Share

Bab 7 : Nela Jadi Sekretaris

Satria menghela napasnya saat begitu melihat Anisa sedang bergulat dengan alat dapurnya. Padahal Satria sudah mewanti-wanti agar Anisa tidak perlu menyiapkannya sarapan. Itu bisa dikerjakan Yati atau Satria bisa sarapan nanti dikantor

Tubuh jenjangnya menghampiri sang istri, sebentar Satria mengelus pucuk kepala Anisa. Membuat wanita itu menoleh

“Mas, apaan sih.”

“Aku kan udah bilang, gak perlu siapin aku sarapan.”

“Itung-itung badanku gerak. Biar sekalian olahraga,kan?”

Apa yang dikatakan Anisa ada benarnya. Jadi Satria tidak bisa untuk menggeleng. Untuk itu dia lebih memilih duduk dikursi, menunggu Anisa selesai memasak

“Nanti aku ke kantor kamu lagi ya.”

“Gak usah, kamu masih lemes kan?”

Anisa menggeleng “Nggak.”

“Aku gak bisa nolak kamu,Nis,” kata Satria pasrah. Karena pada dasarnya untuk mengatakan tidak kepada Anisa hatinya terasa berat. Dia tidak mampu.

“Makasih kalo gitu. Kamu selalu ngijinin apapun yang aku mau,Mas,” Anisa menoleh sebentar. Hanya untuk menunjukan senyuman indahnya

“Buat kamu seneng, memang udah tujuan aku hidup,Nis.”

Anisa tersenyum, mendengar itu dari Satria. Selalu senang, mendengar Satria mengatakan jika dirinya begitu mencintainya.

“Dan, membuat kamu hidup dengan baik adalah tujuan aku,” Anisa meletakan nasi goreng ke hadapan Satria

Laki-laki itu senang “Makasih.”

“Sama-sama.”

Satria menatap lekat sang Istri, membuat Anisa menukik heran “Kenapa, ada yang aneh?”

Satria jusru menggeleng “Kamu beneran udah sehat?”

Anisa mengangguk kukuh “Lihat, aku udah keliatan seger bukan?”

Satria menelisik, dan ya. Memang Anisa tidak seperti kemarin yang tampak lemas

“Syukur deh. Soalnya kalo kamu sakit, aku gak bisa buat ninggalin kamu.”

Anisa tergelak “Aku bukan anak kecil.”

“Tapi kamu anak kecil bagi aku.”

“Dih. Kok gitu!”

“Kenapa? Kamu maunya apa?”

“Jadi wanita kamu satu-satunya,” kata Anisa yang membuat Satria merubah ekspresinya.

Satria tahu, Anisa tidak berkata untuk membuat lelucon. Perkataan itu jujur dari dalam hatinya.

Untuk memberikan sebuah ketenangan, Satria memberikannya kecupan pada punggung tangannya. Hal itu membuat Anisa seperti merasakan kupu-kupu terbang dalam perutnya

“Kamu akan jadi wanita aku satu-satunya. Jangan takut. Karena aku akan tetap menjadi milik kamu seutuhnya.”

“Aku percaya sama kamu mas. Meski ibu sama kakak kamu nyuruh kamu buat nikah lagi, tapi aku percaya kamu punya pendirian sendiri.”

“Makasih. Udah percaya sama aku. Karena aku sendiri, gak yakin bisa kuat tanpa kamu dihidup aku,Nis.”

“Kita akan hidup sama-sama, sampai maut memisakan,Mas.”

“Iya,pasti.”

Tangan mereka saling mengenggam. Seolah mengatakan jika kekuatan cinta mereka sangatlah kuat.

Untuk sesaat, hanya dalam waktu berduaan seperti ini bersama Anisa. Satria dapat merasakan ingatannya yang lupa tentang perintah ibunya dan kakaknya untuk menikah lagi.

***

Hari ini mungkin akan menjadi hari yang sibuk bagi Satria. Sebab pekerjaan kemarin yang belum tuntas mesti dituntaskan hari ini.

Meski jadwalnya sangat padat yang pasti akan membuat tubuhnya lelah. Mentari diluar menyinari begitu terang, itu membuat Satria sedikit mendapati rasa semangatnya.

Saat begitu kakinya, menginjak marmer ruangannya. Satria terkejut melihat seorang wanita yang duduk di kursi sekertaris bukanlah sekertarisnya yang biasa, tapi malah Nela.

Wanita itu dengan entengnya tersenyum manis, memberi hormat kepada bos barunya itu

“Kamu ngapain ditempat saya?”

“Kerjalah mas. Kamu pikir apa lagi?” Nela menjawab dengan begitu tenang. Seolah itu bukan kesalahannya. Padahal jelas iya.

“Sekertaris saya mana?” Satria menengok kesana kemari, tapi tidak menemukan sosok siapapun kecuali Nela

“Sekertasis mas ya saya,” jawabnya

“Jangan panggil saya mas!”

“Maaf pak,” Nela membukuk sopan. Padahal jelas, satria tidak butuh lagi perkataan maaf itu. Yang Satria butuh saat ini adalah, kepergian Nela dalam hidupnya

“Kamu jangan bercanda. Siapa yang nyuruh kamu disini?”

Nela tersenyum manis, berusaha terlihat mengesankan dimata Satria. Tapi semuanya akan percuma. Karena sampai kapan pun Satria tidak akan tertarik dengan wanita modelan Nela

“Tante Ratna sama mas Fahmi,” wanita itu menaikan sebelah alisnya.

“Apa? Gak mungkin. Pasti kamu yang minta kan?”

“Coba kamu pikir. Siapa orang yang minta saya untuk menjadi istri keduanya kamu?”

“Kamu juga mau!”

“Aku cuman gak mau buang-buang kesempatan ini aja. Ada lubang emas, masa aku biarin dia menghilang begitu saja,” kata Nela, seraya tersenyum

Satria sudah geram. Kepada semuanya. Ibunya dan kakaknya juga. Mereka kenapa menjerumuskannya ke dalam masalah yang membuatnya berpisah dengan Anisa.

“Saya minta, selama kamu bekerja harus menjaga jarak dengan saya sekitar satu meter!”

“Tapi—“

“Tidak ada bantahan!”

Satria masuk ke dalam ruangannya, membanting pintu dengan sangat keras, membuat Nela berjengit karena terkejut.

“Kamu kaya gitu, buat aku makin pengen milikin kamu segera mas,” kata Nela pelan, kemudian beralih lagi duduk ditempatnya.

***

“Ibu maksudnya apaa? Nempatin Nela disini?” tanya Satria tidak habis pikir kepada ibunya itu dalam sambungan telpon

“Biar kamu semakin dekat dengan Nela.”

“Bu, berapa kali aku bilang. Aku gak mau menikah lagi,” Satria sudah hampir prustasi mengatakan ini terus kepada ibunya yang tidak mau membuka telinga.

“Kamu begitu karena kamu belum kenal sama Nela. Makanya ibu deketin kamu, supaya kamu mengenal.”

Persetan dengan apa yang ibu katakan, karena semuanya hanya siasat untuknya agar menikahi Nela. Dan Satria pikir sekarang jalannya buntu. Tidak tahu harus bagaiaman lagi.

Menjauh tidak bisa. Membiarkan ini semua terjadi juga tidak bisa.

Tepat saat Satria menutup sambungan telponnya. Pintu terbuka menampilkan sosok Nela, tengah membawa satu gelas teh

“Minum tehnya pak.”

“Saya gak pengen!”

“Tapi kata sekretaris bapak yang dulu. Teh hangat minuman yang wajib menjadi teman bapak saat kerja.”

Satria diam. Karena memang itu benar. Dirinya juga tidak bisa untuk tidak meminum teh kalanya bekerja. Jadi yasudah dia menerima gelas itu dengan baik. Tapi tidak dengan orangnya.

Keterdiaman Satria padahal untuk membuat Nela pergi, tapi rupanya wanita itu tidak mengerti tentang arti diamnya

“Ngapain kamu masih disitu?”

“Takutnya bapak butuh saya lagi.”

Satria mendengus, merasa Nela sangat percaya diri sekali. Padahal sumpah demi apapun, Satria tidak akan merasa jika dirinya membutuhkannya

“Tidak! Silahkan kamu keluar dan kembali bekerja.”

Nela mengagguk “Baik pak. Kalo bapak butuh bantuan, saya siap pak. Panggil saya kapapun bapak mau.”

Satria tidak menjawab, bahkan melirik pun tidak.

Sudah jelas bukan, jika Satria sangat tidak suka kepada Nela

***

Satria mendesah sedih, sebab dia baru saja mendapati sms dari Anisa jika dirinya tidak bisa menyambangi kantornya, untuk membawakannya makan siang. Katanya, tiba-tiba mendadak tubuh Anisa lemas.

Tanpa diundang, lagi-lagi Nela masuk ke dalam ruangannya kali ini dia membawa satu kotak makan siang.

Wanita itu tersenyum, seraya meletakan kotak makanan itu ke atas meja kerja Satria

“Saya tahu, bapak orangnya sehat banget. Makannya saya bawakan makanan sehat untuk bapak.”

“Tidak perlu, saya akan makan dikantin kantor saja,” Satria sudah berdiri bersiap untuk melangkah

“Kamu bisa kasih makanan itu ke satpam,” kemudian Satria melangkahkan kakinya

Setelah keberadaannya di area kantin. Seluruh karyawan dibuat terkejut dengan kehadiran bosnya yang membaur di kantin. Mereka semua tahu, jika Satria tidak sembarang makan makanan

Suasana cukup ramai pada saat itu, sampai Satria tidak bisa melihat tempat yang kosong. Itu membuat hatinya meringis. Bukan karena dirinya tidak kedapatan tempat, melainkan mengetahui jika karyawanannya sudah mencapai ratusan, tapi kantor hanya menyediakan kantin yang sangat kecil. Mereka pasti kesulitan untuk mendapatkan makan siang.

“Bapak yakin gak mau makan makanan yang saya bawa,” lagi Nela hadir tanpa di undang. Hal itu membuat Satria geram

“Tidak!” Satria begitu saja melangkah. Nela lantas mengikutinya dari belakang

“Bapak mau kemana? Habis ini ada meeting pak!”

“Saya tahu apa yang harus saya lakukan!”

Kini Satria melangkah ke luar gedung perusahaan. “Saya sudah bilangkan, kasih saja makanan itu ke satpam,” katanya seraya menunjuk satpam yang tampak sedang merasa lapar, karena dia memegangi perutnya seraya meringis

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status