Share

Persetujuan

Author: Eng_
last update Last Updated: 2025-09-05 20:39:52

Setelah menjalani hidup yang berliku-liku sejak kecil, satu hal yang Reya yakin dengan pasti: cara untuk bertahan hidup adalah dengan tidak menghindari kenyataan. Sepahit dan semenyakitkan apapun kenyataan itu, kita harus berdamai dengannya.

Reya mengetuk pintu kamar Sky malam itu.

“Sky?”

Tidak ada jawaban. Reya mendorong pelan pintu kayu itu, mendapati putranya sedang sibuk di depan laptop dengan headphone menutupi telinga. Layar laptop memperlihatkan sebuah video rekaman pertandingan karate. Kualitas gambarnya tidak terlalu bagus, menunjukkan bahwa video itu adalah video lama, dan Reya tahu betul siapa yang ada dalam video itu.

Ia menelan ludah, lalu mendekat dan menyentuh bahu Sky, “Ibu ganggu nggak?”

Sky hampir meloncat dari kursi. “Mom!” katanya, buru-buru menutup laptopnya. Wajahnya tampak gugup seolah tak ingin Reya tahu apa yang sedang ia tonton.

Reya hanya menatapnya, tersenyum tipis meski hatinya getir.

“Kenapa, Mom?”

Reya melangkah pelan ke ranjang Sky dan duduk. “Cuma mau ngobrol sama kamu aja, gak boleh?” balasnya.

Sky mengangkat alis. “Come on, Mom… basi-basi banget. That’s so not you.”

Reya terkekeh hambar. Senyumnya pahit, membuat Sky ikut mengernyit. “What is that? Did something bad happen?”

Reya menggeleng, “Nope. Nothing bad.” Ia menarik napas dalam. “Actually … it might be something you’ve been waiting for.”

Sky makin bingung. “Then why do you look so…worried?”

Butuh beberapa detik untuk Reya menata kalimat. “Perusahaan tempat Ibu kerja planning to expand in Southeast Asia. Dan salah satunya adalah di Jakarta. Ibu dapat tawaran untuk posisi Regional Finance Director di sana.”

Kerut di kening Sky perlahan pudar, berganti senyum dan sorot mata berbinar. Reya tahu Sky akan senang, tapi ia tidak menyangka putranya akan terlihat sebahagia ini.

“That’s sounds great, Mom!”

“Kamu beneran mau kita pindah ke Jakarta?”

Sky mengangguk penuh semangat. Matanya berkilat bahagia. “Of course! I’ve always wnted to see Indonesia. And …” ia terhenti, senyumnya sedikit ragu.

Reya menunduk, lalu menatap Sky lagi. “Sky, I know.… kamu pasti penasaran sama banyak hal. Sama Indonesia… sama ayahmu.” Reya melempar pandangan pada laptop yang tadi buru-buru Sky tutup saat ia masuk. Rasa getir merayap di dadanya.

Ia meraih tangan Sky dan menggenggamnya erat. “Ibu tahu kamu nggak suka kalau ibu ngomong ini.” Ada sesak yang merambat ke tenggorokannya, “I’m sorry for everything. Maaf karena bikin kamu tumbuh tanpa sosok ayah hanya karena keegoisan Ibu.”

“Mom…” Sky mencoba memotong, tapi Reya melanjutkan. Suaranya bergetar.

“Kamu adalah segalanya buat Ibu, Sky. Apa pun yang kamu minta, Ibu akan coba wujudkan.” Reya menatap mata Sky dalam-dalam. “Kalau kamu mau kita ke Jakarta, sure, we’ll move back to Jakarta, tapi Ibu mau kamu janji satu hal …”

Sky mengangguk pelan, matanya penuh rasa ingin tahu.

“Kita pulang ke Jakarta… bukan untuk cari ayahmu,” ucap Reya sendu. Tenggorokannya sudah tercekat air mata, tapi ia coba menguatkan diri. “Ibu nggak tahu seperti apa hidup ayahmu sekarang. Mungkin saja dia sudah punya keluarganya sendiri dan bahagia. Without us.”

Sunyi. Sky menatap ibunya lama sekali. Reya sungguh tercabik melihat sorot mata Sky saat ini. Seperti ia baru saja mematahkan harapan Sky, padahal sejak dulu dia sendiri yang membuat Sky berharap.

“I get it, Mom. I promise.” Sky berkata lirih tapi yakin.

Reya mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Perasaan bersalah itu semakin nyata ia rasakan. Betapa egoisnya dia, memaksa anak sekecil ini mengerti hal yang tidak seharusnya dihadapi anak seusianya.

Reya mengelus pipi putranya. “I love you so much, honey.”

“I know… and that’s more than enough for me. I don’t need anything else.” Sky menarik ibunya dalam pelukan.

Entah apa yang akan terjadi nanti. Reya tahu satu hal: iya punya Sky bersamanya.

***

Beberapa jam kemudian, Reya duduk sendiri di dapur. Dengan segelas wine dingin di tangan, Reya merenungi obrolannya dengan Sky tadi.

Tidak bisa dipungkiri ada perasaan lega setelah ia bicara dengan Sky tentang kekhawatirannya, tapi disatu sisi ia juga terharu, tak menyangka Sky telah tumbuh dewasa begitu cepat. Anak yang dulu ia timang kini bahkan bisa memberinya pelukan hangat menenangkan.

Suara pintu depan berderit. Wendy muncul dari sana. Dengan langkah gontai, menghampiri Reya.

“Hai,” sapa Wendy lirih, terdengar letih. Ia menarik kursi dan duduk di samping Reya.

Reya menoleh, mengamati sahabatnya itu. Wendy tampak kacau sekali. Wajahnya lusuh dan matanya sembab, kontras sekali dengan gaun satin selutut yang melekat manis di tubuh rampingnya.

“Hey, what’s going on? Did you cry?”

Wendy mengangkat alis sambil meraih gelas kosong, mengisinya dengan wine di atas meja lalu menyesapnya. “I broke up with Sandy,” ucap Wendy. Suaranya pecah.

“What?” Reya tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dari semua hal yang mungkin menjadi alasan, Reya sama sekali tidak menyangka akan mendengar pernyataan itu.

“But… Why? You guys seemed totally fine.”

Wendy tertawa kering. “Yeah… you’re right. Everything was fine. We even talked about getting married.”

Reya bisa merasakan kesedihan dalam suara Wendy. Ia mengelus tangan sahabatnya itu. “Terus kenapa putus? Kalian sudah pacaran lima tahun.”

“Klise, Re. Keluarganya nggak suka sama gue?” Wendy menerawang sebentar sebelum kembali berkata, “Mereka bilang gue nggak setara sama Sandy….yah, nggak literally gitu, tapi intinya sama aja.”

Reya terdiam, hatinya ikut tercabik.

“Tapi mereka nggak salah juga,” Wendy melanjutkan, suaranya getir. “Pendidikan gue nggak setinggi Sandy. Dia lulusan Magister dari Universitas ternama sedangkan gue cuma lulusan SMA. Sandy punya karir cemerlang as an accountant sementara gue cuma penyanyi kafe. Dia tumbuh di keluarga cemara yang serba kecukupan sementara gue….” suara Wendy bergetar, tangisnya nyaris pecah tapi ia tahan.

“Gue cuma gadis yatim piatu yang besar di panti.”

Reya menatap sahabatnya iba. “Wen,” ia sekali lagi mengelus tangan Wendy. “Aku minta maaf kamu harus ngelewatin itu.”

“Don’t be.” Wendy tersenyum getir. “Ini nggak ada hubungannya sama elo, Re. Gue aja yang terlalu bodoh.”

“Wen….”

Wendy menarik napas panjang, memaksakan senyum. “Gue sudah tahu dari awal mereka nggak setuju gue sama Sandy. Gue aja yang terlalu pengecut untuk menghadapi ini.”

Jeda sebentar. Wendy menarik napas lagi. Reya tidak tahu harus berkata apa untuk membuat Wendy merasa lebih baik.

“Tiap kali Sandy bahas tentang keluarganya,” Wendy kembali melanjutkan setelah berhasil mengendalikan tangisnya, “gue menghindar. Gue selalu menolak,” ucapnya parau.

“Gue selalu takut mereka akan bahas masa lalu gue, bahas kesenjangan gue sama Sandy. Gue pikir gue nggak akan sanggup denger semua itu. Dan gue pikir gue nggak akan sanggup putus dari Sandy.” Wendy mengakhiri kalimatnya dengan senyum getir.

“Tapi elo tahu apa yang lucu, Re?” ia menatap Reya. “Setelah gue hadapi. Ternyata gue lebih sedih karena membiarkan ketakutan menahan gue selama lima tahun ini.”

“I mean, of course I’m sad about breaking up with him, tapi yang lebih menyedihkan adalah selama lima tahun ini gue ngebiarin diri gue hidup dalam fatamorgana.”

Lagi, Wendy menarik napas dalam dan menghembuskannya keras-keras. bahu nya terkulai. “Kalau gue berani sejak awal, mungkin lima tahun gue nggak akan se sia-sia ini.”

Hening. Reya benar-benar kehabisan kata.

“Elo gimana? Udah ngomong sama Sky?”

Reya terkesiap. Tak menyangka akan mendapat pertanyaan itu disaat seperti ini. Tapi Reya mengangguk. “Sudah.”

“And then…what’s your decision?”

“Gue akan ambil kontrak itu.”

Wendy menyesap wine nya lagi, “Good choice,” ucapnya kemudian.

“Menurut lo begitu?”

“Of course,” kata Wendy mantab. “Gue yakin, banyak banget yang bikin elo overthinking. Terutama soal kemungkinan ketemu Langit lagi.”

“Tapi belajar dari pengalaman gue, lebih cepat elo hadapi ketakutan itu lebih baik.”

“Dan Jakarta sounds good. Gue juga belum pernah tinggal disana. Siapa tahu gue bakal nemu jodoh gue disana.”

Reya tertawa tipis. “Cepet banget move on-nya,”

“Life must goes on, babe.” Wendy mengedipkan mata, mencoba terlihat santai meski matanya masih merah.

Reya hanya menghela nafas. Malam itu, dua sahabat duduk berdampingan dalam diam, sama-sama menyimpan luka, tapi juga sama-sama mencari keberanian untuk melangkah ke babak baru hidup mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Wendy Vs Skywave

    Wendy sengaja datang lebih pagi dari yang diminta, jadi ketika ia tiba, belum ada siapa-siapa di studio. Salah seorang staf produksi bilang kalau Sagara, bos Wendy, sedang meeting pagi bersama kepala divisi yang lain. Staf itu juga yang akhirnya mengarahkan Wendy untuk menunggu di studio Saga, tempatnya akan bekerja nanti.Bau kayu dari panel akustik dan sedikit bau elektronik hangat dari peralatan menyambut Wendy ketika ia mendorong pintu tebal ruang studio itu. Lampu warm white redup menggantung di langit-langit dan beberapa lampu sorot mengarah ke meja mixing memberikan kesan yang cenderung serius dan fokus. Wendy melihat area mixing di ujung ruangan dan booth rekaman di sisi kanan. Di sisi kiri, sedikit kebelakang, ada meja tambahan lengkap dengan laptop dan headphone. Staf yang tadi mengantarnya bilang bawa meja itu akan jadi meja kerja Wendy di sini.Pintu studio terbuka. Seorang pria berkulit pucat masuk tanpa menoleh, wajahnya datar, langkahnya mantap. Dengan pakaian serba hi

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Yang terjadi, Terjadilah

    Pagi ini tidak seperti biasanya. Alih-alih berkutat di dapur dengan apron, Wendy justru sudah duduk rapi di meja makan. Sweater rajut berkerah warna krem dengan garis-garis hitam dan celana bahan warna putih membalut tubuh. Memberi kesan santai tapi juga cukup formal. “Udah rapi banget pagi-pagi. Tumben,” komentar Reya begitu keluar dari kamar. Ia menenteng tas, blazer krem tergantung di lengannya.Wendy meletakkan cangkir kopinya. “Yes. This is my first day.” Bibirnya tersenyum tapi sorot matanya jelas menyimpan gelisah. Reya mengangguk kecil sambil menyalakan mesin kopi. Uap panas bercampur aroma kopi yang khas langsung memenuhi ruangan. Ia membawa cangkirnya, duduk di seberang Wendy. Pandangannya meneliti sahabatnya yang sedari tadi terlihat menerawang ke arah meja. Jari-jarinya mengetuk permukaan kayu dengan ritme yang terdengar gelisah. Alis Reya terangkat. “Are you nervous?”Wendy menghela nafas lalu mengangkat cangkirnya lagi. “Dikit,” jawabnya.Ekspresi Wendy membuat Reya t

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Berbagi Kisah, atau rahasia?

    Selalu ada hari pertama dalam hidup. Begitu juga bagi Reya, Sky dan Wendy. Hari ini, hari pertama mereka di Jakarta hampir berakhir, ditutup dengan makan malam sederhana dan obrolan hangat. Meja makan penuh dengan nasi hangat, tumis sayur, ikan goreng dan juga sambal, sesuatu yang jarang mereka temui di Kanada. Aroma gurih dan sedikit pedas menguar mengisi ruangan.Reya menyendok nasi ke piringnya, tapi matanya melihat ke arah Sky. “How’s your first day been? Fun or what?” tanyanya lembut. Ia berusaha terlihat santai, tapi Sky juga tahu bahwa ibunya merasa agak khawatir.Alis Sky terangkat. “Not bad. Just a normal day at school. And…I made a new friend.” Ia tersenyum. “Bagus dong. Siapa namanya?” Wendy menyahut sambil meletakkan daging ikan yang telah dia bersihkan durinya ke piring Sky.“Elio….” Sky menyuap nasi bersama ikan yang Wendy berikan, sambil mengunyah ia terlihat berfikir, “Sama Bian,” imbuhnya dengan nada lebih pelan. Yah, Bian mungkin belum bisa dikatakan sebagai teman S

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Perjodohan

    Telepon berdering untuk kesekian kalinya di meja Langit. Nama Mama berkedip-kedip di layar ponsel. Ia menekan tombol reject tanpa ragu, lalu kembali menatap layar komputer di mejanya. Baru sebentar, dering itu datang lagi, makin nyaring.“Bang, nggak mau diangkat dulu?” Orion menyeletuk.Langit mengangkat wajahnya, menatap Orion sebentar, “Biarin aja, entar juga capek sendiri.” tandasnya. Melihat Langit yang acuh, Orion hanya mengangkat kedua alisnya sambil mengangkat bahu pasrah. Tak lama, pintu ruangan diketuk. Sabil, sekretaris Langit muncul di ambang pintu. Langit dan Orion sama-sama mengalihkan perhatian.“Kenapa, Bil?” tanya Langit.“Ada Pak Bumi di luar, Pak. Ingin menemui Bapak.”Orion menatap Langit cepat. Keningnya berkerut. “Bang Bumi? Ngapain, Lang, tumben amat sampai sini.”Langit mengedik sekilas lalu kembali menekuri layar. “Suruh masuk aja, Bil,” perintahnya santai. Sabil mengangguk lalu menghilang di balik pintu. Tak sampai semenit, Bumi melangkah masuk. Setelan ja

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Pertemuan Tak Terduga

    Pertemuan dan perpisahan adalah hal paling misterius di dunia. Sebaik apapun kita merencanakan sebuah pertemuan, itu bisa saja gagal di detik terakhir. Pun seberapa kuat mencegah perpisahan, itu juga bisa tetap terjadi.Bel pulang sudah berlalu sekitar tiga puluh menit lalu, halaman Maplewood International High School Jakarta yang tadi penuh dengan siswa yang menunggu jemputan kini mulai lengang. Hanya ada beberapa anak yang masih menunggu, duduk di bangku panjang dekat gerbang sambil memainkan ponsel atau berbincang dengan teman lain. Beberapa juga masih bermain di halaman atau di kelas yang sudah spi. Sky duduk di bangku salah satu panjang yang kosong. Ranselnya disandarkan di lutut, tangannya sibuk dengan ponsel, mencoba menghubungi Wendy yang janji akan menjemputnya. “Seriously, where is Wendy? She’s the one who said she wouldn’t be late.” Sky bergumam kesal. Tangannya mengibas-ngibas, mencoba mengusir panas. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, tapi matahari Jakarta masih c

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    GCP Jakarta

    Suasana aula rapat GCP Jakarta pagi itu tampak sibuk. Dari balik kaca transparan, Reya bisa melihat jajaran manajerial dan staff duduk dengan wajah serius, sebagian sibuk mengetik di laptop mereka, sebagian lagi berdiskusi dengan berkas di tangan. Reya menarik napas panjang. This is it. New chapter.Ia menegakkan bahu, mengikuti langkah Pak Aditya, Managing Director GCP Jakarta masuk ke ruang meeting itu. Interiornya yang didominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu yang lembut memberikan kesan profesional tapi hangat. Dalam balutan blazer abu-abu, Reya duduk di samping sang direktur. “Selamat pagi semua,” suara Pak Aditya terdengar mantap, menarik perhatian semua yang hadir pagi itu. “Hari ini saya ingin memperkenalkan Regional Finance Director baru kita. Beliau datang langsung dari Kanada, pengalaman internasionalnya luar biasa, dan sekarang beliau akan memimpin divisi keuangan Asia Tenggara kita.”Semua mata serentak beralih ke Reya. Ia menunduk sopan, senyum profesional men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status