa Lyra dan Elio bercampur dengan komentar sarkastik Bian dan celetukan santai Noah.Di satu sisi meja, Sky hampir tidak berhenti tersenyum. Hari ini, untuk pertama kalinya dia naik ke atas podium dan mengangkat piala di depan orang yang paling ingin ia buat bangga.Langit memeluknya di tengah arena. Langit … Ayahnya, tersenyum penuh kebanggaan pada Sky.Mimpinya, benar-benar terwujud. Finally.Tapi di balik gemuruh perayaan kecil itu, ada sosok yang diam-diam menahan getir.Reya duduk dengan punggung tegak, tangan terlipat di pangkuan. Senyumnya ada, tapi hanya di bibir, tidak sampai ke mata. Sesekali ia meneguk cola di depannya untuk menyembunyikan getaran emosinya.Wendy duduk di sebelah Reya, mencoba tertawa saat Lyra bercerita tentang bagaimana lawan Sky tersungkur, tapi matanya beberapa kali melirik Sky dengan gelisah. Seolah ia sedang menunggu sesuatu meledak.Ramon?Tentu saja

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Titik Terendah

    Langit tidak ingat bagaimana ia keluar dari gedung itu. Seperti tubuhnya bergerak tanpa jiwa. Tatapannya kosong. Ia berjalan tapi tidak benar-benar tahu arah mana yang dituju. Di belakang, Orion mencoba mengejar. Nafasnya terengah, alisnya bertaut cemas. “Langit! Lang!” Tapi alih-alih berhenti, Langit bahkan tidak menoleh. Langit tidak mendengar apapun. Telinganya mendadak tuli. Seperti ada yang meredam semua suara di luar. Yang Langit dengar di kepalanya hanya cemoohan suaranya sendiri.Bodoh.Kamu sudah dibuang.Gema itu menghantamnya. Mengambil alih seluruh logika dan menghancurkan sisa kepercayaan dirinya. Rasanya orang-orang menatapnya seperti sampah. Padahal tidak ada seorang pun yang melihat ke arahnya, tapi kepalanya berhalusinasi. Sampai akhirnya ia tiba di parkiran.Tangannya gemetar meraih handle pintu mobil.BRUK.Pintu tertutup keras.Mesin menyala.

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    The truth that breaks everything

    Arena mulai sedikit lebih sepi setelah pengumuman pemenang. Satu persatu orang beranjak. Beberapa juga tampak sibuk meminta foto dengan para finalis. Sky masih dikerubungi Elio, Lyra, Noah, dan Bian. Piala kemenangan ia dekap erat di dada. Senyumnya malu-malu saat mereka memujinya, tapi matanya mengkilat, penuh rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan. Di pinggir arena, Langit memperhatikan. Matanya berkaca-kaca. Aneh. Dia tak pernah seterharu ini, bahkan di pertandingan-pertandingan besar yang telah ia menangkan dulu. Orion mendekat, memukul bahu Langit pelan. “Good job, Coach.”Senyum Langit terulas. “Itu anak kerja keras banget.” “That’s literally you. Reborn.” Orion terkekeh. “Elo liat nggak matanya pas tanding tadi?” Ia menepuk dada Langit, “Tekadnya persis kayak elo kalau terobsesi menang supaya dapet duit buat traktir Reya.”Langit mendengus lemah. Tentu saja Orion ingat bagian itu. Dia saksi hidup. “Lanjut … Ledek aja terus,” gumam Langit pasrah. Tapi ia tahu Orion benar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status