Share

Ketakutan Terbesar

Sepia pulang dengan tergesa setelah mendapat telepon dari Oma Ina. Katanya, Shabiru tiba-tiba demam. Tadi pagi, ketika ia berangkat ke kantor putranya itu memang belum bangun terpaksa ia harus meninggalkannya karena rapat dadakan itu.

Sepia berlari tunggang langgang turun dari mobil, memasuki rumah Oma Ina. Ia sangat panik, terlebih karena dahulu sewaktu baru lahir putranya itu juga pernah mengalami kondisi drop sehingga harus mendapat penanganan intensif dari dokter. Ia tidak ingin hal yang sama terulang untuk kedua kalinya. Sakit seringan apa pun, sudah naluri seorang ibu akan merasa cemas.

"Sejak kapan Oma?" pintu berderit pendek saat Sepia memasuki kamar.

Pandangannya langsung melihat Shabiru yang masih tertidur, ditemani Oma Ina di sampingnya.

"Dari tengah hari. Bangun tidur dia menangis menanyakan keberadaanmu, dia murung seharian ini. Dia juga terus mengigau ayah," jelas wanita renta itu.

"Dia enggak sesak napas 'kan Oma?" tanyanya lagi.

"Tidak Nak. Tenanglah,"

Oma Ina beranjak dari tempat tidur. "Nak, perceraian itu dampaknya sangat besar terutama bagi perempuan dan seorang anak. Kamu jangan tergesa, jangan gegabah mengambil keputusan. Kalau sekiranya layak diperbaiki, beri kesempatan," jelasnya dengan nada tenang seraya mengusap bahu Sepia.

"Terima kasih ya Oma, sudah mau menjaga anakku." sahut Sepia, lalu mengusap kening Shabiru.

Oma Ina mengangguk, "Tapi syukurlah demamnya perlahan turun. Tadi sudah Oma kompres, maaf sudah membuatmu khawatir."

"Enggak Oma, aku yang salah karena tadi pergi buru-buru," sesalnya.

Sepia menghela napas berat. Ia berusaha membujuk perasaannya sendiri agar setidaknya mau untuk bertemu Ray lagi. Namun setiap kali bayang-bayang Ray datang, ia selalu datang bersama kesakitan berkali-kali lipat.

"Shabiru sayang, kamu harus sehat ya sayang. Kamu adalah kekuatan ibun paling besar. Ibun enggak mau jadi orang tua yang gagal melindungimu sayang..."

Oma Ina benar, bagaimanapun kondisinya perempuan acapkali diberi label buruk jika gagal dalam berumah tangga. Bahkan saat yang salah pihak lelaki sekalipun, tetap perempuan yang lebih sering dinilai gagal. Begitu juga kiranya isi kepala Sepia saat ini.

"Pi, boleh aku bicara sebentar?" Alea berdiri di ambang pintu.

Setelah Sepia mengangguk, Alea baru mau masuk dan duduk di sampingnya.

"Biru sangat merindukan ayahnya, apa memang aku harus pulang ya?" ucapnya pasrah.

Sorot mata sendu yang terpancar dari Sepia membuat Alea juga ikut bersedih. Ia tak pernah lupa betapa ia pernah berada di posisi yang sama.

"Aku enggak mau kamu ngikutin jejak aku buat tergesa ngambil keputusan dan keras kepala gak dengerin saran orang lain." hembusan napas Alea terdengar cukup keras.

"Tapi disisi lain, aku juga enggak mau kamu harus hidup dengan orang yang terus-terusan bohongin kamu. Aku punya saran lain, mungkin ini bisa jadi solusi buat kamu dan Shabiru..."

Alea pamit pulang sekitar satu jam lalu, selama itu juga Sepia duduk bersandar memangku putranya yang masih terlelap. Saran-saran dari Alea ia dengarkan dengan sesakma.

Beberapa kali, ia juga mendengar sendiri bagaimana Shabiru mengigaukan nama ayah dalam tidurnya. Setiap kali ia menatap wajah Shabiru, bayangan Ray selalu melintas. Hatinya dilanda rasa bimbang.

Bagaimanapun, Shabiru masih sangat kecil. Ia masih sangat membutuhkanmu figur seorang ayah, tetapi bagaimana cara menjelaskan kepadanya bahwa ayahnya telah begitu menyakiti perasaan ibunya?

Lagi, Sepia tidak bisa menahan air matanya.

"Aku harus bagaimana?" batinnya, menengadahkan kepala berusaha menahan air mata yang hendak jatuh lagi.

...

Sepia selalu berusaha kuat untuk menghadapi semua ujian yang diberikan Tuhan kepadanya. Saat ini ia belum menetapkan keputusan apa pun, belum juga terketuk hatinya untuk pulang dan menyelesaikan masalahnya dengan saling berbicara. Namun Shabiru saat ini sangat merindukan dan membutuhkan ayahnya. Apakah masalah perselingkuhan juga bisa diselesaikan dengan kepala dingin?

Sejujurnya, ia tetap sangat mencintai Ray. Namun perasaan itu barangkali mengendap di dasar hati, hanya saja tenggelam oleh lautan kekecewaan karena kesalahan yang diperbuat Ray.

"Ekhm!" suara deheman sempurna membuyarkan lamunan Sepia di meja kerjanya.

"Ngelamunin apa sih sampai segitunya?" Ara duduk di bangku kosong sebelah Sepia.

"Enggak..." sahut Sepia singkat sembari membenarkan posisi duduknya.

"Oh ngelamunin Ray pastinya. Btw dia udah ke sini? Masa sih dia gak kangen sama anak istrinya, hati-hati jangan biarin dia ngerasa kesepian Pi bahaya," Ara tertawa kecil. Maksudnya bercanda karena ia pun tidak pernah tahu bahwa sebenarnya Sepia dan Ray sedang dalam masalah besar.

Kalimat yang diucapkan Ara seolah berteriak lantang mengejek dirinya, mengejek nasibnya yang malang. Semakin Sepia berusaha tidak memedulikan omongan itu, semakin keras suara itu terdengar memekikkan telinganya.

"Please, jangan bahas Ray! Bisa?!" sentaknya, sebelah tangannya mengepal dan menggebrak meja.

Sontak bukan hanya Ara, beberapa orang di sekitar mereka juga terkejut bukan kepalang.

Ara mengerutkan keningnya, ia kaget dengan ucapan refleks temannya itu. Lebih terkejut lagi karena raut wajah yang ia lihat tidak bisa berbohong. Sejak dulu bahkan ia tidak pernah melihat Sepia seemosi itu.

Perempuan yang semula cerewet itu tertegun sebentar, "Kenapa? Apa kalian ada masalah?" tanyanya dengan suara pelan.

"E- enggak..." kilah Sepia sembari membenarkan posisi duduknya.

"Aku hanya sedang pusing mengambil alih naskah yang sebelumnya dipegang Kinar. Mana penulisnya rese, janji mau datang tadi pagi sampai asar begini entah kemana," alibinya lagi.

Tangan kanannya kembali meraih mouse dan kembali membuka surat elektronik di layar monitor.

"O oke, sepertinya kamu sedang tidak bisa diganggu. Bentar lagi aku ada audit manager dadakan, aku balik dulu ya, bye!" Ara berlalu begitu saja sembari menggaruk kepala.

Sepia mengusap wajahnya, tadi ia tidak bisa mengontrol emosi sampai keceplosan menyentak Ara yang bahkan tidak bersalah. Ia beranjak dari duduk dan pergi ke kamar mandi.

Ia bersandar dibalik daun pintu kamar mandi, merasakan kelimbungan hati yang terus menderanya.

Ia pikir kesibukan pekerjaan mampu membuat keadaannya menjadi sedikit lebih baik, tapi ia salah keadaannya justru malah semakin buruk.

"Aku harus kuat, aku harus bisa..."

Keluar dari kamar mandi, Sepia berdiri di depan cermin besar, meraih tisu dan mengeringkan wajah yang baru saja ia basuh.

Sesekali ia menimang ponsel lamanya yang ia taruh di dalam tas make up. Mulai tumbuh rasa penasaran untuk membukanya lagi.

"Apa sekarang waktunya?" gemingnya.

"Enggak! Jangan sekarang," ucapnya lagi dengan ragu.

"Eh Kak Pia,"

Sepia terkejut, hampir saja ia menjatuhkan ponsel itu ke tempat cuci tangan ketika seseorang yang baru masuk ruangan berisi cermin-cermin besar itu tiba-tiba menyapanya.

"Iya," dengan cepat ia kembali memasukan ponsel lamanya lagi.

"Barusan ada yang nyariin Kak Pia lho," ujar perempuan berambut sebahu itu.

"Oh ya? Siapa?" tanyanya.

"Kalo gak salah dengar sih namanya Regian," jelasnya sembari berusaha mengingat.

"Oh penulis itu. Dia di mana tadi?"

"Aku suruh nunggu di ruang tamu Kak,"

"Oke makasih ya,"

Sepia berusaha menarik napas sebanyak-banyaknya, kali ini ia harus benar-benar mengesampingkan perihal rasa khawatirnya. Ia kembali hendak kembali ke ruangan mengambil laptop untuk berdiskusi dengan penulis itu.

Namun...

"Brakkk!!!"

Tubuh Sepia jatuh ke lantai saat seseorang menabraknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status