"Ini gak mungkin Ale! Kalian gak lagi kerja sama buat ngerjain aku 'kan?! Sumpah ini gak lucu..." perlahan wajah Sepia berangsur memucat.
Alea menelponnya setengah jam lalu dengan suara tenang dan penuh kerinduan. Namun sekarang, bagaimana bisa sahabat dekat Sepia itu justru mengutarakan sesuatu yang membuat Sepia bahkan nyaris kehilangan kesadaran.
Mereka tidak duduk lama di kafe itu, ia juga tidak meneruskan perjalanannya ke restoran Ray. Ia memilih memutar balik, kembali ke rumah. Ia hanya ingin menunggu suaminya pulang.Sepia masih berusaha menghubungi Ray, namun hasilnya tetap percuma. Bahkan pesan singkatnya kini sepertinya tak dilirik sedikit pun.Suara Alea terus berdengung sepanjang perjalanannya. Membutnya terus menerus dirundung ketakutan. Ketakutan bahwa hal yang Alea beritahukan adalah hal yang benar."Maaf Pia, aku tahu kamu pasti kaget banget. Makannya aku minta kamu dateng langsung, aku mau jelasin apa yang aku lihat dan apa yang aku dengar secara langsung ke kamu. Selebihnya kamu bisa memastikan lagi kalo kamu gak yakin sama aku..." Alea menjeda kalimatnya, ia mengusap pelan bahu Sepia, "Sebenarnya aku di Jogja juga udah dua minggu Pi. Apartemennya itu ada di seberangku, aku juga udah mastiin dulu. Makannya aku gak langsung hubungin kamu. Aku takut, gimana kalo cuma salah lihat, tapi itu kenyataannya. Aku juga takut gimana kalo tiba-tiba ada keluarga kamu yang lihat mereka?"Sepia menundukan kepalanya, ia tak mampu lagi membendung air mata yang terus mendobrak pelupuk matanya. Berkali-kali ia menyeka ujung matanya dengan kasar. Namun matanya tetap terasa panas, amarah dan kekecewaan menjadi gelombang yang terus menghempas ketegarannya."Ray selingkuh? Ini cuma mimpi 'kan?" Sepia kembali terisak. Sorot matanya yang layu terus memperhatikan pemandangan di luar jendela mobil yang melaju.Selama ini prasangka buruk itu juga cukup mengusiknya. Perubahan sikap Ray dan kesibukannya memang tidak wajar.Apalagi setelah melihat foto dan video yang Alea berikan, sudah lebih dari cukup menjelaskan titik terang kebenarannya. Di video yang Alea ambil juga jelas menangkap plat mobil Ray. Mungkin selama ini Sepia saja yang terlalu bodoh, hingga mampu dibohongi suaminya sendiri. Seminggu yang lalu, Sepia juga menemukan struk belanjaan pakaian perempuan brand ternama. Namun hari itu ia pikir Ray berbelanja untuk adiknya. Ternyata prasangka baiknya itu justru keliru. Ray benar-benar tega mengkhianatinya. Siang hari yang terik perlahan berangsur mendung, awan-awan hitam saling menggulung merundung langit yang semula biru. Seolah satu cuaca dengan perasaan yang dialami Sepia. Benar-benar seperti terkena sambaran petir di siang bolong yang menyambar hatinya berkali-kali tanpa iba. Kedua manik mata Sepia benar-benar menggenang, bersorot layu tak terelakan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa kiranya kesalahan dan kekurangannya selama ini? Bibirnya kelu, setiap kata yang hendak terucap berubah membatu. Ingatannya kembali menyusuri sebuah rute jalan panjang masa lalu, alasan-alasan kenapa ia bisa menerima lelaki itu. "Ray gak mungkin selingkuh!" batinnya berusaha membangun keyakinannya lagi. Sekali lagi ia menghela napas berat, beban-beban ketakutan langsung menumpuk tinggi di pundaknya. "Loh itu mobilnya Tuan Ray 'kan Non?" Pak Man melambatkan laju mobil ketika melewati toko kue yang tadi mereka singgahi.Mungkin waktu memang selalu mengetahui rencana terbaik untuk setiap kisah manusia, lebih tepat dari apa yang direncanakan manusia itu sendiri. Dengan tangan yang gemetar, degup jantung yang merancu Sepia mendorong gagang pintu toko kue itu, langkah pertamanya diiringi suara lonceng yang berdenting. Seketika Sepia terdiam, terpatung sepersekian detik. Waktu seolah berhenti bergerak dan menembakkan ribuan peluru menembus jantungnya. Ia merasakan sakit yang teramat hebat. Benteng keyakinannya terhadap Ray runtuh saat itu juga.Hal pertama yang Sepia lihat di dalam sana adalah kemesraan Ray bersama perempuan berkulit putih dengan rambut bergelombang melewati bahu. Perempuan dengan dress violet itu memang terlihat manis, sayangnya ia menebarkan rasa pahit untuk orang lain. Sisanya yang ia lihat hanya ruangan kosong yang kehilangan makna. "Ini cuma mimpi 'kan?!" ia kembali bertanya dalam hati.Alih-alih langsung melabrak suaminya yang tengah bersama perempuan lain, Sepia justru berusaha mempertahankan senyum di bibirnya meski sepasang belati yang mengoyak perasaannya kini benar-benar ada di hadapannya. Hanya berjarak tiga langkah. Sampai ketika Ray menyadari kehadiran Sepia, lantas lengan yang semula melingkar di pinggang perempuan bertubuh ramping itu langsung turun dan pindah ke samping jahitan celananya. "Pia..." Ray berucap lirih, air mukanya terkejut bukan kepalang.Tak berselang lama, Sepia melenggang meninggalkan tempat itu. Ia meringkas pandangannya dengan tajam yang tetap berusaha membendung air mata kekecewaannya. Batinnya menangis terisak, tapi ia tak ingin menciptakan keributan di tempat umum. Ia sangat menghargai keluarga Ray, ia tidak tega jika saja amarahnya hanya akan menjadi sumber konten para penggiat media sosial, lalu akhirnya segalanya semakin keruh. Bahkan sepatah kata rasanya terlalu berat terlepas dari mulutnya. Padahal serapahan dan kekecewaan jelas menggunung memenuhi perasaannya. "Sepia!" Ray berlari menyusul istrinya yang sudah kepalang kehilangan batas sabar. "Pia! Sepia!" tangan kekar Ray berhasil meraih tangan istrinya itu. Dengan deru napas yang juga tersengal, lelaki bertubuh jangkung itu berusaha mencegat langkah istrinya.Hal itu lantas membuat Sepia terdiam beberapa saat, perasaannya semakin berkecamuk. Bahkan ia juga tak ingin melihat wajah Ray sedikit pun lagi. "Lepas..." ucap Sepia lirih. Lalu menepis lengan Ray. Kedua manik mata Sepia yang berkaca berusaha menatapnya, perlahan cengkraman tangan Ray juga melonggar lalu terlepas bak kehilangan keberanian. "Aku tidak ingin mempertontonkan hal-hal bodoh di sini!" Sepia melenggang kembali memasuki mobilnya.... "Biru!" Sepia berlari menaiki anak tangga mencari putranya. Tidak ada jawaban sama sekali dari kamar Shabiru. "Shabiru!" teriaknya lagi, ia terus berlari kesana-kemari membuka setiap pintu ruangan dengan cemas. Tetapi Biru entah dimana. "Ibun! Kenapa? Ada apa Ibun?"Shabiru berjalan tergesa dari arah balkon diikuti kucing kesayangannya. Sepia jatuh berlutut lalu memeluk putranya dengan erat. Ia membelai rambutnya, dengan tangis yang pecah tak terbendung lagi. "Ada apa Ibun? Kenapa Ibun menangis?" tanya Shabiru tidak mengerti, "Apa ada orang yang jahat sama Ibun?"Tangan mungil Shabiru mengusap pipi ibunya, "Jangan menangis Ibun. Biru jadi ikut sedih,""Kita akan pergi ya sayang," Sepia menundukan kepala, lalu mendongak lagi menatap manik cokelat yang begitu indah dihadapannya. Sepanjang perjalanan tadi, Sepia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan Yogyakarta. Baginya, tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, semuanya terlalu sulit untuk diperbaiki. Rasanya mustahil."Pergi? Kemana Ibun?"Sepia melonggarkan pelukannya kepada Shabiru ketika Ray datang menyusulnya dengan raut muka bersalah. Ya, sepantasnya memang lelaki itu harusnya merasa bersalah. "Ayah!" Shabiru berlari memeluk ayahnya yang hanya berdiri terpatung. "Ada yang jahat sama Ibun! Ibun menangis,""Biru, ke kamar dulu ya? Ayah mau berbicara dengan Ibun," ucapnya dengan lembut. Shabiru mengangguk ragu, lalu melenggang pergi memasuki kamarnya. Hening mencengkeram suasana rumah itu sesaat."Sayang, aku minta maaf,"Ray berlutut, menggenggam kedua tangan Sepia. Sepia tak menjawab sepatah kata pun, ia juga melemparkan pandangannya ke arah lain. Ray berdiri, lalu merengkuh tubuh kecil perempuan di hadapannya. Ia terisak pelan, menyadari kesalahannya. "Sesederhana ini permintaan maafmu?" batinnya. "Sepia, aku-""Aku gak pernah nyembunyiin apa pun dari kamu!" ucap Sepia dengan nada tegas nan gemetar.Perempuan itu pergi begitu saja, memasuki kamar. Lalu menguncinya dari dalam. Sepia bersandar dan jatuh di balik pintu, ia memeluk lututnya, menangis tak bersuara. "Sayang!"Panggilan Ray terus berulang beriringan dengan suara ketukan yang menghantam pintu. "Semuanya gak seperti yang kamu lihat!"Sepia semakin terisak. Ia menarik pigura foto yang bertengger di atas nakas. Potret dirinya dengan Ray beberapa tahun silam, kemudian membantingkannya dengan keras hingga pecah dan berserakan di lantai. "Aku ingin sendiri!" teriaknya, lalu memukul balik pintu itu dengan cukup keras. Sepia kembali bersandar dibalik pintu. Kalau ada yang harus Ray jelaskan itu apa? Sebatas pengakuan bersalah bahwa ia benar-benar berselingkuh? Ray tersentak, ia memijat pelipisnya. "Iya, aku tidak akan mengganggumu, tapi kau harus janji jangan menyakiti dirimu di dalam sana." akhirnya ia pergi menuju kamar Shabiru setelah tidak mendengar jawaban apa pun dari dalam.Sore hari, ketika udara sedang hangat-hangatnya, Sepia sedang berada di stasiun.Anak kecil yang ketika berdiri tingginya sama dengan Sepia ketima berlutut itu memeluk erat Sepia, melesak dalam pundaknya cukup lama dan enggan melepas pelukannya."Sayang," panggil Sepia dengan lembut.Setelah banyak hal terlewati, akhirnya Shabiru akan pergi mengunjungi Yogyakarta, mengunjungi kota kelahirannya. Kota yang sering banyak orang sanjung sebagai kota yang istimewa. Shabiru melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah ibunya lamat-lamat dengan tatapan sendu."Ibu tidak apa-apa aku tinggal dulu?" tanyanya.Sepia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya. "Tidak apa-apa. Kan katanya kamu mau mengunjungi adik kecil?""Ibun, kalau ada apa-apa minta tolong sama Kak Panji saja, ya. Dia pasti akan selalu membantu ibun. Aku sudah bilang padanya agar sering-sering mengunjungi ibun."Sepia mengangguk mengiyakan permintaan anak kecil itu. "Iya, iya siap kapten!"Shabiru menghela napas berat lalu memeluk
Beberapa saat keheningan kembali meliputi Sepia dan Panji.Panji terlihat menarik embuskan napas beberapa kali, seolah ada keraguan yang menahan perkataan yang akan ia ucapkan pada perempuan itu. "Aku ... mm ...." Panji bergeming.Sepia menoleh saat Panji mulai berbicara, tetapi lagi-lagi Panji kehilangan kata-kata setiap menatap Sepia."Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sepia.Panji langsung menggeleng seraya tersenyum. "Tidak.""Nanti malam kamu ada acara nggak?" tanya Panji."Sepertinya tidak, kenapa memangnya?""Aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Tapi kalau kamu sibuk atau mau istirahat, aku tidak ingin memaksa," jelas Panji setengah menahan gugup."Boleh. Udah lama juga aku nggak makan di luar," sahut Sepia tanpa pikir panjang.Kejadian yang baru ia alami cukup membekas, ia takut jika San datang lagi dan mengganggunya. Barangkali bila bersama Panji, ia bisa menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Sepia tahu, San bukanlah laki-laki yang mud
Jarak wajah Sepia dan San mungkin hanya satu jengkal. Sepia bisa merasakan embusan napas laki-laki itu semakin dekat. Dada Sepia benar-benar bergemuruh, ada ketakutan yang dia rasakan. Ketakutan itu berkali-kali lipat lebih besar dari ketakutan yang dulu ketika San hampir melakukan hal yang sama padanya. Bedanya, dulu San memintanya dengan lemah lembut, tidak seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki itu benar-benar kasar, memaksa, dan tidak memiliki etika."Kamu ... bohong soal mencintaiku. Semua yang kamu katakan hanya omong kosong yang tidak bisa dilihat apalagi dibuktikan. Aku membencimu San, sangat membencimu! Aku tidak sudi bertemu denganmu lagi!" Napas Sepia terengah-engah, ia terjebak dalam situasi yang benar-benar mendesak. Ia berusaha berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri. "Aku peringatkan sekali lagi, menjauhlah dariku!"San sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang telah melihat dunia lebih luas. Dia benar-benar bisa melakukan apa pun dan Sepia tidak ingin dip
Seminggu berlalu, hari-hari Sepia kembali berjalan baik. Shabiru sudah pulih dari sakitnya dan Sepia kembali disibukkan dengan urusan tokonya. "Mel, sekarang aku mau pergi belanja. Nanti kalau ada tamu penting minta hubungi lewat telepon aja ya. Soalnya aku bakalan agak lama nih. Stok toko yang harus dibelanjain udah dicatet semua, kan?"Sepia menutup laptopnya dan mengambil tas."Sudah, Kak. Sudah aku kirim lewat WA. Kain organza yang paling cepat habis Kak," jelas Melly."Oke kalo gitu, aku akan belanja kain organzanya lebih banyak."Sepia keluar dari toko dengan tergesa, dia sampai tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan dada bidang."Maaf, aku tidak sengaja," ucap Sepia.Raut wajah perempuan itu langsung berubah tidak suka ketika melihat orang yang ditabraknya.Sungguh ia ingin segera pergi sejauh mungkin, enyah dari laki-laki itu. Namun, sebelum Sepia sempat mengambil satu langkah kecil pun laki-laki berbadan kekar itu langsung mencengkeram tangan
“Aku langsung pulang, ya,” kata Panji. “Shabiru sudah tidur. Kelihatannya dia sangat merindukan tidur di kamarnya, nyenyak sekali.”Sepia yang sedang memeriksa pesanan pelanggan di laptopnya menoleh. Di luar hujan turun sangat deras, dia tahu Panji sedang dalam keadaan sangat lelah karena menemani anaknya.“Kita sarapan dulu. Aku sedang meminta pegawaiku untuk membelikan makanan. Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan perut kosong. Kamu sudah benar-benar membantuku, jadi aku merasa tidak enak denganmu.”“Kamu merasa begitu padahal aku tidak melakukan apa-apa. Kamu makan saja bersama pegawaimu, kalau denganku lain waktu saja ya.” Panji menolak secara halus.Sepia menghela napas kesal. Dia tahu Panji sama keras kepalanya dengan dirinya, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Mungkin Panji tidak menyadari bahwa walau hanya kehadirannya itu sudah sangat berarti besar, bukan untuk dirinya melainkan untuk Shabiru. Atau mungkin Sepia sendiri yang tidak bisa
Ray menghela napas panjang, tubuh Sepia sudah berjalan menjauh, tetapi perkataannya tetap tertinggal dalam benaknya. Ray kembali terhempaskan oleh kenyataan. Semua yang pernah ada di antara mereka sudah berakhir, bahkan hancur. Ray sudah tidak memiliki haka pa-apa, sekecil apapun pada perempuan itu. Bahkan ia merasa tidak berhak untuk sekadar menatap bayangan perempuan itu.Helaan napas Ray terdengar cukup keras, pada waktu yang bersamaan ponselnya berdering. Ia langsung merogoh sakunya sambil duduk pada kursi tunggu yang kosong.“Halo, iya saat ini aku masih di rumah sakit. Keadaan Shabiru sudah lumayan membaik, aku akan segera pulang,” sahut Ray, ia memutus panggilan, lalu berjalan meninggalkan lorong itu.Tangan Ray hampir menyentuh gagang dingin pintu ruang perawatan, tetapi suara gelak tawa Shabiru dan Panji yang terdengar berhasil membekukan waktu. Dari celah kaca, Ray bisa melihat kedekatan antara mereka. Sungguh, saat itu juga ia didera rasa cemburu yang begitu hebat.“Aku dan