"Akhirnya kalian datang juga."
Kalimatnya bukan sambutan. Bukan pula celaan. Elang yang sudah berada di kaki tangga, menghentikan langkahnya. Ia menoleh sebentar ke arah wanita itu.
"Mama."
Hanya satu kata. Tapi cukup untuk memberi tahu Seline bahwa wanita itu bukan sekadar penghuni rumah—dia adalah pemilik suara yang akan sulit diabaikan.
Wanita itu mengalihkan pandangannya ke Seline. Menatap dari atas ke bawah, seolah menilai bukan hanya penampilan, tapi juga keberadaannya secara keseluruhan.
"Selamat datang." Kali ini, nada suaranya sedikit lebih lunak. Tapi tetap terasa kaku—seperti basa-basi yang dipaksa.
Elang melanjutkan langkahnya menaiki tangga tanpa berkata apa-apa. Tak memberi isyarat, tak menunggu. Seline akhirnya memberanikan diri menaiki anak tangga, mengikuti arah yang tadi dilalui Elang.
Di ujung lorong, ada pintu kayu besar yang setengah terbuka.
Di dalamnya, Elang sedang melepas jas hitamnya. Dia berdiri membelakangi pintu, bahunya kokoh, tubuhnya tegap. Tanpa menoleh, ia berkata pelan, datar. “Masuklah,” kata Elang melihat Seline masih belum masuk ke kamar.
“Ini kamar kita. Sisi kanan lemari kosong, kau bisa simpan barang-barangmu di sana.”
Seline berdiri di ambang pintu. “Kamar kita?” tanyanya pelan, setengah gugup.
Elang menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Kalau kau tidak nyaman, aku bisa tidur di sofa.”
Seline masuk ke dalam kamar. Ruangannya besar, dengan tempat tidur king size yang diposisikan di tengah. Cermin besar di sudut ruangan memantulkan bayangannya—seorang pengantin wanita dengan mata yang tak lagi berbinar.
“Apa yang akan kita bahas?” Seline memilih duduk di sofa.
Elang berbalik, tangannya terlipat di depan dada, menatap Seline. Gadis yang kini resmi jadi istrinya itu masih mengenakan gaun dan hiasan masih rapi. “Kau saja yang bertanya, aku akan menjawabnya.”
“Apa yang harus aku lakukan di pernikahan ini? Sampai kapan aku harus ada di sampingmu?”
Seline menanyakan hal yang sedari tadi berputar di kepalanya, akan seperti apa pernikahan ini berjalan ke depannya.
“Aku tidak bisa memastikan, yang jelas sampai semuanya mereda. Jika dalam waktu singkat pernikahan ini selesai. Rumor yang beredar akan semakin besar, kau pasti paham maksudku,” jawab Elang tenang.
“Tentukan batasan-batasannya, aku tidak mau dirugikan, pernikahan ini tidak atas kehendakku, jadi aku tetap harus tahu akan sejauh apa kita.” Seline menatap balik Elang yang masih berdiri di tempatnya.
“Aku tidak akan memberi banyak batasan,” kata Elang lagi, suaranya nyaris seperti gumaman. “Asal kau bisa menjaga sikap, jaga nama baik keluarga, dan jangan ganggu urusan pribadiku, kita tidak akan punya masalah.”
Tatapan itu—dingin, namun tidak kejam. Lebih seperti seseorang yang sudah lama berhenti berharap akan kehangatan dari siapa pun.
“Lalu bagaimana dengan kehidupanku? Aku adalah tulang punggung keluarga,” ujar Seline lagi.
“Kau bisa menjalaninya seperti biasa, sedikit berubah dari gelarmu sebagai istriku.” Elang beranjak menuju lemarinya dan membawakan piyama untuk Seline. “Gantilah bajumu.”
Seline merasa tidak diberi ruang untuk kembali bertanya. Tangannya langsung mengambil piyama hitam yang diberikan Elang. Seline juga berjalan ke sisi ranjang, mengambil bantal, lalu membawanya ke sofa. “Aku saja yang tidur di sofa. Aku rasa begitu lebih adil.”
Malam tiba. Hujan baru saja reda ketika suara pintu apartemen terbuka.Seline, yang tengah menyelesaikan rajutannya di ruang tengah, menoleh. Ia sempat mengira Elang akan makan di luar. Pria itu sempat berpesan agar Seline tidak memasak malam ini. Tapi ternyata, pria itu justru pulang membawa kantong belanjaan di salah satu tangannya.Jaket Elang terlihat sedikit basah. Mungkin terkena hujan saat ia kembali ke mobil di parkiran setelah berbelanja.Tanpa pikir panjang, Seline bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri pria itu.“Kau kehujanan,” ucapnya pelan, membantu melepaskan jaket Elang.“Sedikit,” jawab Elang santai.Ia melangkah menuju dapur, meletakkan kantong plastik di atas meja, lalu mulai menggulung lengan kemejanya. Gerakannya tenang dan rapi. Ia mencuci tangan terlebih dahulu, kemudian mulai mengeluarkan satu per satu bahan belanjaannya.Aroma segar dari bahan makanan mentah mulai menguar di udara.Seline mendekat, berdiri di ambang dapur sambil memerhatikannya dengan pa
Bel apartemen berbunyi siang itu.Seline sedang duduk di sofa dekat jendela, sibuk merajut seperti biasanya. Jemarinya refleks berhenti bergerak. Tanpa rasa curiga atau pikiran macam-macam, ia bangkit dan melangkah ke arah pintu.Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di sana membuat Seline langsung terdiam.Arlena.Masih dengan pesonanya yang tak bisa diabaikan. Wajah menawan, gaya berpakaian berkelas, dan aura bintang yang begitu kuat meski tanpa panggung. Namun kali ini, yang berbeda adalah sorot matanya. Tidak ada lagi senyum palsu atau basa-basi manis seperti sebelumnya.Arlena menatap Seline dengan cara yang tak lagi menyembunyikan niatnya. Sikapnya dingin, tajam, dan tanpa kepura-puraan.Seline tahu siapa yang berdiri di hadapannya.Dan Arlena tahu siapa perempuan yang membuka pintu itu.“Elang sedang tidak di rumah,” ucap Seline tenang, nadanya datar. Seolah tahu pasti tujuan kedatangan Arlena. Siapa lagi kalau bukan untuk mencari Elang?Tapi Arlena hanya tersenyum tipis. Sen
Malam harinya, Elang kembali ke rumah itu.Lampu teras menyala temaram saat mobilnya berhenti di depan pagar besi hitam yang megah. Tidak lama setelah ia menekan bel, pintu utama terbuka. Sosok Arlena muncul di ambang pintu. Senyumnya menyambut dengan suka cita, seolah tak ada riak sedikit pun di antara mereka."Masuklah," ucap Arlena pelan, dengan suara yang dibuat selembut mungkin. Ia menyingkir sedikit memberi jalan, membiarkan Elang melangkah masuk ke dalam rumah.Interior rumah itu hangat dan berkelas. Warna-warna netral dan pencahayaan remang membuat suasana terasa nyaman, nyaris terlalu nyaman untuk kunjungan yang penuh ketegangan seperti malam ini.Arlena sudah mengenakan pakaian tidurnya. Satin lembut berwarna pucat yang dibalut jubah tidur panjang, menjadikan penampilannya tetap sopan. Tapi jelas tidak sembarang penampilan. Semuanya terasa dirancang. Terencana.“Kau datang juga akhirnya,” kata Arlena dengan senyum penuh arti. Ia menyodorkan secangkir teh hangat, tapi Elang t
Seline menatap keluar jendela pesawat, awan-awan putih melayang tenang di luar sana, kontras dengan pikirannya yang mulai penuh tanya. Ia menoleh ke arah Elang yang duduk di sebelahnya. Diam, menunduk, dengan rahang yang mengeras. Sejak mereka berangkat dari hotel tadi, Elang tak banyak bicara.Ada sesuatu. Seline bisa merasakannya. Tapi entah itu urusan pekerjaan, masalah pribadi, atau… sesuatu yang lain, dia tidak tahu pasti.Perlukah dia bertanya? Apa dia harus memaksa Elang bicara?Tapi mungkin, untuk saat ini, Elang hanya butuh diam. Bukan karena dia ingin menjauh, tapi karena dia sedang menyusun sesuatu dalam dirinya yang belum bisa dibagi. Dan Seline memilih untuk menghormati itu.Dia mengulurkan sebelah tangannya, perlahan menggenggam tangan Elang yang bebas di pangkuannya.Elang menoleh. Sorot matanya menyiratkan kelelahan, tapi juga kelegaan. Seolah tanpa kata, Seline sudah melakukan hal yang tepat.Elang membalas genggamannya. Erat.Dan dalam keheningan itu, tanpa percakapa
Setelah Seline menjawab dengan anggukan mantap, Elang kembali mencium bibirnya. lebih dalam, lebih yakin. Seline merespons dengan pelan tapi pasti, tangannya naik ke dada Elang, meraba kancing yang masih tersisa di kemejanya. Jemarinya sempat gemetar, berusaha membuka satu per satu, tapi gerakannya tak cukup cepat. Elang membiarkannya sebentar, sebelum akhirnya mengambil alih dengan cekatan. Beberapa detik kemudian, kancing-kancing itu terlepas, dan kemejanya meluncur ke lantai, dibiarkan begitu saja. Tubuh mereka makin dekat. Nafas makin berat. Tak ada kata-kata, hanya suara napas yang mengisi ruangan. Dengan gerakan lembut, Elang menggiring Seline untuk rebah di atas ranjang. Ia tidak tergesa. Tak sekalipun memaksa. Jari-jari Elang menyapu rambut Seline ke samping, lalu meraih resleting di punggung gaun yang Seline kenakan. Ia menurunkannya perlahan. Hanya cukup untuk mengekspos kulit bahu yang pucat dan hangat. Lalu bibirnya mendarat di sana, satu ciuman pelan yang terasa le
Acara pernikahan usai dengan segala gemerlapnya, dan kini hanya keheningan yang menyelimuti kamar hotel mewah tempat mereka menginap.Seline berdiri di tengah ruangan, perlahan melepas jas milik Elang yang masih melingkupinya. Ia tidak langsung meletakkannya, melainkan menyampirkannya di lengannya, seperti memeluk sesuatu yang tak ingin dilepas terlalu cepat.Di sisi lain ruangan, Elang berdiri membelakangi Seline, tengah membuka kancing bajunya satu per satu. Namun gerakannya terhenti ketika sebuah suara lirih memanggil namanya.“Elang.”Nada itu bukan sekadar panggilan. Ada keberanian yang diselipkan di balik ragu. Keberanian untuk bertanya tentang sesuatu yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Elang menoleh pelan, menatap Seline."Arlena itu... mantan kekasihmu?" tanya Seline akhirnya. Suaranya tenang, tapi ada getar yang sulit disembunyikan.Elang tak terlihat terkejut. Ia sudah menduga Seline tahu. Tapi yang tidak ia sangka, Seline memilih untuk menanyakannya secara langsung.“