Share

Perlakuan Mama Mertua

Penulis: DeealoF3
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-21 21:19:36

Tiba-tiba saja Mas Daffi sudah berada di belakangku.

"Hei, kamu nggak denger anakku barusan bilang nggak mau? Ya sudah nggak usah dipaksa! Kalau punya telinga itu dipakai yang benar!" Dengan suara dinginnya, lagi-lagi Mas Daffi menghardikku kasar di depan Liana. Hih, rasanya ingin kuremas saja mulut suamiku itu, tapi tidak mungkin kulakukan. Karena biar bagaimanapun dia adalah lelaki yang harus aku hormati.

"Liana sayang, cepetan selesaikan sarapannya, setelah itu kita berangkat. Papa tunggu di depan ya," ujar Mas Daffi lembut, sangat jauh berbeda dengan sikapnya padaku tadi. Aku masih sangat bersyukur, karena walaupun ia membenciku, tapi ia begitu menyayangi putri kami. Mas Daffi lalu beranjak dari meja makan, meninggalkan aku dan Liana berdua saja.

Sepeninggal Mas Daffi, dengan mata kecilnya Liana menatapku tajam. "Ibu nggak usah lagi bikinin sarapan buat Liana, biar Bibik aja." Ia pun ikut beranjak pergi menyusul ayahnya.

"Eh, tunggu, cium tangan dulu, dong." Kuulurkan punggung tangan ke depan wajahnya.

Walau dengan wajah ditekuk, tapi Liana tetap mematuhi kata-kataku. Lalu dengan gerakan cepat, segera kucium kedua pipinya. Tak kupedulikan kalimat protes yang keluar dari mulut mungilnya. Tak apa, itu saja sudah membuatku sangat bahagia.

Segera kumanfaatkan waktu untuk menciumi pipi tembemnya, karena selama ini Liana hampir tidak mengizinkanku untuk menyentuhnya. Aku hanya bisa menyentuhnya dengan sepuasnya saat ia tidur. Anakku itu ikut membenciku karena terpengaruh dari perlakuan buruk ayah dan neneknya yang hampir setiap hari selalu aku terima.

***

"Riana, kamu itu ga capek apa, tiap hari dihina Daffi terus? Mbok ya kamu itu pergi aja dulu sementara dari rumah ini?" Mama Juwita yang baru saja tiba, langsung mengeluarkan kata-kata andalan dari dalam mulut.

Kuhirup napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Berusaha agar tidak terpengaruh dengan kalimat tajam Mama Juwita.

"Suami dan anak saya, kan ada di sini, Ma. Jadi tempat saya ya di sini juga, saya ga bisa pergi," ucapku membalas ucapannya sesantai mungkin.

"Iya, tapi mama itu ga tega lihat kamu tiap hari selalu sedih karena ulah Daffi," ujarnya sarkas.

"Dulu, ada suami saya yang selalu ngedukung kamu. Sekarang suami saya udah ga ada, apa lagi yang kamu bisa harapkan di sini? Bahkan Liana saja tidak ingin berdekatan dengan kamu. Wajahmu itu udah bikin semua orang di sini merasa gak nyaman."

Aku sadari memang sepeninggal Papa Asmoro, sikap Mama Juwita dan Mas Daffi semakin 'baik' saja.

"Astagfirullah, Nyonya. Ga baik bicara begitu." Bik Sumi, asisten rumah tangga kami, mencoba menasehati.

"Bik, Bik Sumi ga usah ikut-ikutan, ya! Ga usah ngebela dia! Ini rumah anak saya, majikan yang udah ngegaji kamu. Berarti saya ini juga majikan kamu!"

"Ma-maaf, Nyonya. Saya hanya ...."

"Udah, Bik, ga papa," ujarku lembut pada Bik Sumi yang seketika pias karena bentakkan Mama Juwita tadi.

"Mama kan baru datang, gimana kalau istirahat aja dulu di kamar tamu, ya. Nanti Riana buatkan makanan kesukaan mama," tukasku berusaha mengusir Mama Juwita secara halus dari dapur.

Akhirnya ia meninggalkan kami.

"Ibu yang sabar, ya," ucap Bik Sumi. Bik Sumilah satu-satunya orang di rumah ini yang selalu baik padaku. Ia juga sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Ia juga yang selalu menghiburku tatkala terluka karena perlakuan Daffi, Liana dan Mama Juwita.

"Iya, Bik. Insya Allah. Apapun yang terjadi saya akan tetap bertahan selama Liana masih membutuhkan saya di sini." Itu juga yang sudah Papa Asmoro pesankan padaku sebelum ia meninggal dunia.

Walaupun sikapnya selalu kasar, tapi Mas Daffi juga tidak berani menceraikanku. Hal itu karena syarat untuk mendapat warisan papa secara keseluruhan adalah dengan tetap memperistriku. Namun, berbeda halnya jika aku yang lebih dulu mengajukan cerai. Disebabkan itu pulalah Mama Juwita selalu berusaha untuk membuatku tidak merasa betah berada di rumah ini. Ia akan berusaha agar akulah yang lebih dulu mengajukan cerai.

"Oh, iya, Bik." Mama Juwita datang lagi dengan gayanya yang angkuh. Suaranya sengaja dikeraskan untuk memanas-manasiku.

"Iya, Nyonya, ada apa?"

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
DeealoF3
makasi, Kak
goodnovel comment avatar
Vidsa
semangat Mbk...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Kebahagiaan Seorang Ibu

    Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Pertarungan Dua Saudara

    Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Keluarga Baru

    33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Penyesalan Damar

    Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Petunjuk

    "Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Pengakuan Damar

    Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Riana Menghilang

    "Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Terpojok

    Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Teror

    Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status