Share

Keputusan

"Aw!"

Lorong yang menghubungkan ruangan admin, tamu dan ruangan staf memang selalu dingin dan sepi. Suara pekikkan pelan pun terdengar bergema.

Tas make up yang belum tertutup rapat yang dibawa Sepia juga ikut terjatuh ke lantai menumpahkan segala isi di dalamnya.

"Ah sial!" Sepia kembali mengumpat dalam hati. Entah sudah berapa kali ia mengatai dirinya sendiri hari ini. Lekas ia segera berdiri.

"Maaf,"

Suara bariton yang ia dengar cukup mengusik pendengarannya. Ya, untuk kali ini Sepia mengakui ia juga ceroboh karena tergesa dan tidak memperhatikan jalannya.

Ia juga tak menyahut apa-apa, bibirnya hanya melukiskan garis datar. Ia kembali memunguti kosmetiknya yang berceceran, tanpa mempedulikan sekitar.

Semakin hari, Sepia rupanya harus menghadapi banyak kesialan yang tak pernah terduga.

"Yah, Mba maaf... Lipstiknya pecah," ucap lagi lelaki itu, ia mengambil tabung kaca kecil yang pecah dan menumpahkan cairan kental berwarna merah pekat itu. 

Sepia masih acuh seperti orang tuli, bahkan tidak menyempatkan barang sedetik pun untuk menoleh ke arah orang itu.

"Nanti saya ganti kok Mba, tenang aja." suaranya kian terdengar memohon-mohon.

"Itu bukan lipstik, itu lipcream." Sepia justru meralatnya, membuat orang itu bergaruk kepala.

"Sama-sama buat bibir perasaan," sanggahannya tetap merasa benar, lelaki itu berusaha melihat Sepia namun wajahnya tertutupi oleh poni rambutnya yang menjulur sampai telinga.

Tidak ada yang aneh, mereka berdua hanyalah dua orang asing yang tak sengaja berpapasan. sampai saat netra keduanya saling menatap satu sama lain. Semuanya berubah detik itu juga, mereka menyadari betul bahwa mereka berdua bukan hanya sekedar dua orang asing. Ritme udara seolah berhembus pelan, membuat suasana berubah menjadi tegang nan canggung.

"Ka- kamu?" lelaki itu begitu terkejut.

Perlahan segaris senyum kaku nampak terbit ragu-ragu. Lantas Sepia langsung memalingkan pandangannya.

"Sepia? Ini betul kamu 'Kan?" tanyanya lagi memastikan.

Sepia pun tentu tak kalah terkejutnya, namun bedanya ia tidak menampakkan senyum sedikit pun. Udara seolah berhenti berhembus di lorong itu, membuatnya ingin cepat-cepat pergi sejauh mungkin.

Segera ia meraih ponselnya yang tergeletak dan berlalu pergi begitu saja. Dengan degup jantung merancu tak keruan dan napas yang tersengal-sengal. Ia bukan hanya pergi meninggalkan ruangan itu, detik itu ia juga melangkahkan kaki meninggalkan kantor.

"Sepia!" panggil lagi lelaki itu, namun Sepia tetap acuh tak mempedulikannya.

Ia tetap melangkah pergi secepat mungkin. Pertama ia mengambil barang-barangnya kemudian langsung menuruni anak tangga, melewati lorong panjang lantai satu menuju lobi.

"Kalo ada yang mencariku, bilang saja untuk menghubungiku lewat email. Aku harus pergi sekarang," ucap Sepia ketika berpapasan dengan Ara di lobi.

"Mau kemana?" Ara berdiri kebingungan melihat Sepia pergi terburu.

Sepia tidak pernah menginginkan hal ini terjadi, ia tidak pernah menginginkan pertemuan itu kembali. "Kenapa aku harus bertemu Panji dalam keadaan pelik ini!" sesalnya dalam hati.

Tiba-tiba sebuah mobil hitam yang baru keluar gerbang menepi menghampirinya, kaca belakang perlahan terbuka memperlihatkan seseorang yang tak lain ialah Nilam. Matanya yang tegas memperhatikan Sepia beberapa detik.

"Bagaimana dengan kejutannya? Apakah kamu senang?" ujarnya, tersenyum puas. Kemudian mobil itu kembali melaju meninggalkan Sepia yang terdiam seorang diri.

Dada Sepia kembali terasa sakit, seolah ada jarum-jarum kecil bersemayam dalam setiap detak jantungnya.

...

"Kamu sakit Nak?" 

Oma Ina membawakan secangkir teh hangat ke hadapannya.

Sepia masih duduk gelisah di ruangan tengah. Ia terus memijat ujung pelipisnya sejak datang lima belas menit lalu. Wajahnya pucat, dengan tatapan yang kerap tak memiliki tujuan.

"Nak..." Oma Ina menepuk pelan bahu Sepia setelah pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban. "Kamu sakit?" tanyanya lagi.

Sepia terperanjat kaget lalu menggeleng pelan, "Tidak Oma. Kayaknya Pia cuma kecapean,"

"Tadi pagi kamu tidak sempat sarapan, harusnya pola makan seperti itu jangan dibiasakan. Pantas saja Shabiru juga sulit sekali untuk sarapan. Utamakan sarapan," nasihat lagi Oma Ina.

Perempuan renta itu kembali ke dapur dan datang lagi bersama sepiring kue santan yang masih mengepul. Uap-uap panas berterbangan di ruangan itu.

"Shabiru kemana Oma?" tanyanya memperhatikan sekitar yang tampak hening. Harusnya anak lelaki itu berlari menyambut kedatangannya seperti hari-hari sebelumnya.

"Tadi Alea kesini sama Vanila, dia bilang mau pergi ke..." gemingnya, Oma Ina berusaha mengingat-ingat. "Ah lupa. Maklum sudah tua begini, sudah pikun," kekehnya.

Sepia mengulas senyum tipis setidaknya Shabiru aman jika pergi bersama sahabatnya itu.

"Nak, boleh Oma minta tolong?"

"Tentu boleh Oma, tolong apa?" 

"Temani Oma berkunjung ke rumah sahabat Oma besok pagi, sudah lama Oma belum sempat berkunjung ke sana, Oma sangat merindukannya," ucapnya seraya menatap daun pintu dengan tatapan kosong.

Sepia mendahului kalimatnya dengan senyuman, "Oma kenapa gak bilang dari kemarin? Kan Pia tentu bisa nyempetin buat nemenin Oma,"

Kegelapan malam kembali mempertontonkan gemerlap cahaya dari gedung-gedung angkuh. Rentetan kejadian yang menimpa Sepia benar-benar membuatnya tertekan, menghimpit hatinya sampai remuk redam.

Sepia kembali menyesap secangkir kopi pahitnya. Namun kegetiran nasib yang menimpanya masih belum ada apa-apanya ketimbang kopi itu.

Ia kembali meletakan ponsel lamanya dengan gusar ke atas meja, sehingga menimbulkan suara cukup keras di tengah keheningan malam.

"Apa ini sebenarnya?!" ia memijat keningnya yang terasa begitu pening.

"Bagaimana dengan kejutannya? Apakah kamu senang?"

Kata-kata yang diucapkan Nilam masih terus berdengung memenuhi setiap sudut kamar yang tak terlalu luas itu. 

"Nilam punya kekuasaan yang besar di sana. Pasti ia tahu sesuatu tentang Panji, atau mungkinkah Nilam yang membuat Panji datang ke sana?" 

"Untuk apa Panji datang ke sana?" Sepia terus berdialog dengan dirinya sendiri.

"Aw!" pekiknya, lagi-lagi kepalanya semakin terasa nyeri. Hal itu sering sekali terjadi akhir-akhir ini.

Sepia kembali meneguk kopinya, meminumnya sampai tandas tak bersisa.

Ia masih tidak habis pikir dunia bisa menjadi sesempit daun kelor ketika hal-hal terduga yang telah hilang sekian purnama kembali menampakkan dirinya.

Sekali lagi ia meraih ponsel lamanya, menimangnya beberapa saat sampai suara hembusan napasnya yang gelisah terdengar begitu berderu.

Kalau ada satu alasan ia harus kembali, maka itu karena Shabiru. Kalau ada yang harus diberi kesempatan maka itu karena ia menyadari bahwa hatinya tidak cukup lapang untuk berkali-kali memaafkan.

"Biru ingin ketemu ayah ibun. Kenapa ayah lama sekali menemui kita? Ayah baik-baik saja 'kan ibun? Ayah tidak sakit 'kan?"

Rentetan pertanyaan Shabiru tadi sore benar-benar berhasil membuat lidahnya kelu. Baru kali ini ia kehabisan kata-kata untuk menenangkan putranya. Sekarang, kata-kata itu juga turut bersuara menjadi kebisingan dalam lamunannya.

Ia kembali menarik napas panjang, membenamkan bulir bening air mata yang tak kunjung surut. Cincin yang Ray sematkan enam tahun lalu masih melingkar di jemarinya. Perlahan ia kembali meraih ponselnya. 

"Ray, apakah kamu masih mencintaiku?" ucapnya dengan gelisah.

Ia memutuskan untuk menyalakan benda pipih itu. Ia menggulir layar ponselnya, bunyi notifikasi terus berdenting tanpa henti. Ratusan panggilan dari Ray dan nomor-nomor tak dikenal memenuhi histori panggilan. Aplikasi pesan pun sama, penuh oleh ratusan chat. Berarti selama itu Ray juga berusaha mencari Sepia.

Tak berselang lama, sebuah panggilan masuk. Panggilan yang mungkin Sepia harap tidak harap. Namun segala hal yang Sepia jumpai di Jakarta membuatnya kian lemah.

"Halo? Kamu dimana? Kamu baik-baik aja 'kan? Please pulang ya, aku jemput sekarang," rentetan pertanyaan cemas langsung menyergapnya setelah ia mengangkat panggilan itu.

"A - Aku..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status