Share

Pergi Diam-diam

Sekitar pukul dua pagi, Sepia keluar dari kamar. Rupanya menangis semalaman membuatnya dehidrasi. Ia lantas pergi ke dapur. Suara air yang mengalir dari dispenser terdengar cukup nyaring. Ia kembali meletakan gelas setelah meneguk dua gelas air mineral.

"Boleh kita bicara sekarang?" Suara Ray menadadak memecah keheningan.

Kursi berderit saat Ray menarik kursi dan duduk di hadapan Sepia, jarak mereka hanya terpaut oleh meja makan yang tidak begitu lebar.

"Aku tidak pernah tidak memilirkan kamu dan Shabiru." ucapnya lagi.

Ray memiliki mata yang bulat tegas dengan iris hitam bak gerhana, beberapa detik pandangan mereka saling bertaut.

"Kamu yang harusnya bicara Ray. Aku akan mendengarkan dan sebisa mungkin berusaha mengerti..." Sepia menjeda kalimatnya beberapa saat. 

"Itu pun jika memang pantas ada yang masih bisa dimengerti," lanjutnya lagi.

Ray menggenggam tangannya sendiri, terlihat betapa ia berusaha untuk berbicara jujur. Beberapa lama, hanya detak jam yang terdengar memecah kesunyian.

"Kamu terlihat sangat cemas dan gugup Ray. Kenapa? Apakah kamu tidak pernah merasa ragu saat melakukan kesalahan itu?" ucap lagi Sepia semakin mendesak.

"Bukan begitu, kamu terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Lain kali coba kesampingkan perihal perasaanmu yang berlebihan itu," Ray memejamkan matanya.

"Terlalu cepat? Apanya yang terlalu cepat Ray? Aku harus mengesampingkan perasaan ini kemana? Ini bukan hanya perihal perasaan Ray, ini perihal kita, keyakinan kita, janji kita dan komitmen kita. Aku berhak marah, karena kamu juga salah Ray!" Sepia tertawa getir.

"Tapi itu semua gak kayak yang kamu pikirkan," Ray kembali membela dirinya.

"Yang mana? Yang mana yang gak sesuai sama pikiran aku? Jadi aku salah sangka dengan hal yang udah keliatan jelas kayak gitu?" Napas Sepia kembali tersengal.

"Aku bisa jelasin semuanya," 

"Iya, kamu memang harus jelasin semuanya. Jelasin juga kenapa kamu mau repot bolak-balik ke apartemen perempuan itu. Sementara Shabiru yang sangat membutuhkanmu, kamu abaikan gitu aja,"

"Aku terpaksa!" Nada suara Ray semakin meninggi.

"Tapi kamu sama sekali gak terlihat terpaksa," Sepia menyunggingkan senyum kecut, menyilangkan tangan di dada.

"A-ayah, Ibun..." 

Tiba-tiba Shabiru datang melerai perdebatan mereka yang mulai meninggi.

Sepia langsung beranjak dari duduk lalu memeluk putranya itu, "Kenapa sayang? Ini masih malam kok sudah bangun?"

"Ibun Biru mimpi buruk. Biru takut," jelasnya dengan polos.

"Ibun temani tidur ya?"

"Malam ini boleh 'kan Ayah yang temani?" pinta Shabiru sembari melihat ke arah ayahnya.

"Tentu boleh," sahut Ray.

Shabiru langsung menarik lengan Ray dengan bahagia. Kini Sepia kembali duduk sendirian. Pandangannya terus mengikuti punggung Shabiru dan Ray sampai mereka tak terlihat lagi setelah menaiki anak tangga.

Waktu bergulir begitu cepat. Sorot hangat mentari kembali menerobos jendela. Namun suasana rumah tetap terasa begitu dingin tak terelakan.

Ray turun dengan tergesa sembari mengancingkan lengan kamejanya. Sementara Sepia sedang memanaskan air di dapur. 

"Panggil pemadam kebakaran, saya segera kesana!"

Sepia hanya mendengar sebait kalimat itu yang terlontar dari mulut Ray saat sedang menelepon karyawannya.

"Aku harus pergi, salah satu restoran kita tertimpa musibah kebakaran." 

Ray berusaha memberitahu Sepia. Namun perempuan itu bahkan tetap berdiri membelakangi Ray, terlihat acuh begitu saja.

Melihat Sepia yang tidak merespon apa-apa, Ray memutuskan untuk pergi.

Selang beberapa menit setelah mobil Ray meninggalkan gerbang, Sepia melepaskan celemek yang ia kenakan. Ia melangkah dengan tergesa menuju mobil lalu dengan cepat ia memutar stir kemudi menyusul mobil Ray.

Ternyata mobil Ray memang menuju ke arah salah satu cabang restoran, namun dipertigaan jalan terakhir justru mobilnya berbelok ke arah yang berbeda.

"Kamu terus melakukan kesalahan meski dalam situasi genting seperti ini," gumam Sepia yang tetap berusaha fokus dengan kemudinya.

Tiga puluh menit membuntuti Ray, mobilnya berhenti di sebuah apartemen.

Restoran memang benar sedang tertimpa musibah kebakaran, namun ternyata Ray lebih memilih memadamkan kepercayaan Sepia dengan menemui perempuan itu lagi secara diam-diam.

Tangis kembali berurai membasahi wajah Sepia, ia menangis tak bersuara menyaksikan tangan Ray menggenggam tangan perempuan lain.

Tergesa, Ia meraih ponselnya.

"Hallo Ale, kamu bisa membantuku?"

...

Bunyi guliran roda koper terus berderit mengiringi suara derap kaki ditengah heningnya malam menuju pagi. Lima belas menit lalu, Sepia dan Shabiru akhirnya sampai di Jakarta. 

Keputusan Sepia sudah bulat dan keputusan itu sekarang telah ia ambil sepenuhnya. 

Shabiru masih tertidur pulas dalam gendongan Sepia. Anak itu bahkan tidak tahu bahwa saat ini ia telah pergi berpuluh-puluh kilometer meninggalkan tempat kelahirannya. 

Apakah berpisah adalah satu-satunya jalan? Apakah perseteruan tidak bisa dilerai? 

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi ruang kepala Sepia. Namun kedua pertanyaan itu berhasil dibungkam oleh kenyataan bahwa Ray memang telah menghancurkan kepercayaannya. 

Kenyataannya tetap sama, Ray selingkuh. 

Semesta masih berbaik hati kepada Sepia, dua hari lalu kebetulan ia mendapatkan email dari penerbit tempatnya bekerja dulu. Rupanya hal itu mampu menjadi jalan tengah atas hal-hal pelik yang menimpanya. 

Kebenaran yang lain adalah tidak ada perempuan yang mau diduakan. 

"Maafkan Ibun ya Biru,"

Sepia membaringkan Shabiru ke tempat tidur, ia juga ikut merebahkan diri. Menatap langit-langit kamar dengan nyala lampu redup, merasakan nyeri persendian setelah menempuh perjalanan panjang dengan kereta dari Yogyakarta sampai Jakarta. 

Sesakit apa pun pengkhianatan, kehidupan Sepia harus tetap berjalan. Ia akan menjaga putranya, ia tak ingin putranya terpengaruh oleh kesalahan yang dilakukan ayahnya. Ia akan membuat Ray menyesal karena telah menghancurkan kepercayaannya. Ray harus tahu makna kehilangan. Mungkin saja lelaki itu hari ini tengah mengitari seisi kota untuk mencari mereka, atau mungkin ia justru semakin leluasa dengan perempuan itu? Yang jelas pergi merupakan jawaban yang paling tepat. 

Meski, tak dapat dipungkiri sampai saat ini pun ia masih bertanya-tanya apakah keputusan yang telah ia ambil dengan tergesa ini benar? Bila benar, mengapa rasanya batinnya masih amat tersiksa? 

Bila salah, mengapa rasa sakit dalam hatinya tak kunjung mereda? Bila salah, mengapa kata maaf sulit sekali ia berikan? 

"Ibun kita dimana?"

Pertanyaan itu langsung menyapa Sepia ketika ia baru membuka mata. Sorot cahaya sudah menerobos melewati celah tirai jendela. 

"Kita di rumah teman Ibun," sahut Sepia dengan tenang seraya membereskan rambutnya yang berantakan. 

"Kita menginap? Apa ayah sudah berangkat ke restoran lagi sepagi ini?" 

Pertanyaan-pertanyaan polos Shabiru kembali melambung bertubi-tubi seperti embun yang bergelantungan membasahi dedaunan. 

"Ayah tidak ikut. Kita akan menginap di sini untuk beberapa minggu, entah ayah akan menyusul kita kapan."

"Mata ibun terlihat sangat kecil, apakah ibun menangis semalaman karena sedih ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya?" Shabiru memincingkan sebelah alisnya. 

Sepia mengembangkan senyum, "Benarkah? Mata ibun kecil?" alibinya bercanda. 

Shabiru mengangguk, "Kira-kira kapan ayah kesini ya?"

"Kalau masalah di restoran sudah beres, ayah akan ke sini menjemput kita." jemari Sepia mengusap ujung hidung Shabiru. 

"Sebesar apa masalah itu Ibun? Sehingga ayah tidak punya waktu untuk bersama kita?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status