“Aku langsung pulang, ya,” kata Panji. “Shabiru sudah tidur. Kelihatannya dia sangat merindukan tidur di kamarnya, nyenyak sekali.”Sepia yang sedang memeriksa pesanan pelanggan di laptopnya menoleh. Di luar hujan turun sangat deras, dia tahu Panji sedang dalam keadaan sangat lelah karena menemani anaknya.“Kita sarapan dulu. Aku sedang meminta pegawaiku untuk membelikan makanan. Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan perut kosong. Kamu sudah benar-benar membantuku, jadi aku merasa tidak enak denganmu.”“Kamu merasa begitu padahal aku tidak melakukan apa-apa. Kamu makan saja bersama pegawaimu, kalau denganku lain waktu saja ya.” Panji menolak secara halus.Sepia menghela napas kesal. Dia tahu Panji sama keras kepalanya dengan dirinya, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Mungkin Panji tidak menyadari bahwa walau hanya kehadirannya itu sudah sangat berarti besar, bukan untuk dirinya melainkan untuk Shabiru. Atau mungkin Sepia sendiri yang tidak bisa
Seminggu berlalu, hari-hari Sepia kembali berjalan baik. Shabiru sudah pulih dari sakitnya dan Sepia kembali disibukkan dengan urusan tokonya. "Mel, sekarang aku mau pergi belanja. Nanti kalau ada tamu penting minta hubungi lewat telepon aja ya. Soalnya aku bakalan agak lama nih. Stok toko yang harus dibelanjain udah dicatet semua, kan?"Sepia menutup laptopnya dan mengambil tas."Sudah, Kak. Sudah aku kirim lewat WA. Kain organza yang paling cepat habis Kak," jelas Melly."Oke kalo gitu, aku akan belanja kain organzanya lebih banyak."Sepia keluar dari toko dengan tergesa, dia sampai tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan dada bidang."Maaf, aku tidak sengaja," ucap Sepia.Raut wajah perempuan itu langsung berubah tidak suka ketika melihat orang yang ditabraknya.Sungguh ia ingin segera pergi sejauh mungkin, enyah dari laki-laki itu. Namun, sebelum Sepia sempat mengambil satu langkah kecil pun laki-laki berbadan kekar itu langsung mencengkeram tangan
Jarak wajah Sepia dan San mungkin hanya satu jengkal. Sepia bisa merasakan embusan napas laki-laki itu semakin dekat. Dada Sepia benar-benar bergemuruh, ada ketakutan yang dia rasakan. Ketakutan itu berkali-kali lipat lebih besar dari ketakutan yang dulu ketika San hampir melakukan hal yang sama padanya. Bedanya, dulu San memintanya dengan lemah lembut, tidak seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki itu benar-benar kasar, memaksa, dan tidak memiliki etika."Kamu ... bohong soal mencintaiku. Semua yang kamu katakan hanya omong kosong yang tidak bisa dilihat apalagi dibuktikan. Aku membencimu San, sangat membencimu! Aku tidak sudi bertemu denganmu lagi!" Napas Sepia terengah-engah, ia terjebak dalam situasi yang benar-benar mendesak. Ia berusaha berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri. "Aku peringatkan sekali lagi, menjauhlah dariku!"San sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang telah melihat dunia lebih luas. Dia benar-benar bisa melakukan apa pun dan Sepia tidak ingin dip
Beberapa saat keheningan kembali meliputi Sepia dan Panji.Panji terlihat menarik embuskan napas beberapa kali, seolah ada keraguan yang menahan perkataan yang akan ia ucapkan pada perempuan itu. "Aku ... mm ...." Panji bergeming.Sepia menoleh saat Panji mulai berbicara, tetapi lagi-lagi Panji kehilangan kata-kata setiap menatap Sepia."Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sepia.Panji langsung menggeleng seraya tersenyum. "Tidak.""Nanti malam kamu ada acara nggak?" tanya Panji."Sepertinya tidak, kenapa memangnya?""Aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Tapi kalau kamu sibuk atau mau istirahat, aku tidak ingin memaksa," jelas Panji setengah menahan gugup."Boleh. Udah lama juga aku nggak makan di luar," sahut Sepia tanpa pikir panjang.Kejadian yang baru ia alami cukup membekas, ia takut jika San datang lagi dan mengganggunya. Barangkali bila bersama Panji, ia bisa menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Sepia tahu, San bukanlah laki-laki yang mud
Sore hari, ketika udara sedang hangat-hangatnya, Sepia sedang berada di stasiun.Anak kecil yang ketika berdiri tingginya sama dengan Sepia ketima berlutut itu memeluk erat Sepia, melesak dalam pundaknya cukup lama dan enggan melepas pelukannya."Sayang," panggil Sepia dengan lembut.Setelah banyak hal terlewati, akhirnya Shabiru akan pergi mengunjungi Yogyakarta, mengunjungi kota kelahirannya. Kota yang sering banyak orang sanjung sebagai kota yang istimewa. Shabiru melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah ibunya lamat-lamat dengan tatapan sendu."Ibu tidak apa-apa aku tinggal dulu?" tanyanya.Sepia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya. "Tidak apa-apa. Kan katanya kamu mau mengunjungi adik kecil?""Ibun, kalau ada apa-apa minta tolong sama Kak Panji saja, ya. Dia pasti akan selalu membantu ibun. Aku sudah bilang padanya agar sering-sering mengunjungi ibun."Sepia mengangguk mengiyakan permintaan anak kecil itu. "Iya, iya siap kapten!"Shabiru menghela napas berat lalu memeluk
"Kenapa sih akhir-akhir ini Biru susah sekali makan? Apa mau makan di luar? Di mall?" tanyanya berusaha mengganti topik pembicaraan. Shabiru menempelkan kepalanya ke meja, bersandar dengan lesu. Ia tak lantas menjawab dan hanya diam saja beberapa saat. "Tidak. Biru tidak ingin makan di luar. Kenapa ayah tidak sarapan di rumah? Biru hanya ingin sarapan dengan ayah." ucapnya dengan suara pelan seraya menggeleng. Sepia menelan ludah, niat hati ingin mengalihkan perhatian Shabiru, justru ia malah membuatnya kembali murung. Sepia juga baru sadar perubahan pola makan Shabiru memang bersamaan dengan kesibukan ayahnya yang akhir-akhir ini jarang sekali ada di rumah. "Apakah ayah benar-benar sangat sibuk Ibun?" Sepia mengangguk pelan, kenyataannya perempuan itu juga sangat membenci kesibukan suaminya. Kesibukan yang berhasil memupuk kerinduan begitu besar, sekaligus menciptakan kekhawatiran yang mungkin semakin hari juga semakin berlebihan."Sabar ya sayang, ibun juga sudah mengatur jadwa
"Ini gak mungkin Ale! Kalian gak lagi kerja sama buat ngerjain aku 'kan?! Sumpah ini gak lucu..." perlahan wajah Sepia berangsur memucat.Alea menelponnya setengah jam lalu dengan suara tenang dan penuh kerinduan. Namun sekarang, bagaimana bisa sahabat dekat Sepia itu justru mengutarakan sesuatu yang membuat Sepia bahkan nyaris kehilangan kesadaran. Mereka tidak duduk lama di kafe itu, ia juga tidak meneruskan perjalanannya ke restoran Ray. Ia memilih memutar balik, kembali ke rumah. Ia hanya ingin menunggu suaminya pulang.Sepia masih berusaha menghubungi Ray, namun hasilnya tetap percuma. Bahkan pesan singkatnya kini sepertinya tak dilirik sedikit pun.Suara Alea terus berdengung sepanjang perjalanannya. Membutnya terus menerus dirundung ketakutan. Ketakutan bahwa hal yang Alea beritahukan adalah hal yang benar."Maaf Pia, aku tahu kamu pasti kaget banget. Makannya aku minta kamu dateng langsung, aku mau jelasin apa yang aku lihat dan apa yang aku dengar secara langsung ke kamu. Se
Sekitar pukul dua pagi, Sepia keluar dari kamar. Rupanya menangis semalaman membuatnya dehidrasi. Ia lantas pergi ke dapur. Suara air yang mengalir dari dispenser terdengar cukup nyaring. Ia kembali meletakan gelas setelah meneguk dua gelas air mineral."Boleh kita bicara sekarang?" Suara Ray menadadak memecah keheningan.Kursi berderit saat Ray menarik kursi dan duduk di hadapan Sepia, jarak mereka hanya terpaut oleh meja makan yang tidak begitu lebar."Aku tidak pernah tidak memilirkan kamu dan Shabiru." ucapnya lagi.Ray memiliki mata yang bulat tegas dengan iris hitam bak gerhana, beberapa detik pandangan mereka saling bertaut."Kamu yang harusnya bicara Ray. Aku akan mendengarkan dan sebisa mungkin berusaha mengerti..." Sepia menjeda kalimatnya beberapa saat. "Itu pun jika memang pantas ada yang masih bisa dimengerti," lanjutnya lagi.Ray menggenggam tangannya sendiri, terlihat betapa ia berusaha untuk berbicara jujur. Beberapa lama, hanya detak jam yang terdengar memecah kesuny