Share

3. Pernikahan yang Tidak Diinginkan

“Kak! Kak Cinta marah padaku?” Pertanyaan yang Aura lontarkan berhasil menyadarkan Cinta dari lamunannya.

“Apa?” tanya Cinta yang terlihat tergagap karena tidak mendengar dengan jelas pertanyaan dari adiknya.

“Apa Kakak marah padaku?”

“Tidak, aku tidak marah padamu.”

Cinta tidak berbohong, dia memang tidak marah, hanya merasa kecewa karena pengkhianatan dari dua orang terdekatnya. Pengkhianatan yang menorehkan luka begitu dalam

“Kalau Kak Cinta tidak marah, mengapa tidak mengucapkan selamat kepadaku?”

“Untuk?” tanya balik Cinta dengan menatap ke arah Aura sambil mengerutkan keningnya.

“Untuk pernikahanku dengan Kak Damar.”

Cinta terdiam sejenak menatap wajah polos sang adik. Kamus dalam otak Cinta seakan memudar, hingga dia tidak menemukan kata-kata lagi untuk menanggapi ucapan Aura.

Seandainya yang berada di hadapannya saat ini bukan adiknya, ingin rasanya Cinta menyumpal mulut Aura yang berucap tanpa mempedulikan perasaannya yang sedang terluka. Tidak ada ucapan terima kasih dari Aura atas perjuangan Cinta, yang harus berdebat panjang dan alot dengan Damar dan Bu Hesti, hingga akhirnya Damar bersedia bertanggung jawab untuk menikahi Aura. Justru terdengar seperti sebuah ejekan, kala Aura berharap Cinta mengucapkan selamat kepadanya

“Selamat, semoga kau bahagia,” ucap Cinta lalu melanjutkan kegiatannya membersihkan rumah.

Cinta harus bekerja keras untuk membersihkan dan merapikan rumahnya, karena besok adalah hari pernikahan Aura dan Damar. Meskipun akan berlangsung dengan sederhana, Cinta tidak ingin rumahnya terlihat berantakan saat dilangsungkannya akad nikah.

Lelah, sudah pasti, karena sepulang kerja Cinta harus mengerjakan semua sendiri. Tetapi bagi Cinta itu lebih baik, setidaknya ada pelarian dari rasa sakit hati yang sampai saat ini masih terasa nyeri.

“Kak!” panggil Aura yang kembali berhasil mengalihkan perhatian Cinta. “Bagaimana menurut Kakak?” Aura menunjukkan mengenakan kebaya putih yang seharusnya dia kenakan untuk akad nikah besok.

“Bagus,” lirih Cinta menjawab lalu melanjutkan lagi kegiatannya, menutup meja dengan kain yang sudah disiapkan oleh Utari.

Tiba-tiba Cinta merasa ada sebuah kejanggalan, saat tanpa sengaja matanya menatap perut Aura. Cinta memang belum pernah mengandung, tetapi melihat perut Aura yang sudah terlihat membuncit, membuat Cinta ragu jika usia kehamilan Aura saat ini baru empat minggu.

“Sudah malam, Ta! Besok lagi saja,” ucap Utari sambil melangkah menuju ruang tamu.

Utari yang sebenarnya sudah istirahat sejak bakda isya, terbangun karena mendengar percakapan kedua putrinya.

 “Besok Aura akan menikah, Bu!” sela Aura dengan wajah yang terlihat sumringah.

Cinta yang mendengar penuturan Aura hanya diam dengan wajah sendu yang menyiratkan luka.

 “Ya, semoga kau bahagia, Nak!” sahut Utari sambil mengusap lembut rambut putri bungsunya. “Istirahatlah! Agar sehat dan bugar di hari pernikahanmu besok.”

“Ya, Bu!” sahut Aura dengan senyum yang mengembang di bibirnya. “Aku ke kamar dulu, Kak!” pamit Aura pada Cinta.

“Ya,” jawab Cinta dengan singkat, wajahnya terlihat malas untuk menjawab.

Cinta dan Utari memandang Aura yang melangkah menuju ke kamar. Utari tersenyum lega saat mendengar putri bungsunya bersenandung, tidak lagi sedih dan takut seperti saat baru datang dari Solo beberapa hari yang lalu. Tetapi senyum itu tidak bertahan lama dan dalam sekejap langsung memudar saat Utari menatap ke arah Cinta, putri sulungnya.

“Maafkan Aura!” pinta Utari dengan air mata yang mulai menetes. “Aura adalah saudaramu satu-satunya.”

Dalam hati yang menahan lara, Cinta tidak tega melihat keadaan Utari yang terlihat sangat rapuh. Meskipun terasa lebih membela Aura dan segala kepentingannya, tetapi Cinta tetap tidak bisa mengabaikan sang ibu. Cinta segera menghampiri Utari yang sudah terlihat lelah, lalu memapahnya menuju ke kamar.

“Sebaiknya ibu istirahat,” ucap Cinta yang sebenarnya enggan untuk membicarakan Aura terus.

“Ibu harap kamu bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada!” Meskipun sudah melihat Cinta menganggukkan kepalanya tetapi Utari tetap merasa belum lega. “Bagaimana pun kau lebih beruntung dari pada Aura. Bapak dan ibu masih bisa memberimu pendidikan yang lebih baik, sedangkan Aura … untuk bisa tetap kuliah ibu harus menitipkannya pada bulikmu di Solo. Aura harus membantu bulikmu jualan angkringan di pinggir jalan hanya agar bisa melanjutkan kuliahnya, itupun hanya D3, tidak S1 sepertimu.”

“Ya, Bu!” Cinta menjawab dengan singkat. Dengan mengiyakan penuturan sang ibu, Cinta berharap pembahasan tentang Aura segera berakhir, karena semakin lama membicarakan hanya akan membuat hati Cinta semakin lara.

***

Kini Aura dan Damar telah duduk berdampingan di hadapan penghulu. Tampaknya Bu Hesti benar-benar melakukan ancamannya tidak menghadiri saat Damar mengucap akad nikah. Cinta bisa memahami rasa kecewa mantan calon ibu mertuanya itu, tetapi yang paling ditakutkan oleh Cinta adalah, jika Bu Hesti benar-benar tidak menganggap Aura sebagai menantunya dan memperlakukan adiknya dengan buruk.

Kata sah yang menggema membuyarkan lamunan Cinta, meskipun sakit tetapi Cinta merasa lega. Pernikahan Aura dan Damar akan menjadi awal baru bagi kehidupan rumah tangga mereka, dan juga awal baru bagi Cinta untuk hidup tanpa Damar. Cinta berusaha untuk meyakinkan dirinya jika perlahan-lahan rasa cinta untuk Damar akan terkikis habis, perlahan-lahan luka di hatinya akan terobati.

Sebuah pernikahan yang sangat sederhana dan tertutup, Damar datang hanya bersama Pak Supri, supir pribadi Bu Hesti yang menjadi saksi dari pihak mempelai pria. Sedangkan dari pihak Aura, Pak RT yang menjadi saksi. Tidak ada tamu, hanya Bella anak dari Pak RT yang merupakan sahabat Cinta sejak kecil dan juga teman sekantor. Keberadaan Bella di sana untuk membantu Cinta merias dan mendandani Aura.

Setelah acara selesai, Damar pun akan segera memboyong Aura ke rumahnya. Seperti hendak berpamitan, pria yang sudah bergelar suami itu menghampiri Cinta yang sekarang sudah menjadi kakak iparnya.

“Aku sudah menikahi Aura seperti yang kau inginkan. Aku melakukan semua ini untuk menjaga kehormatan keluargamu, karena aku sangat mencintaimu. Jadi … kuharap kau tetap ingat dengan janjimu, jika ternyata test DNA bayi Aura bukanlah darah dagingku, aku akan menceraikan Aura, dan kau bersedia menjadi istriku tanpa syarat,” ucap Damar dengan suara yang lirih mengingatkan Cinta pada janji yang sudah mereka sepakati.

Cinta hanya diam bergeming di posisinya, sedangkan di sudut lain rumah sederhana itu, sepasang mata yang menyaksikan kebersamaan Cinta dan Damar meneteskan bulir-bulir bening, kala telinganya masih mendengar ucapan Damar meskipun hanya samar-samar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status