"Seharusnya kita sekarang ini sedang menikmati secangkir kopi hangat, bersantai di balkon atau masih tidur nyenyak. 'Kan, aneh banget emang direktur tercantik kita itu seneng banget ngerjain orang," protes lagi Ara. Entah sudah berapa kali ia terus mengulangi perkataan yang sama.
"Urgent Ara. Toh sebentar ini," sahut Sepia tetap santai."Justru itu, cuma sebentar juga kenapa gak lewat zoom aja? Aneh kan emang. Itu akal-akalan Nilam aja biar kita semua tahu kalo CEO itu juga punya peran penting di kantor ini. Alias Nilam mau pamer kalo kekasihnya juga punya harta dan tahta mentereng," ungkapnya lagi semakin meradang."Hm, ya..." Sepia hanya mengedikkan bahu, apa yang diucapkan Ara memang ada benarnya juga."Tampang laki-laki kayak CEO tunangannya Nilam itu nih ya paling-paling cewe simpenannya sekecamatan," Ara tertawa sinsis. "Berani taruhan," ia mengacungkan jemari telunjuk dan tengahnya."Sssstttt!" Sepia refleks menutup mulut Ara ketika Nilam tiba-tiba lewat di depan mereka. Beberapa saat mereka menahan napas, ya kalau sampai Nilam mendengar pembicaraan mereka hal buruk dipastikan siap mengisi hari-hari mereka kedepannya."Araaaa... Sudahlah jangan terlalu mengurusi orang lain,""Hmm, kamu ini jadi orang jangan terlalu sabar," gertaknya.Semakin ditanggapi semakin menjadi, jadi Sepia membiarkan perempuan itu mengomel sendiri sampai suaminya datang menjemput.Sepulang meeting dadakan itu, Sepia harus pergi ke toko buku. Sekalian ia juga meminta Alea untuk menemuinya di sana. Jika bertemu di rumah, tentu Shabiru dan Vanila pasti tidak akan membiarkan mereka hanya pergi berdua. Keadaan putranya sekarang jauh lebih baik, ia sudah mulai terbiasa ditinggal bersama Oma Ina. Lagipula, ibunya juga tidak setiap hari meninggalkannya."Hari ke tujuh," ujarnya menatap layar ponsel lalu mematikannya kembali.Ini adalah hari ketujuh pelariannya. Meskipun baru sepekan, tapi baginya hal ini serasa bertahun-tahun lamanya.Sepia baru ingat bahwa sekarang juga adalah akhir pekan, pantas saja pusat perbelanjaan yang dikunjunginya sangat ramai. Orang sepertinya yang tidak terlalu menyukai keramaian tentu saja mendadak dibuat tidak bersemangat memasuki tempat itu, tapi tidak ada pilihan lain. Panas yang terik dan kemacetan di jalanan membuatnya enggan memutar balik."Silahkan Kak, produk kami sedang promo besar-besaran,"Kalimat seperti itu dan sejenisnya hampir memenuhi isi kepalanya. Rasanya jika bisa Sepia ingin sekali berteleportasi langsung sampai ke toko buku tujuannya."Aku kejebak macet, maaf ya Pi bakalan telat," Ia menghela napas berat setelah membaca pesan singkat dari Alea. Ia sudah menduga hal itu sebelumnya, Alea terlalu santai seolah tidak tahu ritme kemacetan ibu kota. Karena terlalu fokus membalas pesan dari Alea, ia sampai menabrak pengunjung lain. Nyaris tergelincir, namun untungnya ada tangan seseorang yang langsung menarik lengan Sepia agar tidak terjatuh."Hati-hati," ucap seorang lelaki yang menolongnya. Kemudian berlalu begitu saja tanpa sempat Sepia melihat wajahnya. Menghilang entah kemana dalam keramaian itu. Bahkan ia juga belum sempat berterima kasih.Ia menghela napas, jantungnya berdetak bak pacuan kuda. Barangkali bukan karena ditolong oleh orang itu, melainkan karena merasa malu karena kecerobohannya.Ia kembali mempercepat langkahnya, berbelok ke arah toko buku.Di barisan rak buku-buku psikologi, Sepia tertegun sejenak. Bayang-bayang Ray menyergapnya, suaminya itu memang sangat menyukai hal-hal berbau psikologi. Namun, lagi bayangan perempuan lain itu juga turut muncul bersamaan."Ah sial!" umpatnya, memejamkan mata dalam-dalam sembari berlalu pergi....Dua puluh menit sudah Sepia duduk di bangku restoran, menunggu Alea yang tak kunjung datang. Di sana ia seperti tengah meracuni dirinya sendiri. Setiap kali ada orang berdasi bolak-balik mengontrol karyawan di sana, benaknya langsung menyeretnya ingat pada sosok Ray. Sialnya, ingatanya terus menggambarkan Ray selalu bersama selingkuhannya."Sorry ya, lama," Alea terkekeh dan langsung meneguk minuman yang telah Sepia pesankan sebelumnya."Kebiasaan banget. Untung udah biasa," protes Sepia."Wah penampilanmu ini bener-bener ya..."Alea bergeleng kepala memperhatikan dari pucuk kepala sampai ujung kaki Sepia yang mengenakan pakaian midi dress polos marun semata kaki dengan panjang lengan baju diatas sikut. Sepia juga menguncir kuda rambutnya seperti biasa."Kenapa? Aku keliatan tua banget?" Sepia jadi merasa tidak percaya diri dengan pakaian yang ia kenakan. Meeting dadakan tadi membuatnya benar-benar tergesa, tidak sempat memilih pakaian yang lain."No baby! Sebaliknya. Kamu kayak maba mau ngedate. Aku yakin gak akan ada yang percaya kalo kamu ini sebenernya udah punya anak umur lima tahun," Alea tertawa kecil."Tapi tidak ada mahasiswa yang menganggumu 'kan?" ledeknya lagi."Aku yakin wajahku ini juga cukup kelihatan galak. Setidaknya tidak ada yang berani macam-macam, akan kujewer kupingnya jika ada. Akan kuberitahu bahwa aku ini ibu-ibu beranak satu," sahut Sepia yang kepalang kesal."Oke, oke..." Sepia mengangguk. "Jadi? Bagaimana sekarang keadaanmu?"Bagaimanapun, Alea juga memahami apa yang Sepia rasakan. Ia pernah ada di posisinya, kecewa, marah dan sedih berpadu menjadi warna yang semu."Aku tidak tahu, seminggu ini rasanya seperti bertahun-tahun. Bertahun-tahun aku menunggu untuk dicari.""Orang tuamu sudah tahu?"Sepia menggeleng. "Ray punya banyak teman di sini, tapi dia sepertinya memang tidak pernah berusaha mencariku. Atau Ray memang tidak pernah mengharapkan aku untuk kembali,""Aku tidak bisa memberikan saran apa-apa Pi, maaf ya," "Bodoh ya aku, aku yang pergi tapi aku juga mengharapkan dicari. Aku yang marah tapi juga mengharapkan untuk ditenangkan," Sepia terkekeh dengan mata berkaca.Beberapa detik mereka hanya saling memandang dan diam."Aku pernah gagal Pi. Hatiku tidak terlalu kuat untuk memberikan maaf yang penuh. Bagiku aku telah mengambil keputusan yang tepat, tapi menurut orang lain aku sudah gagal. Aku tidak mau aku memberikan pengaruh yang sama untukmu Pi. Kita tidak pernah tahu pasti kesalahan mana yang masih bisa diperbaiki dan mana yang tidak, tidak ada yang bisa menjamin untuk sesuatu bernama masa depan," ia menjeda kalimatnya beberapa lama."Tapi dari sana aku belajar Pi, apa pun keputusan yang kita ambil artinya kita siap dan jangan menyesalinya. Karena selalu ada resiko di setiap pilihan." tambahnya."Aku bingung Ale. Aku juga takut, Shabiru juga sudah mulai menanyakan Ray. Bayang-bayang Ray selalu menggangguku. Semalam ibu juga telepon, aku pikir Ray sudah datang mencariku kesana, tapi dugaanku salah. Firasat ibu sangat kuat, aku belum berterus terang kepadanya."Sepia menengadahkan kepalanya, air mata sudah bersiap untuk jatuh lagi."Minum dulu Pi, tenang ya. Kamu harus bisa mengendalikan diri," Alea menyodorkan sebotol air mineral."Katamu Ray dulu bilang terpaksa 'kan? Gak ada salahnya kamu buat cari tahu lagi. Keputusanmu datang ke sini juga tepat. Jadi kalau hatimu sudah sedikit lebih tenang, ada baiknya kalian cari jalan keluarnya sama-sama. Kita mungkin tidak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya tapi kamu bisa mengendalikan dirimu, aku yakin kamu bisa." Tiba-tiba ponsel Sepia berdering, memecah pembicaraan serius mereka."Apa?!" Sepia sangat terkejut setelah mengangkat panggilan itu.Sepia pulang dengan tergesa setelah mendapat telepon dari Oma Ina. Katanya, Shabiru tiba-tiba demam. Tadi pagi, ketika ia berangkat ke kantor putranya itu memang belum bangun terpaksa ia harus meninggalkannya karena rapat dadakan itu.Sepia berlari tunggang langgang turun dari mobil, memasuki rumah Oma Ina. Ia sangat panik, terlebih karena dahulu sewaktu baru lahir putranya itu juga pernah mengalami kondisi drop sehingga harus mendapat penanganan intensif dari dokter. Ia tidak ingin hal yang sama terulang untuk kedua kalinya. Sakit seringan apa pun, sudah naluri seorang ibu akan merasa cemas."Sejak kapan Oma?" pintu berderit pendek saat Sepia memasuki kamar.Pandangannya langsung melihat Shabiru yang masih tertidur, ditemani Oma Ina di sampingnya."Dari tengah hari. Bangun tidur dia menangis menanyakan keberadaanmu, dia murung seharian ini. Dia juga terus mengigau ayah," jelas wanita renta itu."Dia enggak sesak napas 'kan Oma?" tanyanya lagi."Tidak Nak. Tenanglah,"Oma Ina beranja
"Aw!"Lorong yang menghubungkan ruangan admin, tamu dan ruangan staf memang selalu dingin dan sepi. Suara pekikkan pelan pun terdengar bergema.Tas make up yang belum tertutup rapat yang dibawa Sepia juga ikut terjatuh ke lantai menumpahkan segala isi di dalamnya."Ah sial!" Sepia kembali mengumpat dalam hati. Entah sudah berapa kali ia mengatai dirinya sendiri hari ini. Lekas ia segera berdiri."Maaf,"Suara bariton yang ia dengar cukup mengusik pendengarannya. Ya, untuk kali ini Sepia mengakui ia juga ceroboh karena tergesa dan tidak memperhatikan jalannya.Ia juga tak menyahut apa-apa, bibirnya hanya melukiskan garis datar. Ia kembali memunguti kosmetiknya yang berceceran, tanpa mempedulikan sekitar.Semakin hari, Sepia rupanya harus menghadapi banyak kesialan yang tak pernah terduga."Yah, Mba maaf... Lipstiknya pecah," ucap lagi lelaki itu, ia mengambil tabung kaca kecil yang pecah dan menumpahkan cairan kental berwarna merah pekat itu. Sepia masih acuh seperti orang tuli, bahka
Pilihannya tetap sama, beri kesempatan kedua atau akhiri.Sepia tertegun beberapa saat, berusaha meluruhkan amarah yang selama ini menguasainya. Keheningan malam telah menyeretnya ke dalam banyak ketakutan-ketakutan."Kamu dimana? Sayang, tolong aku khawatir banget sama kalian berdua. Aku selalu berusaha nyari kalian selama ini..."Suara cemas Ray dari balik telepon rupanya berhasil membuat hati Sepia sedikit meluluh. Kembali tumbuh rasa rindu berbalut cemburu, perlahan mengalahkan marahnya amarah."Sayang, aku salah. Tapi aku mau kita selesaikan masalah kita dengan baik-baik, tolong beri aku kesempatan untuk itu," Sepia masih belum mengucapkan sepatah kata pun. Dadanya masih terasa sesak, menahan luapan kesedihan yang saling bercampur tak keruan. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya bahwa suara yang ia dengar bukanlah mimpi. Namun berkali-kali juga ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa rentetan masalah yang menerjangnya adalah mimpi buruk semata."Aku tidak akan memaksa keputusannmu, t
"Kamu yakin Ray?" tanya Sepia."Iya tidak masalah," sahut Ray."Tapi kamu baru tidur satu jam. Biar aku saja yang mengantar Oma. Aku bisa sendiri,"Sepia beranjak dari duduk dan memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya.Ray malah tersenyum. Jam di dinding sudah menunjukan pukul delapan pagi. "Kenapa malah tersenyum?" tanya Sepia sembari melipat selimut."Aku senang ternyata kamu masih peduli padaku," ucapnya.Sepia beranjak ke arah jendela, menyibak tirai yang masih tertutup lalu membuka jendela, membiarkan udara pagi masuk sejenak mengganti udara."Aku selalu peduli padamu, mungkin kamu aja yang-"!"Maaf," ucap lagi Ray. Entah sudah berapa ribu kali Ray meminta maaf...."Bunga lili putih," ucap Oma Ina kepada karyawan toko bunga.Sesuai janjinya kemarin, Sepia akan menemani Oma Ina untuk menemui sahabatnya.Perempuan tua itu berkeliling di dalam toko bunga, sementara Sepia, Ray dan Shabiru hanya melihat-lihat di bagian depan."Aku senang sekali ayah datang. Aku pikir ayah tidak a
"Ibun kenapa?" Shabiru terus merengek sedih ketika melihat ibunya terkulai lemah."Kita akan segera ke rumah sakit sayang. Semoga ibumu baik-baik saja," jelas Oma Ina."Tapi untuk saat ini Shabiru tidak akan bisa masuk ke rumah sakit Oma. Aku akan segera pesankan taksi online agar mengantarkan kalian ke apartemenku." Ray membuka peta digital dan mencari rumah sakit terdekat. Sepia sudah sadarkan diri, namun kali ini ia diserang sesak napas."Ayah aku mau ikut, kenapa tidak boleh? Aku 'kan anak ibun," protesnya lagi."Rumah sakit bukan tempat yang baik untuk anak kecil sayang,""Apanya yang tidak baik ayah? Apa disana banyak orang jahat? Kalau begitu ibun jangan dibawa kesana," ucap Shabiru dengan polosnya."Banyak kuman jahat yang mudah membuat anak kecil sakit, jadi kamu harus menuruti peraturan di sana. Kamu sayang 'kan sama ibun?" Ray masih berusaha membujuk putranya."Sayang ayah, sangat sayang...""Ayah dan ibun akan segera pulang, kamu tidak boleh nakal ya sama Oma,""Tapi ayah
"Barusan telepon dari orang restoran kita, hari ini mereka sedang sangat kewalahan terlebih karena ada beberapa orang yang keluar. Orang-orang yang datang untuk makan malah seperti mau mendemo restoran kita saking antrinya" saat kembalu Ray terkekeh begitu saja setelah sekitar setengah jam lamanya meninggalkan Sepia berbaring seorang diri."Kamu pikir aku sebodoh itu Ray?" batin Sepia. "Ada yang keluar? Kenapa?" Sepia memejamkan matanya, berusaha untuk tidur sebentar."Yang dua orang adalah mahasiswa, jadi ya mungkin karena terdesak padatnya jam kuliah,""Pembohong!" sangkal lagi Sepia dalam hati.Sekitar pukul tujuh malam, Sepia memaksa untuk pulang. Ia tetap keras kepala, dengan alasan kasihan terhadap Shabiru akhirnya Ray menuruti keinginannya. Tak peduli akan sesak yang sesekali menyerang pernapasannya."Kamu masih terlihat sangat pucat sayang, harusnya kita tidak pulang secepat ini," Ray memutar stir kemudi perlahan.Mobil mereka melaju pelan di jalan raya setelah meninggalkan a
"Aku mau pulang, tapi dengan satu syarat,"Suara Sepia terdengar begitu jelas di keheningan malam. Besok pagi, seharusnya mereka pulang. Tengah malam ini ia tak bisa tidur."Syarat?" Ray menaikkan sebelah alisnya. Mereka duduk di kasur terpisahkan oleh Shabiru yang sudah tertidur di tengah-tengah mereka."Ya," Sepia mengangguk.Sepia sudah memikirkan banyak hal matang-matang. Termasuk meninggalkan Jogja untuk mengetahui kebohongan Ray akan berjalan sejauh mana.Meski keamanan mental Shabiru juga ikut dipertaruhkan, ia merasa tak punya pilihan lain lagi yang lebih tepat ketimbang ide sederhananya itu."Asal kamu mau pulang, aku akan berusaha memenuhi syarat itu," jawab Ray tanpa berpikir panjang.Beberapa lama, Sepia memendam suaranya. Suara derit AC kembali menjadi bising dalam lengahnya malam."Kita pindah,"Sontak saja Ray begitu terkejut. Lalu menatap Sepia dengan lekat, meski perempuan itu tak sedikit pun melihat ke arahnya."Pindah?" Ray mengulangi kalimat yang diucapkan Sepia. "
Apakah Sepia harus berbohong dan mengikuti saran Ray?Tapi kali ini ia memang tak memiliki pilihan lain. Terpaksa ia harus berbohong bahwa perselingkuhan yang Ray lakukan tidak pernah terjadi. Bertolak belakang dengan kenyataan sebenarnya."Halo Bu..." ucap Sepia setelah mengangkat panggilan itu."Apa yang diberitahukan bibimu itu benar Pi? Ibu khawatir banget sama kamu."Suara khawatir ibunya membuat Sepia benar-benar takut. Takut ibunya langsung percaya dan kecewa padanya."Bu, ibu tenang saja ya. Sepia sama Ray baik-baik aja kok. Ini juga lagi dijalan mau pulang sama Ray. Biasalah mungkin foto itu cuma editan orang yang iri sama keluarga kami Bu..." ia berusaha mengambil napas dan meredam gemetar. "Sepia emang lagi di Jakarta Bu dan waktu itu terpaksa berangkat berdua sama Shabiru soalnya di restoran lagi ada kebakaran jadi Ray menyusul terakhir. Ibu jangan terlalu dengerin omongan orang lain, kalau ada apa-apa pasti Pia juga selalu cerita ke ibu,""Yang benar Pi? Kamu gak bohongin