Percintaan panas yang terjadi kini telah usai sejak beberapa menit yang lalu. Sekarang, baik Ina maupun Amir tidak ada yang membuka suara. Keduanya menenggelamkan tubuhnya di balik selimut sampai leher, keduanya berhadapan dengan memberikan sedikit jarak. Amir mengangkat tangannya, meletakkan tepat di atas surai Ina lalu menyingkirkan beberapa anak rambut yang menutupi wajah cantiknya. “Capek?” tanya Amir pelan.Ina menggerakkan sedikit tubuhnya, mengangguk. “Kamu kayak orang kelaperan nggak dikasih makan satu minggu tahu nggak.”“Lah kan memang,” kekeh Amir tersenyum menggoda membuat Ina memutar bola matanya.“Untung aku bisa ngimbangin kamu.” “Kamu kan memang yang terbaik,” puji Amir mengusap pipi Ina. “Ai, ada yang mau aku ceritain ke kamu.” “Apa?” tanya Ina menaikkan sebelah alisnya. Amir menghembuskan napasnya, “Janji tapi jangan marah ya?”“Memangnya apa sih? Penasaran aku, sampe harus janji segala,” balas Ina mengerutkan kening.“Ya pokoknya. Janji dulu jangan marah,” kata A
Ina memeluk lengan tangan Amir, keduanya baru saja turun dari mobil–melangkahkan kakinya memasuki rumah. Tapi langkah Amir terhenti, ketika sorot matanya menangkap sebuah kotak coklat di dekat pintu, sontak Ina pun ikut berhenti melangkahkan kakinya, mengikuti arah pandang Amir. “Paket,” gumam Ina mulai mendekat, tapi Amir menahannya.“Bentar, kamu pesen sesuatu?” tanya Amir menatap Ina. Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Yaudah kalo gitu, aku aja yang lihat. Kamu diem di sini,” lanjutnya membuat Ina mengangguk patuh.Amir berjongkok, lalu meraih kotak coklat itu. “Aneh, nggak ada nama pengirimnya. Atau apa pun itu.”“Coba buka, ai,” kata Ina.“Kita masuk dulu aja, buka di dalem.”“Tapi kalo isinya aneh-aneh gimana. Udah di luar aja,” kata Ina takut.“Kalem, ada aku,” balas Amir mengedipkan sebelah matanya–berniat untuk mencairkan suasana.“Tapi....”“Nggak ada yang perlu ditakutin,” balas Amir dengan cepat–menarik pergelangan tangan Ina mengajaknya masuk.Mereka duduk di atas sofa,
“Kayaknya semalem ada yang bilang mau nemenin sampe jam setengah dua belas,” sindir Ina sembari memasukkan camilan ke dalam mulutnya.Amir yang sedang mengoleskan selai ke atas roti sontak menghentikan aktivitasnya. “Siapa tuh, ai?” tanyanya dengan wajah polos.Ina mengedikkan bahunya. “Tau tuh. Aku juga lupa siapa dia.”“Php banget dia,” bales Amir yang diangguki Ina.“Saking phpnya sampe nggak sadar diri,” imbuh Ina membuat Amir terkekeh.“Tadi malem tuh, udah aku paksain buka mata. Tapi tetep aja nggak kuat,” ujar Amir menjelaskan. “Tau sendiri, kan aku lemah dalam hal begadang.”“Lemah apaan. Kalo begadang tapi berhubungan dengan jatah aja betah,” balas Ina mengejek.Amir terbahak mendengar jawaban tidak terduga istrinya. “Wah itu udah beda cerita, ai.”“Beda cerita apanya, sama aja itu,” balas Ina.“Nggak dong. Bedanya, kan kalo begadang karena jatah jadi lebih semangat," balas Amir tidak mau kalah membuat Ina mendengus keras.“Bisa aja jawabnya,” ujar Ina meniru kalimat Amir sep
Sejak turun dari mobil hingga sudah mengganti pakaiannya, Ina masih diam seribu bahasa enggan membuka suara dan tetap juli pendiriannya. Sedangkan Amir, pria itu diam di tempatnya di atas kasurnya dengan pandangan mata yang tidak lepas dari istrinya, Ina. Amir terus menatap setiap gerak-gerik Ina dan tidak mengalihkan pandangannya sedetik pun. Bahkan hingga Ina naik ke atas kasur dan mulai membaringkan tubuhnya, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga leher. Dan ketika Ina membalikkan badannya untuk membelakangi Amir, membuat pria itu mendesah kasar. “Ai, jangan belakangin aku dong,” gumam Amir mengusap bahu Ina yang tidak tertutup kain. Ina bergeming di tempatnya. Ia sedang berusaha menahan tawa agar tidak pecah seketika karena suaminya itu sedang merayu padanya. Ah menggemaskan. Batin Ina. Ia suka ketika melihat Amir yang sedang merajuk tetapi tidak mungkin bukan jika ia melakukan sandiwaran ini lebih lama. Ia tidak bisa dan tidak tahan jika harus menahan semua ini, melihat
“Aku udah beliin baju tidur, dipake aja.” Amir memberikan tas berwarna coklat pada Ina. “Ada handuk sama peralatan mandi.”Tanpa banyak bicara, Ina menerimanya dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Amir memilih untuk duduk di balkon kamar sembari menikmati udara malam. Ia mengambil rokok di saku celananya. Ya, perlu kalian ketahui jika Amir adalah perokok, tetapi tidak sesering orang-orang pada umumnya. Amir hanya merokok jika dia ingin saja atau sedang merasa banyak pikiran. Bahkan bisa dihitung dengan jari berapa banyak dirinya merokok dalam satu bulan. Paling banyak yang dilakukannya selama ini sampai lima batang rokok saja.Alia Sasmitha: HaiBunyi notifikasi membuat Amir dengan gerak cepat menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Alia Sasmitha terlihat jelas. Wanita itu mengirim dm padanya. Setelah itu, Amir hanya mengabaikan. Ia tidak memiliki niat untuk membalas, bahkan sekedar membacanya saja. Sangat tidak penting baginya untuk menanggapi hal seperti it
“Gimana ai, udah siap?” Amir masuk ke dalam kamar. Entah sudah berapa kali pria itu kembali masuk hanya untuk mengecek apakah istrinya sudah siap atau belum.Ina menyengir hingga memperhatikan giginya. “Bentar, dikit lagi.”Amir menggelengkan kepalanya, terkekeh kecil. “Udah sejam setengah lebih aku cuma nunggu kamu selesai semuanya.”“Ya harap maklum, ai. Namanya juga perempuan. Tau sendiri kan,” balas Ina membela diri. “Padahal nggak perlu lama-lama dandannya juga udah cantik, kamu itu.” Puji Amir yang bersandar di dinding sembari menatap istrinya.Ina memutar bola matanya, lalu berdiri dan menatap Amir. “Kalo cantik mah, dari dulu juga udah. Nggak perlu diperjelas lagi,” ujarnya percaya diri.“Kamu ini. Udah ayo, keburu telat. Aku nggak enak sama pak bos,” ujar Amir meraih tangan Ina untuk digenggam. Mereka cukup serasi malam ini. Karena memang nyatanya juga mereka selalu saja serasi di mana dan kapan pun itu mereka berada. “Naik motor apa mobil?” tanya Ina saat mereka sudah bera
Selesai bekerja, Amir tidak langsung pulang. Ia berniat untuk mampir terlebih dahulu ke toko bunga yang dekat dengan kantornya bekerja. Ia memang sudah memesan sebuah buket bunga dan juga kejutan kecil lainnya untuk istrinya, karena nanti malam peragaan busana yang memang sudah dipersiapkan oleh istrinya itu akan dimulai malam nanti. “Selamat sore ... selamat datang di Lembayung's Florist. Ada yang bisa Saya bantu?” Amir menatap salah satu pegawai yang menyapanya. “Saya mau mengambil pesanan buket bunga atas nama Amir Habiburrahman.”“Oh, Pak Amir. Silakan, Pak. Buket bunganya sudah siap sesuai dengan keinginan.” Pegawai itu langsung saja mengantarkan Amir untuk melihat pesanannya yang sudah jadi. Di atas meja sebuah buket berukuran sedang bunga mawar merah berjumlah lebih dari 100 tangkai bunga terlihat cantik. Amir menatap puas, lalu menatap pegawainya merasa senang. “Langsung saja saya bayar sisanya.”“Baik, Pak,” ujar si pegawai. “Tiga ratus lima puluh ribu.”Setelah melakukan
“Mau teh, ai?" tanya Ina menawarkan. Sore ini, hujan mengguyur Kota Bogor. Sudah sejak dua jam yang lalu, hujan sudah turun. Amir juga pulang lebih awal dari biasanya, sedangkan Ina memang tidak pergi ke butik. Karena dirinya memang sudah memutuskan untuk mengurangi aktivitas di butik apalagi semalam baru saja ada acara pagelaran busana. Amir yang sedang duduk di teras sembari menikmati rintikan hujan yang sudah mulai gerimis dan tidak sederas tadi menoleh. Ia tersenyum mengangguk. “Boleh, mie rebus pake telor ditambah sama cabe enak nih, ai,” balasnya memberi usulan membuat Ina tersenyum lebar.“Cocok tuh ai, sama hawanya,” ujar Ina bersemangat. “Yaudah aku masak dulu, ya.”Sembari menunggu Ina selesai memasak, Amir kembali sibuk pada tab yang ada di tangan kirinya. Ia sedang membuat desain untuk sebuah resto bergaya tradisional. Di tengah kesibukannya, membuat Amir tidak menyadari jika sebuah mobil memasuki pekarangan rumahnya.Seorang wanita turun dari mobil dengan payung hitamny