Share

Bagian Keempat

Dalam sejarah persahabatanku dengan Ali, baru kali ini dia mengajakku ke rumah perempuan. Artinya ini benar-benar serius. Kira-kira semester tujuh akhir Ali pernah bercerita kepadaku tentang perempuan yang dia sukai itu. Perempuan tersebut masih adik kelas satu tahun di bawah kami. Kami Jurusan Bimbingan Konseling Islam sedangkan perempuan itu Jurusan Psikologi.

Ali bercerita kepadaku bahwa dia mengenal perempuan itu lewat f******k. Siapa sangka ternyata masih satu kampus, hanya beda fakultas saja. Awalnya Ali kagum sama pemikiran-pemikiran perempuan itu yang diunggah dalam status f******k. Ali pun mulai sering stalking f******k perempuan yang dimaksud. Lalu mulai menyapa dan mengobrol lewat chat. Kemudian makin ke sini, Allah menghadirkan rasa cinta di hati Ali.

Jangan dibayangkan Ali pacaran! Bahkan berbicara secara langsung dengan perempuan yang disukainya itu, Ali tidak pernah. Ali sekali-kali bukan pemuda yang seperti kebanyakan pemuda. Dan kisah cinta yang seperti ini benar ada dalam kehidupan nyata. Bahkan berbicara empat mata pun mereka tidak pernah. Serius! Alasan umumnya karena jarak. Atau kemungkinan yang kedua yaitu karena orang-orang yang seperti ini benar-benar menjaga kesucian jiwanya.

Hari yang ditunggu telah tiba. Aku dan Ali bertemu di kampus. Kami saling bersalaman meminta maaf di hari yang fitri. Kemudian Ali bercerita, bahwa dia sudah mengatur jadwal akan bertemu di hari lebaran. Dan perempuan itu mengusulkan supaya Ali datang bersama temannya. Tanpa disuruh pun sebenarnya Ali tidak mungkin datang sendiri. Lalu kami berangkat ke alamat yang dituju dengan mobil. Ali membawa mobil Daihatsu Xenia berwarna hitam. Jadi aku memarkirkan motorku di halaman masjid kampus.

Setiba kami di depan rumah yang dimaksud. Aku sempat terkejut karena aku kira perumahan biasa. Ternyata rumahnya berada dalam kawasan perumahan elit di daerah Masjid Nasional Al Akbar Surabaya. Rumah itu cukup besar dan berlantai dua. Design bangunannya kekinian. Di depan pagar rumah itu terparkir mobil Toyota Yaris berwarna merah. Sedangkan di bagian garasi terlihat mobil Pajero Sport. Mobil buatan Mitsubishi yang diparkir di garasi itu berwarna putih. Tidak salah lagi. Memang alamat ini yang disampaikan.

Kami turun dari mobil dan dengan cepat memimpin tubuh masing-masing beranjak ke depan pagar rumah. Pagar yang berwarna hitam itu terkunci. Namun terlihat dari depan pagar bahwa pintu rumah terbuka. Kemudian Ali memencet tombol yang terletak di bagian kiri tembok yang bersebelahan dengan pagar. Setelah bel berbunyi, tidak menunggu begitu lama. Perempuan paruh baya menghampiri kami. Lalu menanyakan maksud kedatangan kami berdua. Setelah tahu kami mau bertemu Putri, perempuan paruh baya itu bergegas membukakan pagar dan mempersilahkan kami langsung menuju ruang tamu.

Singkat cerita, perempuan paruh baya itu masuk ke dalam lalu memanggil yang punya rumah. Kemudian datanglah Putri bersama kedua orang tuanya. Kami berdua spontan bersalaman secara bergantian dengan kedua orang tua Putri. Kecuali dengan Putri, kami cukup menelungkupkan kedua tangan kami persis di depan dada. Putri pun melakukan hal yang sama.

Pertama kali aku melihat keluarga ini, intuisiku langsung mengatakan mereka semua orang baik. Dan ketika aku fokus melihat Putri, aku juga langsung tahu bahwa dia orang baik. Wajahnya memancarkan aura positif. Yang seperti ini tidak bisa dipelajari, datang dengan sendiri dan hanya bisa dirasakan.

Jadi tidak salah kalau Ali suka sama Putri. Sebab aku tahu betul bagaimana Ali. Dan memang seperti inilah seharusnya belahan jiwa sahabatku itu. Keduanya menurutku pas, cocok, setara, serasi, selevel, dan kawan-kawannya. Ali, sudah aku bilang dari awal bahwa dia orangnya baik. Setelah melihat Putri pertama kali, alam bawah sadarku juga mengatakan dia baik. Kemudian jika melihat rumahnya, tak diragukan lagi Putri anak orang kaya. Bagaimana dengan Ali? Dia juga dari keluarga berada. Keluarganya mempunyai satu villa di daerah Pacet, Mojokerto.

Setelah bersalaman. Kami semua duduk. Tatanan kursi dan meja di ruang tamu rumah Putri membentuk huruf U. Aku memilih duduk di kursi bagian U yang paling dekat dengan jendela. Aku duduk paling ujung dan paling dekat dengan pintu masuk. Ali di samping kananku. Kemudian secara berurutan Putri, Ibunya, dan Ayahnya duduk di kursi bagian U yang merapat ke tembok.

Karena kami belum pernah bertemu sebelumnya, bahasan dalam pertemuan itu cukup nyaman. Ngobrol ringan, bertanya ini itu, seperti saling berkenalan. Tapi aku heran, mengapa kedua orang tua Putri justru sering bertanya tentang aku. Dan bahkan Putri pun beberapa kali juga menanyakan hal-hal yang menurutku cukup kepo. Aku jadi tidak enak sama Ali. Karena justru sepertinya aku yang menjadi topik utama dalam pembicaraan tersebut.

Tiba-tiba sesuatu yang tidak ada dalam benakku dan mungkin juga tidak ada dalam benak kedua orang tua Putri terjadi. Yaitu ketika Ali mengatakan..

“Pak, bu, mohon maaf kalau saya lancang atau bahkan tidak tahu diri. Dari obrolan beberapa saat yang lalu mungkin Bapak, Ibu sudah tahu sedikit tentang saya. Sekarang, saya mau berbicara jujur. Demi Allah saya menyukai Putri. Jadi selain silaturahmi, saya datang ke sini juga bermaksud melamar anak bapak secara tidak resmi. Jika diterima, segera saya akan mengajak keluarga saya untuk melamar secara resmi” Pengakuan yang cukup berani, tanpa basa-basi, dan gentle.

Suasana jadi hening. Seperti yang aku bilang, aku sendiri sebagai teman tidak diberitahu kalau kejadiannya akan seperti ini. Apalagi kedua orang tua Putri. Tapi aku tidak tahu apakah Putri sudah diberitahu atau tidak.

Aku melihat ke arah kedua orang tua Putri. Ekspresi wajah mereka menunjukkan ekspresi terkejut. Namun karena kedewasaan, mereka berdua dengan segera mengambil alih perubahan ekspresi itu. Sementara itu Putri tak kalah terkejutnya. Lihatlah, dalam suasana hening beberapa detik terakhir masih menunjukkan ekspresi terkejut, tercengang, tak menduga. Melihat ekspresinya, maka aku berkesimpulan bahwa Putri juga tidak tahu kalau Ali akan mengatakan pernyataan baik yang mengejutkan itu.

“Saya suka sekali dengan pemuda seperti Mas Ali ini. Jelas, jujur, apa adanya. Mungkin semua perempuan yang mau menjalin hubungan serius, hubungan yang sah, pernikahan, sangat membutuhkan kepastian dari sosok laki-laki seperti yang Mas Ali lakukan barusan. Tapi keluarga kami terbiasa demokrasi. Saya sebagai kepala keluarga belum bisa memutuskan tanpa mendengar masukan dari anggota keluarga yang lain. Saya tahu Mas Ali orang berpendidikan. Dan anak saya juga berpendidikan. Dia bertanggung jawab atas pilihan jalan hidupnya. Karena Mas Ali langsung to the point, maka saya juga ingin mendengar langsung dari yang bersangkutan” Dengan bijak ayah Putri membuka suara. Dia langsung melirik ke arah anaknya.

Kini semua mata tertuju kepada Putri. Menunggu keputusan apakah yang akan keluar dari mulutnya. Suasana jadi hening. Waktu seakan berhenti beberapa saat. Aku sendiri tak habis fikir mengapa aku bisa terlibat dalam suasana seperti ini.

Suasana masih hening. Ibu Putri jelas tak menyangka. Jadi ia hanya diam namun mengikuti tiap detail alur pembicaraan. Mendapati putrinya yang masih diam. Ibu Putri yang duduk di sebelah Putri segera menyentuh lengan anaknya tersebut. Seperti memberitahu bahwa semua orang sedang menunggu apa yang akan dijawabnya.

Beberapa saat kemudian Putri menguasai dirinya, dia berusaha menyiapkan kata-kata. Dan inilah yang keluar dari mulutnya..

“Mohon maaf, aku tidak bisa menerima lamaranmu Mas Ali..”

Kata-kata Putri itu seketika meruntuhkan kepercayaan diri Ali yang telah kokoh tak tertandingi. Padahal dengan sangat jujur dan gentle sahabatku itu memberanikan diri mengutarakan maksud hatinya. Suasana jadi hening lagi. Semuanya diam. Ali malah tak bisa berkata-kata lagi. Aku tak bisa menggambarkan bagaimana suasana hati Ali pada saat itu. Melihat ekspresi wajahnya saja aku sangat simpati. Aku tak menyangka sama sekali. Walaupun dari ekspresi yang aku lihat di awal Putri cukup terkejut. Tapi aku kira Putri bakal menerima. Bagaimana mungkin Ali dengan tegas berani menyatakan melamar, kalau saja ada tanda-tanda tidak diterima?

Melihat hati yang patah di depan mata, ayah yang bijak itu mencoba mengambil alih kendali. Orang yang menolak sesuatu pasti ada alasannya. Maka setelah diam beberapa saat, ayah Putri langsung menanyakan apa alasan putrinya tersebut.

“Sayang, apa keputusanmu itu sudah final? Sudah dipikir masak-masak?” Tanya ayah kepada anaknya.

“Iyah Pa..” Jawab Putri yang ternyata memanggil papa.

“Baik, sekarang berikan kami alasan sehingga kami semua tahu dan bisa menerima mengapa kamu menolaknya?” Sang ayah langsung mendesak putrinya untuk segara memberikan alasan.

“Karena aku mencintai orang lain Pa..” Putri menjawab dengan datar, tapi menggelegar.

Tentu saja jawaban Putri itu sangat mengejutkan. Dari sudut-sudut kelopak mata Ali aku melihat ada butiran halus muncul di sana. Tapi Ali berusaha menahannya agar tidak jatuh. Hari itu aku benar-benar dalam suasana yang tak sedikitpun aku bayangkan.

“Siapa orangnya?” Desak sang ayah sekali lagi.

“Orangnya ada di sini juga Pa. Namanya Muhammad Faiz”

“Hah? Aku? Apa aku tidak salah dengar?”

Pernyataan Putri yang terakhir ini tidak hanya mengejutkan. Tapi satu tingkat di atas itu. Menggemparkan, atau apalah itu namanya. Hatiku tak karuan. Sadar tapi ling-lung. Aliran listrik berserta sifat kejut, panik, panas, berisi, takut, sedih, gembira, marah, senang, susah, bahagia, serba salah, dan semua rasa berkumpul menjadi satu mengalir menuju dadaku. Bagai gunung, bagian ini adalah puncak ketegangan dalam peristiwa yang entah ini salah atau benar tetapi aku terlibat di dalamnya. Seperti dalam cerita dongeng.

“Tidak mas. Kalau kamu yang melamar. Aku menerimanya” Putri tak kalah to the point.

Aku masih tak menyangka, tak menduga, tak mengira, dan kata-kata senada. Lagi-lagi ayah Putri memegang kendali.

“Nah, semuanya sudah clear. Sudah mendapat jawabannya. Begitu Mas Ali mengutarakan maksudnya, sebenarnya saya salut. Tapi ternyata anak saya memilih pemuda ini. Yang tak lain adalah teman Mas Ali sendiri”

Kali ini butiran halus di bagian sudut-sudut mata Ali jatuh juga. Mungkin dia sudah berusaha sekuat tenaga menahan air matanya. Namun apalah daya, tetap tak dapat dibendung juga. Sungguh orang yang menangis adalah tanda orang yang kuat. Dan justru orang yang tidak dapat menangis adalah orang yang sangat lemah.

“Kalau begitu saya mohon maaf. Saya terlalu percaya diri. Saya tidak tahu kalau Putri ternyata menyukai Faiz. Saya masih egois, saya kira dengan mencintai seseorang otomatis orang itu mencintai saya juga. Berarti selama ini saya yang salah mengartikan” Ali mengucapkan kalimat itu dengan ketegaran, hingga menggetarkan jiwa-jiwa kami yang mendengarnya.

“Terus bagaimana Mas Faiz. Sekarang apa yang mau kamu katakan?” Ayah Putri masih memimpin pembicaraan. Dan sebenarnya aku agak geli dengan pertanyaan tersebut. Secepat itu kah? Terus apa mereka tidak memperhatikan bagaimana keadaan hati sahabatku, Ali?

“Jujur ini sangat mengejutkan. Saya masih tak percaya. Dengan segala hormat, saya tidak bisa menjawab sekarang. Beri saya beberapa hari untuk berfikir. Dan maaf kalau saya lancang. Apa boleh kita sudahi dulu silaturrahim ini?” Aku meminta izin undur diri. Karena suasana begitu tidak nyaman.

“Iyah, baiknya kita sudahi dulu. Kami menunggu keputusan Mas Faiz. Semoga keputusan Mas Faiz itu keputusan yang terbaik. Dan kami berharap Mas Faiz tidak mengecewakan putri kesayangan kami”

Aku lantas berdiri. Lalu Ali menyusul aku. Kemudian kami berpamitan dengan bersalaman seperti diawal perjumpaan. Sebelum beranjak meninggalkan ruangan itu, aku sekali lagi menatap mata Putri. Putri pun menatapku. Pandangan kami berdua bertemu. Aku melihat matanya lalu terbawa menerawang jauh ke dalam. Arus itu terus membawaku menuju hatinya. Aku dapati begitu banyak cinta bermuara di sana. Juga harapan aku mau menerimanya. Lalu rasa rindu yang begitu besar akan perjumpaan kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status