Bab 2 Pria itu Bernama Elang
"Saya mau pernikahan ini tetap di langsungkan." Semua orang membeku. Mata mereka kini tertuju pada satu orang—Ibu Lusi, ibu dari mempelai pria. Seline menegang. Suara perempuan itu tenang, tapi ada ketegasan yang tidak bisa dibantah. “Apa?” Ayah Alana menatapnya, jelas tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ibu Lusi meliriknya sekilas, lalu kembali berbicara, kali ini matanya tertuju pada Selin. “Saya hanya butuh mempelai wanita untuk menjadi istri anak saya. Tidak harus Alana.” Jantung Seline berdegup lebih kencang. Tidak harus Alana? “Tapi kesepakatan kita—” Ayah Alana masih mencoba bernegosiasi, wajahnya penuh ketegangan. Ibu Lusi tersenyum tipis. “Tidak ada yang berubah dari kesepakatan awal, selama pernikahan ini tetap berlangsung.” Selin merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan ini yang seharusnya terjadi. Seharusnya, setelah kebohongan ini terungkap, pernikahan akan dibatalkan. Seharusnya, dia bisa pergi dan mengakhiri semua ini. Tapi sekarang... Dia yang terjebak. ---- Di sinilah Selin sekarang. Berjalan menuju altar, mengenakan gaun pengantin yang seharusnya bukan miliknya. Langkah kakinya terasa berat, seolah ada beban yang mengikat pergelangan kakinya. Di depannya, berdiri seorang pria dengan setelan jas hitam yang sempurna. Calon suami yang bukan untuknya. Pendeta sudah siap, berdiri di sisi pria itu dengan kitab suci di tangannya. Semua orang menunggu, menanti momen sakral yang seharusnya menjadi hari bahagia. Tapi bagi Selin, ini bukan perayaan. Ini mimpi buruk yang berjalan terlalu jauh. Ini bukan yang dia inginkan. Bukan yang dia rencanakan. Pernikahan ini seharusnya batal. Setelah kebohongannya terungkap, semuanya seharusnya selesai. Tapi justru sekarang dia yang berdiri di sini, di depan orang-orang yang tidak mengenalnya, siap menikah dengan seseorang yang bahkan tidak dia ketahui namanya. Tatapan mempelai pria tetap sama sejak tadi—tajam dan dingin. Dia tidak menunjukkan keterkejutan, tidak juga keberatan. Seolah baginya, siapa pun yang berdiri di sisinya bukan masalah besar. Selin meremas jemarinya yang dingin, jantungnya berdebar keras. Haruskah dia tetap melangkah? Atau harusnya dia berlari? Janji itu terucap. Selin masih bisa mendengar suaranya sendiri, lirih dan bergetar saat mengulang kata-kata yang diminta pendeta. Jari-jarinya dingin, menggenggam erat buket bunga di tangannya. Ini nyata. Dia benar-benar menikah. Dengan pria yang bahkan tidak dia kenal. Matanya melirik ke telapak tangannya, di sana, dengan tinta samar yang mulai memudar, tertulis nama Alana. Nama yang seharusnya ada di posisi ini. Selin menelan ludah, menyadari bahwa semuanya telah melewati titik tanpa kembali. Ketika cincin itu melingkar di jari manisnya, saat sorakan dan tepuk tangan bergema di ruangan, dia tahu—hidupnya tak akan pernah sama lagi. Suasana di ruangan itu terasa begitu sunyi, seolah semua orang menahan napas. Selin bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang berdebar keras, nyaris memekakkan telinga. Jemarinya gemetar, menggenggam erat buket bunga di tangannya. Lalu, dengan gerakan perlahan tapi pasti, mempelai pria mengangkat tudung yang menutupi wajahnya. Saat kain tipis itu terangkat, Selin menatap wajah pria yang kini resmi menjadi suaminya. Untuk pertama kalinya, dia bisa melihatnya dengan jelas. Pria itu tampan. Terlalu tampan untuk seseorang yang menerima pernikahan dadakan tanpa ekspresi keberatan. Rahangnya tegas, mata tajamnya menatap lurus ke arahnya, penuh intensitas yang sulit diartikan. Tidak ada kejutan di matanya. Tidak ada kemarahan. Hanya ketenangan yang mengintimidasi. Jemarinya terangkat, menyentuh dagu Selin, mengangkatnya sedikit agar wajah mereka sejajar. Selin menahan napas. Lalu, dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua, pria itu berbisik, “Kau sudah menukar tempat, sekarang kau harus menanggung akibatnya.” Sebelum Selin sempat merespons, bibirnya telah dikunci dalam sebuah ciuman. Ciuman itu datang begitu saja. Bibirnya dingin, tetapi caranya menekan bibir Selin penuh kepastian. Seolah pernikahan ini memang sudah lama dia nantikan—bukan sesuatu yang baru saja berubah di menit terakhir. Selin membeku. Di sekeliling mereka, tepuk tangan dan sorakan tamu undangan menggema. Semua orang menganggap ini adalah momen romantis. Momen sakral yang menyatukan dua insan. Tapi bagi Selin, ini adalah titik di mana semuanya menjadi tak terkendali. Dia ingin mundur, ingin menarik diri dari ciuman ini. Tapi pria itu tidak memberinya kesempatan. Jemarinya menekan lembut tengkuk Selin, seolah memastikan bahwa dia tidak akan ke mana-mana. Ciuman itu tidak berlangsung lama, tetapi cukup untuk membuat napas Selin berantakan. Saat pria itu akhirnya menarik diri, dia menatap Selin lama. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang membuat Selin merasakan hawa dingin menjalar ke tulang punggungnya. “Selamat datang di hidup barumu,” ucapnya, suaranya datar tetapi penuh makna tersembunyi. Selin ingin membalas, ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, pria itu sudah meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Senyum tipis terukir di bibirnya saat dia berbisik lagi, kali ini lebih dekat ke telinga Selin. “Kita punya banyak hal untuk dibicarakan nanti, istriku.” Jantung Selin mencelos. Ternyata ini baru permulaan. Saat tangan pria itu menggenggamnya erat, Selin menyadari satu hal—tidak ada jalan keluar. Dia telah melangkah terlalu jauh. Acara pernikahan berlanjut dengan senyum bahagia dari keluarga pengantin pria, seolah semuanya berjalan sesuai rencana. Tidak ada tanda-tanda kekacauan, seolah fakta bahwa pengantin wanita telah berganti di menit terakhir bukanlah hal besar. Tapi Selin tahu. Di balik atmosfer meriah ini, ada sesuatu yang salah. Saat mereka berjalan menuju meja utama untuk duduk bersama keluarga, Selin mencuri pandang ke arah pria yang kini menjadi suaminya. Rahangnya tegas, ekspresinya tetap tenang, tetapi ada kilatan tajam di matanya yang membuat Selin waspada. Setelah acara usai, Selin berharap dia bisa pergi, kembali ke kehidupannya yang biasa—meskipun itu berarti harus menghadapi Alana dan masalah yang mengikutinya. ---- Acara pernikahan telah selesai. Tanpa pesta besar, tanpa keramaian. Hanya segelintir keluarga dekat yang menjadi saksi bersatunya dua insan yang bahkan tak saling mengenal. Selin kini duduk di dalam mobil pengantin, bersanding dengan pria yang kini resmi menjadi suaminya—Elang. Nama itu cocok untuknya. Elang—gagah, penuh wibawa, dan sulit ditebak. Sama seperti burung pemangsa yang terbang tinggi di langit, matanya tajam, seolah selalu mengamati mangsanya dengan penuh perhitungan. Tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, hanya ketenangan yang justru terasa mengancam. Mobil melaju pelan, menyusuri jalan yang basah oleh gerimis tipis. Langit sore mulai gelap, menciptakan suasana yang semakin sunyi. Tidak ada percakapan di antara mereka. Hanya suara roda yang melaju di atas aspal dan dengung samar musik dari radio mobil yang tidak ada yang peduli untuk mematikan atau mengganti salurannya. Selin tidak tahu tujuan mereka. Elang juga tidak berusaha menjelaskan. Setiap detik terasa seperti selamanya bagi Selin, sampai akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah. Rumah itu besar, berkelas, tetapi tidak berlebihan. Bukan tipe rumah yang penuh dekorasi mencolok, melainkan rumah dengan arsitektur modern yang didominasi kaca besar, dinding berwarna netral, dan taman luas yang tertata rapi. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh di bagian depan, memberi kesan megah namun tetap elegan. Lampu-lampu luar bersinar lembut, memberikan nuansa hangat di tengah udara malam yang mulai mendingin. Pintu gerbang terbuka otomatis saat mobil mendekat, seolah sudah ada seseorang yang mengawasi kedatangan mereka. Selin menelan ludah. Perasaan waswas kembali menyelinap ke dalam dadanya. Dia tidak tahu rumah siapa ini, atau apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi satu hal yang pasti—perjalanan hidupnya baru saja berubah selamanya.Bab 5 Pagi yang Canggung Elang duduk di stool bar dapurnya, menyesap wine dari gelas tinggi. Lampu-lampu rumah mulai dimatikan satu per satu, meninggalkan temaram cahaya yang berasal dari lampu gantung di atas meja dapur. Waktu sudah larut, tapi kantuk tidak juga menghampirinya. Pernikahan ini bukan keinginannya. Jika dia mau, dia bisa saja menolak. Tapi situasi memaksanya untuk menerima. Beberapa hari lalu, sebuah artikel berita menyebar luas, menuduhnya memiliki kelainan seksual. Isu itu didukung dengan foto dan video dirinya bersama seorang pria yang belakangan mengaku sebagai gay. Sialnya, pria itu mengklarifikasi bahwa berita tersebut benar adanya, dan Elang ikut terseret. Fakta bahwa dia masih melajang di usia 32 tahun, tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun, hanya memperparah spekulasi. Bukan hanya dirinya yang terkena dampaknya, tapi juga harga saham perusahaan keluarganya. Skandal ini mengguncang bisnis ayahnya, membuat kepercayaan kolega mereka menurun.
Bab 4 Terjebak di Pernikahan yang Salah Seline berdiri di lorong panjang rumah mewah ini, matanya menyapu sekeliling dengan bingung. Rumah ini terlalu luas, terlalu sepi, dan terlalu asing. Dinding putih bersih, lantai marmer dingin di bawah telapak kakinya, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-langit tinggi membuat tempat ini lebih mirip museum daripada rumah. Dia menghela napas, mencoba mengingat arahan yang diberikan tadi. Seharusnya kamar Elang ada di ujung lorong. Tapi semua pintu terlihat sama. Alih-alih kembali ke ruang tamu untuk bertanya, Seline memilih menebak sendiri. Di ujung lorong, ada satu pintu yang sedikit terbuka. Dengan ragu, dia mengetuk pelan sebelum mendorongnya lebih lebar. “Elang?” Pria itu ada di dalam, duduk di kursi dekat jendela besar yang menghadap halaman belakang. Jas pernikahannya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tanpa usaha apa pun, dia tetap terlihat rapi—dan entah kenapa, sedikit berwibawa. Elang m
Bab 3 Kesepakatan Seline turun dari mobil dengan sedikit kesulitan. Gaun pengantinnya yang panjang menyulitkan gerakannya, ujung kain tersangkut di pintu, membuatnya harus sedikit membungkuk untuk melepaskannya. Tidak ada yang membantunya. Elang sudah lebih dulu melangkah pergi, seolah tidak peduli apakah istrinya bisa keluar dari mobil dengan baik atau tidak. Dibiarkan begitu saja, Seline merasa... tidak dianggap. Bukankah biasanya pengantin pria membantu pasangannya turun? Atau setidaknya menoleh untuk memastikan semuanya baik-baik saja? Tapi tidak dengan Elang. Pria itu berjalan santai menuju pintu rumah tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Seline menghela napas, menggigit bibirnya untuk menahan perasaan tidak nyaman yang mulai muncul di dadanya. Dia mengikuti langkah Elang dengan sedikit ragu, mengamati sekeliling rumah yang kini menjadi tempat tinggalnya. Udara dingin menyelusup di kulitnya, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya meremang. Ada sesuatu tentang tempat ini
Bab 2 Pria itu Bernama Elang "Saya mau pernikahan ini tetap di langsungkan." Semua orang membeku. Mata mereka kini tertuju pada satu orang—Ibu Lusi, ibu dari mempelai pria. Seline menegang. Suara perempuan itu tenang, tapi ada ketegasan yang tidak bisa dibantah. “Apa?” Ayah Alana menatapnya, jelas tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ibu Lusi meliriknya sekilas, lalu kembali berbicara, kali ini matanya tertuju pada Selin. “Saya hanya butuh mempelai wanita untuk menjadi istri anak saya. Tidak harus Alana.” Jantung Seline berdegup lebih kencang. Tidak harus Alana? “Tapi kesepakatan kita—” Ayah Alana masih mencoba bernegosiasi, wajahnya penuh ketegangan. Ibu Lusi tersenyum tipis. “Tidak ada yang berubah dari kesepakatan awal, selama pernikahan ini tetap berlangsung.” Selin merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan ini yang seharusnya terjadi. Seharusnya, setelah kebohongan ini terungkap, pernikahan akan dibatalkan. Seharusnya, dia bisa pergi d
Seline Agnia Yorin duduk di depan cermin dengan jari-jari saling meremas di atas pangkuannya. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Napasnya terasa berat, dadanya sesak. Bayangan dirinya yang terpantul di cermin memperlihatkan sosok pengantin perempuan dengan riasan natural. Wajahnya tampak tenang, tapi hanya dia yang tahu, di balik tudung putih yang menjuntai lembut menutupi wajahnya, pikirannya sedang kacau. Seharusnya ini bukan dia. Seharusnya, yang duduk di sini adalah Alana, sahabatnya. Selin mengalihkan pandangannya ke sosok Alana yang berdiri di tepi jendela kamar, bersiap melarikan diri. Gaun pengantin sudah bukan miliknya lagi, melainkan Seline yang mengenakannya sekarang. Rencana ini sudah mereka susun jauh-jauh hari. Sejak awal, Alana menolak pernikahan yang diatur oleh orang tuanya. Dia punya pacar, dia punya pilihan sendiri. Hidupnya bukan sekadar skenario yang bisa ditulis orang lain. Mereka bertukar pakaian tepat setelah sang makeup artist undur diri. Semua