Share

Bab 3 Kesepakatan

Author: Secret juju
last update Last Updated: 2025-04-21 10:41:31

Bab 3 Kesepakatan

Seline turun dari mobil dengan sedikit kesulitan. Gaun pengantinnya yang panjang menyulitkan gerakannya, ujung kain tersangkut di pintu, membuatnya harus sedikit membungkuk untuk melepaskannya.

Tidak ada yang membantunya.

Elang sudah lebih dulu melangkah pergi, seolah tidak peduli apakah istrinya bisa keluar dari mobil dengan baik atau tidak.

Dibiarkan begitu saja, Seline merasa... tidak dianggap.

Bukankah biasanya pengantin pria membantu pasangannya turun? Atau setidaknya menoleh untuk memastikan semuanya baik-baik saja?

Tapi tidak dengan Elang.

Pria itu berjalan santai menuju pintu rumah tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.

Seline menghela napas, menggigit bibirnya untuk menahan perasaan tidak nyaman yang mulai muncul di dadanya.

Dia mengikuti langkah Elang dengan sedikit ragu, mengamati sekeliling rumah yang kini menjadi tempat tinggalnya.

Udara dingin menyelusup di kulitnya, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya meremang.

Ada sesuatu tentang tempat ini—tentang Elang—yang membuatnya merasa seperti burung kecil yang baru saja masuk ke dalam sangkar besar.

Seline melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Interior rumah ini terasa luas dan elegan, dengan dinding berwarna netral yang dihiasi lukisan-lukisan minimalis. Lantai marmer mengilap di bawah cahaya lampu gantung yang mewah, sementara sofa kulit berwarna gelap tertata rapi di ruang tengah. Tidak ada kesan berlebihan, tapi jelas terlihat bahwa tempat ini milik seseorang yang berkelas dan berduit.

Tapi yang lebih mencolok dari semuanya adalah... dingin.

Bukan karena suhu ruangan, melainkan atmosfer yang menyelimuti tempat ini. Rumah ini terasa terlalu rapi, terlalu sunyi—seperti tempat tinggal yang lebih sering kosong daripada dihuni.

Seline berdiri di tengah ruangan dengan kebingungan yang masih menyelimuti kepalanya.

Rumah ini besar dan mewah, tetapi tidak terasa seperti milik Elang sepenuhnya.

Dugaan itu terbukti ketika seorang wanita paruh baya muncul dari arah dapur, mengenakan pakaian rumah yang tetap terlihat elegan. Tatapannya tajam, seperti seseorang yang sudah terbiasa berkuasa.

"Akhirnya kalian datang juga."

Nada suaranya tidak terdengar hangat, lebih seperti pernyataan tanpa emosi.

Elang yang baru saja hendak naik ke lantai dua berhenti sejenak, menoleh sekilas ke arah wanita itu. "Mama."

Seline menegang.

Ibu Lusi, wanita yang tadi bersikeras agar pernikahan tetap dilangsungkan meskipun pengantinnya bukan Alana.

Sebelum Seline sempat mengucapkan sesuatu, suara lain menyusul.

"Oh? Jadi ini dia pengganti Alana?"

Seorang gadis muncul dari ruang tamu, mungkin lebih tua atau seumuran dengan Selin, dengan rambut sebahu dan ekspresi yang sulit ditebak. Ada sedikit senyum miring di bibirnya, tetapi tatapan matanya tidak bisa dibilang ramah.

Elang tidak menanggapi dan langsung melanjutkan langkahnya ke lantai atas, meninggalkan Seline yang harus menghadapi dua orang asing yang kini menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.

"Jangan berdiri di situ saja." Ibu Lusi melipat tangan di depan dada. "Kita perlu bicara."

Seline menelan ludah.

Dia baru tiba, tetapi entah kenapa dia merasa... seperti tersangka yang akan diinterogasi.

Seline menelan ludah, langkah kakinya terasa berat saat mengikuti ibu mertuanya ke ruang tamu.

Ruangan itu luas, dengan jendela besar yang menghadap ke halaman belakang. Sofa empuk berwarna krem tersusun rapi, dan ada meja kaca di tengahnya dengan vas bunga yang tampak mahal. Tapi semua keindahan itu terasa tidak ada artinya dibandingkan dengan atmosfer tegang yang mengisi ruangan.

Ibu Lusi duduk dengan anggun, sementara gadis yang tadi—yang sepertinya adik Elang—menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan ekspresi bosan.

"Jadi," Ibu Lusi membuka percakapan, "sekarang kamu sudah resmi menjadi menantu keluarga ini."

Nada suaranya membuat Seline sulit menentukan apakah itu pernyataan atau sindiran.

Seline menggenggam jemarinya sendiri di pangkuan, berusaha terlihat tenang. "Ibu, saya bisa jelaskan—"

"Tidak perlu." Ibu Lusi memotong, suaranya tetap datar. "Aku hanya ingin tahu, apa maumu sekarang?"

Seline terdiam.

"Kamu pikir pernikahan ini hanya akan dibatalkan begitu saja? Lanjut Ibu Lusi "Sayangnya, hidup tidak semudah itu. Sekarang kamu sudah menikah dengan Elang, dan pernikahan ini akan tetap berjalan. Tidak ada yang berubah."

Seline membeku.

"Tapi... saya bukan Alana," akhirnya dia bersuara, suaranya sedikit bergetar. "Saya bukan orang yang seharusnya ada di sini."

Adik Elang, yang sedari tadi diam, tertawa kecil. "Ya, itu kami tahu. Kakakku juga pasti tahu."

Seline menoleh ke arahnya. "Jadi kenapa saya masih di sini?"

Ibu Lusi menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Karena aku butuh menantu, bukan siapa yang menjadi menantu."

"Dan kebetulan," gadis di sampingnya menambahkan dengan senyum tipis, "kau sudah ada di sini."

Seline merasakan sesuatu di dalam perutnya menegang.

Dia terperangkap.

Seline merasakan dinginnya keringat di telapak tangannya. Apa maksud mereka? Kenapa mereka bersikeras mempertahankan pernikahan ini seolah pengantinnya bisa siapa saja?

"Saya tidak mengerti," Selinr akhirnya berkata, suaranya lebih pelan dari yang dia harapkan.

Ibu Lusi menatapnya, matanya tajam seperti sedang menilai sesuatu. "Kamu tidak perlu mengerti. Yang perlu kamu tahu, pernikahan ini harus tetap ada. Entah itu dengan Alana, atau..." dia memberi jeda sebentar, "dengan kamu."

Seline menahan napas. "Jadi, ini hanya soal status?"

Adik Elang—yang Seline masih belum tahu namanya—tertawa kecil. "Cepat juga kamu menangkapnya."

Selin memandang mereka bergantian, masih berusaha mencerna situasi. Apakah mereka benar-benar tidak peduli siapa yang menikah dengan Elang?

"Apa Elang tahu soal ini?"

Ibu Lusi menaikkan alis. "Tentu saja dia tahu."

Deg.

Seline merasakan perutnya mencelos. Jadi, Elang juga setuju dengan semua ini? Dia mengira setidaknya pria itu akan protes atau menolak menikahi seseorang yang bahkan tidak dia kenal.

"Lalu... bagaimana dengan saya?" Seline menggigit bibir. "Saya tidak pernah setuju untuk benar-benar menikah."

Ibu Lusi tersenyum tipis, dan itu membuat Seline semakin gelisah. "Kamu tidak pernah menolak juga."

Brengsek.

Seline ingin tertawa, tapi di saat yang sama, dia juga ingin menangis. Dia terjebak dalam permainan yang tidak dia pahami aturannya.

"Apa yang terjadi kalau saya pergi?" tanyanya, mencoba peruntungan.

Adik Elang bersedekap, senyum di wajahnya lebih mirip ejekan. "Kamu bisa coba, kalau berani."

Dan entah kenapa, Seline merasa itu bukan sekadar tantangan. Itu peringatan.

Seline menelan ludah. Dia bisa merasakan udara di ruangan ini semakin menekan. Pergi? Apa mungkin? Jika pernikahan ini benar-benar tidak penting bagi keluarga Elang, mereka pasti sudah melepasnya begitu saja. Tapi kenyataannya? Mereka justru mempertahankan pernikahan ini dengan cara yang terasa terlalu mudah, seolah mereka memang sudah mengantisipasi sesuatu seperti ini terjadi.

Dan itu membuat Seline merasa semakin terjebak.

"Baiklah," akhirnya Seline berkata, mencoba terdengar setenang mungkin meskipun di dalam dirinya ada badai yang berkecamuk. "Kalau memang kalian ingin pernikahan ini tetap ada, lalu bagaimana dengan saya? Apa saya hanya boneka di sini?"

Ibu Lusi tersenyum kecil, ekspresinya tenang tapi berbahaya. "Kamu hanya perlu mengikuti peranmu dengan baik. Jalani saja dulu. Sisanya, kita lihat nanti."

"Itu artinya saya bisa pergi setelah beberapa waktu?" Seline bertanya, mencoba mencari celah.

Ibu Lusi tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menatap Seline cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Tentu. Jika itu yang kamu inginkan, aku tidak akan menahanmu."

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Seline tidak bisa sepenuhnya percaya.

Sementara itu, adik Elang menyandarkan tubuhnya ke sofa, tampak santai. "Kakakku pasti menyukai ini," katanya, separuh mengejek. "Punya istri yang sudah ingin kabur sejak malam pertama."

Seline mengabaikannya. Yang dia pikirkan sekarang adalah satu hal: dia harus berbicara dengan Elang.

"Di mana suami saya?" akhirnya dia bertanya, menekankan kata 'suami' karena masih terasa aneh di lidahnya.

Ibu Lusi melirik arlojinya sebelum menjawab, "Dia ada di kamarnya. Mungkin kamu ingin menyusul?"

Dan di situlah Seline sadar bahwa meskipun ini rumah keluarga Elang, dia bahkan tidak tahu di mana kamarnya.

Sial.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesepakatan di Balik Gaun Pengantin   Bab 5 Pagi yang Canggung

    Bab 5 Pagi yang Canggung Elang duduk di stool bar dapurnya, menyesap wine dari gelas tinggi. Lampu-lampu rumah mulai dimatikan satu per satu, meninggalkan temaram cahaya yang berasal dari lampu gantung di atas meja dapur. Waktu sudah larut, tapi kantuk tidak juga menghampirinya. Pernikahan ini bukan keinginannya. Jika dia mau, dia bisa saja menolak. Tapi situasi memaksanya untuk menerima. Beberapa hari lalu, sebuah artikel berita menyebar luas, menuduhnya memiliki kelainan seksual. Isu itu didukung dengan foto dan video dirinya bersama seorang pria yang belakangan mengaku sebagai gay. Sialnya, pria itu mengklarifikasi bahwa berita tersebut benar adanya, dan Elang ikut terseret. Fakta bahwa dia masih melajang di usia 32 tahun, tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun, hanya memperparah spekulasi. Bukan hanya dirinya yang terkena dampaknya, tapi juga harga saham perusahaan keluarganya. Skandal ini mengguncang bisnis ayahnya, membuat kepercayaan kolega mereka menurun.

  • Kesepakatan di Balik Gaun Pengantin   Bab 4 Terjebak di Pernikahan yang Salah

    Bab 4 Terjebak di Pernikahan yang Salah Seline berdiri di lorong panjang rumah mewah ini, matanya menyapu sekeliling dengan bingung. Rumah ini terlalu luas, terlalu sepi, dan terlalu asing. Dinding putih bersih, lantai marmer dingin di bawah telapak kakinya, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-langit tinggi membuat tempat ini lebih mirip museum daripada rumah. Dia menghela napas, mencoba mengingat arahan yang diberikan tadi. Seharusnya kamar Elang ada di ujung lorong. Tapi semua pintu terlihat sama. Alih-alih kembali ke ruang tamu untuk bertanya, Seline memilih menebak sendiri. Di ujung lorong, ada satu pintu yang sedikit terbuka. Dengan ragu, dia mengetuk pelan sebelum mendorongnya lebih lebar. “Elang?” Pria itu ada di dalam, duduk di kursi dekat jendela besar yang menghadap halaman belakang. Jas pernikahannya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tanpa usaha apa pun, dia tetap terlihat rapi—dan entah kenapa, sedikit berwibawa. Elang m

  • Kesepakatan di Balik Gaun Pengantin   Bab 3 Kesepakatan

    Bab 3 Kesepakatan Seline turun dari mobil dengan sedikit kesulitan. Gaun pengantinnya yang panjang menyulitkan gerakannya, ujung kain tersangkut di pintu, membuatnya harus sedikit membungkuk untuk melepaskannya. Tidak ada yang membantunya. Elang sudah lebih dulu melangkah pergi, seolah tidak peduli apakah istrinya bisa keluar dari mobil dengan baik atau tidak. Dibiarkan begitu saja, Seline merasa... tidak dianggap. Bukankah biasanya pengantin pria membantu pasangannya turun? Atau setidaknya menoleh untuk memastikan semuanya baik-baik saja? Tapi tidak dengan Elang. Pria itu berjalan santai menuju pintu rumah tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Seline menghela napas, menggigit bibirnya untuk menahan perasaan tidak nyaman yang mulai muncul di dadanya. Dia mengikuti langkah Elang dengan sedikit ragu, mengamati sekeliling rumah yang kini menjadi tempat tinggalnya. Udara dingin menyelusup di kulitnya, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya meremang. Ada sesuatu tentang tempat ini

  • Kesepakatan di Balik Gaun Pengantin   Bab 2 Pria itu Bernama Elang

    Bab 2 Pria itu Bernama Elang "Saya mau pernikahan ini tetap di langsungkan." Semua orang membeku. Mata mereka kini tertuju pada satu orang—Ibu Lusi, ibu dari mempelai pria. Seline menegang. Suara perempuan itu tenang, tapi ada ketegasan yang tidak bisa dibantah. “Apa?” Ayah Alana menatapnya, jelas tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ibu Lusi meliriknya sekilas, lalu kembali berbicara, kali ini matanya tertuju pada Selin. “Saya hanya butuh mempelai wanita untuk menjadi istri anak saya. Tidak harus Alana.” Jantung Seline berdegup lebih kencang. Tidak harus Alana? “Tapi kesepakatan kita—” Ayah Alana masih mencoba bernegosiasi, wajahnya penuh ketegangan. Ibu Lusi tersenyum tipis. “Tidak ada yang berubah dari kesepakatan awal, selama pernikahan ini tetap berlangsung.” Selin merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan ini yang seharusnya terjadi. Seharusnya, setelah kebohongan ini terungkap, pernikahan akan dibatalkan. Seharusnya, dia bisa pergi d

  • Kesepakatan di Balik Gaun Pengantin   Bab 1 Tukar Gaun Pengantin

    Seline Agnia Yorin duduk di depan cermin dengan jari-jari saling meremas di atas pangkuannya. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Napasnya terasa berat, dadanya sesak. Bayangan dirinya yang terpantul di cermin memperlihatkan sosok pengantin perempuan dengan riasan natural. Wajahnya tampak tenang, tapi hanya dia yang tahu, di balik tudung putih yang menjuntai lembut menutupi wajahnya, pikirannya sedang kacau. Seharusnya ini bukan dia. Seharusnya, yang duduk di sini adalah Alana, sahabatnya. Selin mengalihkan pandangannya ke sosok Alana yang berdiri di tepi jendela kamar, bersiap melarikan diri. Gaun pengantin sudah bukan miliknya lagi, melainkan Seline yang mengenakannya sekarang. Rencana ini sudah mereka susun jauh-jauh hari. Sejak awal, Alana menolak pernikahan yang diatur oleh orang tuanya. Dia punya pacar, dia punya pilihan sendiri. Hidupnya bukan sekadar skenario yang bisa ditulis orang lain. Mereka bertukar pakaian tepat setelah sang makeup artist undur diri. Semua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status