Share

Biang Gosip

"Aku perhatikan, sekarang kamu ini menjadi lebih pendiam. Kamu seperti melamun. Apa ada masalah tentang hari pertamamu ini?" 

Rupanya Ara memperhatikan Sepia sangat detail. Seharian ini usai meeting, Sepia memang sudah mulai fokus pada pekerjaan yang dipegangnya duduk di depan laptop dan menggulir layar monitor. 

"Ah, tidak juga Ra. Biasalah, aku juga harus beradaptasi lagi. Banyak yang berbeda sekarang ini, sistem kerja yang baru lebih efesien namun kita harus benar-benar siap on time setiap waktu ya," 

Kedua perempuan itu keluar meninggalkan ruangan. Kantor sudah sangat sepi karena jam kerja juga sudah selesai setengah jam lalu.

"Ya, begitulah. Sekarang kita tidak perlu terburu-buru mengadakan meeting, menganggarkan dana besar untuk sewa tempat dan sebagainya. Bekerja dari rumah, lebih nyaman  dan bisa hemat transportasi 'kan. Apalagi sekarang segala kebutuhan serba mahal," sahut Ara.

"Soal Nilam, anggap aja dia gak ada. Setelah naik jabatan, sombongnya bukan main..." bisik Ara tepat di telinga kanan Sepia.

Sepia mengerutkan kening seraya menahan tawa, ternyata Ara memang tidak banyak berubah. Masih menjadi pelopor gosip paling informatif bagi dirinya yang kurang update dan malas mengurusi masalah orang lain. Selagi Nilam tidak mengganggunya, Sepia akan tetap bersikap masa bodoh dengan sikapnya yang melangit itu.

"Sudah biarin aja Ra. Selagi hal itu gak merugikan kita biarin aja. Ngomongin orang sama aja nyari penyakit 'kan?" 

"Dih, kata siapa dia gak ngerugiin orang," protesnya tidak terima dengan ucapan Sepia.

"Kadang bikin keputusan seenaknya, datang semaunya, ngajuin dana aja lama turunnya. Apa itu gak ngerugiin orang lain? Aku sih merasa dirugikan ya," keluh Ara dengan raut muka kesal yang tidak bisa ia sembunyikan.

"Denger-denger nih ya, dia itu udah tunangan sama CEO yang tajir melintir," ucap lagi Ara dengan suara meliuk-liuk.

"Oh begitu. Syukurlah," sahut Sepia santai.

"Tapi nih ya menurutku dia masih belum move on dari Ray. Kamu harus hati-hati Pi, jaga suamimu baik-baik,"

Kali ini ucapan Ara membuat amarah Sepia sedikit terpantik. Sungguh ia tidak ingin menjelajah lembaran masa lalu. Apalagi di tengah kenyataan bahwa sebenarnya hubungannya dengan Ray saja sedang berada di ujung tanduk.

"Kamu yang hati-hati kalo bicara Ra, Ra. Sudahlah jangan bahas perihal itu. Moodku jadi berantakan," raut wajah Sepia tidak bisa berbohong.

"I- iya maaf. Coba kalo dulu kamu gak keluar, kamu lebih pantas buat jabatan itu," ucapnya lagi.

Sepia menaikan sebelah alisnya, tidak begitu sependapat dengan Ara, "Kalo sekarang dia ada di posisi itu artinya dia pantas Ra."

Ara mendengus kesal.

"Udah, jangan marah-marah nanti cepet tua. Keriput di jidat udah mulai keliatan tuh,"  

Refleks perempuan yang tingginya kurang dari Sepia itu meraba keningnya, "Jangan ngomong gitu sih, udah tua banget dong."

"Btw gimana kabar suami tampanmu?"

"Em, dia baik-baik aja. Ma- masih sibuk sama kerjaannya," ucapan Sepia tiba-tiba terbata.

Ara mengerucutkan mulutnya dan mengangguk. Ia tidak merasa curiga sama sekali tentang raut gugup Sepia ketika menjawab pertanyaan perihal suaminya.

Mereka berdua terus berbicara sampai tidak sadar bahwa mereka sudah sampai gerbang.

"Aku pulang duluan ya, udah dijemput sama suamiku tercinta," Ara mengedipkan sebelah matanya lalu menunjuk mobil hitam yang terparkir disana.

Sepia bergidik geli, Ara masih berlagak centil seperti ABG saja. 

"Oke, hati-hati," sahutnya sembari melambaikan tangan.

Mobil yang menjemput Ara pergi, meninggalkan Sepia seorang diri.

Ia menghela nafas berat, dunia ternyata senang sekali membuatnya merasa tersiksa. Harus berpura-pura tegar, harus berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja. Sejak pagi ia dibuat iri oleh sikap keromantisan supir ojol terhadap istrinya dan sekarang oleh Ara.

Sepia menengadahkan kepala, langit sudah hampir gelap dan air matanya kembali menggenang.

...

Hari terus berganti, Sepia masih berusaha menyesuaikan diri bukan dengan pekerjaannya tapi dengan pertanyaan tentang Ray yang saban hari entah kenapa ada saja yang menanyakan.

"Shabiru meletakan ponselku dimana ya?"

Malam masih belum terlalu larut. Sepia sibuk mondar-mandir mencari ponselnya yang tadi sore Shabiru gunakan untuk bermain game. Sekarang anak itu sudah tertidur lelap tanpa sempat mengembalikannya pada ibunya.

Panjang umur ponsel itu, deringnya tiba-tiba berbunyi cukup nyaring. Ada sebuah panggilan masuk, ia segera mengambilnya tertutup boneka mobil Shabiru. Layar ponsel menunjukan nama Ibu, setidaknya nomor yang ia aktifkan itu memang ia gunakan khusus untuk berkomunikasi dengan kedua orang tuanya.

"Ibu?" deru napasnya merancu.

"Apa jangan-jangan Ray datang ke rumah Ibu?" 

Udara dingin menyelusup di tubuhnya, "Atau jangan-jangan ini Ray?" rasa takut kembali menguasainya.

"Angkat atau jangan ya?" ia menggigit jemarinya cemas.

Awalnya ia memutuskan untuk tidak mengangkat telepon itu, namun beberapa saat kemudian ibunya kembali menelepon lagi. Selintas ketakutan lain tiba-tiba menghampirinya. "Jangan-jangan ini tentang kesehatan ayah..."

Tanpa pikir panjang lagi, ia mengangkat panggilan ke dua itu. Mengingat ayahnya memang memiliki riwayat penyakit berat.

Ia menarik napas panjang, mengumpulkan segenap ketegaran.

"Ha- hallo Bu..." 

"Hallo Pi, ibu pikir kamu sudah tidur," sahut suara di balik telepon itu.

"Belum Bu. Ibu telepon jam segini tumben, semuanya baik-baik aja 'kan?"

Sepia menyeret kursi dan duduk di hadapan jendela.

"Justru itu, ibu yang mau nanya. Semuanya baik-baik aja 'kan?"

Pertanyaan balik ibu Sepia membuat degup jantungnya benar-benar kacau. "Apakah Ray sudah menceritakan semuanya pada ibu?" batinnya penuh cemas.

Sepia terdiam beberapa saat, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya terdengar deru pendingin ruangan yang menghembuskan dingin.

"Hallo? Semuanya baik-baik aja 'kan? Soalnya perasaan ibu tiba-tiba ngerasa gak enak beberapa hari terakhir ini," kalimat yang Sepia dengar menunjukan bahwa sepertinya ibunya memang belum mengetahui masalah rumah tangganya.

"Oh, em Pia baik-baik aja Bu. Shabiru juga baik," 

"Syukurlah. Kalo suamimu gimana? Udah pulang 'kan dia sekarang?" 

"Ray, dia masih sibuk ngurusin resto Bu. Tadi aja dia kecapean, sekarang udah tidur duluan sama Biru," jawabnya asal.

Ia tidak ingin membuat ibunya khawatir. Terpaksa ia menutupi masalahnya dengan kebohongan seolah semuanya tetap baik-baik saja.

"Ayah sama ibu gimana? Sehat 'kan?" tanyanya.

"Tenang saja, kami sehat. Oh iya sudah malam, kamu pasti juga cape. Baiknya cepat tidur ya," 

"Iya Bu..."

Nada sambungan terputus terdengar. Sepia kembali meletakkan ponselnya ke atas nakas. Ia kembali duduk memandangi jendela, melihat pemandangan jalan gang yang samar disinari lampu jalanan sampai transisi gedung-gedung tinggi yang megah.

Matanya kembali terasa panas, perih demi perih menghujamnya bersamaan.

"Harusnya bukan hal yang sulit untuk Ray menemukanku."

Sepia tahu betul, Ray punya banyak teman di Jakarta. Jika Ray benar-benar menginginkan Sepia kembali, seharusnya Ray cukup cerdas untuk mengetahui keberadaan istrinya.

"Mungkin Ray memang telah menunggu hal ini sejak lama. Mungkin Ray menungguku untuk memutuskan hubungan ini," ia kembali menarik kesimpulan sendiri.

"Aku bukan bagian penting dalam hidup Ray. Harusnya aku menyadari hal itu dari dulu, Shabiru maafkan ibun ya," Sepia kembali menoleh kebelakang. Putranya itu sudah tertidur lelap, entah ia mendapat mimpi indah atau tidak.

Ia kembali terisak dan menangis tanpa suara.

"Mungkin seharusnya aku...-

"Mungkin seharusnya aku..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status