LOGINSeline menatap pria itu tanpa berkedip.
Perkataan sang pria masih menggema di telinganya.
“Gadis ini yang akan melakukannya.”
Untuk sesaat, tak ada yang bicara. Semua terdiam, seolah mencoba mencerna kalimat sang mempelai pria.
Lalu, tiba-tiba Mario yang berdiri di samping Seline langsung bereaksi dengan menarik gadis itu ke belakangnya. “Apa maksudmu, Elang? Kau dijodohkan dengan adikku, jadi kau tak bisa menggantikannya dengan Seline untuk—”
“Aku bisa,” potong Elang datar. “Dan aku sudah memutuskan.”
Elang menatap Seline tanpa berkedip.
“Dia yang akan jadi istriku,” katanya datar.
Di saat ini, seorang wanita yang Seline duga adalah ibu sang mempelai pria, melangkah menghampiri mereka. “Elang, tapi wanita itu bukan Alana. Dia bukan bagian dari perjodohan ini!”
Elang melirik wanita itu dingin. “Lalu?” tanyanya, membuat sang wanita tercekat. “Kita semua tahu yang kuperlukan hanyalah seseorang untuk menjadi istri, tidak perlu Alana, maupun wanita dari keluarganya.”
“Tapi, asal-usul gadis ini tidak jelas! Apa kamu rela menikah dengan gadis sepertinya?! Kamu adalah pewaris Mahardika!”
Mendengar omongan sang wanita, Seline teringat cerita singkat Alana. Mempelai pria di hadapannya ini bernama Elang Mahardika, penerus utama perusahaan Mahardika yang terhormat, dan juga pria yang belakangan terus menggemparkan media. Bukan karena kepiawaiannya dalam berbisnis seperti biasa, melainkan karena skandal yang mengatakan bahwa dirinya memiliki orientasi menyimpang!
Guna menyelamatkan reputasi Elang dan juga keluarga Mahardika, juga menenangkan para investor yang mulai kehilangan kepercayaan terhadap perusahaan keluarga tersebut, dibentuklah sebuah kesepakatan bisnis antarkeluarga untuk menikahkan Elang dengan Alana.
Sayangnya, sekarang Alana kabur, sedangkan pernikahan sudah di depan mata. Kalau pernikahan dibatalkan, maka rumor liar akan menyebar dan reputasi Elang akan semakin tenggelam!
Tepat di saat ini, Elang pun menatap sang ibu. “Kalau begitu, apa ada orang lain yang saat ini, detik ini, bisa menjadi istriku selain dirinya?”
Ruangan hening sesaat. Semua orang jelas sedang memutar otak mencari jalan keluar. Akan tetapi, sia-sia … memang tidak ada jalan lain.
“Kalau memang harus begitu …” Ayah Elang berbicara, menatap ke arah Seline, “... maka jalankan saja.”
Mama Elang melotot. “Sayang!”
“Kita tidak ada pilihan! Antara kita jalankan pernikahan atau reputasi putra dan keluarga kita yang rusak!” balas pria itu keras, membuat semua orang diam dan tidak lagi bersuara.
Melihat keputusan sudah dibuat, tanpa dirinya, Seline merasa panik. Apa dia sungguh akan dijadikan pengantin pengganti sahabatnya sendiri?!
Tanpa sadar, Seline mulai mundur beberapa langkah, seakan mencoba menjauh dari semua tatapan yang terarah padanya.
Namun, mendadak punggungnya menabrak seseorang, membuatnya menoleh dan tersentak saat tangannya dicekal oleh seseorang.
“Jangan berpikir untuk kabur,” ucap pria itu, sebelum akhirnya menarik Seline kuat dan menyisakan hanya beberapa senti di antara wajah mereka. “Kau sendiri yang bersedia terlibat, jadi kau juga harus ikut bertanggung jawab. Mengerti?”
Tubuh Seline gemetar. Dia sungguh ketakutan. Menatap sepasang manik hitam gelap yang memandangnya lurus, Seline tahu menolak akan percuma.
Lagi pula, semua ini juga terjadi atas persetujuannya.
Akhirnya, Seline pun hanya bisa menganggukkan kepala.
**
Acara pernikahan telah usai dua puluh menit yang lalu.
Tanpa pesta besar. Tanpa keramaian yang hingar-bingar seperti pernikahan kebanyakan. Hanya segelintir tamu, beberapa kerabat dekat, kolega bisnis, dan saksi yang bahkan tak mengenalnya.
Seline tak mampu mengeluarkan banyak kata, ia hanya terdiam, meratapi buruk nasibnya.
Dia tidak pernah membayangkan dirinya akan berdiri berdampingan dengan seorang pria di pelaminan dengan bunga di tangan, terutama … ketika pria itu adalah pria yang dijodohkan dengan sahabatnya.
Duduk di kursi penumpang dan berada dalam perjalanan pulang–entah ke mana–, Seline diam-diam mencuri pandang ke arah pria di sebelahnya. Pria yang kini secara sah menyandang status suaminya.
Elang Mahardika.
Nama itu cocok untuknya—terlalu cocok, sampai membuat tengkuknya merinding. Pria itu membawa aura seperti namanya. Gagah. Dingin. Menjulang dalam diam.
Seperti elang yang terbang tinggi, matanya tajam dan tak banyak bicara. Setiap geraknya terukur, setiap tatapannya membuat Seline merasa seperti seekor tikus yang baru sadar telah masuk ke sarang pemangsa.
Saat Elang menoleh sekilas, Seline langsung memalingkan wajahnya. Tertangkap basah menatap laki-laki itu. “Kita menuju rumahku tentu saja, jika itu yang kau pikirkan,” kata Elang tanpa menatap.
Seline mengangguk kecil. Lalu menjawab dengan canggung. “O-oke.”
“Bukankah ada yang harus kamu katakan?”
Seline menghela napas, ia menoleh kembali pada Elang yang melempar pertanyaan. “Aku tidak tahu harus mengatakan apa tentang kejadian hari ini. Tapi aku harus segera kembali ke rumah, ibuku sedang sakit. Aku tidak bisa meninggalkan adikku sendirian, besok dia harus bersekolah,” katanya pelan.
“Besok pagi-pagi kau bisa mengunjunginya. Ada yang harus kita bahas di rumah.” Elang menjawab masih dengan nada datarnya.
Seline tak mengatakan apapun lagi, sungkan membantah. Apalagi saat ia melihat rumah mewah di hadapannya. Jika rumah sebesar ini pasti rumah keluarga.
Helaan napasnya ia tahan, apalagi saat menapaki halaman rumah saat keluar dari mobil dan melihat sosok wanita paruh baya berdiri angkuh di depan pintu.
Itu mertua yang tadi menentangnya!
Bab 70 Bersama Sampai AkhirLangit sore itu redup, seolah ikut berduka. Angin menggeser dedaunan, menebarkan aroma tanah basah dari makam yang baru ditutup. Di depan nisan marmer putih tanpa hiasan berlebih, Elang berdiri mematung. Tangannya mengepal, kukunya menancap di telapak. Namun rasa sakit itu tidak sebanding dengan apa yang sedang ia rasakan di dalam dada.Di belakangnya, suara langkah para pelayat perlahan menjauh. Tinggal ia, keheningan, dan nama Seline yang terukir rapi.“Seline…” suaranya pecah tipis, “maafkan aku.”Jika saja ia tidak lengah.Jika saja ia lebih cepat.Jika saja ia tidak membiarkan Seline menunggu sendirian.Terlambat.Semuanya sudah terlambat.Dan kini, perempuan yang ia cintai. Perempuan yang tidak pernah menuntut apa pun, meski layak menerima segalanya, pergi begitu cepat.Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, Elang bertanya pada dirinya sendiri. Apakah ini hukuman?Hukuman karena pernah mempermainkan ikatan pernikahan mereka. Pernikahan yang sejak a
Bab 69 Dua Kehidupan Baru Suara langkah Elang menggema ketika ia berlari masuk ke ruang IGD, memangku tubuh Seline yang gemetar dan menahan perutnya. Nafasnya tersengal, dan wajahnya pucat hampir tanpa warna.“Dokter! Tolong istri saya!” Suara Elang pecah menjadi panik. Tangannya bergetar, memeluk Seline seolah takut perempuan itu menghilang jika dilepaskan sedetik saja.Para perawat segera membawa brankar.“Saya ambil alih, Pak! Taruh istri anda di sini!”Seline meringis kesakitan. “E—Elang… perutku…”Elang mengikuti brankar yang bergerak cepat, wajahnya tegang.“Seline, aku di sini. Sayang, bertahan sedikit lagi, ya? Tolong bertahan.”Detak jantung janin terdengar cepat dan tidak stabil.Dokter wanita berusia empat puluhan memasuki ruangan. “Kondisi kontraksinya sudah sangat kuat. Ada perdarahan dalam. Kita harus segera lahirkan bayi-bayinya.”“Prematur?” tanya Elang dengan suara yang hampir tidak keluar.“Ya. Tapi itu satu-satunya cara menyelamatkan anak dan ibu.”Seline menatap E
Bab 68 KepanikanKarina duduk di balik kemudi, kedua tangannya mencengkeram setir hingga buku jarinya memutih. Sejak Elang dan Seline meninggalkan apartemen tadi, dia mengikuti dari jauh. Bukan untuk berbicara. Bukan untuk meminta penjelasan.Hanya untuk melihat.Untuk memastikan apa yang selama ini menusuk-nusuk isi kepalanya benar. Elang memperlakukan Seline dengan cara yang tidak pernah ia dapatkan.Dari kejauhan, Karina melihat Elang membuka pintu mobil untuk Seline.Di lobby rumah sakit, dia melihat Elang meraih tangan Seline agar tidak terpeleset.Dan saat keluar dari pemeriksaan kandungan, Elang menunduk sambil tersenyum ke arah perut Seline, perhatian penuh yang selama ini Karina impikan.Di mata Karina, pemandangan itu seperti garam yang ditabur di atas luka yang belum sempat mengering.Seharusnya itu aku. Seharusnya aku yang mengandung anaknya.Seharusnya aku yang mendapatkan semua itu.Karina menggigit bibirnya sampai terasa pahit. Pikirannya kacau, penuh serpihan hidup yan
Bab 67 Di Luar KendaliSeline naik ke ranjang pemeriksaan dengan bantuan Elang. Perutnya terbuka sedikit saat dokter mengoleskan gel dingin. Elang berdiri di sisi lain ranjang, mengusap rambut Seline pelan.Monitor menyala. Dalam hitungan detik, dua bentuk kecil muncul di layar.Dokter tersenyum. “Lihat, dua-duanya aktif sekali hari ini.”Elang mendekat, hampir tidak berkedip. “Mereka kelihatan lebih besar.”“Betul. Dan posisinya mulai turun sedikit,” jelas dokter. “Ini tanda mereka sedang bersiap lahir.”Seline menggenggam lengan Elang lebih kuat. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Campuran bahagia, cemas, dan tidak percaya waktu berlalu begitu cepat.Detak jantung terdengar lewat speaker.Dua detak. Dua ritme berbeda tapi saling mengisi.Elang menelan ludah. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan.“Ini… luar biasa.”Dokter melanjutkan pemeriksaan: memeriksa cairan, posisi kepala, dan kondisi plasenta.“Syukurlah, sejauh ini semuanya sangat baik,” kata dokter.Seline menghela napa
Bab 66 Menengok Si KembarUsia kandungan Seline memasuki delapan bulan. Perutnya membulat sempurna, besar, dan terasa penuh oleh dua nyawa yang tumbuh di dalamnya. Pagi itu, apartemen dipenuhi aroma lembut sabun dari kamar mandi. Seline baru selesai mandi dan masih mengenakan bathrobe tipis yang terikat longgar di pinggang.Ia duduk di depan meja rias, mengeringkan rambutnya perlahan. Pantulan wajahnya di cermin tampak lebih lembut, lebih matang, dan teduh. Meski tubuhnya berubah, Seline tahu Elang tidak pernah sekalipun menatapnya dengan cara yang membuatnya merasa tidak cantik.Suara langkah kaki pelan terdengar mendekat.Elang.Perlahan, pria itu berdiri di belakang Seline, menunduk lalu memeluk bahunya hati-hati dari belakang, menjaga agar tidak menekan perut Seline.“Pagi,” gumamnya, mencium pipi Seline lama, seolah baru menemukan tempat pulang.Seline tersenyum kecil. “Pagi juga. Kita harus bersiap sebelum terlambat.”Elang tidak menjawab. Dia menggeser rambut basah Seline ke sa
Bab 65 PenetralanSore itu apartemen terasa jauh lebih tenang dibanding beberapa hari terakhir. Elang tertidur di sofa, bukan terlelap sepenuhnya, tapi lebih seperti seseorang yang akhirnya bisa meletakkan beban berat dari pundaknya.Seline duduk di karpet, menyender lembut di sisi sofa sambil memandang wajah Elang yang terlihat sedikit lebih damai. Di pangkuannya ada mangkuk kecil berisi irisan buah segar. Aroma manisnya memenuhi ruang tamu.Ketika Elang membuka mata perlahan, hal pertama yang dilihatnya adalah Seline yang sedang mengaduk-aduk buahnya dengan garpu kecil.“Kau bangun?” tanya Seline pelan tanpa menoleh.Elang menarik napas dalam. “Berapa lama aku tertidur?”“Tidak lama.” Seline menawarkan sepotong buah ke arahnya. “Makan dulu. Kau belum sentuh apapun sejak pulang.”Elang menerima dan memakannya. Untuk pertama kalinya hari itu, rasa manis itu terasa benar-benar masuk ke tubuhnya. Dia menatap Seline yang kini ikut duduk di sofa, menyelipkan rambutnya yang jatuh ke pipi.







