Acara pernikahan usai dengan segala gemerlapnya, dan kini hanya keheningan yang menyelimuti kamar hotel mewah tempat mereka menginap.Seline berdiri di tengah ruangan, perlahan melepas jas milik Elang yang masih melingkupinya. Ia tidak langsung meletakkannya, melainkan menyampirkannya di lengannya, seperti memeluk sesuatu yang tak ingin dilepas terlalu cepat.Di sisi lain ruangan, Elang berdiri membelakangi Seline, tengah membuka kancing bajunya satu per satu. Namun gerakannya terhenti ketika sebuah suara lirih memanggil namanya.“Elang.”Nada itu bukan sekadar panggilan. Ada keberanian yang diselipkan di balik ragu. Keberanian untuk bertanya tentang sesuatu yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Elang menoleh pelan, menatap Seline."Arlena itu... mantan kekasihmu?" tanya Seline akhirnya. Suaranya tenang, tapi ada getar yang sulit disembunyikan.Elang tak terlihat terkejut. Ia sudah menduga Seline tahu. Tapi yang tidak ia sangka, Seline memilih untuk menanyakannya secara langsung.“
Begitu mereka sampai di kamar mandi, Karina menutup pintu dengan tenang.Dan seketika, topeng ramah yang tadi ia kenakan lenyap.Wajahnya berubah dingin. Sorot matanya tajam. Cara berdirinya, bersedekap di ambang pintu, menciptakan jarak yang terasa menekan.Seline berjalan ke wastafel tanpa banyak bicara. Ia membasahi tangannya, lalu mulai mengusap bagian bajunya yang terkena noda minuman. Gerakannya tenang, tapi ada kegelisahan tipis di matanya yang memantul lewat cermin.Sementara itu, Karina hanya berdiri diam. Mengamatinya terang-terangan.“Kau memang miskin,” ucapnya akhirnya, nadanya ringan tapi penuh sindiran. “Tapi aku yakin kau tidak sebodoh itu untuk tidak paham situasi... dan tahu siapa Arlena sebenarnya.”Seline terdiam. Tangannya berhenti bergerak sejenak. Ia menatap Karina dari pantulan kaca, wajahnya tetap tenang.“Aku tidak tahu kau sedang bicara apa,” balasnya datar.Karina tersenyum miring. “Aku hanya ingin memperingatkanmu.”Ia melangkah masuk perlahan, suaranya te
Arlena menatap punggung Elang yang kini menjauh, masih menggenggam tangan istrinya dengan sikap posesif yang sulit diabaikan.Sorot matanya tajam. Bibirnya mengatup rapat.Langkah Elang begitu cepat, seolah tak ingin memberi ruang apa pun untuk interaksi—apalagi nostalgia.“Maaf, aku telat,” ucap seseorang yang datang dengan tergesa-gesa dari arah belakang.Arlena menoleh, tatapannya langsung tertuju pada perempuan itu. Sorot matanya masih menyiratkan kekesalan yang belum reda.“Kau tidak bilang Elang datang bersama istrinya,” katanya dingin, penuh protes.Karina berdiri tenang di sampingnya. Ekspresinya datar, suaranya tenang seperti biasa. “Kau tidak bertanya tentang itu.”Jawabannya sederhana. Tanpa pembelaan. Tanpa nada bersalah.Karina memang menjawab setiap pertanyaan Arlena dengan jujur. Tapi selalu singkat, to the point, dan tidak lebih dari yang ditanyakan. Ia memberi informasi, ya. Tapi hanya sebatas yang dibayar.Dan informasi dari Karina… tidak murah.Arlena tahu itu. Tapi
Hari keberangkatan ke Bali akhirnya tiba.Seline sudah menyiapkan semua sejak malam sebelumnya. Dua koper—satu untuknya, satu lagi milik Elang. Isinya tidak banyak, hanya pakaian secukupnya untuk perjalanan tiga hari dua malam. Bukan untuk liburan juga, pikirnya. Mereka ke sana hanya untuk menghadiri pernikahan, bukan bulan madu.Pagi itu, mereka diantar oleh sopir pribadi Elang. Saat sampai di bandara, Seline tidak perlu repot-repot menarik koper sendiri. Orang-orang Elang sudah mengurus semuanya, dari bagasi hingga akses masuk khusus.Tiket mereka kelas bisnis. Seline sempat mengernyit saat tahu detailnya. Elang memang tidak pernah setengah-setengah dalam hal kenyamanan.Dan saat mereka melangkah di area boarding, barulah Seline benar-benar merasa… ini seperti potongan adegan dari drama.Suaminya, Elang adalah CEO muda, sekaligus produser musik ternama, berjalan tenang di sampingnya. Dengan setelan kasual elegan, jam tangan mahal di pergelangan, dan kacamata hitam yang menggantung
Beberapa hari terakhir, hidup Seline hanya berputar di dalam apartemen.Bangun pagi, memasak, membersihkan ruangan seperlunya, lalu membiarkan waktu berlalu begitu saja. Kadang ia pergi ke swalayan kecil di dekat gedung untuk membeli kebutuhan harian. Tapi selebihnya, hari-harinya terasa datar dan sepi.Semua rutinitas itu mulai membuatnya bosan.Ia butuh melakukan sesuatu. Bukan untuk mengisi waktu, tapi untuk menjaga kewarasannya.Akhirnya, di suatu siang yang terasa terlalu lengang, Seline memutuskan keluar. Ia mengambil jaket tipis dan dompet kecil, lalu melangkah pergi tanpa tujuan yang pasti. Hingga langkahnya berhenti di depan sebuah toko alat kerajinan yang baru ia sadari keberadaannya.Seline berdiri sejenak di depan etalase, matanya menangkap gulungan-gulungan benang berwarna pastel dan rak berisi berbagai ukuran jarum rajut.Sesuatu dalam dirinya tiba-tiba terasa familiar.Merajut.Hobi lamanya yang dulu begitu ia sukai, namun perlahan terkubur karena kesibukan dan kebutuha
Dibalik pintu, Seline mendapati seorang perempuan berdiri tenang di ambang.Perempuan itu berpenampilan modis, mengenakan kaca mata hitam yang membingkai wajahnya dengan sempurna. Wajahnya cantik—terlalu cantik, bahkan. Sekilas, Seline sempat berpikir dia sedang melihat artis papan atas. Penampilannya terawat, gaya tubuhnya percaya diri, dan aroma parfumnya samar-samar tercium, elegan dan mahal.Seline berdiri kaku beberapa detik, lalu akhirnya membuka suara, mencoba bersikap sopan meski ada rasa heran yang tak bisa ia sembunyikan.“Maaf, cari siapa ya?”Perempuan itu tidak langsung menjawab.Sebaliknya, ia menatap Seline dari balik kacamata hitamnya, dari atas ke bawah, seolah sedang menilai sesuatu. Meski matanya tak terlihat, gestur tubuhnya cukup jelas, ada ketertarikan, tapi juga semacam penghakiman diam-diam.Seline mengerutkan kening kecil.Lalu, perempuan itu tersenyum tipis. "Oh. Maaf. Salah alamat," katanya ringan, sebelum berbalik dan pergi begitu saja.Seline masih berdiri