Lounge Bandara Pearson - Toronto sore itu tampak lengang. Jendela kaca lebar menampakkan deretan pesawat berbaris rapi di paron, lampunya berkelap kelip menantang senja yang mulai jingga. Musik klasik lembut mengalun lembut dari pengeras suara, menambah hangat suasana lounge bernuansa coklat muda itu. Aroma kopi dan pastry yang baru keluar dari panggangan memenuhi udara, memberi perasaan nyaman pada siapapun yang sedang menunggu jadwal keberangkatan mereka. Sayangnya, itu tak berlaku bagi Reya.
Duduk berhadapan berhadapan dengan Ibrar, segelas americano hangat mengepul di depan Reya. Jarinya sibuk memainkan boarding pass. Di ujung ruangan, Sky menempelkan wajahnya ke kaca, memperhatikan pesawat Air Canada dengan logo daun maple merah di badan putihnya. Wajahnya tampak cerah, senyum tak luntur darinya sejak tadi. Wendy? Entah sudah kemana. Mungkin dia sedang mengobrol dengan pria Norwegia yang tadi menyapanya di buffet bar. “I still can’t believe you’re really going back,” suara Ibrar lirih, ada kilatan sedih di matanya yang tak berhasil disembunyikan. Reya menunduk sebentar, menatap boarding pass dalam genggamannya. “Aku juga masih nggak nyangka. Tapi.. yah, here we are.” Ibrar menghela nafas panjang, meraih tangan Reya, mengelusnya lembut dengan ibu jari. Senyumnya tipis tapi tatapannya penuh ketulusan. “Kamu tahu kan….aku selalu ada dipihak kamu?” Tentu saja Reya tahu. Selain Wendy, hanya Ibrar yang selalu mendukungnya tanpa pamrih. Mereka berdua adalah kekuatan yang selalu mendukung Reya menghadapi semua jungkir balik hidupnya dan Sky. Lebih dari itu, bahkan Ibrar tetap mendukung Reya sepenuh hati meski ia tak pernah bisa membalas perasaan Ibrar dengan layak. Tatapan mereka bertaut. “Aku tahu… and thank you so much, Brar,” balas Reya tulus. “Aku nggak tahu gimana caranya buat bales kebaikan kamu selama ini buat aku dan Sky.” Ibrar menunduk sejenak, menatap tangan Reya dalam genggamannya, lalu kembali mendongak. Menggeleng kecil. “You don’t have to. Tapi aku mau kamu janji satu hal…,” Ibrar mempererat genggamannya, “Kalau kamu capek, atau kamu butuh apapun… just call me. Gue bakal nyusul elo ke Jakarta. No matter what.” Reya menggigit bibirnya. Hatinya berkedut nyeri. Kadang kita memang menjadi tokoh antagonis dalam sudut pandang orang lain. Dan saat ini, Reya merasa dia adalah tokoh antagonis dalam garis kisah Ibrar. Setelah semua kebaikan dan ketulusan yang Ibrar padanya, yang Reya bisa berikan hanya ucapan terimakasih. Reya tersenyum getir, “You don’t have to….” “Of course I have to,” potong Ibrar cepat, ia lalu tertawa kecil meski matanya makin berkaca-kaca. “You and Sky mean a lot to me. Always.” Seolah mendengar namanya disebut, Sky yang sedari tadi sibuk memperhatikan pesawat akhirnya menoleh. Ia melambai ke arah Ibrar dan sang Ibu. Ibrar melepas genggamannya lalu balas melambai pada Sky sambil tersenyum. Sky berdiri dengan ransel di pundak dan headphone terkalung di leher, berjalan ringan menghampiri keduanya. Tanpa basa basi Sky merangkul Ibrar. “Thank you, Bang. I’ll miss you.” Ibrar terdiam sejenak, tatapannya sendu. Jelas ia juga tak ingin melepas Sky pergi. Pria itu mengelus rambut Sky dengan sayang. I’ll miss you too, Champ. Jangan malas belajar. I know you’re a genius, tapi jangan sampai lengah. Jangan malas latihan juga. Next time kita ketemu, Abang mau kamu udah sabuk hitam.” Sky tertawa, tapi matanya juga berkaca-kaca. “Deal!” “Be a good kid, okay? Take care of Mom.” Tangan Sky terangkat ke pelipis, “Got it, Boss.” Keduanya tertawa, haru. Pengumuman boarding terdengar dari pengeras suara lounge. Suara perempuan berlogat Kanada memanggil penumpang Air Canada flight AC 753 to Jakarta, now boarding at Gate E77. Reya berdiri, bahunya terasa berat. Saat itu Wendy muncul, menenteng dua paper cup kopi dan dan sepotong pastry. Ia melambai ke arah seorang pria asing yang berjalan menjauh. “Oh my God, udah boarding? Padahal obrolan gue lagi seru tadi!” Ibrar hanya menggeleng sambil tertawa. Ia lantas memeluk Wendy singkat, “Take care ya, Wen. Hopefully we meet again soon.”. “You too. Look after yourself. Kalau kangen langsung ke Jakarta aja,” balas Wendy sambil mengedipkan jahil. Sebelum benar-benar melangkah ke gate, Reya dan Ibrar berpelukan sekali lagi. Pelukan lama, penuh arti. “Take care, Re,” bisik Ibrar di telinganya. Reya mengangguk, air mata akhirnya jatuh juga kali ini. “Thank you … for everything.” Setelah melepas pelukan Ibrar, Reya melangkah menuju gate bersama Sky dan Wendy. Ia bisa merasakan tangan Sky menggenggamnya erat, seakan tahu bahwa betapa sulitnya momen ini untuk Reya dan berusaha menguatkannya. Saat Reya menoleh sekali lagi, Ibrar masih berdiri di depan kaca lounge, melambaikan tangan. Bayangan pesawat besar di luar jendela menjadi latar perpisahan mereka. Dalam hati Reya tulus berharap Ibrar akan mendapatkan seseorang yang bisa mencintai dia dengan tulus. Setulus Ibrar mencintai Reya dan Sky. He deserves the best. *** Kursi pesawat terasa tetap sempit bagi Reya malam itu, meski kelas bisnis memberi mereka ruang lebih. Ia duduk di sisi lorong sementara Sky duduk di sebelah jendela, matanya berbinar melihat hamparan lampu kota yang semakin mengecil. “Goodbye Toronto,” bisiknya riang. Wendy menatap takjub. “Kamu sesenang itu ya kita mau balik ke Jakarta?” Anggukan cepat menjadi jawaban Sky, senyumnya merekah lebar. “Aku nggak sabar pengen lihat semuanya. Jakarta… Sekolah Mama… terus tempat Ayah juga.” Begitu kata itu lolos dari bibirnya, mata Sky membelalak kecil. Rahangnya menegang, seolah ingin menarik kembali ucapan yang sudah terlanjur keluar. Tak berani melihat reaksi ibunya, Sky hanya melirik Wendy yang hanya bisa menggeleng samar. Ekspresinya juga sama menyesal seperti Sky. Di sisi lain. Raya tercekat. Ia menutup matanya sebentar, menahan perasaan yang bergolak. “Sky…kita sudah sepakat ‘kan?” Sky mengangguk canggung. Berat sekali rasanya, sekali lagi Reya harus mematahkan harapan Sky. Tapi dia tidak bisa membiarkan Sky semakin tenggelam dalam angan yang sebenarnya Reya sendirilah yang menciptakan. Reya takut jika kenyataan yang menanti mereka nanti tidak seperti yang Sky harapkan, dan itu justru akan membuat Sky lebih hancur. Reya menggenggam tangan Sky. “Ibu nggak akan melarang kamu ketemu ayahmu, Sky.” Ia menatap lurus pada manik coklat gelap putranya. Mengisyaratkan bahwa Reya sungguh-sungguh dengan apa yang berusaha ia katakan. “Kalaupun akhirnya takdir bawa kita ketemu ayahmu, Ibu minta kamu ingat kesepakatan kita. Kita bukan pulang untuk itu.” Sky menelan ludah. “We’re happy, even if it’s just the two of us, right?” suara Reya nyaris pecah. Rasa bersalah mencengkeram dadanya. Ia merasa gagal sebagai ibu karena membawa Sky berada pada situasi seperti ini. “And we want your dad to be happy too. Don’t we?” Sky mengangguk. “Yes. We do. And I’m okay, as long as I have you.” Keduanya berbagi senyum. Sendu tapi penuh pemahaman. Reya mengusap pipi Sky. “I love You, honey.” “Me too,” balas Sky sebelum menarik ibunya ke dalam pelukan singkat. Di kursi seberang, Wendy memperhatika dengan mata berkaca. “You know what… I think we raised Sky right.” ucap Wendy lirih. Reya menoleh, lalu ikut menatap punggung tegap Sky yang kini telah kembali menatap ke luar jendela. Punggung itu….begitu mengingatkan Reya pada sosok seseorang. Senyumnya getir, “Yes, we did..” Pesawat menembus gelap malam, jauh meninggalkan Toronto. Membawa Reya menjemput kembali masa lalu yang ia takutkan.Wendy sengaja datang lebih pagi dari yang diminta, jadi ketika ia tiba, belum ada siapa-siapa di studio. Salah seorang staf produksi bilang kalau Sagara, bos Wendy, sedang meeting pagi bersama kepala divisi yang lain. Staf itu juga yang akhirnya mengarahkan Wendy untuk menunggu di studio Saga, tempatnya akan bekerja nanti.Bau kayu dari panel akustik dan sedikit bau elektronik hangat dari peralatan menyambut Wendy ketika ia mendorong pintu tebal ruang studio itu. Lampu warm white redup menggantung di langit-langit dan beberapa lampu sorot mengarah ke meja mixing memberikan kesan yang cenderung serius dan fokus. Wendy melihat area mixing di ujung ruangan dan booth rekaman di sisi kanan. Di sisi kiri, sedikit kebelakang, ada meja tambahan lengkap dengan laptop dan headphone. Staf yang tadi mengantarnya bilang bawa meja itu akan jadi meja kerja Wendy di sini.Pintu studio terbuka. Seorang pria berkulit pucat masuk tanpa menoleh, wajahnya datar, langkahnya mantap. Dengan pakaian serba hi
Pagi ini tidak seperti biasanya. Alih-alih berkutat di dapur dengan apron, Wendy justru sudah duduk rapi di meja makan. Sweater rajut berkerah warna krem dengan garis-garis hitam dan celana bahan warna putih membalut tubuh. Memberi kesan santai tapi juga cukup formal. “Udah rapi banget pagi-pagi. Tumben,” komentar Reya begitu keluar dari kamar. Ia menenteng tas, blazer krem tergantung di lengannya.Wendy meletakkan cangkir kopinya. “Yes. This is my first day.” Bibirnya tersenyum tapi sorot matanya jelas menyimpan gelisah. Reya mengangguk kecil sambil menyalakan mesin kopi. Uap panas bercampur aroma kopi yang khas langsung memenuhi ruangan. Ia membawa cangkirnya, duduk di seberang Wendy. Pandangannya meneliti sahabatnya yang sedari tadi terlihat menerawang ke arah meja. Jari-jarinya mengetuk permukaan kayu dengan ritme yang terdengar gelisah. Alis Reya terangkat. “Are you nervous?”Wendy menghela nafas lalu mengangkat cangkirnya lagi. “Dikit,” jawabnya.Ekspresi Wendy membuat Reya t
Selalu ada hari pertama dalam hidup. Begitu juga bagi Reya, Sky dan Wendy. Hari ini, hari pertama mereka di Jakarta hampir berakhir, ditutup dengan makan malam sederhana dan obrolan hangat. Meja makan penuh dengan nasi hangat, tumis sayur, ikan goreng dan juga sambal, sesuatu yang jarang mereka temui di Kanada. Aroma gurih dan sedikit pedas menguar mengisi ruangan.Reya menyendok nasi ke piringnya, tapi matanya melihat ke arah Sky. “How’s your first day been? Fun or what?” tanyanya lembut. Ia berusaha terlihat santai, tapi Sky juga tahu bahwa ibunya merasa agak khawatir.Alis Sky terangkat. “Not bad. Just a normal day at school. And…I made a new friend.” Ia tersenyum. “Bagus dong. Siapa namanya?” Wendy menyahut sambil meletakkan daging ikan yang telah dia bersihkan durinya ke piring Sky.“Elio….” Sky menyuap nasi bersama ikan yang Wendy berikan, sambil mengunyah ia terlihat berfikir, “Sama Bian,” imbuhnya dengan nada lebih pelan. Yah, Bian mungkin belum bisa dikatakan sebagai teman S
Telepon berdering untuk kesekian kalinya di meja Langit. Nama Mama berkedip-kedip di layar ponsel. Ia menekan tombol reject tanpa ragu, lalu kembali menatap layar komputer di mejanya. Baru sebentar, dering itu datang lagi, makin nyaring.“Bang, nggak mau diangkat dulu?” Orion menyeletuk.Langit mengangkat wajahnya, menatap Orion sebentar, “Biarin aja, entar juga capek sendiri.” tandasnya. Melihat Langit yang acuh, Orion hanya mengangkat kedua alisnya sambil mengangkat bahu pasrah. Tak lama, pintu ruangan diketuk. Sabil, sekretaris Langit muncul di ambang pintu. Langit dan Orion sama-sama mengalihkan perhatian.“Kenapa, Bil?” tanya Langit.“Ada Pak Bumi di luar, Pak. Ingin menemui Bapak.”Orion menatap Langit cepat. Keningnya berkerut. “Bang Bumi? Ngapain, Lang, tumben amat sampai sini.”Langit mengedik sekilas lalu kembali menekuri layar. “Suruh masuk aja, Bil,” perintahnya santai. Sabil mengangguk lalu menghilang di balik pintu. Tak sampai semenit, Bumi melangkah masuk. Setelan ja
Pertemuan dan perpisahan adalah hal paling misterius di dunia. Sebaik apapun kita merencanakan sebuah pertemuan, itu bisa saja gagal di detik terakhir. Pun seberapa kuat mencegah perpisahan, itu juga bisa tetap terjadi.Bel pulang sudah berlalu sekitar tiga puluh menit lalu, halaman Maplewood International High School Jakarta yang tadi penuh dengan siswa yang menunggu jemputan kini mulai lengang. Hanya ada beberapa anak yang masih menunggu, duduk di bangku panjang dekat gerbang sambil memainkan ponsel atau berbincang dengan teman lain. Beberapa juga masih bermain di halaman atau di kelas yang sudah spi. Sky duduk di bangku salah satu panjang yang kosong. Ranselnya disandarkan di lutut, tangannya sibuk dengan ponsel, mencoba menghubungi Wendy yang janji akan menjemputnya. “Seriously, where is Wendy? She’s the one who said she wouldn’t be late.” Sky bergumam kesal. Tangannya mengibas-ngibas, mencoba mengusir panas. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, tapi matahari Jakarta masih c
Suasana aula rapat GCP Jakarta pagi itu tampak sibuk. Dari balik kaca transparan, Reya bisa melihat jajaran manajerial dan staff duduk dengan wajah serius, sebagian sibuk mengetik di laptop mereka, sebagian lagi berdiskusi dengan berkas di tangan. Reya menarik napas panjang. This is it. New chapter.Ia menegakkan bahu, mengikuti langkah Pak Aditya, Managing Director GCP Jakarta masuk ke ruang meeting itu. Interiornya yang didominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu yang lembut memberikan kesan profesional tapi hangat. Dalam balutan blazer abu-abu, Reya duduk di samping sang direktur. “Selamat pagi semua,” suara Pak Aditya terdengar mantap, menarik perhatian semua yang hadir pagi itu. “Hari ini saya ingin memperkenalkan Regional Finance Director baru kita. Beliau datang langsung dari Kanada, pengalaman internasionalnya luar biasa, dan sekarang beliau akan memimpin divisi keuangan Asia Tenggara kita.”Semua mata serentak beralih ke Reya. Ia menunduk sopan, senyum profesional men