Sarapan pagi ini terasa berbeda. Bukan karena menu di atas meja, atau cuaca di luar jendela, tapi karena pikiran Seline yang tak henti dipenuhi kegelisahan.Ia duduk diam, menatap piring tanpa niat menyentuh makanan. Rasa lapar sama sekali tak hadir. Yang ada hanya bayangan satu garis tipis yang kembali muncul di test pack pagi ini.Di seberangnya, Elang menikmati sarapannya seperti biasa. Terlihat tenang, seolah semuanya berjalan normal. Tapi tidak bagi Seline.Dengan suara pelan, nyaris tak terdengar, ia membuka mulut."Elang… apa ada yang salah sama aku?"Elang menghentikan gerakannya. Potongan roti di tangannya diletakkan perlahan ke piring. Tatapannya beralih pada Seline, penuh perhatian.Seline masih menunduk, jemarinya menggenggam sendok erat-erat.“Aku sudah mencoba… tapi hasilnya sama. Mungkin, aku yang bermasalah.”Elang tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, sebelum akhirnya mengulurkan tangan, menggenggam jemari Seline dengan mantap."Bukan kau," ucap Elang tenang.
Pagi ini, dia kembali berharap. Seline berdiri di depan wastafel, menatap tespack di tangannya dengan jantung berdegup tak karuan. Napasnya terasa berat, seolah tubuhnya tahu lebih dulu apa yang akan terjadi sebelum pikirannya bisa mencerna. Garis satu. Lagi-lagi garis satu. Dadanya terasa sesak. Kekecewaan merayap pelan, menghimpit harapannya yang sempat tumbuh. Dia menggigit bibir, menahan rasa frustrasi yang mulai menguasai pikirannya. Sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, suara langkah mendekat dari belakang membuatnya terperanjat. Pintu kamar mandi terbuka, dan di sana berdiri Elang. Seline tersentak. Refleks, dia menyembunyikan tespack di balik tubuhnya. Matanya membulat, seolah tertangkap basah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan.Elang, yang awalnya terlihat masih sedikit mengantuk, kini mengerutkan kening, tatapannya dengan cepat menangkap ekspresi gugup Seline. Dia melangkah mendekat, tubuhnya lebih tegap, seakan sudah bisa menebak sesuatu."Apa yang kau s
Arlena mendekat, menyapa Elang dengan anggukan kecil dan melirik Seline sekilas. Bukan dengan tatapan sinis, tapi dengan senyum tipis yang menyiratkan banyak arti. Seline balas menatap, tetap tenang, meski perutnya terasa seperti diikat simpul.Elang tidak melepas genggaman tangan Seline, bahkan mempereratnya.Lalu, tanpa banyak bicara, mereka kembali melangkah ke dalam gedung. Karpet merah hanya bagian awal. Pertunjukan sebenarnya baru akan dimulai di atas panggung… dan mungkin juga dalam hidup mereka masing-masing.***Lampu sorot berpendar. Musik latar bergema dari panggung megah yang dipenuhi dekorasi gemerlap. Para tamu duduk rapi di kursi undangan, mengenakan pakaian terbaik mereka.Beberapa nominasi telah diumumkan. Penampilan para penyanyi dan host yang sesekali melontarkan lelucon menjadi jeda antar ketegangan. Hingga akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu datang.“Dan inilah saatnya kita mengumumkan… Lagu Baru Terpopuler Tahun Ini!”Tepuk tangan riuh terdengar. Di layar besar m
Keesokan harinya, Elang benar-benar menepati ucapannya. Ia membuka pintu ruang kosong di samping ruang kerjanya, lalu berdiri di ambang pintu bersama Seline.“Mulai sekarang, ini ruangmu,” ucap Elang.Seline melangkah masuk, menelusuri ruangan sederhana dengan jendela besar yang menghadap ke balkon kecil. Dindingnya masih polos, tapi ruangan itu cukup luas untuk meja kerja, rak penyimpanan, dan sudut kecil untuk live streaming.“Ini terlalu bagus...” gumam Seline, seolah masih ragu ruangan itu benar-benar untuknya.“Belum. Tapi akan jadi bagus kalau kau mulai mengisinya,” sahut Elang sambil berjalan ke dalam, membuka tirai, dan membiarkan cahaya matahari masuk memenuhi ruangan.Siangnya, mereka mulai menyusun ulang ruang tersebut. Elang memindahkan rak kecil dari gudang untuk menyimpan hasil rajutan, sedangkan Seline menata alat dan benangnya sesuai warna.Sore harinya, Seline mulai memotret hasil rajutannya untuk katalog online. Elang memperhatikannya beberapa saat sebelum akhirnya i
Setelah makan malam, Elang dan Seline memindahkan aktivitas mereka ke sofa. Mereka memilih menonton film di Netflix. Cara sederhana tapi cukup untuk menghabiskan malam bersama.Lampu ruang tengah diredupkan. Popcorn sudah disiapkan dalam mangkuk besar, diletakkan di antara mereka. Sebuah selimut tipis menutupi kaki mereka yang bersisian.Tidak ada obrolan panjang. Mereka hanya fokus pada layar. Sesekali Seline tertawa kecil atau berkomentar pelan saat adegan film terasa konyol. Elang hanya menoleh singkat, tersenyum, lalu kembali pada film.Beberapa kali tangan mereka bersentuhan saat mengambil popcorn. Awalnya biasa saja, tapi lama-lama tak ada yang berusaha menghindar. Tidak juga menjauh.Seline menyandarkan kepalanya ke bahu Elang tanpa berkata-kata. Elang tidak bereaksi secara verbal, tapi ia sedikit menggeser tubuhnya agar posisi mereka lebih nyaman.Di tengah film yang sedang berjalan, suara Seline pelan tapi cukup jelas memecah keheningan.“Tadi siang… Arlena datang menemuiku.”
Malam tiba. Hujan baru saja reda ketika suara pintu apartemen terbuka.Seline, yang tengah menyelesaikan rajutannya di ruang tengah, menoleh. Ia sempat mengira Elang akan makan di luar. Pria itu sempat berpesan agar Seline tidak memasak malam ini. Tapi ternyata, pria itu justru pulang membawa kantong belanjaan di salah satu tangannya.Jaket Elang terlihat sedikit basah. Mungkin terkena hujan saat ia kembali ke mobil di parkiran setelah berbelanja.Tanpa pikir panjang, Seline bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri pria itu.“Kau kehujanan,” ucapnya pelan, membantu melepaskan jaket Elang.“Sedikit,” jawab Elang santai.Ia melangkah menuju dapur, meletakkan kantong plastik di atas meja, lalu mulai menggulung lengan kemejanya. Gerakannya tenang dan rapi. Ia mencuci tangan terlebih dahulu, kemudian mulai mengeluarkan satu per satu bahan belanjaannya.Aroma segar dari bahan makanan mentah mulai menguar di udara.Seline mendekat, berdiri di ambang dapur sambil memerhatikannya dengan pa