Pagi hari Sepia duduk di kursi kayu, menghadap jendela yang membingkai pemandangan gedung-gedung pencakar langit.
Ia menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan. Raganya mungkin sedang ada disana menatap dinamika gedung-gedung dan segala kesibukannya, namun lamunan menyeret paksa ingatannya pergi jauh ke masa silam. Rasanya baru kemarin, tapi ternyata ia telah sampai sejauh ini. Sampai pada takdir dan nasib yang diluar rencananya. Rasanya baru kemarin ia menerima ajakan Ray untuk hidup bersama, namun hari ini lelaki itu tega berlaku tanpa logika. "Yang lalu-lalu jangan terlalu dipikirkan nak. Kurang baik," seorang perempuan renta menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Rambutnya sudah memutih separuh, Oma Ina panggilannya. Pemilik rumah sekaligus bibi dari Alea. Mendengar Sepia kebingungan mencari tempat tinggal di Jakarta, Alea akhirnya menawarkan kediaman bibinya. Selain karena ia tinggal sebatang kara, ia juga tidak memiliki anak sama sekali. Suaminya meninggal enam tahun lalu, tetapi Oma Ina tetap betah tinggal sendirian. "Ah, tidak juga Oma. Pia hanya memikirkan tentang pekerjaan besok," alibinya sembari tersenyum. "Matamu tidak bisa bohong, Oma mampu merasakannya."Lagi Sepia dibuat tersenyum dan menundukan pandangan. "Tidak usah khawatir tentang putramu. Kalau kamu kerja, dia bisa bersamaku. Putrinya Ale juga sering kesini, pasti mereka berdua senang.""Terima kasih banyak ya Oma. Maaf Pia malah merepotkan Oma,""Tidak sama sekali. Oma senang dengan kehadiran kalian. Oma jadi tidak kesepian lagi." Oma Ina membelai rambut Sepia, "Tapi, Oma berharap hatimu lekas membaik ya Nak. Jangan sampai seperti Alea, dia keras kepala dan tidak mau mendengarkan siapa pun. Akhirnya dia tetap keras kepala memilih bercerai," lanjutnya. Deg! Sepia kembali terdiam, ia menelan ludah kuat-kuat "Padahal aku dan Alea keras kepalanya sebelas duabelas," batinnya. "Maaf nak, apakah keluargamu tahu perihal masalahmu?"Pertanyaan Oma Ina hanya dijawab dengan gelengan pelan kepala Sepia. "Baguslah. Tapi jangan sampai mereka mendengar kabar itu dari orang lain. Kalau sudah waktunya dan kamu merasa masalah masih belum membaik, lebih baik kamu bicara dengan orang tua kamu ya nak. Oma tahu maksud kamu saat ini tak ingin merepotkan siapa pun,"Hari pertama di Jakarta, Sepia memutuskan untuk berbelanja kebutuhan harian dirinya dan Shabiru. Jika mereka tetap berdiam di rumah itu, hal itu hanya akan membuatnya kebingungan menghadapi pertanyaan polos Shabiru yang serba ingin tahu dengan rinci. Juga nasihat-nasihat tanpa henti yang akan memenuhi pendengarannya dari Oma Ina. Terlebih ini adalah kali pertama Shabiru keluar kota, ia sangat antusias walau sekadar diajak berkeliling di kota macet itu. Mereka pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup jauh dari rumah yang mereka tinggali. "Janji ya Ibun, es krim cokelat." pinta Shabiru menagih tawaran ibunya sewaktu di rumah tadi. Tangannya yang mungli menggandeng jemari ibunya, sepanjang lobi setelah selesai berbelanja. "Iya, nanti kita cari kedai es krimnya dulu ya. Kita pulang dulu sebentar untuk menyimpan semua belanjaan ini."Selepas meletakan semua belanjaan, mereka berdua kembali berangkat menuju kedai es krim terdekat. Langganan Sepia dua tahun lalu. Atmosfer tempat itu masih tampak sama, cat dan dekorasinya tak ada yang berubah banyak. Ruangan dengan desain minimalis yang ceria, hanya saja bangku-bangku di sana penuh semua. Cuaca yang panas, ditambah akhir pekan membuat tempat itu sangat padat pengunjung. "Kita duduk di mana Ibun?" Shabiru nampak kebingungan sekaligus letih oleh perjalanan tadi. "Kita tunggu sebentar ya sayang, sambil menunggu tante Alea."Sepia mengeluarkan teleponnya dan berusaha menghubungi sahabatnya itu. Hasilnya nihil, tetap tidak ada jawaban setelah berulang kali memanggil. "Kak, mau duduk? Di sini saja, kami sudah selesai." tawar seorang lelaki bersama dua orang temannya. "Yee!" Shabiru bersorak gembira, "Terima kasih uncle baik," sahut Shabiru kepalang senang, mendahului jawaban ibunya. "Kembali kasih!" balas lelaki itu, tak lupa ia kembali membalas senyum hangat Shabiru. Aneh, selintas ingatan tiba-tiba muncul dalam benak Sepia. Orang-orang tadi seperti pernah ia temui sebelumnya. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya, itu bukan hal penting bagi kondisi seperti ini. Sepia tersenyum dan mengangguk. Tak berselang lama setelah mereka duduk, Alea pun datang. Namun ia tak sendiri, ia datang bersama putri kecilnya yang bernama Vanilla. "Maaf ya lama. Tadi kejebak macet, gak sempet ngangkat telpon kamu lagi," ungkap Alea, ia meletakan tas di meja. "Gak apa Ale. Tadi itu penuh, makannya aku telpon kamu barangkali mau pindah tepat. Syukurlah tadi ada orang baik yang langsung nawarin bangku ini,""Iya tante. Unclenya baik, tampan lagi seperti ayah," timpal Shabiru. Sepia hanya tersenyum lagi, hatinya merasakan getir karena figur Ray bagi Shabiru adalah seorang Ayah yang sempurna. Mereka berempat berbincang hangat, menikmati segarnya dingin es krim di panas terik. Sewaktu masih lajang, Sepia dan Alea hampir setiap akhir pekan akan mengunjungi kedai itu untuk sekadar duduk-duduk manis dan curhat perihal karir dan kisah asmara mereka yang tak pernah terbilang mulus. Selalu berliku dan tidak jelas. Mereka bahkan tidak menyangka akan mengalami nasib serupa, Sama-sama menjadi korban perselingkuhan. Setahun lalu, Alea resmi bercerai dan sekarang menjadi orang tua tunggal bagi putri kecilnya. Tapi, apakah hal serupa harus terjadi dalam kehidupan Sepia? Apakah ia harus mengambil keputusan itu? "Ale, kumohon jangan beritahukan hal yang menimpaku atau pun tentang keberadaanku saat ini kepada siapa pun ya, terlebih keluargaku." Sepia menundukan kepala dan mengaduk secangkir kopi dengan perlahan. "Iya, aku janji. Tapi sampai kapan kamu akan sembunyi dari Ray, Pi?""Sampai waktunya kami bertemu lagi tiba. Aku percaya dengan takdir Tuhan, hanya saja mungkin bukan sekarang. Tidak untuk waktu secepat ini. Aku masih butuh waktu, aku ingin mencari tahu apa kurangnya aku."Sepia mengalihkan pandangannya kepada Shabiru. Sebagian hatinya terasa dingin, karena telah membohonginya. Kalau cinta tak bisa lagi kembali, masa depan Shabiru tak boleh terguncang oleh hal itu. Kira-kira begitulah kekalutan dalam benak Sepia. Alea mengangguk pelan. Sementara Shabiru dan Vanilla yang duduk bersebelahan juga tengah sibuk dengan dialog mereka yang tampak asyik. Dialog yang sulit untuk dimengerti oleh orang dewasa. "Vanilla, aku punya kucing loh. Namanya Ogray, bulunya berwarna abu, tebal dan sangat lucu. Kumis dan ekornya sangat panjang," Shabiru membentangkan tangannya seolah ekor kucingnya sepanjang itu. "Hah? Betulkah sepanjang itu?" tanya Vanilla semakin antusias mendengarkan penjelasan Shabiru. Shabiru mengangguk lalu tertawa sendiri, "Tidak mungkinlah Vanilla. Kamu percaya dengan kebohonganku? Ekor Ogray pendek, mungkin segini," ia menarik garis lurus di atas meja dengan jemarinya. "Berbohong itu tidak baik Shabiru. Iya kan tante Pia?" Vanilla menengadahkan kepala melihat ke arah Sepia yang masih terjebak dalam lamunan panjang. "Ha? Kenapa Vanilla? Maaf tante tidak terlalu mendengar suaramu barusan," ia terperanjat ketika Shabiru menggerakan sikutnya."Berbohong itu tidak baik kan tante. Tadi Shabiru berbohong tentang kucingnya," gadis kecil berpita merah itu kembali mengulangi perkataannya dengan lebih rinci. "Iya sayang, berbohong itu tidak baik. Shabiru, jangan seperti itu lagi ya," ia mengulas senyum dan menjelaskannya dengan sabar. "Pia!" Alea menyikut lengannya cukup keras, menimbulkan rambatan seperti setruman listrik cukup menggelikan. Sepia mengangkat kedua alisnya, "Apa Ale, sakit tau.""Aku keinget sesuatu, tapi bentar deh kamu belum ngasih tahu apa yang terjadi kemarin? Saat kamu tiba-tiba telelpon aku?"Sore hari, ketika udara sedang hangat-hangatnya, Sepia sedang berada di stasiun.Anak kecil yang ketika berdiri tingginya sama dengan Sepia ketima berlutut itu memeluk erat Sepia, melesak dalam pundaknya cukup lama dan enggan melepas pelukannya."Sayang," panggil Sepia dengan lembut.Setelah banyak hal terlewati, akhirnya Shabiru akan pergi mengunjungi Yogyakarta, mengunjungi kota kelahirannya. Kota yang sering banyak orang sanjung sebagai kota yang istimewa. Shabiru melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah ibunya lamat-lamat dengan tatapan sendu."Ibu tidak apa-apa aku tinggal dulu?" tanyanya.Sepia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya. "Tidak apa-apa. Kan katanya kamu mau mengunjungi adik kecil?""Ibun, kalau ada apa-apa minta tolong sama Kak Panji saja, ya. Dia pasti akan selalu membantu ibun. Aku sudah bilang padanya agar sering-sering mengunjungi ibun."Sepia mengangguk mengiyakan permintaan anak kecil itu. "Iya, iya siap kapten!"Shabiru menghela napas berat lalu memeluk
Beberapa saat keheningan kembali meliputi Sepia dan Panji.Panji terlihat menarik embuskan napas beberapa kali, seolah ada keraguan yang menahan perkataan yang akan ia ucapkan pada perempuan itu. "Aku ... mm ...." Panji bergeming.Sepia menoleh saat Panji mulai berbicara, tetapi lagi-lagi Panji kehilangan kata-kata setiap menatap Sepia."Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sepia.Panji langsung menggeleng seraya tersenyum. "Tidak.""Nanti malam kamu ada acara nggak?" tanya Panji."Sepertinya tidak, kenapa memangnya?""Aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Tapi kalau kamu sibuk atau mau istirahat, aku tidak ingin memaksa," jelas Panji setengah menahan gugup."Boleh. Udah lama juga aku nggak makan di luar," sahut Sepia tanpa pikir panjang.Kejadian yang baru ia alami cukup membekas, ia takut jika San datang lagi dan mengganggunya. Barangkali bila bersama Panji, ia bisa menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Sepia tahu, San bukanlah laki-laki yang mud
Jarak wajah Sepia dan San mungkin hanya satu jengkal. Sepia bisa merasakan embusan napas laki-laki itu semakin dekat. Dada Sepia benar-benar bergemuruh, ada ketakutan yang dia rasakan. Ketakutan itu berkali-kali lipat lebih besar dari ketakutan yang dulu ketika San hampir melakukan hal yang sama padanya. Bedanya, dulu San memintanya dengan lemah lembut, tidak seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki itu benar-benar kasar, memaksa, dan tidak memiliki etika."Kamu ... bohong soal mencintaiku. Semua yang kamu katakan hanya omong kosong yang tidak bisa dilihat apalagi dibuktikan. Aku membencimu San, sangat membencimu! Aku tidak sudi bertemu denganmu lagi!" Napas Sepia terengah-engah, ia terjebak dalam situasi yang benar-benar mendesak. Ia berusaha berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri. "Aku peringatkan sekali lagi, menjauhlah dariku!"San sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang telah melihat dunia lebih luas. Dia benar-benar bisa melakukan apa pun dan Sepia tidak ingin dip
Seminggu berlalu, hari-hari Sepia kembali berjalan baik. Shabiru sudah pulih dari sakitnya dan Sepia kembali disibukkan dengan urusan tokonya. "Mel, sekarang aku mau pergi belanja. Nanti kalau ada tamu penting minta hubungi lewat telepon aja ya. Soalnya aku bakalan agak lama nih. Stok toko yang harus dibelanjain udah dicatet semua, kan?"Sepia menutup laptopnya dan mengambil tas."Sudah, Kak. Sudah aku kirim lewat WA. Kain organza yang paling cepat habis Kak," jelas Melly."Oke kalo gitu, aku akan belanja kain organzanya lebih banyak."Sepia keluar dari toko dengan tergesa, dia sampai tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan dada bidang."Maaf, aku tidak sengaja," ucap Sepia.Raut wajah perempuan itu langsung berubah tidak suka ketika melihat orang yang ditabraknya.Sungguh ia ingin segera pergi sejauh mungkin, enyah dari laki-laki itu. Namun, sebelum Sepia sempat mengambil satu langkah kecil pun laki-laki berbadan kekar itu langsung mencengkeram tangan
“Aku langsung pulang, ya,” kata Panji. “Shabiru sudah tidur. Kelihatannya dia sangat merindukan tidur di kamarnya, nyenyak sekali.”Sepia yang sedang memeriksa pesanan pelanggan di laptopnya menoleh. Di luar hujan turun sangat deras, dia tahu Panji sedang dalam keadaan sangat lelah karena menemani anaknya.“Kita sarapan dulu. Aku sedang meminta pegawaiku untuk membelikan makanan. Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan perut kosong. Kamu sudah benar-benar membantuku, jadi aku merasa tidak enak denganmu.”“Kamu merasa begitu padahal aku tidak melakukan apa-apa. Kamu makan saja bersama pegawaimu, kalau denganku lain waktu saja ya.” Panji menolak secara halus.Sepia menghela napas kesal. Dia tahu Panji sama keras kepalanya dengan dirinya, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Mungkin Panji tidak menyadari bahwa walau hanya kehadirannya itu sudah sangat berarti besar, bukan untuk dirinya melainkan untuk Shabiru. Atau mungkin Sepia sendiri yang tidak bisa
Ray menghela napas panjang, tubuh Sepia sudah berjalan menjauh, tetapi perkataannya tetap tertinggal dalam benaknya. Ray kembali terhempaskan oleh kenyataan. Semua yang pernah ada di antara mereka sudah berakhir, bahkan hancur. Ray sudah tidak memiliki haka pa-apa, sekecil apapun pada perempuan itu. Bahkan ia merasa tidak berhak untuk sekadar menatap bayangan perempuan itu.Helaan napas Ray terdengar cukup keras, pada waktu yang bersamaan ponselnya berdering. Ia langsung merogoh sakunya sambil duduk pada kursi tunggu yang kosong.“Halo, iya saat ini aku masih di rumah sakit. Keadaan Shabiru sudah lumayan membaik, aku akan segera pulang,” sahut Ray, ia memutus panggilan, lalu berjalan meninggalkan lorong itu.Tangan Ray hampir menyentuh gagang dingin pintu ruang perawatan, tetapi suara gelak tawa Shabiru dan Panji yang terdengar berhasil membekukan waktu. Dari celah kaca, Ray bisa melihat kedekatan antara mereka. Sungguh, saat itu juga ia didera rasa cemburu yang begitu hebat.“Aku dan